-- Linda Sarmili
DALAM kesusastraan Indonesia, nama sastrawan Sitor Situmorang dikenal sebagai sastrawan angkatan 45. Itu berarti, sosok Sitor Situmorang seangkatan dengan nama-nama seperti Chairil Anwar, Idrus, dan Asrul Sani.
Dan di antara nama-nama yang tak tergantikan dalam sejarah sastra Indonesia itu, Sitor Situmorang menempati kedudukan yang istimewa.
Selain menulis puisi, prosa, dan drama, sejak dekade 1950-an Sitor juga terlibat aktif dalam berbagai polemik kebudayaan, khususnya dalam perdebatan arah bentuk kebudayaan Indonesia.
Perjalanan Sitor selama tiga tahun di Eropa memberikan pengaruh yang kuat dalam karya-karyanya, tetapi ini tak berarti menghapus pengaruh tanah kelahirannya, Harianboho, Sumatra Utara. Menjelang akhir dekade 50-an, tulisan-tulisannya semakin kental dengan aroma Marhaenisme. Ia yang sebelumnya mengedepankan gagasan-gagasan seni modernis, seni yang mempunyai otonominya sendiri dalam kehidupan manusia, bergulir memahami seni sebagai sesuatu yang praksis.
Di akhir dekade yang sama, ia ditunjuk menjadi Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional yang mendukung tata politik Demokrasi Terpimpin. Pada saat Soekarno jatuh, Sitor pun dijebloskan di penjara selama delapan tahun.
Sampai hari ini Sitor Situmorang masih terus berkarya. Kehidupan panjang sekaligus laga lincah di lapangan kebudayaan membuat sosok Sitor dapat diibaratkan sebagai jendela ke perjalanan kebudayaan Indonesia. Buku Menimbang Sitor Situmorang yang kini beredar di pasar buku Indonesia ditulis oleh VS Naipul Dkk berhasil mengumpulkan beragam tulisan tentang sang sosok dan setiap penulisnya memiliki keterlibatan intimnya tersendiri dengan Sitor.
Keragaman dan keluasan cakupan buku itu merupakan nilai tersendiri bagi siapa saja yang berminat mempelajari perjalanan panjang kesusastraan seorang Sitor Situmorang.
Tulisan Subagio Sastrowardoyo, Manusia Terasing di Balik Simbolisme Sitor Situmorang, yang diterbitkan pertama kali tahun 1975 oleh Dewan Kesenian Jakarta, misalnya, merupakan ekspresi keterperangahan aktor kesusastraan sebuah negeri pascakolonial memandang sajak-sajak Sitor yang tak pernah sanggup mengikat diri ke satu tempat.
Subagio memahami sajak-sajak Sitor sebagai wakil dari peradaban pribadi yang tak mewakili jiwa bangsanya, situasi zamannya, bahkan tidak peradaban Barat sekali pun. Sajak-sajak Sitor merupakan wakil nihilisme.
Tetapi, sementara tulisan Subagio, juga A Teeuw, sang kritikus setia sastra Indonesia, dan A H Johns, peneliti dari lembaga riset oriental di Australia, mengajak pembaca merasakan keterasingan dan modernitas dalam karya Sitor, tulisan Alle G Hoekema yang awalnya ditulis untuk simposium tentang kekristenan di Indonesia justru menengok puisi-puisi Sitor sebagai metafora anak hilang yang akhirnya kembali.
Kemudian Johann Angerler, mahasiswa bimbingan Sitor di Leiden, melukiskan bagaimana kefasihan pembimbingnya menggambarkan kebudayaan Batak tanah kelahiran Sitor dari perspektif antropologi, sejarah, sekaligus orang dalam. Sitor bisa menjadi sangat sentimentil, menggebu-gebu, dan tak pernah capai ketika menceritakan dengan detail sejarah dan struktur masyarakat Sumatera Utara. Di tulisan ini Angerler juga menjelaskan tentang penelitian Sitor tentang tanah Batak, yang kemudian diterbitkan dengan judul Toba Na Sae, serta mengkritik beberapa paparan gurunya itu.
Yang cukup menarik dan juga komprehensif adalah tulisan Martina Heinschke. Ia mengajak kita untuk menimbang kembali perpindahan-perpindahan sikap kesenian Sitor pada tahun 50-an, di mana Heinschke tidak menganggapnya sebagai suatu inkonsistensi.
Ia membacanya sebagai suatu sikap keterbukaan dalam membangun konsepsi diri bila kita membaca Sitor sebagai sastrawan yang mencari identitas di tengah negeri yang juga mencari identitas. Meminjam apa yang pernah diungkapkan Sitor dalam esainya, ia adalah manusia iseng yang "segala tingkah laku... bukan hanya tuntutan peradaban... tetapi menjadi kegiatan yang lahir dari diri sendiri, daya cipta kebudayaan atau bersumber padanya."
Lalu ada tulisan VS Naipaul, pemenang Nobel Sastra berdarah Asia Selatan, yang mengisahkan perjumpaan pribadinya dengan Sitor melalui cara ungkap sastrawi dan liris. Dari tulisan Naipaul, kita menjumpai Sitor sebagai seorang lelaki berkulit sawo matang yang rumit, manusiawi, suka merenung, dan memiliki rumah yang menjengkelkan bernama Indonesia.
Potret Sitor sebagai seorang manusia biasa dalam kesehariannya ini memberikan kelengkapan bagi buku ini yang juga dipenuhi dengan penelitian tentang Sitor yang bergaya obyektif dan mencoba menemukan gagasan besar. Hal ini juga sedikit-banyak terlukis dari puisi para penyair Indonesia tentang perjumpaan mereka dengan seorang Sitor yang diambil buku ini.
Menimbang Sitor Situmorang merupakan sebuah eksperimen untuk menangkap dinamika luar-dalam, kiri-kanan, subektif-obyektif, manusia-pengarang seorang Sitor Situmorang. Upaya untuk membangun suatu museum kehidupan Sitor ini patut kita apresiasi, khususnya karena sang sosok adalah salah satu prisma bagi kita ke perjalanan kebudayaan Indonesia.
Seperti yang diungkapkan CH Watson dalam tulisannya tentang otobiografi Sitor Situmorang di buku ini, "kita dapat membaca otobiografi Sitor sebagai renungan mengenai perkembangan bangsa Indonesia..."
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 24 Desember 2011
No comments:
Post a Comment