Friday, December 09, 2011

[Teraju] Dari Centhini, Cendana, Hingga Flash Gordon

-- Andi Nur Aminah

Dana terbesar yang dikeluarkan sang kolektor pernah nyaris mencapai Rp 100 juta untuk sebuah komik!

SECARIK kertas berwarna kuning sedikit lusuh terpajang di dalam etalase kaca. Tulisan tangan di atasnya terlihat begitu halus. Jumlahnya ada beberapa lembar. Lembaran-lembaran surat yang ditulis dengan tinta cina berwarna hitam tersebut adalah tulisan tangan Husein Djajadiningrat.

Husein adalah doktor dan profesor pertama di Indonesia. Dia merupakan keturunan puun Cibeo, Kanekes, Ba duy. Putra Raden Wirasuta ini yang pernah diangkat oleh Sultan Ageng Tirtayasa (1631-1692) menjadi puna ka wan dan prajurit ini lahir pada 8 Desember 1886 di Kramat Watu, Serang.

Husein cukup beruntung memiliki ayah yang berpikiran maju. Ia bisa berseko lah dan mengecap pendidikan Barat yang hanya bisa dinikmati segelintir anak pembesar pribumi di awal abad 20. Selain Husein, sekolah terbatas itu juga dinikmati kakak dan adiknya, Ahmad Djajadiningrat dan Hasan Djajadiningrat.

Namun di antara semua saudaranya, hanya Huseinlah yang berhasil mencapai gelar doktor di Leiden, Belan da. Husein menulis disertasi berjudul Critische Beschouwning van de Sedjarah Banten (Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten).

Sementara kakak Husein, Ahmad, kemudian menjadi seorang bupati di Serang. Sedangkan adiknya, Hasan, cukup dikenal sebagai tokoh Sarekat Islam berpengaruh di Jawa Barat di awal masa pergerakan nasional.

Surat-surat Husein tersebut, menurut Daud, diperolehnya dari seorang fila telis. Ternyata, saat amplop dibuka di dalamnya masih terdapat surat-surat tulisan tangan Husein. Surat tersebut ada yang ditulis Husein di usia 15 ta hun. Surat-surat tersebut berisi korespondensi Husein kepada orang tuanya. Selain itu ada pula surat yang dibuatnya saat ia kuliah di Leiden. Beberapa surat juga berasal dari kolega Husein di Prancis dan Inggris.

Album Soeharto
Koleksi cukup unik lainnya yang dimiliki Daud adalah sebuah album foto yang berisi foto-foto kunjungan Presiden ke Jepang pada 1968. Dalam album berisi puluhan foto tersebut meng gambarkan keramahtamahan yang terjalin antara Kaisar Hirohito dan Soeharto saat melakukan kunjungan kenegaraan.

Dalam foto tersebut terlihat jelas wajah Soeharto masih sangat muda dan didampingi Tien Soearto, istrinya. Beberapa foto terlihat suasana saat Soeharto dan Tien Soeharto turun dari tangga pesawat kepresidenan, suasana makan malam, suasana kunjungan ke beberapa lokasi startegis di Jepang, hingga suasana saat Soeharto dan istri melambaikan tangan dan akan naik ke pesawat yang akan membawa rombongan kepresidenan ke Indonesia.

Album yang menyimpan foto-foto tersebut terlihat unik, dibungkus semacam kain bermotif bunga-bunga kecil berwarna keemasan. Albumnya ini juga orisinal, sangat unik, ujar Daud.

Dari mana Daud memperoleh album tersebut? Percaya atau tidak, ternyata dia mendapatkannya hanya dari seorang anak pendorong gerobak. Ini koleksi yang sangat berharga tentu saja buat keluarga Cendana, ujarnya.

Lawatan Soeharto ke Jepang ini juga akan dijual Daud. Harganya Rp 200 juta. Saat menemukan album ter sebut, Daud cukup kaget. Sementara anak pendorong gerobak yang menyerahkan album itu sama sekali tidak mengetahui siapa yang ada di foto-foto itu.

Album yang baru sekitar tiga bulan melengkapi koleksi Daud itu didapatnya di kawasan Menteng. Dia pun tak tahu dari mana album itu berasal. Namun yang pasti, album tersebut akan bernilai sejarah, minimal bagi keluarga Cendana.

Komik termahal

Seorang kolektor atau hobbies kadang suka melakukan hal-hal yang sulit diterima oleh masyarakat umum. Berapa pun nilai yang dipatok untuk sebuah barang yang menjadi buruan, itu bisa diupayakan.

Sebagai pemburu buku-buku, Daud pun melakukan hal serupa. Menurutnya, ia pernah menghabiskan uang ham pir Rp 100 juta untuk memburu sebuah komik. Komik? Ya, itulah benda termahal yang harus dibayar Daud dari sederet koleksi yang kini dimilikinya.

Komik yang dibayarnya seharga hampir Rp 100 juta itu merupakan kum pulan komik Indonesia. Salah satunya berjudul Mentjari Poetri Hidjau oleh komikus Nasroen AS. Komik-komik itu terbitan periode 1930 hingga 1980-an.

Di Indonesia, komik baru mulai dikenal pada 1930-an, yang bisa ditemukan dalam media-media Belanda, di antaranya De Java Bode dan D'orient. Tokoh komik yang tercipta adalah Flippie Flink atau Flash Gordon.

Kehadiran komik di Indonesia bisa dikategorikan dalam dua bentuk, yak ni komik strip dan buku komik. Komik strip merupakan rangkaian gambar yang berisi cerita dan penerbitannya secara berkala dan teratur. Biasanya muncul di koran-koran dan terbit harian atau mingguan. Kisah yang dihadirkan biasanya bersambung hingga tiga halaman atau lebih. Sedangkan buku komik adalah gambar yang bercerita dan ceritanya bersambung hingga tuntas dalam satu buku.

Daud memiliki kedua jenis koleksi komik itu. Komik Flash Gordon, salah satu komik strip yang dipunyainya. Lembar demi lembar komik tersebut dikumpul menjadi satu dengan bantuan biasanya berupa benang hingga menyerupai buku. Setelah komik ter kumpul lengkap, Daud mulai mengalihkan perhatiannya pada komik-komik asing.

Salah satu koleksi komik itu adalah Flash Gordon. Komik yang belakangan kita kenal setelah dianimasikan ke film kartun dengan judul sama itu berbahasa Belanda dan ditulis oleh Alex Raymond. Selain komik yang hitam putih, beberapa komik terbitan luar negeri juga dimiliki Daud, dan cukup mena rik terlihat karena sudah berwarna.

Koleksi lain yang dibanggakan Daud adalah kumpulan jurnal Parin dra. Jurnal ini adalah media yang didirikan khusus untuk menyuarakan Partai Indonesia Raya pada 1935. Sejumlah nama-nama tokoh yang ikut ber gabung dengan Parindra, antara lain, Woeryaningrat, Panji Soeroso, dan Raden Mas Margono Djojohadikusumo. Nama yang terakhir tak lain adalah kakek Prabowo Subianto, yang kini mendirikan partai Gerindra.

Beberapa majalah mode tahun 1930-an, iklan-iklan koran, termasuk koran Suluh Indonesia edisi perdana pun dimilikinya. Tentu saja, dengan kertas yang semuanya hampir menguning termakan usia. Daud mengaku cukup tersita perhatiannya untuk menjaga koleksinya terutama perawatan. Dan perawatan naskah-naskah lama inilah biaya termahal yang harus ditebusnya.

Berburu Buku-Buku Langka

Ada kepuasan tersendiri yang dirasakan Daud saat berhasil memboyong naskah kuno atau buku-buku langka. Tak jarang, pria berkulit agak gelap ini berburu ke daerah hingga keluar negeri. Daud bisa mengeluar kan dana berpuluh-puluh juta hingga ratusan juta.

Selain berburu berbagai literatur, sehari-hari sarjana teknik sipil ini juga kerap bergelut di proyek-proyek pembangunan perumahan. Ketertarikannya pada naskah kuno dilakoninya sejak sepuluh tahun yang lalu. Menurutnya, perhatian negara terhadap naskah-naskah kuno yang bernilai sejarah tinggi memang kurang. Namun, dia tak ingin menyalahkan negara atau siapa pun. Saya ingin mengapresiasi saja. Kalau saya bisa, saya saja yang mengapresiasikannya, kata Daud.

Untuk berburu berbagai literatur langka dan kuno, Daud mengaku memang menganggarkan bujet khusus. Meski tak mau menyebutkan jumlahnya, yang pasti bujet utamanya adalah untuk membeli buku.

Menemukan naskah-naskah yang kini melengkapi koleksinya bisa di mana saja. Selain berburu ke berbagai wilayah, kaki lima, pasar-pasar loak, pemulung yang menggunakan gerobak, atau ajang pameran, tak jarang Daud dipanggil ke rumah-rumah untuk mengambil buku. Paling sering ka lau ada orang yang mau pindah rumah. Semua per abotan sudah diangkut, buku-buku kadang disisakan. Nah, saya bagian yang mem bersihkannya, ujar Daud.

Pada saat menyortir buku-buku, di situlah biasa Daud mendapatkan koleksi yang kadang dia pun tidak tahu apa itu. Nama Daud agaknya sudah mulai dikenal sebagai kolektor buku-buku langka. Ia mengaku pernah mendapat hibah buku dari keluarga pakar hukum internasional, Sidargo Gautama atau Gouw Giok Siong.

Koleksi dari pakar hukum UI tersebut baru diperolehnya sekitar dua bulan lalu. Daud datang ke rumah Gouw yang akan dijual, yang berlokasi tak jauh dari RS Pertamina Pusat. Dari situ, Daud mendapatkan berbagai buku-buku tentang hokum yang kebanyakan berbahasa Belanda. Ada satu buku yang panjangnya satu meter. Wah, mungkin di Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi pun tidak punya buku itu, ujarnya.

Koleksi buku-buku militer juga pernah dia dapatkan dari rumah seorang mantan pangdam Mulawarman di bilangan Kuningan. Buku-buku militer tersebut diborong Daud dengan harga miring, tentu saja.

Kini, ribuan koleksi hasil buruan Daud disimpan di dua perpustakaan pribadi miliknya di kawasan Serpong, Tanggerang. Sebuah ruko berlantai tiga dan bangunan rumahnya sudah menjadi perpustakaan. Salah satu kamar miliknya dikhususkan menyimpan koleksi literatur Tionghoa. Dari semua buku yang dicarinya, Daud memang mengumpulkan dan menjualnya kembali, kecuali beragam literatur Tionghoa. Karena khusus yang satu ini, Daud memiliki obsesi untuk membuat museum sendiri. andi nur aminah

Sumber: Republika, Jumat, 9 Desember 2011

No comments: