Sunday, December 25, 2011

Paradoks Melayu

(Sindiran terhadap Melayu dalam “Penat Tak Sudah Jadi Melayu” Karya Eddy Ahmad RM)

-- Junaidi

SAJAK “Penat Tak Sudah Jadi Melayu” karya Eddy Ahmad, RM terdapat dalam kumpulan puisi Baca Sajak Bersama Gubernur Riau, Pemred dan Penyair Media (2011). Sajak ini sangat menarik untuk dikaji karena di dalamnya terkandung sindiran tajam yang disampaikan orang Melayu terhadap diri mereka sendiri dengan menampilkan kondisi-kondisi paradoksal antara dunia idealis dan realitas. Judul sajak ini menggambarkan rasa ketidakpuasan dan kemarahan terhadap Melayu pada hari ini. Sajak ini menyindir karakter Melayu yang tidak sesuai dengan pesan-pesan indah yang terdapat dalam khasanah sastra dan sejarah Melayu. Keindahan, keagungan, kearifan, kesantunan dan karakter Melayu lainnya tidak lagi hadir dalam jiwa Melayu.

Lebih menariknya lagi dalam sajak ini ada subjudul yang ditulis dalam tanda kurung, yakni kepada Tennas Effendy. Seperti diketahui Tennas Effendy adalah seorang tokoh Melayu yang sangat terkenal dengan karyanya yang berjudul Tunjuk Ajar Melayu. Sosok Tennas Effendy menjadi sangat penting dalam sajak ini sebab ia menghadirkan gagasan yang paradoksal antara nilai-nilai Melayu yang disampaikan dalam Tunjuk Ajar Melayu dengan realitas kehidupan Melayu. Dengan demikian, sindiran yang terkandung dalam sajak ini tidak diarahkan kepada pribadi Tennas Effendy tetapi kepada kondisi kontradiktif antara nilai-nilai luhur Melayu dengan kenyataan.

Cara pandang orang Melayu yang cenderung berlebihan memandang keagungan Melayu masa silam menyebabkan mereka terlena dan larut dengan kenangan-kenangan indah dan membuat mereka lupa dengan kenyataan hidup pada masa kini. Bait pertama sajak ini berisi: penat tak sudah jadi Melayu// memahat hidup ke masa lalu// mengukir dinding// mengikur sanding// bersantun-santun// bersyair-syair// zapin menzapin// tak bikin tampin// sejarah mimpi/ /terbunuh waktu// patung mematung// tugu menugu.

Dalam bait di atas terdapat berbagai tradisi yang merepresentasikan orang Melayu. Tetapi tradisi yang disampaikan itu bersifat paradoksal dengan kehidupan orang Melayu masa kini. Pertama, keagungan masa silam Melayu. Mempelajari sejarah itu memang penting, tetapi lalai dengan kenyataan masa kini tidak pula elok. Akibat terlalu larut dengan masa silam, orang Melayu masa kini kalah bersaing dengan orang lain. Seharusnya, keagungan masa silam mestinya dijadikan dasar dan spirit untuk membangun masa kini.

Kedua, kesantunan orang Melayu. Orang Melayu mengindentifikasi diri mereka sebagai orang yang sangat menjunjung etika dalam berkomunikasi. Tetapi pada hari ini tradisi kesantunan dijadikan pembenaran oleh penguasa untuk melarang memberikan kritik kepada orang tua dan penguasa dengan tujuan menjaga kekuasaan dan menutupi kesalahan.

Ketiga, tradisi bersyair merupakan salah satu tradisi yang telah lama melekat dalam diri orang Melayu untuk menyampaikan pesan, nasihat dan berbagai ungkapan lainnya. Keluhuran nilai dalam syair hanya sebatas gagasan idealis saja. Nilai-nilai itu tidak hadir lagi dalam realitas kehidupan Melayu. Keempat, tari zapin merupakan tari yang diklaim milik orang Melayu sebagai lambang gerak kehidupan orang Melayu.

Semangat tari zapin tidak lagi memcerminkan ketangkasan orang dalam menjalani kehidupan. Kelima, tradisi membuat patung. Ada kecenderungan orang Melayu hari ini untuk membangun kebudayaan Melayu melalui simbol dengan cara membuat patung-patung. Bila membangun patung maka diklaim telah berhasil membangun kebudayaan. Padahal jika dilihat dari tradisi Melayu patung tidak begitu penting sebab dalam tradisi Islam membangun patung kurang elok. Namun apa daya patung banyak dibangun untuk membangun citra keberhasilan pembangunanan.

Dalam bait kedua kondisi paradoksal lebih dipertegas lagi dengan membandingkan antara satu frasa dengan dengan frasa lainnya untuk menunjukkan arti yang berlawanan. Frasa “menyanyi sunyi” dibandingkan dengan “lagu melampau”, “memetik rotan” dibandingkan dengan “akar pun jadi”, “gendang kecapi” dibandingkan dengan “mulut berbunyi”, “berjoget tangis” dibandingkan dengan “tari menangis”, dan “merdu seruling” dibandingkan dengan “di telinga situli”.

Kondisi paradoksal ini mengambarkan inkonsistensi orang Melayu dalam memandang nilai-nilai yang terdapat dalam kebudayaan Melayu. Akibatnya, kehidupan orang Melayu tidak semakin maju tetapi malah semakin mundur seperti ungkapan: tudung periuk apakan lauk// kain yang buruk nasib terbungkuk. Cita-cita untuk mengangkat keagungan Melayu hanya menjadi mimpi yang memberatkan kehidupan orang Melayu seperti yang diungkapakan: sejarah mimpi// tertikam tajam// jadi teror// hari ke hari.

Kondisi paradoksal juga terlihat dalam bait ketiga. “gurindam dibaca” dibandingkan dengan “irama dendam”. Selanjunya disampaikan pula beberapa ungkapan bukan Melayu tak hilang di bumi // tanah sempadan menjadi lawan // akibat santun yang jadi ajaran// ketika mantra kehilangan kuasa// Jebat dan Tuah jadi tabiat // kelakuan pejabat mengabad-abad”. Dalam bait ini disampaikan lagi kritik terhadap kelakuan pemimpin yang melakukan kebaikan untuk membela kepentingan rakyat.

Pada bait keempat kritik terhadap Melayu lebih dipertegas: penat tak sudah menjadi Melayu// petatah-petitih membuat letih// tunjuk ajar tak jadi pintar// karena petuah tak bikin petah// nasihat tak jadi amanat// tersebab pantun tak jadi menuntun// kata dan laku berpaling muka// bingung isi karena sampiran// hidup Melayu untung di badan// batu kerikil dikira permata// ibarat si Kudung// di malam buta.

Ungkapan-ungkapan di atas mengambarkan ketidakmampuan orang Melayu mengimplementasikan nilai-nilai luhur yang terdapat dalam kebudayaan Melayu. Keberadaan petatah-petitih, tunjuk ajar, petuah, dan pantun tidak lagi dijadikan dasar dalam kehidupan. Ia lebih dijadikan ajang bermain kata-kata dari pada menjadi panduan dalam kehidupan. Keindahan bahasa tidak diikuti oleh konsistensi dalam menjalakan pesan-pesan luhur yang terdapat dalam ungkapan-ungkapan Melayu.

Pada bait kelima kritik secara khusus diarahkan pada perangai para pemimpin Melayu yang tidak konsisten terhadap nilai dan lupa pada perjuangan mereka untuk membela kepentingan Melayu: penat tak sudah jadi Melayu// berzikir berpikir balik ke zakar// jadi kelakuan bila berkuasa// di tempat tinggi lupa di bawah// ketika mengapa karena marwah// tinggal tanah sejengkal rumah// bumi Melayu tinggalah nama.

Kondisi paradoksal pemimpin Melayu terlihat dalam ungkapan “berzikir berpikir” dan “balik ke zakar”. Ini menunjukkan para pemempin berperilaku seperti orang alim dan cerdas tetapi sebenarnya melakukan perbuatan yang keji. Ketika para pemimpin Melayu memperoleh kekuasaan mereka lupa akan amanah yang telah diberikan rakyat kepada mereka. Akibatnya, orang Melayu semakin kehilangan kuasa dan jati diri.

Pada baik terakhir sajak ini disampaikan pula kekesalan terhadap orang Melayu. Bahkan ada ungkapan yang sangat ekstrem: penat tak sudah jadi Melayu// jadi Yahudi? Ini mengambarkan kritik yang sangat tajam terhadap orang Melayu yang katanya di hidup dengan nilai-nilai luhur tetapi dibandingkan dengan orang Yahudi. Kondisi ini sangat paradoksal sebab membandingkan Melayu yang diklaim identik Islam dengan Yahudi yang berlawanan dengan Islam. Ungkapan penutup “jadi yahudi?” dengan diikuti tanda tanya memberikan makna yang sangat mendalam terhadap realitas kehidupan orang Melayu pada hari ini. Ini adalah ungkapan yang perlu direnungkan secara mendalam agar konsep kita tentang Melayu dan Islam dapat dipertanggungjawabkan dalam kehidupan nyata.

Kritik-kritik tajam yang terdapat dalam sajak ini tidak sedang mengejek orang Melayu tetapi kritik-kritik itu mengajak orang Melayu untuk lebih serius memandang hakekat nilai-nilai Melayu dan menjalankannya sesuai dengan kondisi kehidupan masa kini. Nilai-nilai Melayu tidak hanya hadir dalam ungkapan-ungkapan yang indah tetapi ia harus hadir dalam perilaku keseharian orang Melayu.


Dr Junaidi, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unilak dan Komisioner Komisi Penyiaran Daerah (KPID) Riau.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 25 Desember 2011

No comments: