(Bagian Terakhir dari Dua Tulisan)
-- Dessy Wahyuni
BEBERAPA bentuk hubungan unsur intrinsik yang ditemukan dalam kedua cerita adalah sebagai berikut. Kedua cerpen ini menceritakan tentang seorang yang pemuka agama yang merasa dirinya telah benar melakukan ibadah kepada Tuhan, sehingga ia merasa terpanggil untuk memperbaiki cara beribadah orang-orang yang belum benar melaksanakan tata caranya, khususnya berdoa. Dalam cerpen “Dodolitdodolitdodolibret”, Seno menyuguhkan tokoh Kiplik atau Guru Kiplik sebagai seorang ahli dalam berdoa, yang telah merasa yakin bahwa ia telah mempraktikkan “cara berdoa yang benar”, sehingga ia memperoleh kebahagiaan yang tiada tara. Ia ingin semua orang juga turut merasakan kebahagiaan seperti yang dirasakannya. Untuk itu ia mengajari orang-orang “cara berdoa yang benar”. Sementara, Tolstoy dalam cerpennya “Tiga Pertapa” menghadirkan seorang uskup yang terpanggil oleh rasa kasih Tuhan untuk menjaga dan mengajari umat manusia menurut ajaran Tuhan melalui kitab suci.
Dalam kedua cerita ini terlihat masing-masing pemuka agama tersebut --Guru Kiplik dan uskup-- pergi ke sebuah pulau terpencil. Seno menggambarkan pulau tersebut berada di tengah-tengah sebuah danau yang sangat luas, sedangkan Tolstoy menggambarkan sebuah pulau yang terletak di tengah lautan. Di pulau tersebut, Guru Kiplik mendapati sembilan orang penghuni pulau yang rajin berdoa, namun salah dalam tata caranya di mata Kiplik. Uskup yang dikisahkan Tolstoy mendapati tiga orang pertapa tua yang ingin menyelamatkan jiwa mereka dan berdoa kepada Tuhan. Namun hal yang sama ditemui uskup tersebut, cara berdoa ketiga pertapa itu tidak benar. Selanjutnya, baik Guru Kiplik maupun uskup itu melakukan pembenahan agar penduduk pulau tersebut memperoleh pengetahuan cara berdoa yang benar, dengan mengajari mereka meskipun dengan upaya yang keras (sebab harus mengubah cara berdoa yang telah mereka lakukan bertahun-tahun). Setelah mereka mampu mempraktikkan cara bedoa yang benar menurut Guru Kiplik maupun uskup tersebut, kedua ahli berdoa ini pun pamit dan pergi meninggalkan pulau itu. “Guru Kiplik merasa bersyukur telah berhasil mengajarkan cara berdoa yang benar” (Dodolitdodolitdodolibret, 2011:7), dan uskup “berterima kasih pada Tuhan karena telah mengirimnya untuk mengajari dan membantu orang-orang sebaik itu” (Tolstoy, 2011:55).
Belum jauh perahu (Guru Kiplik) atau kapal (uskup) berlayar meninggalkan pulau, masing-masing mereka dikejutkan oleh kedatangan warga pulau —yang tadinya mereka ajarkan cara berdoa yang benar— mengejar perahu/kapal mereka dengan berlari-lari di atas air. Kesembilan warga pulau terisolir maupun ketiga pertapa tua itu lupa cara berdoa yang benar dan minta diajarkan kembali. Guru Kiplik terpana, matanya terkejap-kejap dan mulutnya menganga. Mungkinkah sembilan penghuni pulau terpencil, yang baru saja diajarinya cara berdoa yang benar itu, telah begitu benar doanya, begitu benar dan sangat benar, sehingga mampu bukan hanya berjalan, tetapi bahkan berlari-lari di atas air? (Dodolitdodolitdodolibret, 2011:7). Sedangkan uskup berkata, “Doa kalian akan didengar Tuhan. Bukan aku yang harus mengajari kalian. Berdoalah untuk kami, para pendosa ini” (Tolstoy, 2011:57).
Menurut Edi Sembiring dalam tulisannya “Mantra ‘Dodolidodolitdodolibret’-nya Seno Gumira Ajidarma Bukan Plagiat” (http://fiksi.kompasiana.com) Tolstoy maupun Seno dalam menuliskan cerpennya terinspirasi pada kisah Yesus yang mengajarkan “doa Bapa kami” yang melarang untuk bertele-tele dalam berdoa (Injil Matius 6: 7-8; Lagipula dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan. Jadi janganlah kamu seperti mereka, karena Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya.) Selanjutnya Tolstoy dan Seno juga terinspirasi dari kisah Yesus yang berjalan di atas air, dan bagaimana Petrus yang mencoba mendekati-Nya hampir tenggelam (Matius 14: 30-31; Tetapi ketika dirasanya tiupan angin, takutlah ia dan mulai tenggelam lalu berteriak, “Tuhan, tolonglah aku!” Segera Yesus mengulurkan tangan-Nya, memegang dia dan berkata, “Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?”).
Pernyataan Edi Sembiring ini sepertinya dapat menegaskan bahwa cerpen “Dodolitdodolitdodolibret” ini berlatar belakang berbagai ajaran agama seperti yang telah diungkapkan Seno dalam catatan referensialnya. Tolstoy secara gamblang menghadirkan kisah tentang trinitas suci yang dianut oleh umat Kristen. Uskup yang menjadi tokoh utama dalam “Tiga Pertapa” dengan jelas mengajarkan “doa Bapa kami” (seperti yang digambarkan Edi Sembiring) kepada tiga pertapa tua di pulau terpencil itu. Begitu pula keberadaan tokoh tiga pertapa yang diciptakan Tolstoy, sangat berkaitan dengan cara berdoa mereka, seperti yang terlihat pada kutipan berikut. “Kami berdoa seperti ini,” pertapa itu menjawab. “Engkau ada tiga, kami ada tiga, maka kasihanilah kami” (Tolstoy, 2011: 52). Sedangkan Guru Kiplik yang dibangun Seno dalam cerpennya hanya mengutarakan bahwa “cara berdoa yang benar” adalah kata-katanya tidak keliru, gerakannya tepat, waktunya terukur, perhatiannya terpusat, dilandasi kepercayaan yang mendalam dan tak tergoyahkan, seolah-olah sedang melakukan sesuatu yang benar, sangat benar, bagaikan tiada lagi yang akan lebih benar.
Seno, seorang sastrawan dari generasi baru di sastra Indonesia ini, menghadirkan cerita yang sederhana tetapi kompleks (menurut Arif Bagus Prasetyo dalam tulisannya “Pelajaran dari Guru Kiplik” sebagai epilog Dodolitdodolitdodolibret). Di dalam cerpen ini terkandung kekayaan makna yang berlapis-lapis.
Menurutnya, penulis produktif kelahiran Boston, Amerika Serikat, 19 Juni 1958 ini menyuguhkan pluralitas makna kebenaran beragama. Lewat tokoh Kiplik, cerpen ini memberi pesan yang kuat bahwa seseorang jangan mudah mengklaim agamanya sebagai agama paling benar dan menganggap sesat agama lain, serta jangan menganggap pemahaman diri agamanya sebagai yang paling benar di antara pemahaman-pemahaman orang lain. Kekuatan doa bukan hanya sekadar kebenaran pelafalan kata-kata dengan ketepatan gerakan dan waktu dalam melakukannya, tetapi perlu dilakukan dengan segenap jiwa dan penyerahan diri sepenuhnya kepada kemahakuasaan Tuhan. Dengan demikian setiap orang diberi kebebasan untuk memilih kebenaran sesuai dengan yang diyakininya. Semua makna yang dibahas Arif tersebut juga terlihat dalam “Tiga Pertapa”.
Setelah kedua cerpen tersebut dibandingkan, ternyata terdapat satu poin yang berbeda. Dalam cerpen “Dodolitdodolitdodolibret”, Seno menggambarkan tokoh Guru Kiplik sebagai sosok yang hanya percaya kepada dunia empiris. Baginya, dunia nyata itu mesti indrawi, dapat diverifikasi oleh panca indra. Ia adalah seseorang yang “sangat sadar sesadar-sadarnya, pembayangan yang bagaimanapun, betapapun masuk akalnya, tidaklah harus berarti akan terwujudkan sebagai kenyataan, dalam pengertian dapat disaksikan dengan mata kepala sendiri” (Dodolitdodolitdodolibret, 2011: 3). Sementara dalam cerpen “Tiga Pertapa”, Tolstoy tidak menggambarkan tokoh uskup yang empiris. Uskup tersebut digambarkan sebagai tokoh agama yang taat beragama yang merasa berkewajiban menyebarkan ajaran Tuhan kepada seluruh umat manusia. Namun ketika melihat ketiga pertapa itu mampu berjalan bahkan berlari di atas air, ia merasa telah menjadi seorang pendosa.
Lalu, dalam hal ini apakah Seno benar-benar telah mengeluarkan segenap kekuatan imajinasi dan wawasan estetikanya dalam mencipta “Dodolitdodolitdodolibret”? Bagaimanakah bentuk horison harapan Seno yang mentransformasi berbagai cerita serupa dengan latar belakang berbagai agama di muka bumi ini (seperti pernyataannya pada keterangan referensial) dalam cerpennya tersebut? Apakah hal ini adaptasi ataukah hanya kebetulan belaka?
Dessy Wahyuni SS MPd, alumni Sastra Inggris Unand dan Pascasarjana Manajemen Pendidikan UNJ. Bekerja sebagai peneliti di Balai Bahasa Provinsi Riau. Selain menulis esai di surat kabar dan jurnal, juga sesekali menulis fiksi. Tinggal di Pekanbaru.
Sumber: Riau Pos, 11 Desember 2011
No comments:
Post a Comment