Sunday, December 04, 2011

“Dodolitdodolitdodolibret” Seno dan “Tiga Pertapa” Tolstoy: Adaptasi atau Kebetulan?

(Bagian Pertama dari Dua Tulisan)

-- Dessy Wahyuni

BERDOA merupakan salah satu ibadah kepada Sang Pencipta. Dengan berdoa seseorang bisa memohon atau meminta sesuatu yang bersifat baik kepadaNya, seperti minta keselamatan hidup, perlindungan, rezeki yang halal, keteguhan iman, dan lain sebagainya. “Cara berdoa yang benar” disuguhkan Kiplik atau Guru Kiplik dalam cerpen “Dodolitdodolitdodolibret” karya Seno Gumira Ajidarma yang dimuat dalam Dodolitdodolitdodolibret: Cerpen Pilihan Kompas 2010 (Penerbit Buku Kompas, 2011: 1-8). Cerpen ini merupakan cerpen terbaik Kompas 2011.

Cerpen ini menceritakan seorang lelaki bernama Kiplik yang merasa yakin telah menguasai dan mengamalkan “cara berdoa yang benar”. Menurut hasil pengamatan Kiplik banyak sekali orang yang berdoa dengan tidak benar, padahal jika kata-kata dalam sebuah doa yang diucapkan salah, maka bukan saja menghasilkan makna yang berbeda, tetapi malah bisa bertentangan. Dalam keyakinan Kiplik, “cara berdoa yang benar” itu haruslah sempurna, yakni kata-katanya tidak keliru, gerakannya tepat, waktunya terukur, perhatiannya terpusat, dilandasi kepercayaan yang mendalam dan tak tergoyahkan, seolah-olah sedang melakukan sesuatu yang benar, sangat benar, bagaikan tiada lagi yang akan lebih benar. Dengan kebenaran cara berdoa yang dipraktikkan Kiplik dalam kehidupannya, ia mendapatkan kebahagiaan yang tiada tara.

Kebahagiaan yang diperolehnya membuat Kiplik merasa mendapatkan suatu kekayaan yang tidak ternilai, dan oleh sebab itu ia selalu ingin membagikannya kepada siapa saja. Sebagai ahli ilmu berdoa, Kiplik yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Guru Kiplik mengembara untuk mengajarkan ilmunya kepada orang banyak , agar mereka dapat berdoa dengan benar seperti dirinya, dan mencapai kebahagiaan seperti dirinya pula. Banyak orang percaya dan merasakan kebenaran pendapat Guru Kiplik, serta menjadi pengikutnya.

Sebagai seorang ahli berdoa, Guru Kiplik menyangsikan kebenaran sebuah dongeng lama, bahwa siapa pun yang berdoa dengan benar akan mampu berjalan di atas air. Menurut Guru Kiplik dongeng itu hanyalah perlambang untuk menegaskan kebebasan jiwa yang akan diperoleh siapa pun yang berdoa dengan benar.

Suatu ketika, Guru Kiplik mengembara ke sebuah pulau terisolir di tengah sebuah danau yang sangat luas. Pulau itu subur makmur sehingga penghuninya tidak perlu keluar pulau untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Guru Kiplik mendapati sembilan orang penduduk pulau tersebut yang rajin bekerja dan tidak putus-putusnya berdoa. Namun cara berdoa yang mereka lakukan ternyata salah di mata Guru Kiplik. Untuk itu ia merasa terpanggil mengubah cara berdoa mereka yang salah tersebut, sebab menurutnya cara berdoa penduduk pulau tersebut justru memohon kutukan bagi diri mereka sendiri. Dengan susah-payah akhirnya Guru Kiplik berhasil mengajari mereka “cara berdoa yang benar”.

Setelah berhasil, Guru Kiplik pamit untuk melanjutkan perjalanannya. Ia merasa bersyukur telah berhasil mengajari mereka. Setelah berada di atas perahu dan melanjutkan perjalanan, Guru Kiplik merasa tercengang ketika menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa kesembilan warga pulau tersebut menyusulnya dengan berlari di atas air sambil berteriak, “Guru! Guru! Tolonglah kembali Guru! Kami lupa lagi bagaimana cara berdoa yang benar!”

Guru Kiplik terpana, matanya terkejap-kejap dan mulutnya menganga. Mungkinkah sembilan penghuni pulau terpencil, yang baru saja diajarinya cara berdoa yang benar itu, telah begitu benar doanya, begitu benar dan sangat benar bagaikan tiada lagi yang bisa lebih benar, sehingga mampu bukan hanya berjalan, tetapi bahkan berlari-lari di atas air? (Dodolitdodolitdodolibret, 2011:7).

Adaptasi atau Kebetulan?
Sebuah karya sastra sebenarnya lahir tidak dalam kekosongan, sehingga sangat memungkinkan adanya pengaruh karya lain yang telah muncul terlebih dahulu. Jalin-menjalin antarkarya sastra sangat dimungkinkan, karena setiap pengarang menjadi bagian dari penulis lain. Setiap pengarang sulit lepas dari karya orang lain, karena mereka harus membaca dan meresepsi karya orang lain.

Begitu pula halnya yang terjadi dengan cerpen “Dodolitdodolitdodolibret” ini. Secara sepintas, cerpen tersebut memiliki kemiripan dengan cerpen versi bahasa Indonesia karya Leo Tolstoy berjudul “Tiga Pertapa” yang terdapat dalam Di Mana Ada Cinta, di Sana Tuhan Ada (Serambi Ilmu Semesta, 2011: 45-57) dengan penerjemah Atta Verin. Dalam versi bahasa Inggris, cerpen ini berjudul “Three Hermits” dan diterbitkan tahun 1886 (http://www.online-literature.com).

“Tiga Pertapa” bercerita tentang seorang uskup dan sejumlah peziarah yang berlayar menuju sebuah biara yang jauh. Dalam perjalanan tersebut, mereka melintasi sebuah pulau yang konon katanya dihuni oleh tiga orang pertapa tua yang misterius. Uskup tersebut merasa terpanggil untuk melihat cara beribadah ketiga pertapa, apakah sudah benar atau belum. Sang uskup pun minta kepada kapten kapal untuk turun sebentar ke pulau itu.

Tergerak oleh rasa iba terhadap ketiga pertapa yang ingin berbakti kepada Tuhan, tetapi tidak mengerahui tata cara yang benar, uskup itu kemudian mengajarkan mereka cara berdoa menurut ajaran Tuhan melalui kitab suci yang telah dipahaminya. Para pertapa yang sudah tua tersebut susah-payah melafalkan doa yang diajarkan sang uskup. Uskup itu tidak berhenti hingga ia selesai mengajarkan seluruh doa. Ia mengajari mereka hingga mereka mampu mengucapkannya tanpa dibimbing lagi, bukan sekadar menirukan kata-katanya. Ia berpesan kepada mereka untuk berdoa sesuai dengan cara yang diajarkannya. Kemudian ia kembali ke kapal untuk melanjutkan perjalanan.

Belum jauh kapal berlayar, tiba-tiba dari arah pulau terdengar suara air menderu. Uskup dan para penumpang kapal lainnya menyaksikan ketiga pertapa tua itu mendekati kapal dengan berlari di atas air. Mereka minta diulangi doa yang diajarkan sang uskup karena mereka lupa. Uskup takjub melihat kejadian tersebut, lalu berkata, “Bukan aku yang harus mengajari kalian. Berdoalah untuk kami, para pendosa ini,” (Tolstoy, 2011:57).

Leo Tolstoy (1828-1910) adalah sastrawan Rusia terbesar yang berpengaruh luas dalam peta sastra dunia. Novelis besar yang lahir di Yasnaya Polyana (kawasan pedesaan Rusia sebelah selatan Moskow), 9 September 1828 ini, juga seorang pemikir sosial dan moral terkemuka pada masanya. Karya-karyanya yang bercorak realis dan bernuansa religius sarat dengan perenungan moral dan filsafat. Gagasan-gagasan putra seorang ningrat ini kontroversial dan tidak lazim pada masanya, sehingga sering membuatnya dicap sebagai anarkis oleh kaum puritan.

“Dodolitdodolitdodolibret” dan “Tiga Pertapa” secara tematik memiliki pesan yang sama, yakni pengarang berusaha mengingatkan pembaca bahwa janganlah seseorang menganggap pemahaman dirinya adalah yang paling benar di antara pemahaman-pemahaman lainnya. Apabila dikaji secara intertekstual maka akan ditemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya sebelumnya pada karya yang muncul kemudian. Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut (Teeuw dalam Nurgiyantoro, 2007:50). Prinsip intertekstualitas yang utama adalah prinsip memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan. Karya tersebut diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau transformasi dari karya yang lain. Masalah intertekstual lebih dari sekadar pengaruh, ambilan, atau jiplakan, melainkan bagaimana kita memperoleh makna sebuah karya secara penuh dalam kontrasnya dengan karya yang lain yang menjadi hipogramnya.

Dalam hal ini (ditinjau dari tahun penerbitannya) “Tiga Pertapa” berkedudukan sebagai hipogram (induk) yang menetaskan karya baru, yakni “Dodolitdodolitdodolibret”. Pada akhir cerpennya, Seno menuliskan keterangan referensial bahwa “cerita ini hanyalah versi penulis atas berbagai cerita serupa, dengan latar belakang berbagai agama di muka bumi”. Hal ini menunjukkan bahwa cerpen Tolstoy merupakan salah satu cerita yang ditransformasi Seno ke dalam ceritanya (dengan melihat bentuk-bentuk hubungan unsur intrinsik kedua cerita tersebut).

Berkaitan dengan masalah hipogram, Julia Kristeva (dalam Nurgiyantoro, 2007:52) mengemukakan bahwa tiap teks merupakan sebuah mosaik kutipan-kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain. Hal ini berarti bahwa tiap teks mengambil unsur-unsur yang dipandang baik dari teks sebelumnya, kemudian diolah dalam karya sendiri berdasarkan tanggapan pengarang yang bersangkutan. Dengan demikian, walau sebuah karya mengandung unsur ambilan dari berbagai teks, karena telah diolah dengan pandangan dan daya kreativitas sendiri, dengan konsep estetika dan pikiran-pikirannya, karya yang dihasilkan tetap mengandung dan mencerminkan sifat kepribadian penulisnya. Sebuah teks kesastraan yang demikian dapat dipandang sebagai karya yang baru. Pengarang dengan kekuatan imajinasi, wawasan estetika, dan horison harapannya sendiri, telah mengolah dan mentransformasi karya-karya lain ke dalam karyanya sendiri (Nurgiyantoro, 2007). (Bersambung)

Dessy Wahyuni, staf peneliti di Balai Bahasa Provinsi Riau.Penyuka sastra. Tulisan-tulisannya dimuat di beberapa media dan jurnal. Tinggal di Pekanbaru.

Sumber: Riau Pos, 4 Desember 2011

No comments: