-- Linda Sarmili
MEMASUKI Putaran 6, acara Bincang Tokoh DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) akan menampilkan NH. Dini, seorang novelis terkemuka Indonesia yang telah banyak menyumbangkan karya (novel) penting ke dalam khasanah sastra Indonesia. Dua pengkaji sastra juga ditampilkan, yakni Ibnu Wahyudi dan Akmal Nasery Basral. Mereka berhasil membedah novel-novel terpenting NH. Dini, sejak novel monumental Pada Sebuah Kapal sampai novel-novel terkininya.
Di tengah pembahasan, NH. Dini tampil membocorkan rahasia proses kreatif kelahiran novel-novel tersebut Dia juga bercerita banyak mengenai perjalanan karir kesusastraannya, yang ternyata tidak selalu menggembirkan. Ada bagian-bagian tertentu dalam perjalanan karirnya, NH Dini mesti berjuang sendiri untuk kelancarkan roda hidupnya.
Dia juga pernah menggelar pameran lukisan karyanya sendiri, lalu dari hasil lukisan itulah dia bisa menyambung hidup, juga membeli obat yang diperlukannya. Bincang Tokoh merupakan salah satu acara unggulan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang digelar sejak pertengahan tahun 2010. Acara yang diprakarsai oleh Komite Sastra DKJ ini menampilkan tokoh-tokoh penting sastra Indonesia, baik penyair, cerpenis, maupun novelis.
Lima sastrawan yang telah ditampilkan sebelumnya adalah Remy Silado, Abdullah Harahap, Afrizal Malna, Budi Darma, dan Goenawan Mohamad. Kini giliran NH Dini yang menjadi tokoh bincangan di Taman Ismail Marzuki, Jumat pekan lalu.
Bincang Tokoh diadakan dengan tujuan untuk mendekatkan sastrawan-sastrawan terkemuka yang masih aktif menulis dan telah menghasilkan karya-karya penting, dengan masyarakat pembaca. Hal itu dinilai penting, mengingat hingga dewasa ini, banyak pecinta sastra mengalami kesulitan mengenali sastrawan idolanya. Padahal, dibalik pertemuan antara sastrawan dan pengemarnya bisa terjalin komunikasi dua arah yang saling menguntungkan. Setidaknya para sastrawan bisa mewariskan "sesuatu' yang diperlukan penggemarnya, terutama sekali penggemr yang juga menggeluti dunia sastra.
Selain itu, hingga kini masih sering ditemukan adanya jarak dari para sastrawan ternama Indonesia dengan publik. Padahal tak jarang masarakat ingin sekali mengenali lebih tajam pemikiran-pemikiran serta konsep kreatif para sstrawan. Sering juga keinginan publik untuk "mengenali' pemikiran-pemikirn para sastrawan sulit dipahami oleh para sastrawan itu sendiri, sehingga kurang mendapat apresiasi.
Karena itu, dinilai perlu ada upaya untuk mendekatkan para sastrwan dengan publiknya, antara lain melalui acara Bincang Tokoh ini. Acara ini, sebenarnya lebih tepat disebut temu pengarang, dengan fokus perbincangan yang segar, kritis, dan mendalam, di seputar karya, proses kreatif dan wawasan sastra sang tokoh. Melalui acara tersebut diharapkan muncul dialog yang hidup dengan membuka peluang bagi terjadinya perdebatan yang sehat antara sang tokoh dengan pembahas dan peserta (audiens).
Berkaitan dengan itu, tepat rasanya jika kali ini Dewan Kesenian Jakarta memilih NH. Dini. NH Dini dipilih, karena karya-karya dan pemikirannya terutama novel-novelnya telah memberikan sumbangan sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia. Dalam perjalanan kepengarangannya, NH. Dini telah melahirkan banyak novel yang disukai pembacanya.
DKJ juga memilih Ibnu Wahyudi dan Akmal Nasery Basral, sebagai pembahas, karena kesungguhan keduanya dalam mengamati perkembangan sastra Indonesia. Mereka akan membedah novel-novel terpenting NH. Dini, sejak novel monumental Pada Sebuah Kapal sampai novel-novel terkininya. Di tengah para pembahas, NH. Dini juga membocorkan rahasia proses kreatif kelahiran novel-novelnya.
Guna menambah bobot sekaligus kemeriahan acara, Bincang Tokoh putaran ke-6 ini juga diwarnai pemutaran video tentang sosok kepengarangan NH. Dini, pameran karya sang tokoh, kliping koran tentang karya dan sosoknya, serta foto sosok dan aktivitas N.H. Dini.
Anda ingin tahu lebih banyak tentang Nh Dini? Dia dilahirkan dari pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah. Ia anak bungsu dari lima bersaudara, ulang tahunnya dirayakan empat tahun sekali. Masa kecilnya penuh larangan. Konon ia masih berdarah Bugis, sehingga jika keras kepalanya muncul, ibunya acap berujar, "Nah, darah Bugisnya muncul".
NH Dini mengaku mulai tertarik menulis sejak kelas tiga SD. Buku-buku pelajarannya penuh dengan tulisan yang merupakan ungkapan pikiran dan perasaannya sendiri. Ia sendiri mengakui bahwa tulisan itu semacam pelampiasan hati. Ibu Dini adalah pembatik yang selalu bercerita padanya tentang apa yang diketahui dan dibacanya dari bacaan Panji Wulung, Penyebar Semangat, Tembang-tembang Jawa dengan Aksara Jawa dan sebagainya. Baginya, sang ibu mempunyai pengaruh yang besar dalam membentuk watak dan pemahamannya akan lingkungan.
Sekalipun sejak kecil kebiasaan bercerita sudah ditanamkan, sebagaimana yang dilakukan ibunya kepadanya, ternyata Dini tidak ingin jadi tukang cerita. la malah bercita-cita jadi sopir lokomotif atau masinis. Tapi ia tak kesampaian mewujudkan obsesinya itu hanya karena tidak menemukan sekolah bagi calon masinis kereta api.
Kalau pada akhirnya ia menjadi penulis, itu karena ia memang suka cerita, suka membaca dan kadang-kadang ingin tahu kemampuannya. Misalnya sehabis membaca sebuah karya, biasanya dia berpikir jika hanya begini saya pun mampu membuatnya. Dan dalam kenyataannya ia memang mampu dengan dukungan teknik menulis yang dikuasainya.
Dini ditinggal wafat ayahnya semasih duduk di bangku SMP, sedangkan ibunya hidup tanpa penghasilan tetap. Mungkin karena itu, ia jadi suka melamun. Bakatnya menulis fiksi semakin terasah di sekolah menengah. Waktu itu, ia sudah mengisi majalah dinding sekolah dengan sajak dan cerita pendek. Dini menulis sajak dan prosa berirama dan membacakannya sendiri di RRI Semarang ketika usianya 15 tahun. Sejak itu ia rajin mengirim sajak-sajak ke siaran nasional di (RRI) Semarang dalam acara Tunas Mekar.
Peraih penghargaan SEA Write Award di bidang sastra dari Pemerintah Thailand ini sudah telajur dicap sebagai sastrawan di Indonesia, padahal ia sendiri mengaku hanyalah seorang pengarang yang menuangkan realita kehidupan, pengalaman pribadi dan kepekaan terhadap lingkungan ke dalam setiap tulisannya. Ia digelari pengarang sastra feminis. Pendiri Pondok Baca NH Dini di Sekayu, Semarang ini sudah melahirkan puluhan karya.
Beberapa karya Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin yang dikenal dengan nama NH Dini, ini yang terkenal, di antaranya Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975) atau Namaku Hiroko (1977), Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1986), Hati yang Damai (1998), belum termasuk karya-karyanya dalam bentuk kumpulan cerpen, novelet, atau cerita kenangan. Budi Darma menyebutnya sebagai pengarang sastra feminis yang terus menyuarakan kemarahan kepada kaum laki-laki. Terlepas dari apa pendapat orang lain, ia mengatakan bahwa ia akan marah bila mendapati ketidakadilan khususnya ketidakadilan gender yang sering kali merugikan kaum perempuan. Dalam karyanya yang terbaru berjudul Dari Parangakik ke Kamboja (2003), ia mengangkat kisah tentang bagaimana perilaku seorang suami terhadap isterinya. Ia seorang pengarang yang menulis dengan telaten dan produktif, seperti komentar Putu Wijaya; 'kebawelan yang panjang.'
Kini ia telah menulis lebih dari 20 buku. Kebanyakan di antara novel-novelnya itu bercerita tentang wanita. Namun banyak orang berpendapat, wanita yang dilukiskan Dini terasa "aneh". Ada pula yang berpendapat bahwa dia menceritakan dirinya sendiri. Pandangan hidupnya sudah amat ke barat-baratan, hingga norma ketimuran hampir tidak dikenalinya lagi. Itu penilaian sebagian orang dari karya-karyanya. Akan tetapi terlepas dari semua penilaian itu, karya NH Dini adalah karya yang dikagumi. Buku-bukunya banyak dibaca kalangan cendekiawan dan jadi bahan pembicaraan sebagai karya sastra.
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 3 Desember 2011
No comments:
Post a Comment