Sunday, December 11, 2011

Citraan Realisme Magis

-- Delvi Yandra

Pada suatu masa, di kota Kahani, di negeri Alifbay, ada seorang anak lelaki bernama Luka yang memiliki dua hewan piaraan... (hal. 9)

SEPERTI laiknya dongeng, pada permulaan novel Luka dan Api Kehidupan ceritanya kerap dimulai dengan “pada suatu hari”, “pada suatu ketika” atau “pada suatu masa”. Tetapi esensi dari novel ini bagi Salman Rushdie lebih dari sekadar perayaan terhadap dongeng. Dia sungguh piawai meracik peristiwa beserta unsur-unsur fantasi, mitologi, permainan kata dan simbolisme ke dalam rajutan kisah yang menarik, cerdas, seru dan jenaka.

Permainan Kata

Di dalam novel kelanjutan dari novel pertamanya yang berjudul Harun dan Samudra Dongeng ini, Salman Rushdie berusaha membangun sebuah dongeng ajaib untuk anak-anak yang gemar bermain video game —termasuk permainan kata misalnya untuk penamaan hewan. Pada permulaan cerita ini juga, dikisahkan terdapat seorang anak lelaki bernama Luka yang memiliki dua hewan peliharaan yaitu anjing dan beruang yang dapat berbicara. Uniknya, anjing tersebut diberi nama Beruang dan beruang diberi nama Anjing. Awalnya, Luka tidak terbiasa dengan perilaku kedua hewannya yang mirip manusia. Namun demikian, Luka pun mafhum.

Di dalam kamus yang disusun oleh Tim Reality cetakan pertama tahun 2008 yang diterbitkan oleh reality publisher, “Luka” berarti cedera pada kulit karena terkena benda tajam dsb (kata benda); menderita luka. Tetapi Luka di sini adalah adik Harun yang terbentang ceritanya dalam Harun dan Samudra Dongeng. Luka sang anak kidal merupakan anak kedua dari Rashid Khalifa sang raja dongeng dan Soraya. Saya berpikir, barangkali Salman Rushdie ingin menunjukkan kecintaannya terhadap kedua anaknya: Zafar dan Milan yang tinggal bersamanya di New York. Tokoh Harun dan Luka adalah refleksi dari kedua anaknya tersebut.
Jeram Kata, meluncur bergemuruh dari Samudra Dongeng ke Danau Kebijaksanaan yang airnya diterangi oleh Cahaya Fajar, dan darinya mengalir Sungai Waktu—sungai lebar dan malas yang bagian tengahnya berbahaya. Luka pun mencari Sungai Kehidupan di sana. Danau Kebijaksanaan, seperti yang diketahui terbentang di bawah bayang-bayang Gunung Pengetahuan yang di puncaknya menyala Api Kehidupan.

Salman Rushdie ingin menyampaikan bahwa kita memang harus berhati-hati dengan yang kita ucapkan, apalagi jika diucapkan dengan sepenuh hati dan dalam amarah yang penuh. Efeknya bisa sangat mengejutkan. Itu yang dialami oleh Luka. Suatu hari, sepulang dari sekolah dia menyerukan kutukan bagi pemilik Great Rings of Fire, GROF yang dianggapnya berlaku kejam terhadap para hewan sirkus.

“Semoga semua binatangmu berhenti mematuhi perintahmu dan cincin apimu melalap habis tenda jelekmu.”

Kehadiran Luka sungguh merupakan kejutan, apalagi mengingat usia kedua orang tuanya yang tidak muda lagi. Namun sejak kelahiran Luka, wajah keduanya kian hari kian terlihat muda seiring dengan bertambahnya usia Luka.

Suatu malam, Rasyid Khalifa sang pendongeng legendaris tertidur dan tidak pernah bangun lagi, seolah-olah dia berada dalam cengkeraman sang Raksasa Tidur. Rasyid belum meninggal karena dia masih dapat mengguman. Sekarang giliran Luka untuk membangunkan ayahnya sekaligus menyelamatkannya dari sosok makhluk maut yang sedikit demi sedikit menyerap kehidupan sang ayah. Luka, bocah duabelas tahun, akhirnya berpetualangan ke Dunia Dogeng dan mencuri Api Kehidupan. Luka tidak sendiri, dia ditemani dua hewan peliharaannya: Beruang dan Anjing.

Pada suatu ketika, Luka merasa melihat sosok ayahnya tetapi ada sesuatu yang aneh dengan sosok itu. Belakangan dia sadar bahwa yang dilihatnya bukanlah Rasyid Khalifa tetapi makhluk seperti hantu yang menyebut dirinya Nobodaddy.

Nobodaddy barangkali juga merupakan permainan kata: Nobody (tak seorangpun). Bersama dengan Nobodaddy, Anjing serta Beruang, Luka harus bergegas mengambil Api kehidupan guna menyelamatkan ayahnya.

Seperti dongeng lainnya, akhirnya kita pasti sudah dapat menebak ujung kisah Luka dan Api Kehidupan ini, Luka akan berhasil menuntaskan misinya. Hanya saja, perjuangannya tidak mudah. Luka menjadi sadar, bahwa dunia ini seperti video game, dengan kehidupan dan level-level yang harus dihadapinya. Pengorbanan orang-orang disekitarnya juga sungguh mengharukan. Maka, dimulailah petualangan dan pertarungan Luka dalam menghadapi rintangan demi rintangan, mengumpulkan nyawa, kehilangan nyawa sekaligus menaklukkan level demi level—layaknya permainan. Namun, ini bukanlah sekedar permainan, melainkan penentuan hidup dan mati Rasyid Khalifa.

Citraan
Dalam kisah ini, Salman Rushdie berani menggabungkan citraan sejarah dan citraan realisme magis yang menakjubkan. Neil Gaiman, seorang novelis kenamaan asal Inggris mengatakan bahwa novel ini merupakan semacam jembatan antargenerasi yang luar biasa, ajaib dan ditulis dari kedalaman hati.

Buku ini memberikan pengajaran moral bagi anak-anak dan orang dewasa tentunya. Kita memang harus berjuang untuk mempertahankan sesuatu yang sangat berarti dalam hidup ini, meskipun diperlukan pengorbanan mahal. Dalam perjuangan kehidupan ini, kadang kita tak bisa tahu dimana kawan dan lawan, untuk itu kita perlu berhati-hati dalam menjalani kehidupan ini.

Ide dasar kisah ini memang sederhana, mengenai bagaimaan seorang anak berjuang demi sang ayah. Kisah yang diramu dengan apik dan runut peristiwa yang menarik. Hanya saja pembaca terutama anak-anak, apakah bisa memahami kisah yang ada, mengingat dalam buku ini banyak terdapat lokasi dengan nama yang cukup rumit serta banyaknya tokoh dengan nama-nama yang tak lazim. Semoga mereka dapat membedakan antara Nobodaddy, Insultana Soraya, Jaldibadal, El Tiempo, Insultana Otto, Respekto-Rat. Lalu ada nama-nama tempat seperti Sungai Waktu, Permukaan Masa Kini, Sniffelheim, Negeri Tanpa Masa Kanak dan sebagainya.

Konon, Salman Rushdie menuliskan kisah ini untuk anak keduanya: Milan —yang berusia 13 tahun. Dia juga merupakan penulis produktif yang sejak 1988 kerap mendapat kecaman dari pemerintah Iran yang pada saat itu dipimpin oleh Ayatollah Komeini. Dia dituduh telah menghina Islam dalam bukunya The Satanic Verses. Dua tahun kemudian, Salman Rushdie menulis esai yang menyatakan bahwa dia masih beriman kepada Islam.

Banyak penghargaan yang diterima Salman Rushdie, di antaranya Arts Council Writers’ Award, Author of the Year (British Book Awards), Author of the Year (Jerman), Commandeur de l’Ordre des Arts et des Lettres (Perancis), Hutch Crossword Book Award (India), India Abroad Lifetime Achievement Award (USA), Kurt Tucholsky Prize (Swedia), Mantua Prize (Italia), James Joyce Award (University College Dublin), dan State Prize for Literature (Austria).

Buku ini layak mendapat empat bintang. Direkomendasikan bagi penggemar cerita fantasi dan petualangan. Jangan lupa, bukalah halaman 244!

Delvi Yandra, Penulis lepas, bergiat di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang.

Sumber: Riau Pos, 11 Desember 2011

No comments: