-- Andi Nur Aminah
Sebagai ensiklopedia, naskah dalam Centhini berisi berbagai pengetahuan dan kehidupan masyakat Jawa yang disajikan dalam bentuk macapat.
SEBUAH tempat makan sederhana menyajikan menu yang unik. Tongseng bajing mlumpat atau tongseng bajing melompat. Biasanya, jenis masakan ini, umumnya menggunakan daging kambing yang dimasak menggunakan kuah berwarna kuning kecokelatan. Rasanya cukup bisa menghangatkan badan dengan perpaduan rempah, seperti kunyit, jahe, bawang merah, bawang putih, dan merica.
Tapi, Waroeng Dhahar Pulo Segaran, yang ada di kawasan Sewon, Bantul, Yogyakarta, menyajikannya lain. Seperti namanya, masakan ini terbuat dari bajing atau tupai. “Saya pernah mencobanya, disarankan oleh teman ke sana karena makanan ini sebagai obat,” ujar Ika Saraswati, seorang ibu asal Bandung. Ibu dua anak ini memiliki penyakit asma yang cukup berat. Menurut Ika, informasi tentang hidangan tongseng tupai ini diperolehnya dari rekannya. “Katanya bagus untuk mengurangi sesak dan bisa menyembuhkan asma,” ujar dia.
Menu masakan tongseng tupai adalah salah satu racikan makanan yang diambil dari naskah kuno Serat Chentini. Sewaktu mengetahui informasi tersebut, Ika pun makin bersemangat berburu kuliner unik itu. “Kalau memang racikan masakannya diambil dari Serat Centhini, saya yakin ampuh.
Orang-orang dulu kan kuat-kuat dan ini pasti resep turun temurun,” ujarnya. Entah karena keyakinannya yang begitu besar dengan efek memakan tongseng tupai itu, sesak napas yang langganan menyerang Ika perlahan berkurang. Dan, setiap ada kesempatan, Ika yang bermukim di Solo, kerap datang ke Waroeng Dhahar Pulo Segaran untuk makan tongseng tupai.
Serat Centhini atau lengkapnya Centhini Tambangraras-Amongraga adalah ensiklopedia yang berisikan berbagai hal tentang dunia masyarakat Jawa. Dalam berbagai literatur disebutkan, Serat Centhini mulai ditulis pada 1814 hingga 1823 oleh Putera Mahkota Kerajaan Surakarta, Adipati Anom Amangkunagara III (Sunan Paku Buwana V). Ini merupakan sebuah karya sastra besar di dunia.
Setelah menjadi Raja Surakarta, Sunan Paku Buwana V mengutus tiga pujangga keraton, yaitu Ranggasutrasna, Yasadipura II (Ranggawarsita I), dan Sastradipura untuk meneruskan membuat cerita tentang tanah Jawa melalui tembang-tembang Jawa.
Sebagai ensiklopedia, naskah dalam Centhini berisi berbagai macam pengetahuan dan kehidupan masyarakat Jawa. Di antaranya, tentang agama, sastra, situs, primbon, keris, obat-obatan, resep masakan, juga seks. Kitab ini bahkan lebih banyak dikenali khalayak sebagai kitab ‘kamasutra Jawa’. Salinan kitab Serat Centhini, yang pasti ditulis menggunakan huruf Jawa kuno, merupakan kesusastraan Jawa yang ditulis dalam bentuk macapat.
Yang dimaksud macapat adalah tembang Jawa yang diiringi irama tertentu. Jumlah suku katanya pun tertentu, memiliki akhir kata tertentu dalam satu bait tembang. Tembang macapat ini sangat popular merefleksikan suatu peristiwa melalui tembang.
Di beberapa daerah, macapat dikenali pula namun dengan istilah yang lain. Tembang berisikan puisi berirama ini bisa ditemukan pada masyarakat di Bali, Sa sak, Madura, Sunda, dan beberapa wila yah di Sumatra, seperti di Palembang dan Banjarmasin. Biasanya, diartikan sebagai membaca empat-empat karena untuk membacanya terjalin tiap suku empat-empat. Kisah inti dari kitab ini menceritakan tentang perjalanan Jayengresmi atau lebih dikenal sebagai Syekh Amongraga, putra Sunan Giri yang termasyhur sebagai manusia unggul. Tokoh Jayengresmi atau Amongraga mewakili berbagai sisi perilaku dan watak manusia.
Jayengresmi adalah tokoh yang penuh dengan sisi kekhawatiran, kecemasan, dan keingintahuan. Di sisi lain, saat menjadi Amongraga, ia memiliki kekuatan, kemampuan berpikir, mencintai, menghamba pada Tuhannya, bahkan juga mencoba mencapai kesempurnaan sebagai manusia yang mengalahkan nafsunya sendiri.
Dalam salah satu bagian kitab tersebut dikisahkan dalam pelariannya mencari adik-adiknya, Jayengresmi yang telah berubah nama menjadi Amongraga dihadapkan pada pencarian akan dirinya sendiri. Pada bagian lainnya, Amongraga pun bertemu dan jatuh cinta pada perempuan cantik bernama Tembangraras, putri seorang Kyai. Setelah menikahi Tembangraras, Amongraga banyak memberikan wejangan pada istrinya yang selalu diikuti oleh Centhini, pembantu setianya.
Adalah Elizabeth D Inandiak, penyair Prancis yang juga mantan wartawan yang cukup berjasa menerjemahkan Serat Centhini. Pada 1999, Elizabeth mulai menerjemahkan Centhini dengan bantuan murid rekannya, PJ Zoetmulder, yakni Sunaryati Sutarto, yang piawai berbahasa Jawa klasik.
Ia kemudian menyadur naskah tersebut ke dalam bahasa Perancis yang diberi judul Les Chants de lile a dormer debout le Livre de Centhini. Buku tersebut terbit pada 2002. Setelah memperoleh penghargaan Prix de La Francophonic pada 2003, Elizabeth kemudian mengalihbahasakan karyanya ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Centhini, Kekasih yang Tersembunyi yang diterbitkan pada Juli 2008.
Saat ini, naskah Serat Centhini sudah mulai diterjemahkan ataupun disadur ke dalam bahasa Indonesia. Sunardian Wirodono termasuk salah satu yang menggeluti naskah-naskah Centhini yang kemudian disadurnya dalam bentuk buku. Sunardian, pada April lalu, telah meluncurkan terjemahan Serat Centhini yang dikemasnya dalam judul Serat Centhini Dwi Lingua.
Tak ada yang menyangsikan tingginya peradaban Jawa kuno di zaman terciptanya karya sastra nan indah dalam Serat Centhini. Lantas, pada sebuah pameran buku yang digelar baru-baru ini, seorang kurator dan kolektor buku-buku kuno, Daud, mengaku memiliki salinan naskah kuno Serat Centhini. Naskah kuno tersebut ditemukannya pada 2006 dari seorang purnawirawan yang bermukim di kawasan Menteng. Setelah menyimpan dan merawatnya selama lima tahun, kini Daud berniat menjual naskah tersebut dengan harga Rp 5 miliar.
Mahal? Beragam pendapat bermunculan. Menurut kolektor buku, Andriani Primardiana, jika ditinjau dari segi keilmuwan dan tingginya nilai budaya dari karya pujangga yang telah menulisnya sejak berabad-abad silam, harga Rp 5 miliar adalah wajar. Tidak terlalu mahal untuk sebuah karya yang sangat luar biasa seperti Serat Centhini yang mengandung pengetahuan dan karya seni, Rp 5 miliar itu sangat murah, ujarnya.
Sementara itu, koordinator Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (Madya), Joe Marbun mengigatkan, terkait naskah Serta Centhini sebagai salah satu warisan budaya, merupakan warisan yang dilindungi UU No 11/2010 tentang cagar budaya. Sesuai dengan UU tersebut, maka warisan budaya melalui proses penetapan bisa dimiliki individu atau kelompok.
Sesuai UU tersebut, memang dimungkinkan terjadi proses jual beli selama hal itu dilakukan untuk kelestarian warisan budaya tersebut dan tidak dibawa keluar wilayah NKRI. Artinya, negara sebagai regulator terciptanya proses jual beli tersebut, ujarnya.
Dalam UU Cagar budaya, kata Joe, juga disebutkan bahwa proses jual-beli, diprioritaskan pertama kali kepada pihak pemerintah. Apalagi, yang berkaitan dengan warisan budaya yang sangat penting.
Kepala Balai Bahasa, Sugiyono, mengatakan, upaya penyelamatan terhadap naskah-naskah kuno yang dimiliki secara pribadi oleh masyarakat sudah dilakukan pemerintah. Hanya saja, kata Sugiyono, uang negara terbatas untuk membeli naskah kuno, contohnya Serat Centhini yang dibandrol Daud dengan harga Rp 5 miliar.
Sugiyono pun mengatakan, salinan naskah Serat Centhini saat ini ada tersimpan di Solo dan Yogyakarta. Balai Bahasa sendiri, kata dia, hanya memiliki sadurannya.
Sebagai naskah kuno yang kerap dipakai sebagai referensi sejarah oleh akademisi untuk mengungkap banyak pengetahuan dari berbagai perspektif, Joe mengatakan, adanya patokan harga yang diberikan oleh kolektor terhadap naskah kuno Serat Centhini, merupakan ujian sekaligus kritik kepada berbagai pihak. Terutama kepada pemerintah agar lebih proaktif melihat permasalahan seputar warisan budaya yang sangat kompleks.
Cerita di Balik Rp 5 M Serat Centhini
Terobsesi membangun museum pribadi berisi literatur Tionghoa. Itulah keinginan Daud, kurator dan kolektor buku-buku langka, yang kini me mi liki naskah Serat Centhini. Di tengah hiruk pikuk pameran buku 2011 di Gelora Bung Karno, beberapa waktu lalu, stan Samudra miliknya cukup menarik minat pengunjung.
Stan Samudra menyediakan cukup banyak buku-buku langka. Warna-warna kertasnya sudah mulai menguning dan aroma khas buku tua cukup menggelitik hidung. Beberapa buku diberi sampul plastik lagi. Tapi, di antara buku-buku yang mulai menguning itu ada juga terselip buku-buku baru terbitan medio 2000-an.
Di salah satu pojok ruangan, ada lagi tulisan yang cukup mencolok. Di atas kertas berwarna kuning, tertera : Tan Malaka, Bapak Republika Indonesia, Rp 150 juta; di atas kertas berwarna merah, tertera: Album Foto Orisinil Kunjungan Presiden Soeharto ke Jepang 1968, Rp 200 juta. Dan, di atas kertas berwarna hitam tertera: gSerat Centhini, Rp 5 Miliar!
Harga fantastis untuk sebuah buku. Daud memiliki alasan tersendiri, membandrol buku Serat Centhini ini seharga dengan mobil sedan supersport keluaran Inggris, Bentley Continental GT, keluaran terbaru. Demi membangun museum pribadi, itulah alasannya. Menurut Daud, koleksi literatur Tionghoa miliknya sudah cukup banyak. Beragam jenis buku, majalah, surat kabar, atau cetakan lainnya yang berbau Tionghoa sudah dikumpulkannya lebih dari 10 tahun lalu. Koleksi-koleksi ini tidak saya jual, justru saya yang membelinya, kata Daud.
Diakuinya, butuh anggaran tak sedikit untuk memenuhi obsesinya itu. Karena itu, jika Serat Centhini yang disimpannya itu akhirnya berpindah tangan dengan harga Rp 5 miliar, hasil penjualannya akan dipakai untuk membangun museum pribadi, melengkapi koleksi-koleksi literatur Tionghoanya dan tentu saja pemeliharaannya.
Ayah tiga putra ini memilih literatur Tionghoa karena menilai belum banyak orang yang fokus menyimpan dan mengumpulkan literatur Tionghoa. gSaya tidak muluk-muluk, hanya ingin suatu hari kelak, anak-anak kita jika ingin tahu banyak tentang Tionghoa dengan mudah mendapatkannya. Banyak hal yang bisa kita pelajari tentang Tionghoa ini, bahkan sejarah keberadaan kita di Indonesia pun masih terkait ke sana. Apalagi, kata pepatah, tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina, ujar Daud.
Menurutnya, pada 2010 lalu, ia pernah dihubungi oleh perwakilan dari Dinas Purbakala Jakarta yang ingin membeli Serat Centhini. Ketika itu, naskah tersebut masih dijual dengan harga Rp 3 miliar. Namun, karena kendala pendanaan, transaksi antara Daud dan pihak resmi negara yang bertugas menyelamatkan naskah-naskah kuno itu tidak terjadi.
Sejumlah Balai Lelang juga pernah mendatangi Daud untuk melihat Serat Centhini miliknya. Namun, semuanya mundur teratur mendengar penawaran harga yang dipatok Daud.
Naskah kuno salinan Serat Centhini diperoleh Daud pada 2006 lalu. Ia mengaku membelinya dari seorang yang tinggal di kawasan Menteng. Awalnya, Daud sendiri tak tahu apa itu Centhini. Dia hanya melihat naskahyang sudah sedikit lusuh tersebut bertuliskan bahasa Jawa kuno. Ia lantas menunjukkan buku itu pada seorang kawan yang mengerti bahasa Jawa. Saat diberi tahu bahwa itu adalah Serat Centhini, Daud pun terkejut bercampur senang.
Naskah yang diperoleh itu diyakini Daud sebagai salah satu dari tiga salinan naskah kuno Serat Centhiniyang ada di dunia. Di dunia ini hanya ada tiga, satu di Keraton Solo, satu di Keraton Yogyakarta, dan satunya ada pada saya, ujar lelaki jebolan teknik sipil ini.
Semakin ke depan, naskah ini akan semakin tinggi nilainya. Soal harga, Daud mengaku mematok harga berdasarkan survei nilai sebuah buku yang sudah dilakoninya selama sepuluh tahun lebih. Menurutnya, di Indonesia tak ada lembaga yang memiliki otoritas menentukan harga buku, maka ia menentukannya sendiri.
Daud yakin, harga yang dipasangnya untuk naskah sekelas Serat Centhini, sudah selayaknya. Kolektor filatelis saja, kata Daud, harganya bisa lebih mahal daripada harga buku yang dibandrolnya. Kalau tidak laku dengan harga itu, ya tidak apa-apa. Saya simpan saja, ujarnya enteng.
Jika tahun lalu dia memasang harga Rp 3 miliar dan tak laku, tahun ini mematok harga Rp 5 miliar dan juga belum laku, maka tahun depan dan seterusnya, nilai naskah ini akan semakin mahal. Karena sebagai sebuah naskah kuno, semakin tua usia nya, semakin tinggi pula nilainya.
Sumber: Republika, Jumat, 9 Desember 2011
No comments:
Post a Comment