-- Rubangi Al Hasan
PADA sebuah pertemuan resmi pemerintah terdapat seorang birokrat yang memberikan argumen dengan kalimat berikut "pembangunan daerah harus berlandaskan pada paradigma fro foor, fro job, fro growth, fro environment". Maksud sang birokrat tadi sebenarnya adalah propoor, projob, progrowth, proenvironment. Pada kesempatan lain penulis membaca tulisan di salah satu bengkel pinggir jalan yang berbunyi "menerima revarasi". Pada saat yang lain lagi penulis membaca tulisan pada salah satu selebaran yang tertulis "multiflayer effect".
Tulisan-tulisan tersebut merupakan contoh dari fenomena keseleo lidah.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) keseleo lidah (slip of the tongue) memiliki makna salah mengucapkan; salah mengatakan. Ada beberapa contoh terjadinya keseleo lidah pada beberapa etnis di Indonesia. Pertama, pertukaran bunyi F dan atau V dengan huruf P. Contohnya pada kata fro foor yang seharusnya propoor. Kedua, pertukaran bunyi huruf P menjadi F dan atau V. Contohnya pada revarasi yang seharusnya reparasi, dan kata multiflayer effect yang seharusnya multiplayer effect. Ketiga, adanya penambahan sisipan E pada kata yang memiliki konsonan berurutan. Misalnya geratis, yang seharusnya gratis. Namun, di antara ketiga hal tersebut, keseleo lidah yang paling sering dilakukan adalah pertukaran antara P dan F atau V.
Problematika Keseleo Lidah
Fenomena keseleo lidah terkesan sesuatu yang sederhana dan tidak memiliki konsekuensi yang serius. Namun, jika hal ini dibiarkan bukan tidak mungkin akan berpengaruh terhadap konstruk bahasa Indonesia secara umum. Fenomena keseleo lidah ini paling tidak memunculkan beberapa konsekuensi. Pertama, bagi penutur dapat menurunkan kredibilitas penutur atau penulisnya. Bahasa Indonesia memiliki standar yang jelas dan baku baik pada pemakaiannya dalam bahasa tutur (lisan) maupun dalam bahasa tulis.
Kedua, keseleo lidah menyebabkan penggunaan bahasa Indonesia tidak sesuai dengan standar pemakaian bahasa Indonesia baku yang disebut dengan Ejaan yang Disempurnakan (EYD). EYD telah ditetapkan sebagai standar pemakaian bahasa Indonesia yang baku melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 57 Tahun 1972.
Ketiga, mengubah makna kata. Ditimbang dari kelengkapan huruf yang ada pada suatu kata saja keseleo lidah sudah mengubah makna kata, meskipun terkadang audiens yang diajak bicara memahami makna kata yang sebenarnya dari kata yang disampaikan.
Keempat, keseleo lidah dapat berujung pada pembakuan bahasa. Jika kesalahan bahasa tersebut dibiarkan terus-menerus tanpa adanya evaluasi dan upaya mengembalikan pada konteks penggunaan yang benar, lambat laun kesalahan tersebut akan dianggap umum oleh sebagian besar masyarakat. Muncullah apa yang disebut pembenaran massal. Pembenaran massal pada penggunaan bahasa pada akhirnya mewujud dalam bentuk pembakuan bahasa. Penggunaan bahasa yang sebenarnya salah, tetapi karena telah dianggap benar kemudian dilakukan pembakuan melalui konsensus bersama dan dipakai dalam dokumen resmi yang memiliki kekuatan hukum.
Membudayakan Sastra
Fenomena keseleo lidah adalah sebuah contoh dari kurangnya pemahaman masyarakat akan kaidah berbahasa yang baik dan benar. Untuk meminimalisasi dan lebih jauh dapat menghilangkan kesalahan tersebut, perlu dilakukan langkah strategis. Salah satu langkah yang perlu dilakukan adalah melalui jalur pendidikan. Kurikulum pendidikan harus didesain untuk menciptakan pemahaman yang baik atas bahasa dan sastra. Pemahaman yang baik terhadap bahasa dapat diperoleh melalui tradisi berkarya sastra.
Misalnya saja kata “sertifikat” yang tertulis sertipikat. Dalam aturan EYD kata sertifikat adalah kata serapan dari bahasa lain. Penulisannya dalam bahasa Indonesia seharusnya ditulis sertifikat (dengan huruf F), tetapi penulisan dalam dokumen resmi yang memiliki kekuatan hukum seperti sertifikat tanah yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) tertulis dengan kata sertipikat. Akhirnya, penulisan yang diakui resmi dalam sertifikat tanah adalah kata sertifikat dengan huruf P, bukannya huruf F sebagaimana dalam aturan EYD.
Otokritik terhadap praktek pendidikan bahasa dan sastra perlu diberikan. Selama ini di sekolah terdapat mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, tetapi dalam prakteknya muatan sastra sangat minim dalam pelajaran tersebut. Jika pun ada sastra lebih ditekankan pada pemahaman kognisi, bukan pada penghayatan atas substansi. Penekanan pada kognisi menyebabkan pelajar lebih memandangnya sebagai beban belajar karena sifatnya lebih sebagai hafalan daripada penghayatan sastra. Pelajaran yang sifatnya menghafal akan hilang ketika tuntutan terhadap hal itu sudah tidak ada. Selesai ujian semester maka hilanglah semua yang dihafalkan pada semester itu. Untuk itulah ke depan perlu dilakukan penekanan terhadap tradisi berkarya sastra untuk memberikan pemahaman yang utuh atas bahasa, baik bahasa daerah maupun bahasa nasional. Pemahaman yang baik atas bahasa dan sastra dapat meminimalisasi terjadinya fenomena keseleo lidah.
Rubangi Al Hasan, Peminat budaya dan sastra, tinggal di Lombok, NTB
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 24 Desember 2011
No comments:
Post a Comment