- Hang Kafrawi
SEPERTI biasa, setiap kali berkunjung ke tempat kumuh, dia bersua dengan binatang kecil melata yang paling dibenci, lipas. Sebagai seorang yang berpangkat, dan memiliki kekuasaan, lipas, alias coro, alias kecoa, merupakan binatang yang harus dimusnahkan. Maka setiap kali dia bersua dengan lipas, tanpa ampun lagi, dia mengangkat kakinya tinggi-tinggi dan dengan kekuatan penuh, dia pun menginjak lipas itu. Penyet, hancur, bersepailah lipas itu di bawah kakinya.
Dia pun selalu tersenyum setelah melakukan pemusnahan terhadap lipas. “Lipas atau coro atau kecoa, binatang yang berasal dari daerah bawah, harus dimusnahkan. Sekali lagi saya katakan, bahwa yang berasal dari bawah itu kotor, jorok selalu menganggu ketenangan , pemandangan dan harus dimusnahkan,” ujar tokoh itu dengan yakin.
Namun kali ini, ketika sang pejabat itu mengangkat kakinya tinggi-tinggi, hendak membunuh lipas kodung yang paling dia benci, dia mendengar suara minta tolong. Suara itu sayup terdengar. Semua manusia memiliki hati nurani, tidak terkecuali sang pejabat itu. Suara minta tolong menyentuh perasaannya dan kakinya yang diangkat tinggi-tinggi berhenti di udara. Dia melihat ke kanan, ke kiri, ke depan, ke belakang, tapi dia tidak menemukan pemilik suara yang minta tolong itu. Dia kembali memasang pendengaran dengan seksama, suara minta tolong terdengar lagi. Tiba-tiba, matanya mengarah kepada lipas kodung yang berada di bawah kakinya yang sedang diangkat tinggi-tinggi. Dia menurunkan kakinya pelan-pelan, bersamaan dengan itu, kepalanya ikut turun ke bawah untuk memastikan apakah suara minta tolong itu berasal dari lipas kodung yang paling dia benci.
“Apakah kau yang minta tolong?” dia bertanya. Lipas kodung yang telah tersudut oleh ketakutan membenarkan pertanyaan itu. Maka terjadilah dialog antara sang pejabat dengan lipas kodung itu. Sang pejabat sebenarnya tidak percaya bahwa lipas kodung itu bisa berbicara, semakin pejabat itu tidak percaya, semakin kuatlah lipas kodung itu meyakinkan bahwa memang ia bisa bicara. Dialog pun semakin mengerucut tentang masalah-masalah antara pemilik kekuasaan dengan “pemilik” kesengsaraan. Pada akhirnya hati nurani sang pemilik kekuasaan tertimbus rasa benci, dengan yakin, sang penguasa mengangkat kakinya tinggi-tinggi dan menginjak lipas kodung itu sampai lenyet. Kekuasaan tetaplah berkuasa melakukan apa saja.
Cerita di atas merupakan gambaran monolog “Lipas Kodung” adaptasi dari “Coro” karya Putu Wijaya, yang dimainkan oleh Syarifuddin pada acara Malam Apresiasi Teater (Master) mahasiswa Jurusan Teater, Akademi Kesenian Melayu Riau (Rabu, 30/11/2001) di Teater Arena AKMR. “Coro” karya Putu Wijaya, di tangan Syarifuddin menjadi bernuansa lokal daerah Riau yang kental. Syarifuddin lihai mencari padanan kata, sehingga naskah “Coro” Putu Wijaya, hidup di tengah masyarakat Melayu Riau. Sosok Putu Wijaya hilang dalam pemanggungan Syarifuddin, kecuali pada dialog-dialog bernas mengkritisi penguasa ala Putu Wijaya yang masih tetap kelihatan. Inilah keberhasilan Syarif yang patut ditelaah, membawa naskah orang lain menjadi peristiwa tempatan.
Pementasan teater monolog, bukan hal yang gampang untuk dipertunjukan. Pementasan ini memerlukan aktor yang kuat, sehingga cerita yang dibawa “hidup” dan dapat menusuk perasaan penonton. Untuk itulah, seorang aktor harus mampu menyampaikan dialog-dialog dalam naskah menjadi dialog yang komunikatif dengan penonton. Syarifuddin menyadari hal ini, dan dengan kekuatan aktingnya, Syarif menambah idiom-idiom Melayu masuk ke dalam naskah. Selain itu, Syarif juga membangun suasana humor ala Melayu, menjadi bersebati dengan naskah, sehingga terbentuklah akting Syarif bukan akting Putu Wijaya yang terkenal dengan konsep “teror” itu.
Syarifuddin yang memiliki kelenturan tubuh bagus, vokal yang baik dan penjiwaan yang dalam, menciptakan peristiwa yang seakan tidak dibuat-buat. Dialog antara sang penguasa dan lipas kodung mengalir jernih, natural, sehingga penonton terbawa dalam percakapan murni, tanpa curiga bahwa mereka sedang menyaksikan pementasan teater monolog. Kemurnian akting “keseharian” Syarif, memang menjadi kekuatan dalam pementasan ini. Peran penguasa dan menjadi tokoh lipas kodung, terbangun melalui gerak tubuh, penjiwaan dan vokal Syarif. Bagaimana lipas kodung berharap jangan dibunuh, Syarif pun “mengecilkan” tubuhnya di lantai, cemas, ketakutan dan harapan terpancar dari raut “Syarif Lipas” untuk tidak diinjak. Begitu juga ketika penguasa dengan tanpa belas kasihan harus membinasakan makhluk yang berada di bawah dengan kesombongan, Syarif mengubah karakternya dengan pasti.
Kekuatan lain yang menyebabkan pementasan teater monolog “Lipas Kodung” itu berashasil (menurut saya) adalah celetukan-celetukan (improvisasi) yang dilakukan Syarifuddin. Celetukan-celetukan atau improvisasi Syarif yang ketal dengan humor dan menggunakan idiom-idiom Melayu, semakin memperkokoh komunikasi antara aktor dan penonton. Sesekali Syarif mendekati penonton dan mengajak berintraksi dalam cerita yang sedang dibawanya. “Kan begitu, ye tak?” Syarif meyakinkan penonton, dan penonton yang diajak bicara tersenyum sambil meng-iya-kan apa yang dikatakan Syarif.
Dalam pementasan monolog “Lipas Kodung” itu, esensi cerita tidak hilang. Bagaimana nasib rakyat kecil yang disimbolkan dengan lipas, selalu tidak berdaya berhadapan dengan penguasa. Kaum bawah, lipas, menjadi objek yang selalu dipersalahkan karena menciptakan ketidaknyamanan sebuah negeri. Kumuh, jorok, kotor dan merongrong kemapanan yang diciptakan oleh pemegang kekuasaan. Untuk itulah, tanpa ampun harus dimusnahkan. Inilah negeri ini, kemiskinan merupakan penyebab terjadinya tindakan kriminal, kekacauan, kesemerautan, tanpa melihat sumber ‘peristiwa jorok’ itu terjadi. Sadarkah kita bahwa segala yang tidak nyaman ini muncul disebabkan kebijakan dari pemilik kekuasaan? Jalan terbaik untuk menghilangkan “kejorokan” yang diciptakan oleh kaum bawah, bukan dengan memusnahkannya, tapi jadikan mereka sejahtera. Itulah tugas pemilik kuasa.
Pementasan monolog yang berdurasi 45 menit itu, merupakan pementasan terakhir dari 4 karya yang digelarkan pada malam itu. Pementasan pertama, berjudul “Tanpa Judul” yang dibawakan mahasiswa AKMR. Pementasan kedua, berjudul Persimpangan, naskah P Haryanto, yang dibawakan oleh siswa SMK Labor, Pekanbaru. Pementasan ketiga, monolog yang dibawakan oleh Fakhruddin berjudul Episode Daun Kering, dan terakhir monolog “Lipas Kodung” adaptasi dari naskah Putu Wijaya berjudul Coro.
Walaupun empat pementasan teater ini dipegelarkan di gedung yang tidak representatif, dengan lampu seadanya, akustik gedung buruk, namun semangat pekerja teater dari generasi muda Riau terus berkibar. Ini modal dasar untuk terus berkarya, dan teater, walaupun hidup dalam kimiskinan, tetap perkasa dalam karya.***
Hang Kafrawi, pengajar di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya, Unilak. Tinggal di Pekanbaru.
Sumber: Riau Pos, 4 Desember 2011
No comments:
Post a Comment