Friday, December 09, 2011

[Teraju] Menuju Era Naskah Digital

-- Andi Nur Aminah

Dengan menjadikan naskah kuno dalam format digital, naskah akan lebih terjaga dari kemungkinan hancur atau rusak.


PRIA berkulit hitam itu bernama Abdelkader Haidara. Dia termasuk salah satu manusia yang beruntung. Meski hidup di zaman modern seperti saat ini, tapi dia bisa menembus lorong waktu, mengenali zaman yang sangat jauh berbeda, berabadabad silam.

Haidara, pria Mali dari Afrika, adalah pemilik salah satu naskah yang paling tua, sebuah Alquran dari abad ke-13. Nas -kahnya ditulis di atas kulit rusa. Berabadabad silam, kota kelahirannya, Timbuktu, merupakan pusat ilmu pengetahuan Islam. Bersama naskah yang dimiliki Haidara, ada sekitar 100 ribu naskah kuno lainnya yang menjadi saksi sejarah yang menceritakan kemasyhuran kotanya itu.

Dari mana dia tahu? Semuanya terpatri dalam naskah kuno yang menjadi harta turun-temurun keluarganya. Naskah itu diwariskan ayahnya bersama sembilan ribu naskah lain. Itu adalah koleksi terbesar yang dimiliki keluarga Muslim di Mali ini. Beberapa keluarga juga memiliki warisan naskah-naskah kuno, namun tak sebanyak milik Haidara.

Ia kemudian menawarkan masyarakat umum untuk bisa mengakses naskah kuno itu, sebuah tren baru di negara tersebut. Haidara juga mengompori pemilik pribadi naskah kuno untuk tidak menyerahkan milik mereka yang berharga itu kepada negara. Menurutnya, keluargalah penjaga terbaik warisan intelektualnya.

Beberapa tahun berlalu, pada 1997 seorang peneliti naskah kuno, warga Amerika berkulit hitam Henry Louis Gates, datang dan melihat koleksi naskah kuno Haidara. Dari Gateslah akhirnya diperkenalkan teknologi digital untuk menyimpan naskah-naskah kunonya.

Digitalisasi naskah kuno yang dilakukan terhadap naskah kuno warisan keluarga Haidara dilakukan terkait masalah penjagaan dan pelestariannya. Kini, Haidara sudah menyimpan berbagai koleksinya dalam bentuk digital di perpustakaan yang mengabadikan nama ayahnya, Mamma Haidara.

Di beberapa negara sebelumnya, digitalisasi naskah kuno dilakukan dengan teknik scanner. Namun, di perpustakaan Haidara, digitalisasi dilakukan dengan cara difoto secara digital. Cara ini dinilai lebih berhati-hati daripada cara sebelumnya.

Metode digitalisasi naskah kuno ini memang sangat membantu untuk penyelamatan dan pemeliharaan naskah kuno. Berkat digitalkannya Dead Sea Scroll atau Naskah Laut Mati yang ditemukan antara 1947 hingga 1956 di Israel, salah satu naskah Injil tertua di dunia itu kini bisa dibaca oleh seluruh masyarakat dunia secara online.

Naskah Laut Mati menyimpan 972 teks, termasuk teks-teks dari Kitab Suci Ibrani. Sistem digital ini akan sangat memudahkan setiap orang yang ingin meneliti manuskrip-manuskrip tersebut.

Saking canggihnya teknologi yang digunakan, naskah ini bisa diakses dengan tampilan resolusi 1.200 megapiksel. Tampil an naskah yang dihasilkan sangat tajam. Bahkan, serat dan tekstur kulit he wan yang ada di naskah asli bisa terlihat. Untuk digitalisasi naskah ini, Museum Israel menggandeng google dengan alat yang memungkinkan siapa pun bisa mengakses seluruh naskah dan bisa men-zoom-nya.

Naskah ini memang sangat mudah terkoyak. Karena itu, saat proses digitalisasi dilakukan, petugas museum pun harus memutar display naskah untuk menghinda ri kerusakan akibat berlebihnya cahaya. Tentu saja, dengan usia yang sudah sangat uzur, naskah-naskah tersebut proses digitalisasinya dilakukan ekstra hati-hati.

Digitalisasi di Indonesia
Proses mendigitalkan naskah-naskah kuno juga sudah mulai merambah Indonesia. Pada 2007, rencana digitalisasi naskah kuno sudah dilakukan dan pada 2008 pemerintah menyediakan dana digitalisasi naskah kuno sebesar Rp 650 juta.

Pelaksanaan digitalisasi naskah kuno dilakukan di Perpustakaan Nasional terhadap 9.000 naskah kuno. Sebetulnya, Perpustakaan Nasional memiliki sekitar 10 ribu naskah kuno. Namun, yang bisa diubah ke dalam bentuk digital hanya sekitar sembilan ribu naskah. Pasalnya, ada beberapa koleksi naskah kuno maupun manuskrip yang bentuknya bukan lembaran. Contohnya, ada aksara yang terukir pada benda-benda, seperti kayu ataupun kulit kayunya.

Mendigitalkan naskah-naskah kuno yang sudah termakan usia memang sangat penting. Naskah yang sudah tua, lapuk, dan mudah hancur perlu dijaga jangan sampai fisiknya rusak. Upaya yang dilakukan Perpustakaan Nasional menjadikan naskah kuno ke bentuk digital diprioritaskan pada naskah-naskah yang kerusakannya sudah sangat parah.

Koleksi naskah kuno yang tersimpan di Perpustakaan Nasional ada yang usianya sudah delapan abad. Naskah-naskah tersebut dihimpun dari berbagai daerah di nusantara ini. Ada beberapa naskah yang bernilai tinggi dan penting. Sebut saja naskah Nagarakartagama yang ditulis Mpu Prapanca. Naskah ini menggambarkan suasana Keraton Majapahit pada masa kejayaan Hayam Wuruk.

Ada pula naskah La Galigo, sebuah epos yang menceritakan tentang proses penciptaan manusia yang berasal dari Bugis. Naskah asli La Galigo saat ini tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Sementara, yang menjadi koleksi di Perpustakaan Nasional adalah salinannya. Naskah Serat Centhini juga merupakan salah satu dari sekian banyak koleksi naskah daerah yang terhimpun.

Tak hanya naskah kuno yang menjalani proses digitalisasi di Perpustakaan Nasional, ribuan judul buku langka, majalah langka, peta kuno, dan koleksi fotofoto juga telah menjalani proses digital. Langkah Perpustakaan Nasional ini sudah mulai ditiru dan dilakukan di berbagai daerah. Baru-baru ini Litbang Kantor Kementerian Agama Jawa Tengah telah melakukan digitalisasi kitab kuno berusia ratusan tahun. Ada sekitar 80 kitab kuno yang menggunakan tulisan tangan yang dibuat sekitar abad ke-16, tersimpan di Pesantren Sumber Anyarm Pamekasan, Madura. Salah satunya adalah kamus Al-Muhit.



Mujizah, Kepala Bidang Pengkajian Naskah, Balai Bahasa

Apa pendapat Anda tentang adanya penjualan naskah-naskah kuno yang menjadi koleksi perseorangan?

Inilah kondisi di negeri kita, banyak naskah-naskah kuno yang sudah menjadi barang dagangan. Ironisnya, perdagangan itu terus berlangsung, termasuk perdagangan naskah yang pembelinya diduga negaranegara tetangga. Masyarakat kita banyak yang menjadi pemilik naskah, tetapi tidak dapat merawat, sementara naskah kuno itu perlu perawatan khusus. Suhunya harus khusus, kalau tidak diperlakukan seperti itu akan rapuh. Itu yang diincar oleh orang.

Aturan perdagangan naskah kuno sebetulnya seperti apa?

Indonesia sudah mempunyai UU Cagar Budaya, bahkan tentang bendera, lagu kebangsaan, dan bahasa pun sudah ada UUnya. Di situ di antaranya disebutkan, pemerintah berkewajiban melindungi manuskrip, termasuk fisiknya untuk tidak diperjualbelikan. Tapi, UU itu memang ada, namun tidak berjalan sebagaimana mestinya. ‘Di bawah tangan’ masih banyak dilakukan, itu sudah berjalan lama. Pemerintah sebetulnya juga menyayangkan jika naskah itu akhirnya jatuh ke tangan orang luar. Masalahnya, negara-negara yang menaksir naskah itu biasanya berani membayar mahal.

Aceh termasuk daerah yang memiliki banyak naskah, tapi yang tersisa kebanyakan bukan yang bernilai tinggi. Karena, yang nilainya tinggi sudah masuk dalam ‘pasar gelap’ penjualan naskah kuno. Sebetulnya, memang negara yang seharusnya membeli untuk menyelamatkan sebuah nas kah kuno, seperti Serat Centhini, yang dijual dengan harga Rp 5 miliar. Tapi, masalahnya, apakah kita punya anggaran sebesar itu?

Kami di badan bahasa juga sudah melakukan perlindungan itu, tapi sebatas digitalisasi dan pendataan. Jadi, kami data fisik naskah sebagai barang artefak. Misalnya, kami datang ke Lingga, di sana ada pemilik-pemilik naskah perorangan. Kami prioritaskan yang dimiliki masyarakat itu. Kalau yang dimiliki oleh lembaga, sudah aman karena dipelihara. Kadang-kadang, masyarakat tidak mau memberikan naskahnya, apalagi kalau dianggap itu adalah warisan leluhurnya turun-temurun, itu akan dijaga betul. Mereka tidak akan mau menjual. Nah,kalau tidak dijual, sementara perawatannya juga minim, lama-kelamaan bisa rusak. Sementara, kita sadar dalam manuskrip itu ada tulisan, dalam tulisan itu banyak makna, di situ ada pemikiran, ada ideologi, pengobatan, dan lain-lain, yang semuanya adalah pengetahuan masa lalu.

Untuk mengetahui suatu naskah itu asli atau tidak, bagaimana caranya?

Ada ilmu namanya filologi. Ilmu tersebut memiliki metodologi sendiri untuk menentukan keaslian naskah. Naskah dilihat dari fisiknya, ada kertas, ada tinta, jilidan, tulisan, atau aksaranya sendiri. Karena berbeda, aksara yang berkembang, misalnya, pada abad ke-19, ke-18, dan ke-17, dari situ akan kelihatan.

Apakah bisa diketahui, misalnya, untuk Serat Centhini, naskah aslinya yang beredar sebetulnya ada berapa buah?

Itu bisa ditelusuri. Secara pribadi, saya tidak begitu mendalami naskah Jawa, karena saya spesialisasinya naskah Melayu yang tersebar di seluruh Indonesia. Kalau Centhini, itu bisa ditelusuri di dalam khasanah naskah melalui katalog. Misalnya, di Leiden, ada buku katalog khusus koleksi Perpustakaan Leiden, KITLV juga memiliki buku katalog serupa, Perpusatakaan Nasional juga punya.

Kalau mau ditelusuri, misalnya, Serat Centhini ada beberapa di nusantara, bisa melalui katalog berbagai koleksi. Tetapi, memang yang sudah terdaftar di katalogkatalog itu adalah koleksi lembaga. Yang tersebar di masyarakat, itu gampang-gampang sulit.

Ada masyarakat yang gampang, mereka terbuka untuk naskahnya bisa dipelajari, tapi banyak juga yang tertutup. Mereka ini tidak salah, karena mereka juga diamanatkan oleh para orang tuanya bahwa untuk membuka sebuah naskah harus melakukan ritual tertentu, hari tertentu, dan tanggal tertentu.

Menurut Anda, kalau naskah Serat Centhini akan dijual seseorang dengan nilai Rp 5 miliar, apakah itu terbilang angka yang wajar?

Kalau dari pemerintah, angka itu besar sekali, ya. Tapi, kalau memang tekadnya bulat untuk menyelamatkan naskah, itu bisa saja terjadi. Tapi, bergantung apakah benar itu asli dan naskah itu di tulis pada abad ke berapa. Dalam ilmu filologi, ada ilmu mendeteksi sebuah naskah dibuat tahun berapa. Ada bagian-bagian dari manuskrip itu yang disebut kolofon, yakni catatan di mana tempat, nama, dan waktu penulisan naskah itu.

Biasanya, posisinya berada di tengah atau di bagian belakang. Kalau itu sudah kita lihat, kita bisa menentukan naskah ini dibuat di abad ke berapa. Tapi, bisa juga naskah itu ditulis dan disalin dari sebuah naskah yang lebih tua, jadi karena ditulis ulang dari naskah sebelumnya, berarti masih ada naskah yang lebih tua lagi. Itu memang harus ditelusuri. Apalagi Centhini, karena naskah ini sudah banyak yang meneliti dan menerbitkannya.

Tapi, menurut ilmu filologi, terkait soal harga ini, ada perkembangan. Kalau dulu, filologi klasik berpandangan naskah aslilah yang mahal. Tetapi, dalam perkembangannya, filologi modern menganggap bahwa sebuah produksi naskah pasti mewakili zamannya. Jadi, meskipun dia tidak tua-tua banget, tapi dia kan mewakili zaman si penulis, penulisnya tentu sudah menginterpretasi banyak hal, sosial budaya, atau apa pun. Tapi, itu berbeda antara satu naskah dan naskah lainnya. Latar belakang sosial budaya pada waktu seseorang menulis itu pasti ada. Kecuali, penyalinan-penyalinan naskah sakral, kalau naskah sakral biasanya disalin apa adanya. Ketat penyalinannnya. Tapi, kalau naskah yang sifatnya lebih kreatif, misalnya, sastra dan cerita, biasanya agak berkembang.

Sumber: Republika, Jumat, 9 Desember 2011

No comments: