Wednesday, December 21, 2011

Lelaki Sundel Bolong dan Literasi di Empty Quarter

-- Jaya Komarudin Cholik

TIDAK mudah menarik massa untuk masuk ke pusaran literasi. Budaya baca dan tulis apalagi menjadi seorang penulis masih merupakan hal yang asing bagi kita, orang Indonesia. Namun, tentu minat dan kepedulian ini sedang terus dipompa dan dibakar oleh orang-orang yang hidupnya didedikasikan untuk itu.

Sekali lagi, mengapa harus ada Indonesia membaca? Mengapa mesti ada workshop be a writer? Toh semua baik-baik saja bukan? Hidup kita terlalu membicarakan buku, buku, dan buku, saat mulut para pembual mengoceh tentang nasib negeri yang setiap harinya dijejali masalah yang sebenar lagi tutup tahun, maka tutup tahun pula kisahnya.

Oh iya, soal pertanyaan di awal paragraf. Ya, pertanyaan degil ini memang selalu muncul di mana pun dan kapan pun. Seolah kebutuhan manusia dibatasi oleh syahwat dan isi perut belaka. Bak cara berpikir penguasa yang gemar memperlakukan rakyatnya mereka seperti kerbau. Sediakan rumput hijau dan semua berhenti berpikir, siang malam memamah biak.

Lelaki sundel bolong

Kelas literasi yang dimulai pada tanggal 16 hingga 9 Desember 2011 di KBRI Abu Dhabi berjalan dengan lancar. Gong tidak menduga peserta akan terisi sampai 25 orang. Belum ditambah dengan pelatihan yang diberikan kepada para nakerwan yang berada di penampungan. Jumlah mereka sekitar 60-an orang. Jumlah yang setiap bulan bisa bertambah. Dan, jangan pernah berpikir untuk berkurang.

Mereka umumnya para nakerwan yang sedang menjalani proses, kemudian dipulangkan ke Tanah Air. Biasanya mereka lari dari majikan karena tidak tahan dengan kondisi yang mereka hadapi.

Para nakerwan yang umumnya para wanita Indonesia itu harus menerima kenyataan bernasib tragis pergi jauh tanpa perlindungan suami dan/atau keluarga mereka ke tempat yang bisa diibaratkan penjara terbuka. Tinggal di tempat asing, budaya asing, orang-orang asing, dan bahasa asing.

Dan, yang lebih asing lagi adalah kebiasaan para lelaki Indonesia yang melepaskan istri, anak perempuan, bibi, menantu perempuan, mertua perempuan, sepupu perempuan, keponakan perempuan mereka untuk pergi jauh di luar jangkauan perlindungan mereka dan sistem hukum yang mereka percayai.

Kebanyakan para lelaki ini adalah lelaki yang sundel bolong yang hati dan perasaan (baca: dada) mereka sudah lenyap. Bagaimana mereka tega melepaskan dengan menggantungkan pada prasangka baik? Padahal agama yang mereka anut sudah melarang tegas para perempuan pergi hingga bertahun lamanya apalagi ditambah tanpa perlindungan hukum yang jelas.

Lupakan! Saat ini yang ingin saya sampaikan adalah mereka para nakerwan sedang berbahagia karena telah mengikuti kelas menulis yang disampaikan oleh Gola Gong selama dua hari, 18-19 Desember 2011.

Semua yang mereka simpan atau mereka menjadi gagu alias bisu karenanya menjadi Byar! Jebol! Kata-kata melimpah ruah di tiga lembar kertas folio yang dengan susah payah mereka sulit menguraikannya.

Itu bukan persoalan mudah men-decode dan recode setiap kata-kata yang hampir hilang dalam ingatan mereka karena sudah terlanjur menganggap sebagai pedang takdir yang tajam hingga terasa menakutkan untuk diingat dan dituangkan dalam tulisan. Para perempuan tangguh itu mengurai kata demi kata di lembaran putih yang kemudian menjadi sumpek dengan perasaan yang menghimpit, menekan beban rasa.

Para nakerwan asyik berkelana lewat kata dan berserapah tentang para lelaki sundel bolong yang rela melepaskannya pergi menyusuri pepasir yang tak berbekas jejaknya. Tibalah saatnya Gola Gong pamit hendak meneruskan pelatihan ke tepian empty quarter. Sesaat suasana hening. Mereka seperti direnggut kebahagiaannya.

Gola Gong menyadari bahwa saat mereka bahagia bersama kata, tetapi kemudian seperti merasa kehilangan karena sang pemandu petualangan kata itu pergi. Demi memuaskan dahaga mereka, Gola Gong menawarkan alamat rumah dunia dan nomor telepon, maka berebutanlah para nakerwan untuk mendapatkannya.

"Semua boleh tulis alamat dan nomor telepon saya, tetapi syaratnya jangan ada yang mengaku pacar, ya," selorohnya yang disambut tawa para nakerwan.

Literasi empty quarter

Perjalanan dilanjutkan menuju empty quarter, menuju sebuah koloni kecil yang halaman depannya Teluk Persia dan halaman belakangnya salah satu gurun terganas di dunia, empty quarter.

Bersama Lawangbagja dan Sabar Riyanto membelah malam perjalanan sejauh 250 km Abu Dhabi-Ruwais dilanjutkan. Sepanjang perjalanan kami bertukar kisah, gagasan, serta ide-ide yang mengasyikan. Tentang sebuah komunitas yang bermimpi mempunyai kegiatan budaya literasi yang tidak terhenti hingga sebatas workshop saja. Manusia Indonesia di mana pun berhak mendapatkan pencerahan dan mengejar ketertinggalan mereka.

Entahlah, saya sendiri merasa tinggal di negeri yang budaya membacanya jauh dari harapan. Kami setiap hari hanya dijejali, diskon, summer offering, winter session, half price, further cut, dan seterusnya. Kapan kita akan mengahargai hidup dengan kemuliaan sebagai manusia yang tidak terus digelayuti oleh materi, materi, dan materi.

Kami beristirahat sejenak di Tarif, kota kecil yang tepat berada di antara Abu Dhabi-Ruwais. Menemani Gola Gong yang sedang keranjingan makan nasi biryani. Setengah ayam habis bakar habis. Udara dingin, nasi biryani dengan saffron dilengkapi rempah-rempah khas Asia Tengah dan ayam bakar memang nikmat bukan main. Persoalannya adalah karena nasi biryani tidak memakai santan, tetapi rasanya masih gurih karena rempah-rempahnya.

Workshop yang diberikan untuk para ibu dan remaja putri memang sedianya dilaksanakan di balai pertemuan. Namun, karena bangunannya sedang dipugar, maka terpaksa hari pertama di rumah salah satu warga, Agus Kurniawan. Walhasil…! Viola!...membeludak, tidak cukup.

Panitia pun berusaha hari kedua bisa digelar di hall yang masih tersedia. Ya, gempa lietrasi Indonesia membaca, workshop be a writer terasa hingga ke tepian Teluk Persia.

Jaya Komarudin Cholik, Aktivis penggerak literasi, ambassador rumah dunia untuk PEA. Penanggung jawab kegiatan, penulis buku "Tamasya ke Masjid"- Gong Media Cakrawala. Bermukim di Timur Tengah, bekerja di sebuah perusahaan multinasional.


Sumber: Oase, Kompas.com, Rabu, 21 Desember 2011

|

No comments: