Sunday, December 18, 2011

Membudayakan Menulis di Tengah Masyarakat yang “Tidak Membaca”

-- Joni Lis Efendi

SANGAT beralasan apa yang dirisaukan oleh Taufik Ismail, seorang penyair Angkatan 66, yang mengatakan masyarakat kita buta membaca dan lumpuh menulis. Padahal melihat dari perkembangan literasi dari zaman Balai Bahasa dan Orde Lama, budaya membaca di masyarakat ini justru mengalami penurunan pada era Orde Baru sampai masa Reformasi sekarang ini.

Salah satu faktor yang disayangkan adalah dimatikannya kewajiban membaca 25 buku dan mengarang 40 jam setahun bagi murid-murid SMA, yang terjadi sejak berakhirnya sistem pendidikan AMS (setingkat SMA di zaman Belanda). Kurikulum pendidikan saat ini yang tidak menganggap membaca dan menulis sebagai pelajaran penting adalah akar penyebab rendahnya minat membaca masyarakat kita.

Berapa banyak masyarakat kita membeli buku setiap tahun, rata-rata tidak sampai 1 buku yang dibeli per kapita per tahun dari 240 juta penduduk Indonesia. Jumlah ini ini bisa dikonversikan antara jumlah penerbit, banyaknya judul buku baru setiap tahun dan jumlah eksemplar buku yang diterbitkan.

Dari data Perpustakaan Nasional jumlah judul buku yang diterbitkan setiap tahun hanya sekitar 10 ribu sampai 15 ribu judul dari sekitar 500 penerbit. Anggap rata-rata setiap judul diterbitkan 5 ribu eksemplar. Paling banyak setiap tahun hanya ada 75 juta eksemplar buku, jauh lebih sedikit dari jumlah penduduk Indonesia saat ini.

Lalu bagaimana dengan minat membaca koran dan majalah masyarakat kita? Perbandingan 1 koran dibaca oleh 5 orang, dan hitungan kasarnya tiras koran di Indonesia sekitar 5 juta eksemplar setiap hari. Jadi setiap hari masyarakat kita yang membaca koran hanya 25 juta orang, lalu bandingkan dengan total jumlah penduduk negara ini. Sungguh, angkanya masih di bawah rata-rata standar PBB untuk jumlah buku yang dibeli setiap tahun dan perbandingan koran dengan jumlah pembacanya.

Keterkaitan membaca dengan menulis sama seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Semua pembaca mungkin bukanlah penulis, tapi setiap penulis pastinya adalah pembaca. Karena sangat mustahil bagi seorang penulis tapi tidak membaca. Tentunya ini akan mempengaruhi proses kreatif kepenulisannya. Keterkaitan dan korelasi antara membaca dan menulis sudah bisa kita lacak hubungannya. Namun kebalikannya, bagaimana jika membudayakan menulis di tengah masyarakat yang tidak membaca? Inilah yang menjadi bahan cermatan dalam tulisan ini.

Sekarang kita telisik dahulu bagaimana “napas” kepenulisan di tanah air, yang hal ini sangat erat kaitannya dengan sistem pendidikan, kesadaran masyarakat dan kondisi lingkungan yang mendukung munculnya minat menulis tersebut. Untuk beberapa dekade belakangan ini, ada yang salah dalam pembelajaran Bahasa Indonesia dan sastra di sekolah yang mana siswa hanya dijejali dengan nama-nama sastrawan dan judul karyanya, yang semua itu bersifat hafalan. Siswa hanya diminta untuk bisa menjawab soal-soal ujian multychoice (pilihan ganda). Minim apresiasi sastra, terbatas penilaian terhadap karya-karya yang mereka tulis sendiri. Padahal dari bangku sekolah inilah, seharusnya pemuda kita sejak dini diperkenalkan dengan membaca sastra dan belajar menulis karya sastra yang baik.

Hal ini semakin diperburuk dengan rendahnya kemampuan membaca dan menulis dari guru-guru bahasa Indonesia. Para guru tersebut lebih disibukkan dengan pembuatan bahan pelajaran, lembaran evaluasi siswa, ikut pelatihan ini itu, pada akhir-akhir tahun ajaran direpotkan dengan les tambahan untuk pemantapan nilai bahasa Indonesia para siswa kalau tidak mau sekolah mereka tercoreng namanya gara-gara banyak siswanya tidak lulus UN. Suasana yang demikian tidak bersahabat itulah menyebabkan dangkalnya pembelajaran menulis di sekolah. Lagi pula, menulis bukanlah poin penilaian yang diujikan pada UN. Buat apa repot, toh tak ada pentingnya.

Jangan heran dengan sistem pengujian yang semuanya pilihan ganda itu menumpulkan kreativitas dan analisa siswa. Semuanya disandarkan kepada kemampuan hafalan, yang itu tidak lama bertahan di kepala. Tidak heran jika kemampuan daya saing SDM lulusan perguruan tinggi di negeri ini sangat rendah. Bahkan, BPS mencatat bahwa penyerapan lulusan perguruan tinggi di dunia kerja hanya 6 persen. Sangat rendah dibandingkan dengan mereka yang hanya tamatan SD, yang tingkat penyerapannya lebih dari 70 persen. Mungkin pekerja yang tamatan SD itu cuma mengandalkan otot yang tidak butuh keahlian dan keterampilan khusus. Sedangkan yang bergelar sarjana tentu yang diutamakan adalah skil atau keahliannya. Keahlian seseorang sangat berhubungan dengan tingkat kreativitas yang dimilikinya serta kemampuan analisis yang mendalam sehingga mampu memberikan solusi yang tepat untuk setiap masalah yang dihadapi.

Sangat berbeda kondisinya di negara maju yang menekankan bahwa kemampuan membaca dan menulis adalah sesuatu yang sangat menentukan. Karena membaca dan menulis adalah dua kemampuan dasar yang mutlak dimiliki oleh seorang profesional. Sedangkan matematika, fisika, kimia, biologi, teknik dan sebagainya hanya alat bantu yang dipakai sesuai dengan kebutuhan masing-masing bidangnya. Anehnya lagi, pendidikan kita lebih mengutamakan penguasaan secara “mati-matian” terhadap alat bantu ini ketimbang memperkuat kemampuan dasar siswa. Mungkin Anda merasa aneh dan agak geli ketika mendengar dalam kurikulum di negara ini ada pelajaran “membaca cepat” dan “menulis 24 jam” seminggu.

Namun itu bukanlah sesuatu yang mengherankan apalagi menggelikan di negara seperti Selandia Baru, Jepang, Korea Selatan, Jerman dan beberapa negara maju lainnya. Bahkan di Selandia Baru, yang merupakan salah satu sistem pendidikan terbaik di dunia, malahan mewajibkan pelajaran membaca dan menulis sekitar 50 persen dari seluruh jam pelajaran. Bandingkan dengan negara kita, yang cuma fokus pada nilai UN yang lebih dari 5,5. Padahal angka-angka tersebut tidak terlalu berguna di dunia kerja nanti.

Pada prinsipnya, menulis adalah satu dari empat skil atau keterampilan dasar komunikasi, selain itu ada keterampilan berbicara, membaca dan mendengar. Karena itulah, menulis menjadi sangat penting untuk meningkatkan kemampuan komunikasi seseorang. Dalam berbagai aspek kehidupan dan terutama di dunia kerja, kemampuan menulis sangat dituntut. Mereka yang memiliki kemampuan menulis yang baik, biasanya selalu kelihatan lebih menonjol dibandingkan dengan yang lainnya. Menulis telah terbukti secara ilmiah mampu meningkatkan kecerdasan pada anak-anak terutama kecerdasan berbahasa dan kecerdasan intra-personalnya.

Walau akhir-akhir ini banyak bermunculan penulis muda, namun itu tidak berangkat dari basik sekolah. Mereka lahir dari sejumlah komunitas penulisan yang sejak tahun 90-an marak bermunculan di Tanah Air. Sebagian besar dari mereka berangkat dari hobi. Bukan karena adanya pembinaan dan pendampingan secara kontiniu. Semacam bakat alam yang kemudian terasah di komunitas penulisan, sekolah-sekolah menulis, pelatihan dan seminar-seminar menulis. Jumlahnya pun fluktuatif seiringan dengan tren dan denyut komersialisasi pasar yang diseting oleh penerbit.

Kalau masyarakat kita sangat rendah minatnya membeli buku dan koran, sangat bertolak belakang dengan animo mereka terhadap kemajuan teknologi informatika, terkhusus moda komunikasi tercanggih saat ini handphone (HP) dan aktivitas di dunia maya seperti jejaring sosial. HP saat ini bukan hanya terbatas kebutuhan untuk mempermudah komunikasi tapi justru menjadi bagian dari gaya hidup. Menulis surat pun menjadi benar-benar tidak populer di masyarakat kita yang tercerabut dengan pesan singkat SMS dari benda ajaib HP tersebut. Demikian juga dengan meningkat pesatnya pengguna internet yang terjaring dalam jejaring sosial seperti Facebook, Twitter dan Blog. Bahkan, jumlah pemilik akun Facebook di Indonesia sudah mencapai 40 juta orang sedangkan Twitter sudah mendekati angka 30 juta orang. Namun media canggih ini belum mampu sepenuhnya menggantikan buku dan koran dalam upaya mendongkrak minat membaca dan menulis masyarakat Indonesia.

Berharap pada pemerintah untuk mengubah kurikulum yang lebih akomodatif untuk meningkatkan budaya baca dan tulis seperti bukan untuk saat ini. Masyarakat yang sadar akan arti pentingnya baca dan tulis bisa lebih proaktif untuk menumbuhkan kesadaran ini terutama bagi anak-anak muda. Komunitas menulis bisa menjadi salah satu wadah untuk mengembangkan kemampuan menulis anggotanya yang secara beriringan akan memotivasi anggotanya untuk banyak membaca sebagai langkah awal untuk bisa menulis yang lebih baik.

Keberadaan komunitas menulis ini untuk saat ini sudah memberikan pengaruh yang diperhitungkan karena sudah berhasil melahirkan banyak penulis, yang secara beriringan juga mampu meningkatkan gairah penerbitan buku di Tanah Air. Sekarang ini ada kecenderungan penerbit membidik komunitas menulis sebagai lahan pasar untuk buku-buku yang mereka terbitkan. Prinsip mutualisme yang sama-sama untung seperti ini diharapkan mampu memberikan pengaruh yang positif bagi budaya menulis di tengah masyarakat kita.


Joni Lis Efendi
, penulis dan penikmat sastra, berdomisili di Pekanbaru.

Sumber: Riau Pos, 18 Desember 2011

No comments: