Sunday, April 28, 2013

Membincangkan Kritik Puisi Apresiatif

-- Desi Sommalia Gustina
TAK sedikit kalangan beranggapan bahwa memahami puisi merupakan suatu hal yang sulit, terlebihlagi jika harus bertindak sebagai ‘kritikus’. Namun, Maman S Mahayana bilang, setiap pembaca karya sastra, pada dasarnya dapat bertindak sebagai ‘kritikus’ jika ia menuliskan tanggapan terhadapnya. Setidaknya seperti yang dilakukan oleh Soni Farid Maulana dalam buku kumpulan esainya yang berjudul Apresiasi dan Proses Kreatif Menulis Puisi. Buku ini berisi 14 esai sastra. Sebagaimana judul buku, esai-esai dalam buku ini sangat kental dengan semangat mengapresiasi atas karya sastra bernama puisi.

Di samping itu, buku yang diterbitkan oleh penerbit Nuansa (Bandung, 2012) ini juga menawarkan sudut pandang lain yang mungkin dapat dilakukan pembaca dalam memberikan apresiasi. Misalnya menulis tentang proses kreatif penyair dalam mencipta puisi. Seperti salah satu esai dalam buku ini, di mana Soni Farid Maulana (selanjutnya saya singkat SFM) menulis tentang pengetahuannya seputar proses kreatif penyair WS Rendra dalam menulis puisi (Rendra, ‘’Puisi Lahir dari Pengalaman yang Dihayati’’), di samping juga mengulas pandangan Rendra terhadap puisi. Yang mana dalam esai itu disebutkan, bahwa puisi tidak lahir begitu saja dari tangan penyair yang dijuluki ‘’Burung Merak’’ itu, sebab puisi bagi Rendra adalah penghayatan dari pengalaman dan tidak ditulis berdasarkan khayalan semata-mata, seakan-akan penyair mengalami peristiwa tersebut.

Melalui esai tersebut tampak betapa SFM mampu memberikan apresiasi dari sudut pandang lain, di samping juga membuka semacam ruang dialog kepada pembaca, tetapi tentu saja tanpa melupakan membuat penafsiran terhadap materi puisi. Tetapi yang perlu diingat, meskipun buku ini merupakan buku kritik sastra, SFM tampaknya tidak bermaksud membuat pembaca mengerutkan kening demi memahami penafsiran yang ia lakukan. Sebab buku ini ditulis dengan bahasa yang cair dan renyah sehingga mudah dipahami, tetapi tetap dengan kualitas penafsiran yang terjaga.

Dengan demikian, buku ini dapat dikatakan menjadi jembatan dalam hal mendekatkan pembaca dengan karya sastra, terutama puisi. Di samping juga memangkas anggapan bahwa puisi merupakan kumpulan teks sastra yang rumit. Karena, membaca buku ini imajinasi pembaca dibiarkan liar saat memaknai puisi, namun tetap dipandu agar tidak tersesat, ditunjukkan jalan untuk memahami puisi secara mudah, dan dibimbing agar menemukan kedalaman dari puisi yang ia baca.

Itulah sebabnya buku ini menjadi penting untuk dibaca, karena dengan analisis yang dilakukan oleh SFM setidaknya telah membantu siapa saja yang ingin menggeluti puisi, dan mengakrabi teks dalam puisidi samping juga mengakrabi keunikan proses kreatif penyairnya, dengan pendekatan yang tidak rumit. Dan yang terpenting lagi, buku ini memberikan contoh puisi lalu mengualasnya. Salah satu ulasan terhadap puisi yang dilakukan SFM dalam buku ini dapat dilihat pada halaman 150, di mana dalam esai tersebut SFM mengulas puisi Oka Rusmini (‘’Warna Lokal Bali dalam Puisi Oka Rusmini’’). Dalam esai tersebut, SFM memperbincangkan tentang kultur dan kekhasan Bali sebagai salah satu kekuatan puisi-puisi Oka Rusmini. Salah satu puisi Oka Rusmini yang diulas oleh SFM dalam esai tersebut berjudul ‘’Bajang-Bajang’’. Berikut teks puisi tersebut saya tampilkan kembali:

BAJANG-BAJANG
(II)
Kau tersenyum
Ada yang berubah pada tubuh
dan bau perawan milikmu
Sang Dewi mulai mengisi bilik hati
Beratus petuah kutelan
Kubiarkan masuk tenggorokan
dan mencoba merasa berarti
Canang, tipat dampul, dan beratus
juta banten
menisik kemahiran milikmu
dan kau harus mengingat ragam itu
Metanding dengan bau aneh, wangi aneh
Kau bicara dengan alat itu untuk
mengintip diriNya
Betara Surya, Betara Bayu, Betara...
Kau hafal semua itu
Khusyuk kau serahkan diri
untuk bumi, untuk Griya, untuk Tuniang
untuk Aji untuk Biang...
Semuanya

Untuk membuat penafsiran terhadap puisi sejatinya sangat bergantung pada tingkat wawasan dan pengalaman pembacanya. Begitupun untuk menafsirkan puisi Oka Rusmini tersebut di atas. Dalam puisi ‘’Bajang-Bajang’’ tersebut, tampak banyak kata yang dicetak miring. Dalam kaitan ini, untuk memahami kata yang dicetak miring tersebut, maka wawasan pembaca sangat diperlukan. Sebab hakikat dari puisi adalah metafora. Maka untuk memahami metafora yang terdapat dalam puisi, sangat diperlukan penafsiran yang logis dan masuk akal. Penafsiran yang demikian tentu harus didukung oleh wawasan dan pengalaman pembacanya.

Menilik analisis yang dilakukan SFM terhadap puisi karya Oka Rusmini tersebut, setidaknya telah menunjukkan kemampuan penyair kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, tersebut dalam menafsirkan puisi. Hal ini terlihat dari ulasan yang dipaparkan SFM dalam esainya, mampu memberi pengetahuan baru terhadap pembaca dengan membongkar makna dari kata-kata yang dicetak miring dalam puisi ‘’Bajang-Bajang’’ tersebut. Kata yang dicetak miring dalam larik pertama bait kedua dalam puisi tersebut menjelaskan mengenai benda-benda yang dipakai untuk upacara tradisional di Bali. Selain itu, dalam larik selanjutnya, tepatnya larik kesembilan dan kesepuluh dalam bait kedua puisi tersebut, ada sejumlah kata lainnya yang juga dicetak miring. Griya adalah rumah tempat tinggal kasta Brahmana, dan tuniang adalah nenek. Sedangkan Aji adalah ayah, dan biang adalah panggilan untuk perempuan-perempuan Griya.

Melalui analisis yang dilakukan SFM dapatlah diketahui bahwa bahasa Bali dan simbol-simbol budaya yang disisipkan Oka Rusmini dalam puisinya tak saja sekadar permaian rima, tetapi mampu menambah wawasan dan memberikan pengetahuan baru kepada pembaca di luar orang Bali. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa, baik menafsir maupun menulis puisi seseorang harus memiliki pengetahuan dan wawasan. Karena dalam puisi kerap terdapat simbol-simbol serta pemakaian bahasa yang ambigu sehingga bisa menciptakan multi penafsiran.

Selain memahami puisi, buku ini juga memberi pegetahuan kepada pembaca terkait mencipta puisi yang tidak gelap. Juga tentang bagaimana memungut metafora yang sederhana tapi menyisakan banyak jejak penafsiran. Sehingga ketika seseorang membaca puisi yang diciptakan oleh penyair, pembaca bisa meraih terang. Untuk menciptakan puisi yang demikian, sangat berkaitan dengan dorongan hati. Namun, dorongan hati dalam menulis puisi menurut SFM tidak muncul begitu saja dari dunia yang tidak dikenal, akan tetapi datang dari sebuah pengalaman yang dihayati secara total. Pengalaman yang dimaksud ada kalanya disebut sebagai pengalaman puitik, yang sumbernya bisa berasal dari pengalaman fisik maupun dari pengalaman metafisik dalam pengertian yang seluas-luasnya yang kemudian diekspresikan ke dalam bentuk tulisan.

Dengan berbagai pengetahuan yang ditawarkan SFM dalam buku ini, tidaklah berlebih jika Senny Suzan Alwasilah, dosen penulisan kreatif Jurusan Sastra Inggris Universitas Pasundan, Bandung, dalam endorsementnya di belakang buku ini mengatakan bahwa buku setebal 197 halaman ini merupakan ‘buku wajib’ dalam pembelajaran apresiasi puisi. Terlebih lagi buku ini telah menambah semaraknya kehidupan kritik sastra di Indonesia. n

Desi Sommalia Gustina, Alumnus Pascasarjana Universitas Andalas, Padang

Sumber: Riau Pos, Minggu, 28 April 2013

Konservasi Tekstual dan Non Tekstual Cerita Rakyat sebagai Warisan Budaya

-- Nafi’ah Al-Ma’rab
BUDAYA menjadi identitas suatu bangsa. Ibarat kartu tanda pengenal, budaya akan membuat suatu bangsa dipandang oleh bangsa lainnya. Pengakuan terhadap eksistensi suatu bangsa pun bisa diukur dari sejauh mana nilai warisan budaya yang dimiliki. Budaya dapat dikatakan sebagai  warisan, oleh karena sifatnya yang turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Budaya menjadi aset yang sangat berharga dan harus dipertahankan. Bukan hanya oleh generasi sekarang, tetapi juga oleh generasi penerus suatu bangsa di masa akan datang.

Ada banyak aset budaya suatu bangsa yang bernilai warisan. Berbagai jenis adat istiadat, tradisi, seni budaya menjadi bagian dari unsur-unsur budaya yang harus selalu dilestarikan keberadaannya. Budaya nasional berangkat dari kebudayaan daerah yang cukup beraneka ragam, dan Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah warisan budaya yang tak terhitung jumlahnya.

Namun kekayaan budaya yang berlimpah tersebut tak akan ada artinya jika generasi penerus tidak ambil bagian dalam upaya konservasi. Generasi penerus meliputi banyak kalangan, termasuk pemerintah, tokoh budaya, generasi muda hingga masyarakat pada umumnya. Semuanya memiliki tanggung jawab yang sama untuk menjaga warisan identitas bangsa. Bila bangsa Indonesia tetap ingin dikenang sebagai bangsa dengan nilai budaya dan adat istiadat yang tinggi di masa akan datang, maka tak ada pilihan lain, semua elemen masyarakat harus bergerak cepat untuk melakukan tindakan preventif. Pencegahan terhadap kealpaan budaya dan tradisi oleh generasi yang akan datang.

Cerita Rakyat sebagai Warisan Budaya
Cerita rakyat merupakan salah satu tradisi lisan yang masuk ke dalam bagian dari unsur kebudayaan lokal suatu daerah. Indonesia sangat kaya dengan aneka cerita rakyat yang khas dan bervariasi di tiap-tiap daerah, dari Sabang sampai Merauke. Tradisi lisan mengungkapkan berbagai kejadian atau peristiwa yang banyak mengandung nilai-nilai moral, keagamaan, fantasi, adat istiadat, peribahasa, nyanyian serta  mantra. Cerita rakyat sebagai salah satu unsur budaya juga sangat sarat dengan nilai-nilai moral dan kearifan lokal yang dapat dijadikan sebagai sarana berkomunikasi dengan anak-anak dalam rangka menyampaikan nilai-nilai pengajaran kehidupan yang baik.

Cerita rakyat menjadi salah satu bagian dari warisan budaya yang mengarah pada pembentukan moral generasi masa kini. Melalui cerita rakyat, kita dapat mengambil berbagai hikmah dan nilai-nilai pembelajaran yang baik kepada generasi muda, terutama kaum anak-anak.

Cerita rakyat dalam kajian ilmu folklore dijelaskan oleh William R. Bascom (dalam Danandjaja, 1984) dibagi menjadi 3 golongan besar yakni mitos, legenda, dan dongeng. Cerita rakyat berkembang di tengah masyarakat sebagai warisan turun temurun dari suatu generasi ke generasi selanjutnya. Cerita rakyat bukan hanya apa yang telah terjadi pada masa terdahulu, namun apa yang terjadi hari ini dan dianggap sebagai suatu hal yang memiliki nilai, akan menjadi sebuah cerita rakyat yang mendidik untuk terus diceritakan kepada generasi setelah generasi hari ini.

Cerita Rakyat dalam Persepsi Generasi Muda
Sebagai bagian dari warisan nilai-nilai budaya suatu bangsa, cerita rakyat hari ini masih menjadi konsumsi masyarakat klasik yang sulit diterima oleh generasi muda. Arus modernisasi yang lahir dari nilai-nilai budaya bangsa asing perlahan-lahan telah menggeser kecintaan generasi muda dari nilai budayanya sendiri kepada nilai budaya asing yang cukup populer di dalam negeri. Padahal nilai budaya dalam negeri lah yang mampu mengangkat marwah bangsa ini di mata dunia.

Sangat sedikit generasi muda yang tertarik dengan cerita rakyat sebagai warisan budaya. Bukan hanya karena alasan soal anggapan bahwa budaya tradisional identik dengan ketertinggalan zaman, namun lebih parahnya lagi karena alasan tak ada lagi sumber referensi yang bisa didapati mengenai cerita rakyat sebagai warisan budaya. Bukan hanya secara lisan, namun juga secara tekstual.

Setelah memperhatikan hal-hal di atas, yakni cerita rakyat sebagai warisan budaya yang harus dipertahankan karena memiliki nilai moral yang baik serta upaya penjagaannya yang harus dilakukan secara turun temurun, maka diperlukan upaya konservasi serius yang perlu diupayakan secara berkesinambungan oleh semua elemen masyarakat dan pemerintah.

Upaya Konservasi Cerita Rakyat (Tekstual dan Non Tekstual)
Sebagai bentuk upaya penjagaan terhadap cerita rakyat yang menjadi bagian dari nilai budaya bangsa Indonesia, diperlukan upaya konservasi terhadap cerita rakyat yang harus diupayakan oleh semua kalangan, baik dari pihak pemerintah maupun unsur-unsur masyarakat. Kalangan budayawan, sastrawan, swasta juga memiliki tanggung jawab serupa untuk mengatasi persoalan ini. Pengokohan nilai-nilai budaya Indonesia melalui aneka cerita rakyat dalam negeri menjadi salah satu bentuk investasi eksistensi bangsa di masa akan datang.

Upaya Tekstual
Salah satu upaya konservasi terhadap cerita rakyat sebagai warisan budaya adalah melalui pengumpulan tradisi lisan tersebut secara tekstual. Pembuatan buku-buku yang berisi cerita rakyat dengan berbagai teknik perlu dilakukan. Baik melalui pendekatan sastra maupun populer. Semuanya bisa dilakukan dan bisa dijadikan sebagai referensi terhadap cerita rakyat sebagai warisan budaya.

Salah satu tantangan pada upaya konservasi tekstual biasanya terletak pada kreativitas penyajian cerita rakyat tersebut.

Umumnya cerita-cerita fiksi luar negeri yang juga tersaji secara tekstual menjadi saingan berat terhadap keberadaan cerita rakyat dalam negeri yang tersaji dalam bentuk serupa. Buku-buku cerita bergambar, komik, cerpen sastra, cerpen populer bisa dijadikan sebagai bentuk inovasi penyajian cerita rakyat secara tekstual. Para budayawan dan sastrawan memiliki tanggung jawab untuk senantiasa menghadirkan aspek-aspek budaya lokal dalam setiap karya-karyanya. Demikan juga kalangan swasta seperti pihak penerbit buku juga memiliki kewajiban yang sama pada aspek konservasi tekstual.

Upaya Non Tekstual
Upaya konservasi secara tekstual perlu diusahakan secara berimbang dengan upaya konservasi non tekstual. Ada banyak upaya non tekstual yang bisa dilakukan untuk menjaga kelestarian cerita rakyat sebagai budaya. Diantaranya adalah melalui berbagai seni pertunjukan seperti drama, teater, sinetron, film dan sebagainya. Tradisi mendongeng para orang tua terhadap anak-anak juga perlu terus digalakkan. Fakta memprihatinkan saat ini yang kerap terjadi adalah hilangnya tradisi berpetuah melalui dongeng kepada anak-anak yang dilakukan oleh para orang tua. Kesibukan dan aspek teknologi telah menggeser tradisi lisan yang memiliki banyak manfaat tersebut.

Pada kondisi ini, pemerintah memiliki peran sebagai pihak pelopor, pendorong serta pemantau berbagai upaya konservasi yang dilakukan. Pemerintah juga bisa mengambil kebijakan-kebijakan strategis pada aspek formal seperti pengintensifan kembali muatan budaya cerita rakyat pada kurikulum pendidikan formal.

Upaya konservasi secara tekstual maupun non tekstual dilakukan secara beriringan. Diupayakan oleh semua kalangan dan dipantau secara baik oleh pihak pemerintah. Upaya ini masih sangat kecil nilainya bila kita bandingkan dengan nilai investasi budaya Indonesia di masa akan datang yang akan dituai oleh generasi setelah kita. Inilah upaya untuk membeli masa depan Indonesia agar tumbuh menjadi sebuah bangsa yang berbudaya dan memiliki nilai jual yang tinggi di mata dunia internasional.

Nafi’ah Al-Ma’rab, Ketua Forum Lingkar Pena Wilayah Riau.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 28 April 2013

Abdoel Moeis dan Hari Sastra

-- Beni Setia

AKHIRNYA, di Bukittinggi, Minggu (24/3/2013), Wakil Menteri Pendikan dan Kebudayaan, Wiendu Nuryarti resmi menatapkan 3 Juli sebagai Hari Sastra Indonesia --dengan berpatokan ke hari kelahiran Abdoel Moeis. Jadi tak heran kalau momentum pengumuman resmi itu dilakukan di kompleks SMAN 2 Kota Bukittinggi, yang dulu pernah jadi tempat sastrawan Abdoel Moes bersekolah. Sesuatu yang rasanya terlalu dicari-cari--agar acara itu dilakukan di Bukittinggi--, dengan melupakan fakta Abdoel Moeis itu tidak tamat Stovia. Kenapa tak di Bandung yang lama jadi tempat Abdoel Moeis bermukim, bergaul, dan berproses kreatif?

Jawabannya mungkin faktor Taufiq Ismail yang menjadi sponsor penetapan itu--sehingga Maklumat Hari Sastra pun dibaca Upita Agustine. Di luar isu provinsial nan menggelikan, sesungguhnya penetapan itu bisa diperdebatkan--ini terlepas dari fakta salah karya Abdoel Moes, Salah Asuhan, merupakan novel fenomenal, karena berani bersiterang mempertanyakan keabsahan pendidikan Barat bagi orang Minang, dalam menjaga harmoni budaya dan adab Timur yang selalu bersendi agama dan menghargai orang tua. Setidaknya lingkaran Jurnal Boemi Poetra menganggap pemilihan 3 Juli itu tidak tepat karena Abdoel Moes dianggapnya bukan sastrawan Indonesia yang diakui secara internasional.

Karena itu, lewat release di TBJT Solo belum lama ini, mereka lebih memilih 6 Februari sebagai Hari Sastra Indonesia. Tanggal 6 Februari ini dipilih dengan merujuk hari kelahiran Pramudya Ananta Toer, seorang sastrawan yang dianggap sangat tegas memihak rakyat dengan menggarisbawahi keserakahan kolonialisme Belanda dan ide oprtunisme penguasa lokal yang selalu memilih laku asal senang sendiri dengan terus menjaga status quo sebagai penguasa di antara pemerintahan kolonial dengan rakyat pribumi, dengan menggarisbawahi pederitaan rakyat yang dieksploitasi kolonialisme Belanda dan separuh dikorbankan penguasa feodalistik Jawa, dan dengan memilih dan menggarisbawahi tokoh lokal non-priyayi yang tegar melawan Belanda meski selalu kalah. Spririt nasionalisme tragis Pram itu dianggap bisa menggugah, serta dikuatkan fakta karya-karyanya diakui secara internasional--jadi tidak terlalu memalukan kalau Hari Sastra Indonesia jatuh pada 6 Februari.

Kita tak tahu persis, kenapa Pemerintah lebih memilih 3 Juli, dan bukan merujuk ke 22 April, hari kematian Chairil Anwar, yang di selama ini selalu dijadikan pijakan banyak komunitas sastra, sebagai momen buat melakukan kenduri sastra, dengan titik tekan pada puisi dan eksplorasi Chairil Anwar dalam mencari pengucapan puitik yang amat personal--karenanya telah diangankan sebagai Hari Puisi Indonesia. Mungkin di belakang itu semua ada lobi, dan lobi Taufiq Ismail mungkin sangat jitu, sedangkan si yang ingin menjadikan hari kelahiran Pram sebagai Hari Sastra Indonesia secara resmi tak ada yang berani. Terlalu riskan membawa ide itu ke Pemerintah--setelah di selama ini kita dikondisikan untuk selalu curiga kepada segala sesuatu yang bersipat ideologi kiri, dan terlebih menyangkut orang-orang komunis yang tergabung dalam PKI.

Tapi, apa sesungguhnya peranan Hari Sastra Indonesia, bagi sastra dan sastrawan Indonesia, kalau itu baru akan dilaksanakan pertama kalinya di tiga bulan mendatang? Itu pertanyaan paling utamanya. Jadi, di luar itu semua, saya bisa menerima bila 3 Juli ditetapkan sebagai Hari Sastra Indonesia--saya tidak ada diundang ke penetapannya di Bukittinggi, yang katanya diawali oleh pembacaan Maklumat Hari Sastra Indonesia--, karena alasan praktis pragmatik. Mau atau tidak mau, Pemerintah cq Kementrian dan dilaksanakan oleh Dindikbud nasional dan yang di bawahnya mempunyai agenda buat merayakan Hari Sastra pada setiap tahunnya, dan karenanya akan terpaksa mengingat nasib sastra dan sastrawan Indonesia. Setidaknya setelah seorang Wiendu Nuryati itu menggoyahkan kesuntukan kreatif penciptaan sastrawan Indonesia, yang personal itu, dengan ide sertifikasi sastrawan.

Kini, ada yang bisa dilakukan dengan aplikasi ide sertifikasi sastrawan, dengan keberadaan dana tahunan yang dicadangkan di pos perayaan Hari Sastra Indonesia itu. Panggillah, sebagian kecil dari dana itu siapa tahu dipakai untuk memperhatikan nasib sastrawan Indonesia yang sudah tak punya etos mencipta secara kreatif. Suatu tali asih sekali seumur hidup. Selain peruntukan tunjangan kreatif, berupa dana buat residensi, atau penulisan kreatif, bagi sastrawan muda, dengan melihat potensi kreatif mreka via pengusulan kurator terpilih, atau pengajuan proposal si yang bersangkutan. Selain bea siswa bagi mahasiswa level magister dan doktoral, yang mau mendalami kritik sastra (Indonesia) di PT terpilih. Dan di atas semua itu, ada upaya penggalakan sastra lewat  menunjang penerbitan buku sdan penyebarannya ke perpustakaan daerah dan sekolah lewat proyek pembelian buku-buku sastra Indonesia mutakhir.

Di titik itu, Hari Sastra Indonesia itu ditetapkan pada tanggal berapa serta bulan apa, yang dirujukkan pada hari kelahiran atau kematian--bahkan itu perkawinan atau perceraian--sastrawan apa dan yang menulis karya dengan level macam apa sudah tak penting lagi. Yang pokok itu niat baik Pemertintah untuk memsiperhatikan dinamika penciptaan kreatif sastra Indonesia di satu sisi, serta upaya untuk menunjang stamina penjelejahan kreatip si sastrawan potensial Indonesia di sisi lain yang paling penting. Jadi kesepahaman saya itu tidak sekadar fakta kalau Abdoel Moeis itu lama tinggal di Bandung, dan bahkan meninggal di Bandung, 1959--sama seperi Marah Roesli, yang selain menulis novel Sitti Nurbaya juga membanggakan orang Bandung karena punya cucu musisi fenomenal Harry Roesli. Bahkan Abdoel Moeis itu aktif memperkenalkan khazanah sastra Sunda ke khazanah sastra Indonesia, dengan mensiterjemahkan novel Pangeran Kornel, karya R. Memed Sastrahadiprawira.

Masalahnya, siapa tahu mereka itu cuma berkebun tebu di bibir, mencadangkan dana yang pencairannya bisa dilakukan untuk keperluan lain dengan alasan yang amat lain-lain. Bila sudah sampai di titik ini, semua sastrawan Indonesia harus bersisepakat menulis dengan satu tema tunggal: kongklikong dan korupsi. Atau justru itulah tema antoloji puisi, prosa, dan esei kajian karya fiksi sastra bertema korupsi yang telah ada untuk penanda Hari Sastra Indonesia yang pertama? Atau ada atau tak ada Hari Sastra Indonesia sastra dan sastrawan Indonesia memang harus memprioritaskan karya yang bersemangat antikorupsi. Kitu! n

Beni Setia, pengarang

Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 April 2013

[Jejak] Colliq Pujie, Perempuan Budayawan Bugis yang Diakui Dunia

Colliq Pujie
COLLIQ Pujie, seorang perempuan bangsawan Bugis yang hidup pada abad ke-19. Bukan hanya bangsawan, dia juga pengarang dan penulis, sastrawan, negarawan, politikus yang pernah menjalani tahanan politik selama 10 tahun di Makassar, Datu’ (Ratu yang memerintah) Lamuru IX, sejarahwan, budayawan, pemikir ulung, editor naskah Lontara Bugis kuno, penyalin naskah dan sekretaris (jurutulis) istana kerajaan Tanete (di Kabupaten Barru sekarang).

Menurut sejarahwan Edward Polinggoman, dalam diri Colliq Pujie mengalir darah Melayu dari Johor. Sejak abad ke-15 sudah ada orang Melayu yang menetap dan berdagang di Barru dan akhirnya kawin mawin ditanah Bugis. Tidak banyak catatan sejarah yang membahas tentang diri pribadi Colliq Pujie. Mungkin dia tidak dikenal sampai sekarang kalau saja, dia tidak membantu Benjamin Frederick Mathes dalam menyalin naskah kuno ‘’I La Galigo’’ yang menjadi salah satu karya sastra (epos) yang monumental dari suku Bugis yang mendunia.

Colliq Pujie-lah yang membantu BF Mathes, seorang missionaris Belanda yang fasih berbahasa Bugis waktu itu, selama 20 tahun menyalin naskah Bugis dan epos ‘’I La Galigo’’ yang panjang lariknya melebihi panjang epos Ramayana maupun Mahabrata dari India. Selain epos ‘’I La Galigo’’ yang terdiri dari 12 jilid, ada ratusan naskah Bugis kuno lainnya yang disalin oleh BF Mathes dan kemudian dibawa dan tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden Belanda sampai sekarang.

Penyalinan sebagian besar naskah tersebut dibantu oleh Colliq Pujii, sehingga riwayat hidup Colliq Pujie sedikit demi sedikit terkuak oleh tulisan BF Mathes. Colliq Pujii bahkan juga menyadur karya sastra dari Melayu dan Parsi. Colliq Pujie juga menciptakan aksara bilang-bilang yang terinspirasi dari huruf Lontara dan huruf Arab.

Prof Nurhayati Rahman, seorang Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin Makassar dalam bukunya ‘’Retna Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa 1812-1876, Intelektual Penggerak Zaman’’ menyayangkan bahwa Colliq Pujie kurang mendapat tempat dihati bangsa Indonesia. Menurut beliau, Colliq Pujii adalah seorang budayawan, intelektual dan sejarahwan Indonesia yang hidup pada abad ke-19 yang terlupakan.

Dr Ian Caldwel sejarahwan dari Inggris mengatakan, ‘’terlalu kecil kalau seorang sekaliber Colliq Pujie dikurung dalam tempurung Indonesia, karena ia adalah milik dunia. Namanya tak bisa dipisahkan dari karya epos ‘’I La Galigo’’ sebagai ikon kebudayaan Indonesia yang menjadi kanon sastra dunia, yang kemudian menjadi sumber inspirasi banyak orang dalam merekonstruksi sejarah dan kebudayaan Indonesia (Asdar Muis RMS, ‘’Andi Muhammad Rum, Titisan Colliq Pujii’’, hal. 13).

Salah satu karya sastra Colliq Pujie berupa kumpulan pantun Bugis yang ditulis dalam aksara bilang-bilang berjudul ‘’Lontara Bilang, Mozaik Pergolakan Batin Seorang Perempuan Bangsawan’’ telah diterjemahkan dan ditransliterasi oleh HA Ahmad Saransi telah diterbitkan oleh Komunitas Sawerigading.

Dalam buku tersebut setiap kelong (pantun Bugis) ditulis dalam aksara bilang-bilang, aksara Lontara, transliterasi dalam aksara latin, dan kemudian pengertian dan penjelasan makna kata kata dalam pantun tersebut. Pantun Bugis selalu terdiri dari 3 baris, dimana baris pertama terdiri dari 8 suku kata, baris ke-2 ada 7 suku kata dan baris ke-3 terdiri dari 6 suku kata. Terkadang juga hanya 2 baris namun jumlah huruf lontara-nya tetap 21, atau 21 suku kata dalam transliterasi huruf latin.

Colliq Pujie juga banyak menulis karya sastra semacam Elong, Sure’ Baweng, Sejarah Tanete kuno, kumpulan adat istiadat Bugis, dan berbagai tatakrama dan etika kerajaan. Menurut sejarah, karyanya yang paling indah adalah Sure’ Baweng yang berisi petuah petuah yang memiliki nilai estetika yang sangat tinggi. Bahkan karyanya tentang sejarah Tanete kuno pernah diterbitkan oleh Niemann di Belanda. Adat kebiasaan kerajaan ditulisnya dalam karya berjudul ‘’La Toa’’ diterbitkan oleh Mathes dalam buku Boegineesche Christomatie II. Peneliti Belanda lainnya yang pernah dibantu oleh Colliq Pujie adalah A. Ligtvoet, yang saat itu sedang menyusun kamus sejarah Sulawesi Selatan. Keluasan pengetahuan, kepiawaian, dan kecerdasan Colliq Pujie telah mengangkat derajat intelektulitas orang Bugis dimata orang Eropa pada abad ke-19. BF Mathes berkali kali menyebut nama Colliq Pujii sebagai bangsawan Bugis ratu yang benar benar ahli sastra terutama dalam bukunya Macassaarsche en Boegineesche Chrestathien (Kumpulan Bunga Rampai Bugis Makassar).

Tentang ‘’I La Galigo’’, menurut RA Kern dalam bukunya Catalogus Van de Boegineesche tot de I La Galigo Cyclus Behoorende Handschriften der Leidsche Universiteit Bibliotheek yang diterbitkan tahun 1939 menyebutkan bahwa epos ‘’I La Galigo’’ adalah karya sastra terbesar dan terpanjang di dunia setara dengan Mahabrata, Ramayana dari India atau sajak sajak Homerus dari Yunani.(fed/berbagai sumber)

Sumber: Riau Pos, Minggu, 28 April 2013

Saturday, April 27, 2013

Mempertanyakan Nasib Sastrawan

-- Humam S. Chudori

BEBERAPA waktu yang lalu, salah seorang penyair menceritakan keluhan tentang tulisan-tulisannya tidak muncul di media cetak. Ia berpesan agar mempertimbangkan cerpen saya yang akan dikirim ke media itu. Pasalnya, media yang dimaksud hanya akan memuat cerpen trend tertentu. Artinya, jika saya tidak mengubah pola penulisan yang dikehendaki redakturnya, jangan harap cerpen saya akan dimuat.

    Memang media itu, belakangan hanya memuat tulisan yang kurang variatif. Hanya memublikasikan cerpen bergaya bahasa, alur, teknik penceritaan dan penulisan yang nyaris sama. Kendati tema yang disuguhkan beda. Cerpen yang muncul lebih diwarnai cerpen prosa liris.

    Benar. Adalah redaktur menentukan tulisan yang layak muat menurut ukuran mereka. Jika sebuah tulisan dianggap layak muat oleh redaktur, maka tulisan itu bisa muncul di media tersebut.Apakah tulisan itu akhirnya mubazir, tidak dipahami pembaca, atau ha-nya sekedar agar redakturnya bisa dianggap mampu mengikuti trend penulisan mutakhir. Tak penting lagi.

    Kalau benar analisa kawan saya itu, terasa ada sesuatu yang aneh. Karena salah satu fungsi media massa adalah pelayan masyarakat dari semua lapisan. Itulah sebabnya media massa yang mengkhususkan untuk pembaca tertentu tak seharusnya dimasalahkan.

    Semua yang dianggap penting dan layak diberitakan akan dipublikasikan. Entah itu politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, olahraga dan lain-lain. Nah, kalau media massa itu hanya memuat fiksi dengan pola penulisan tertentu, memang, sah-sah saja redaktur berbuat demikian. Tetapi, menjadi pertanyaan apakah media massa hanya menjadi bacaan kalangan tertentu?

    Sebagai pelayan masyarakat seharusnya sebuah media massa tidak hanya menyodorkan tulisan dalam format tertentu. Karena pembaca media cetak, pasti beragam. Beragam pendidikan, latar belakang, usia, serta profesinya. Seperti halnya media (massa) elektronik. Dalam menayangkan acara ia tidak memilih trend tertentu. Mulai dari kartun hingga berita. Tak ada yang dipilih-pilih.

    Berbagai jenis musik pun ditayangkan. Tak hanya musik untuk konsumsi kaum muda. Namun, juga golongan untuk kaum tua hingga anak-anak. Musik cadas hingga keroncong. Karena sebagai pelayan masyarakat, tidak sepatutnya sebuah media massa memihak.

    Diantara berbagai cabang kesenian, agaknya, memang nasib seniman sastra (baca: sastrawan) yang paling tragis. Bagaimana tidak, seorang sastrawan (entah itu penyair, cerpenis, esais, maupun novelis) yang media ekspresinya hanya media (massa) cetak dan buku tidak bebas berekspresi di beberapa tempat. Berbeda dengan seniman lain. Bidang kesenian lain, musik misalnya. Meskipun tempat ekspresinya terbatas. Namun, mereka punya hak untuk memasyarakatkan karyanya di beberapa media. Sebuah lagu umpamanya, boleh ditampilkan di beberapa panggung. Bisa ditayangkan di beberapa media. Bahkan dengan format yang sama.

    Demikian dengan kesenian lainnya. Sebutlah, seni lukis. Kesenian ini punya hak untuk memamerkan karya yang sama di beberapa tempat. Padahal yang dipamerkan lukisan yang sama. Mereka tidak haram menyampaikan ekspresi keseniannya di beberapa tempat. Bahkan akhir-akhir ini sebuah sinetron dapat ditayangkan berkali-kali di beberapa media elektronik.

    Beda dengan sajak atau cerpen misalnya. Sebuah sajak atau cerpen agaknya, dianggap haram jika dimuat lebih dari satu media cetak, sehingga tidak jarang ada penyair atau cerpenis terkena kartu kuning, bahkan kartu merah bila diketahui memublikasikan sebuah karya pada dua atau tiga media cetak. Padahal, kadang-kadang, belum tentu suatu kesengajaan jika seorang sastrawan mempublikasikan karyanya lebih dari satu media.

    Jika seorang penyair mengirim sajak ke sebuah media cetak. Dan sudah cukup lama tak dimuat. Mungkin penyair yang bersangkutan beranggapan sajak tersebut tak layak muat di media tersebut. Wajar jika penyair kemudian mengetik ulang dan mengirimkan ke media lain.

    Celakanya (?) jika ternyata media yang dianggap tidak akan memuat sajaknya itu ternyata memuatnya. Padahal ada media lain terlanjur memuat sajak yang sama. Jika yang terjadi demikian, seringkali, sang penyair dianggap tidak fair. Lantaran mengirim sajak yang sama di lebih dari satu media cetak.

    Diakui atau tidak, sampai saat ini, belum ada kejelasan kapan sebuah karya sastra bisa dimuat atau tidak. Tidak ada batasan waktu yang pasti. Bahkan tidak jarang sang redaktur tidak memberitahukan apakah tulisannya akan dimuat atau tidak. Ini dapat dipahami, karena banyaknya naskah yang harus diseleksi redaktur. Namun, akibatnya sang penulis terpaksa mengalami nasib kurang menguntungkan. Nasib sastrawan menjadi tidak jelas. Tidak sedikit yang dianggap tidak punya etika.

    Tanpa ada pembatasan terhadap jenis karya sastra, sesungguhnya nasib sastrawan sudah mengenaskan. Apalagi jika sastrawan dipaksa mengikuti selera redaktur seperti yang pernah disampaikan teman saya. Padahal setiap sastrawan mempunyai ciri khas dalam berkarya. Seorang cerpenis tak bisa dipaksa menulis dengan gaya bertutur dengan pola tertentu sebagaimana cerpenis lain. Demikian pula dengan penyair. Sebab setiap sastrawan punya ciri khas yang tidak sama.

    Sebagaimana cabang kesenian lain. Dalam jalur yang sama pun bisa tidak mungkin bisa sama. Karya-karya Rhoma Irama tak mungkin sama dengan karya yang dihasilkan Caca Handika meski sama-sama beraliran dangdut. Lagu-lagu Koes plus tentu beda dengan lagu karya Bimbo. Meski keduanya pop.

    Begitu juga dengan sastra. Sajak-sajak Sapardi Djoko Damono beda dengan Sutardji Calzaum Bahri. Cerpen Ahmad Tohari beda dengan karya Putu Wijaya atau Umar Kayam. Lantas bagaimana mungkin cerpenis dan penyair harus menulis dengan pola yang sama? Jika dipaksakan, bukankah itu hanya mempersempit ruang gerak sastrawan?

    Atau barangkali karena eksistensi seorang sastrawan kurang penting di masyarakat? Jika kita menganggap demikian, kita perlu mawas diri. Sebab diakui atau tidak, keberadaan sastrawan sebagai pencerah batin masyarakat masih diperlukan. Apalagi dalam masyarakat kita yang carut marut, tak lagi peduli dengan moral, etika, atau budi pekerti. Masalahnya apakah masyarakat pembaca mau menerimanya atau tidak?
  
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 27 April 2013

Sunday, April 21, 2013

Kartini Sang Feminis Awal

-- Iwan Nurdaya-Djafar


KARTINI telah menjadi sumber ilham yang tak pernah kering. Hidupnya penuh warna. Selain personanya, hidupnya yang sarat dengan persoalan pun merupakan bahan kajian yang menarik. Kecerdasannya luar biasa. Penguasaan terhadap bahasa Belanda, kepekaan batin, serta kemampuan imajinasinya, telah menampilkan Kartini sebagai cendekiawan yang resah. Kartini adalah jiwa yang menyaksikan kebangkitan sebuah masyarakat yang terlalu lama menderita sengsara. Ia sendiri menjadi bagian, bahkan salah seorang yang ingin memulai kebangkitan itu.

Menurut Goenawan Mohamad, Kartini adalah satu tokoh epik dan tokoh tragis sekaligus. Dalam pelbagai segi ia memenuhi syarat untuk itu: perempuan rupawan, cerdas, perseptif, pemberontak tapi juga anak Bupati Jawa, penuh cita-cita pengabdian tapi juga lemah hati, dan sementara itu terpojok, kecewa, terikat, dan akhirnya meninggal.

Kartini tidak dikaruniai umur panjang, hanya 25 tahun 5 bulan. Lahir pada 21 April 1879 dan meninggal pada 17 September 1904. Tetapi, umur yang pendek itu sempat menggoreskan sebuah riwayat yang dikenal banyak orang. Ia dikenal lantaran surat-suratnya yang mampu menggerakkan hati setiap pembacanya.

?Yang menarik dalam surat-surat Kartini bukanlah cuma isinya, melainkan juga gayanya. Bahasanya seperti ombak dengan badai yang terkadang tak segera kelihatan. Tak datar. Kita mendapatkan ekspresi hiperbolik di pelbagai sudut, terutama ketika ia dengan antusias melukiskan sesuatu atau menyanjung seseorang yang dicintainya. Pelbagai kalimat seakan-akan harus berhenti dengan tanda seru,? puji Goenawan Mohamad dalam esainya bertajuk Monginsidi, Chairil, Kartini (Tokoh + Pokok, 2011, 44)

Poligini, Pendidikan, dan Emansipasi

Kritik Kartini terhadap agama Islam, sebagaimana diajarkan dan dipraktikkan pada masa itu, menjadi semakin keras dan tajam ketika ia semakin tenggelam dalam persoalan mengenai poligini. Kebiasaan berpoligini dalam masyarakat, khususnya di kalangan bangsawan, adalah musuh besar Kartini.

Kartini menganggap poligini adalah suatu dosa dan aib karena poligini memperlakukan kaum wanita dengan sewenang-wenang, seperti terlihat dalam tulisannya yang tajam, ?? dan mengawininya secara sah sesuai dengan hukum Islam. Dan siapa yang tidak melakukan hal itu? Dan mengapa orang tidak berbuat demikian? Itu bukan dosa, bukan pula aib; ajaran Islam mengizinkan kaum lelaki kawin dengan empat orang wanita sekaligus. Meskipun hal ini seribu kali tidak boleh disebut dosa menurut hukum dan ajaran Islam, selama-lamanya saya tetap menganggapnya dosa. Semua perbuatan yang menyebabkan semua manusia menderita, saya anggap sebagai dosa. Dosa ialah menyakiti makhluk lain; manusia atau binatang. Dan dapatkah kamu membayangkan siksaan yang harus diderita seorang perempuan jika suaminya pulang bersama perempuan lain sebagai saingannya yang harus diakuinya sebagai istrinya yang sah? Suami dapat menyiksanya sampai mati, menyakitinya sesukanya. Kalau ia tidak hendak menceraikannya, sampai mati pun perempuan itu tidak akan memperoleh hak! Semua untuk kaum lelaki dan tidak ada sesuatu pun untuk kaum perempuan, itulah hukum dan ajaran kami.?

Poligini yang dipandang halal oleh fikih lama, berdasarkan kajian Siti Musdah Mulia dalam bukunya Islam Menggugat Poligami (Gramedia Pustaka Utama, 2004) justru dinyatakan haram lighairih (haram karena eksesnya). Beberapa negara muslim semisal Turki melalui UU Civil Turki 1926 dan Tunisia melalui Majalat Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah No. 66 Tahun 1956 yang telah diubah beberapa kali terakhir pada 1993, melarang poligini!

Perhatian Kartini bahkan melebar kepada persoalan masyarakat seperti misalnya penyakit masyarakat pada zamannya di Jawa, yaitu kebiasaan mengisap candu yang menghabiskan daya hidup rakyat Jawa. Kartini menulis dengan sengit, ?Kejahatan yang jauh lebih jahat dari alkohol ada di sini! Yaitu candu. Aduh! Tak terkatakan kesengsaraan yang dibawa oleh barang laknat itu di atas negeri saya, pada bangsa saya. Candu adalah penyakit sampar Pulau Jawa. Ya, candu lebih ganas dari penyakit pes. Penyakit pes tidak kekal, pada suatu ketika penyakit itu surut, tapi kejahatan yang ditimbulkan oleh candu bertambah lama bertambah besar. Makin lama makin meluas dan tidak pernah akan lenyap, hanya karena diawasi oleh pemerintah. Makin banyak orang mengisap candu di Jawa, akan makin punahlah kantong milik negara. Cukai candu adalah salah satu sumber penghasilan yang melimpah bagi pemerintah Hindia-Belanda. Tidak peduli apa yang terjadi pada rakyat, baik atau buruk pokoknya -- pemerintah beruntung, itu yang penting. Kebiasaan yang buruk itulah yang mengisi dompet pemerintah Hindia-Belanda dengan beratus-ratus ribu, berjuta-juta uang emas.

Kesadaran Kartini atas bahaya candu tentu tiada bedanya dengan kesadaran kita akan bahaya narkoba pada saat ini. Tak pelak, Kartini telah pula menempatkan dirinya sebagai seorang kritikus sosial, bukan sebatas feminis yang kritis dengan persoalan-persoalan keperempuanan belaka. Hari kelahirannya dirayakan sebagai Hari Kartini oleh bangsa Indonesia, sayangnya kebanyakan perempuan Indonesia kurang memahami hakikat perjuangan Kartini manakala bentuk perayaannya diapresiasi dalam bentuk kegiatan yang remeh dan melecehkan, semisal lomba sanggul Kartini!

'Feminis' Awal

Menurut A. Nunuk P. Murniati, pada zamannya Kartini terpengaruh paham feminisme liberal. Kelompok ini memiliki asumsi bahwa ketidakadilan perempuan disebabkan oleh aturan atau hukum yang mengatur masyarakat. Perempuan didudukkan pada posisi subordinat. Dengan demikian, untuk meningkatkan kedudukan perempuan, mereka harus dididik.

Kartini, tak pelak, adalah pemikir feminisme Indonesia awal. Meskipun dia seorang putri priyayi toh dia tiada membanggakan diri sebagai keturunan bangsawan. "Aku rasa tidak ada hal yang lebih menggelikan dan bodoh daripada orang yang membiarkan dirinya dihormati hanya karena ia keturunan bangsawan," tulisnya seraya mengimbuhkan, "Panggil aku Kartini saja, itu namaku."

Iwan Nurdaya-Djafar, Budayawan

Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 April 2013

[Buku] Menjadi Guru Panutan Murid

Data buku
Guruku Panutanku
Sigit Setyawan
Kanisius, 2013
134 hlm
SEORANG guru, sebagaimana dirumuskan negara dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, haruslah memiliki kompetisi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.

Namun, dewasa ini perkembangan profesionalisme guru tampaknya mengarah pada hal lain. Sebagian dari mereka lebih banyak bergelut dengan persoalan teknis dan legal formal portofolio yang harus dikumpulkan untuk mendapatkan predikat ?profesional? melalui program sertifikasi guru.

Pada saat yang sama, pelatihan guru lebih banyak berkaitan dengan kemampuan pedagogik semata, seperti kompetensi untuk menyusun rencanan pengajaran, metode mengajar, dan mengevaluasi. Sedangkan kompetensi kepribadian dan sosial yang berkaitan erat dengan penanaman nilai-nilai hidup bagi siswa sangat sedikit dibahas.

Kondisi demikian rupanya membuat gelisah seorang guru Bahasa Indonesia bernama Sigit Setyawan sehingga dalam tesis S-2-nya sebagaimana yang tertuang dalam buku yang diberi judul Guruku Panutanku ini, penulis berusaha secara singkat mengingatkan serta menjelaskan peran guru dalam menanamkan nilai kepada siswa berdasarkan teori kognitif sosial Albert Bandura.

Guru sebagai model dalam konteks teori kognitif sosial dijelaskan dalam konsep modeling, siswa sebagai pihak yang mengamati dan terpengaruh dalam konteks ini dianggap sebagai human agency, dan proses terjadinya pengaruh itu telah dipolakan dalam proses pembelajaran observasional.

Teori kognitif sosial berangkat dari pembelajaran observasional. Manusia belajar dari interaksinya dengan manusia lain. Seorang anak akan belajar dari orang dewasa dengan cara mengamati tindakan orang dewasa. Dari pengamatan, seorang anak dapat membuat imitasi atas tindakan tersebut. Observasional biasanya dipakai untuk memostulatkan tendensi natural manusia untuk meniru apa yang dilakukan orang lain. (hlm. 11)

Hasil penelitian di IPEKA International Christian School Jakarta ini, Sigit Setyawan menyimpulkan peran guru dalam mendidik karakter siswa sangat penting. Keteladanan dalam sikap disiplin merupakan temuan paling kuat dalam hal ini.

Memberikan nasihat kepada siswa juga ternyata merupakan salah satu cara efektif dalam memengaruhi siswa. Namun, yang tak kalah penting adalah pendekatan individual dengan memahami kebutuhan tiap siswa sangat efektif mempengaruhi siswa dengan tipe pendiam atau pasif di kelas. (hlm. 71-85)

Berjam-jam waktu yang dihabiskan para siswa di kelas setiap harinya, menjadikan guru sosok model dalam kelas. Apa yang dilihat siswa kemudian diabstraksikan ke dalam pikiran mereka. Modeling merupakan salah satu hal paling kuat dalam mentransfer nilai-nilai, sikap, pola pikir, dan perilaku. Keteladanan adalah faktor utama dalam mendidik remaja, tanpa keteladanan, ajaran atau didikan akan dicemooh dan dianggap munafik oleh siswa.

Sayangnya, tidak sedikit guru cenderung tidak menyadari bahwa mereka memengaruhi siswa. Apa pun mata pelajaran yang diajar oleh seorang guru, nilai-nilai yang dihayati akan memancar dari diri guru.

Teladan yang buruk akan membuat siswa menangkap hal-hal yang buruk pula, demikian sebaliknya teladan yang baik akan membuat siswa menangkap nilai positif dari diri sang guru. (hlm. 127)

Sebagaimana dikatakan oleh Paul Suparno, S.J. dalam pengantarnya, kehadiran buku ini dapat memberikan inspirasi kepada pembaca dan pendidik cara membantu siswa mengembangkan nilai kehidupan. Selain itu, juga dapat menjadi inspirasi bagi para guru untuk sadar bahwa tugas mereka bukan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, melainkan juga menanamkan nilai kehidupan, termasuk nilai karakter, kepada siswa.

Dengan kata lain, tugas seorang guru bukan hanya masuk kelas dan menjejali para murid dengan teori-teori dengan tujuan sekadar mengejar target kurikulum, atau meng-install isi kepala mereka dengan transfer pengetahuan. Lebih dari itu, guru juga seharusnya menjadi sosok yang patut diteladani dan memberikan contoh positif kepada para muridnya. Mari menjadi guru panutan para murid.

Hilyatul Auliya, alumnus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 April 2013

Memberdayakan Sastrawan dan kehidupan Sastra Indonesia

-- Damiri Mahmud

ADA dua peristiwa penting dalam Sastra Indonesia Modern yang saya hadiri baru-baru ini dan ikut berperan di dalamnya. Pertama, Pertemuan Pengarang Indonesia (PPI) di Makasar akhir tahun 2012. Kedua, Maklumat Hari Sastra Indonesia (HSI) di Bukittinggi, 24 Maret 2013.

Pertemuan di Makasar itu terutama membicarakan kemungkinan terbentuknya satu organisasi pengarang Indonesia yang akan memungkinkan fungsi dan kedudukan para pengarang dalam sosok yang jelas. Selama ini sangat dirasakan posisi pengarang berada dalam keadaan yang sangat lemah sehingga keberadaannya antara ada dan tidak di kalangan masyarakat dan pemerintah. Padahal karya-karya mereka dibaca oleh masyarakat, dipelajari di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Tapi kehidupan pengarangnya selalu dilupakan, bahkan mereka cenderung diremehkan. Telah menjadi mitos bahwa pengarang atau sastrawan (baca: seniman) seorang yang pemalas, acak-acakan, punya ego tinggi, dan terutama tak punya penghasilan financial.

Di mata penerbit dan pemilik koran dan majalah, para pengarang hampir tak punya posisi tawar yang jelas. Para penerbit buku hanya mau menerbitkan buku-buku yang dianggap laku dan cocok dengan selera pasar sehingga akan menjadi best-seller. Padahal buku-buku yang seperti itu belum tentu bermanfaat dan mencerdaskan masyarakat bahkan mungkin hanya menjadi racun belaka. Pada sisi lain, buku-buku yang laku tersebut belum tentu memberikan imbalan yang sepantasnya kepada si pengarang oleh karena posisi yang tidak jelas antara pengarang dan penerbit.

Untuk itu para pengarang harus berada pada posisi yang setara dengan pemerintah sehingga kedua belah pihak dapat saling isi mengisi dalam mencapai tujuan dan misi yang diharapkan. Begitu juga terhadap penerbit buku dan pemilik koran dan majalah. Kalau posisi pengarang telah kuat tentu mereka dapat berbicara secara seimbang.

Timbul pertanyaan, sosok organisasi yang bagaimanakah yang akan kita wujudkan? Belajar dari sejarah, kita telah pernah memiliki organisasi seperti Lekra, LKN, Lesbumi, dan sebagainya di mana sebagian besar pengarang ikut masuk ke dalamnya. Organisasi ini bisa kuat oleh karena disokong secara ideal dan financial oleh partai politik pada waktu itu. Tetapi setelah partai politik yang menghidupinya bermasalah atau bahkan padam -- seperti Lekra yang berafiliasi ke partai Komunis Indonesia -- lenyap pulalah organisasi itu.

Dalam pertemuan di Makasar itu disepakati bahwa organisasi yang akan dibentuk itu adalah sebuah organisasi profesi yang lepas dari segala ikatan dengan pemerintah dan partai politik. Oleh karena singkatnya waktu pertemuan, disepakati dibentuknya Tim Perumus yang terdiri atas tujuh orang. Mereka diberi kepercayaan oleh Sidang untuk dapat mewujudkan sosok organisasi itu di samping terus berkomunikasi dengan para peserta dan penanda tangan dalam mengambil keputusan bersama.

Pada peristiwa yang kedua, oleh Taufiq Ismail dkk, timbul pertanyaan bahwa kita belum mempunyai suatu hari yang disebut Hari Sastra Indonesia. Hal ini penting karena kita memiliki tradisi sastra yang luhur dalam mencerdaskan dan memanusiakan masyarakat kita.

Sebutlah misalnya Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, Ronggowarsito, Abdoel Moeis, Marah Rusli, Sutan Takdir Alisjahbana, Hamka, Sanusi Pane, Armijn Pane, Amir Hamzah, Ali Hasjmi, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Bokor Hutasuhut, Rendra, Taufiq Ismail dan lain-lain. Mereka telah menuliskan karya-karya ke dalam bentuk naskah dan buku yang ikut berjasa membina karakter masyarakat dan bangsa kita. Lagi pula, Hari Sastra dapat dijadikan sebagai momentum supaya masyarakat dan terutama generasi muda dapat menghargai dan membaca karya sastra terus berkesinambungan sampai ke masa yang akan datang.

Maka berkumpullah sekitar 50 orang Sastrawan Indonesia yang datang dari berbagai penjuru tanah air di Rumah Puisi Taufiq Ismail, Padang Panjang, Sumatera Barat. Para peserta telah bersepakat memilih hari kelahiran Abdoel Moeis pada tanggal 3 Juli 1883 di Bukittinggi sebagai Hari Sastra Indonesia itu. Karya Abdoel Moeis yaitu Salah Asuhan (1928) diakui sebagai karya yang monumental dalam kebangkitan Sastra Indonesia Modern.

Abdoel Moeis dengan pena sastranya telah dengan tajam mengantisipasi ke depan bahwa generasi muda Indonesia yang kebarat-baratan akan mengalami disharmonisasi dan disintegrasi sehingga mengalami kegagalan dalam kehidupan. Abdoel Moeis pun sebagai manusia yang hidup di tengah-tengah masyarakatnya telah menunjukkan keselarasan dengan karya-karya yang ditulisnya. Dia komitmen, jujur dan arif dalam memperjuangkan bangsanya yang ketika itu masih dalam penjajahan.

Dia aktif dalam pergerakan Indonesia Merdeka. Sebagai intelektual pula, Abdoel Moeis yang berpendidikan Sekolah Kedokteran itu, ikut mendirikan ITB di Bandung, yang kemudian menjadi Perguruan Tinggi yang berwibawa. Dia kemudian dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional yang ditetapkan oleh Presiden Soekarno tanggal 30 Agustus 1959.

Maklumat Hari Sastra Indonesia itu telah dilaksanakan di SMA Negeri 2 Bukittinggi (dahulu gedung ini adalah Sekolah Radja atau Kweekschool), pada hari Ahad, 24 Maret 2013. Dimulai dengan upacara Nasional mengumandangkan Indonesia Raya membawa suasana yang mencekam dan diiringi dengan pembacaan Maklumat Hari Sastra Indonesia oleh penyair Upita Agustin (dia juga seorang Guru Besar dengan nama resmi: Prof. Dr. Raudha Thaib) sebagai berikut:

= Untuk menghargai karya sastra yang telah menyumbangkan makna kehidupan bagi keindonesiaan kita.

= Untuk menumbuhkan kecintaan terhadap karya sastra anak bangsa.

= Memupuk silaturahim dan kreativitas antarsastrawan.

=Melanjutkan cita-cita memberi makna luhur bagi keindonesiaan kita.

Bukittinggi, 24 Maret 2013

Hari Sastra Indonesia yang jatuh pada tanggal 3 Juli itu kemudian disahkan oleh Prof. Wiendu Nuryanti, PhD, selaku Wakil Menteri Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, dengan mengetuk palu, di hadapan lebih dari lima puluh Sastrawan Indonesia.

Hadir dalam upacara itu Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Barat, beberapa walikota dan bupati se Sumbar, berbagai tokoh seperti Taufiq Abdullah, Hasan Basri Durin, Azwar Anas, dan lain-lain, sehingga Ketua DPD RI, Irman Gusman, yang hadir dan memberikan kata sambutan, berdecak kagum mengatakan bahwa ia belum pernah menghadiri suatu acara di Sumbar dengan kehadiran tokoh-tokoh masyarakat yang begitu lengkap seperti sekarang ini.

Bagi kehidupan Sastra Indonesia Modern yang masih sangat muda dan selalu redup ini, mungkin fenomena di atas menjadi lampu hijau yang menyala untuk kemudian akan melahirkan karya-karya besar.

Damiri Mahmud, sastrawan berdomisili di Medan

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 21 April 2013

[Artikulasi] Tentang Seorang Perempuan dalam Dunia Kepenulisan

-- Wuri Kartiasih


KALAU dulu RA Kartini tidak memperjuangkan hak-hak perempuan Indonesia, apa cerita perempuan Indonesia sekarang? Adakah perempuan penulis yang andal seperti Alberthiene Endah?

Alberthiene Endah adalah perempuan penulis. Sebelumnya ia menggeluti dunia jurnalistik di majalah yang jelas-jelas berpihak pada perempuan, Femina. Ia mengatakan sangat menikmati dunia tulis-menulis. Dia kerap mewawancarai narasumbernya dengan intens, karena spesialisasinya kini adalah penulisan buku biografi. Tentu saja sedapat mungkin ia menjiwai tokoh yang ditulisnya.

Kesukaannya membaca sejak kecil mengantarkannya ke dunia kepenulisan. Alberthine yang keluarganya dari Yogyakarta lahir di Bandung, 16 September 1970. Dia menghabiskan masa hidupnya di Bandung dan Jakarta. Setelah menamatkan SMA ia mengambil jurusan Sastra Belanda di Universitas Indonesia pada tahun 1989. Setamat kuliah pada tahun 1994, ia bekerja di majalah Hidup, sebuah majalah keagamaan, dari tahun 1993 hingga tahun 1994.

Karier jurnalisnya di majalah Femina berlangsung 10 tahun, dari 1994 hingga 2004. Di majalah wanita tertua di Indonesia ini, dia mengalami warna-warni kehidupan seorang jurnalis. Menyebut pengalamannya yang menarik saat menjadi perempuan jurnalis adalah ketika ia mengunjungi Dili tahun 1996. Ia ditugaskan ke Dili untuk menulis di halaman bonus majalah itu. "Pada saat itu Dili sedang bergejolak, dan banyak wartawan yang sudah ada di sana, tapi semuanya laki-laki. Pada saat itu ada wartawan yang mengatakan ke saya ngapain ke Dili, udah sana masak aja, kan majalah perempuan," ujarnya mengenang saat itu.

"Namun, yang menjadi istimewa ketika akhirnya Uskup Belo mengajak saya langsung untuk berkeliling. Mungkin justru karena saya wanita, sehingga ia secara khusus mengajak saya berkeliling," ujarnya. "Akhirnya saya bisa menulis tentang Dili sebanyak 30 halaman," katanya lagi.

Pengalaman lainnya yang tetap membekas adalah ketika ia berjuang untuk bertemu dengan Xanana Gusmau di penjara. Berhari-hari ia berada di depan penjara Salemba, agar dapat bertemu Xanana yang ketika itu menjadi tahanan politik dan ditempatkan di tempat khusus. "Saya menunggu sampai jam 2 dini hari, selama beberapa hari, hingga akhirnya pada suatu saat saya diizinkan masuk dan bertemu beliau jam 12 malam," ujarnya.

Pengalaman bertemu Xanana yang hanya diperbolehkan selama 15 menit itu sangat berharga, dan menjadi kunci pertemuan berikutnya. "Setelah pertemuan itu, saya jadi mudah ketemu beliau, kapan pun saya datang diterima dengan tangan terbuka," ujarnya senang.

Hingga sekarang Xanana menjadi sahabat baginya. "Kalau saya ke sana (Timor Leste) pasti ke tempat dia, begitu pun sebaliknya, kalau Xanana ke sini pasti ketemu saya," katanya menjelaskan tentang persahabatannya yang berjalan sejak tahun 1999 itu.

Kekecewaannya pada dunia wartawan saat melihat wartawan di Eropa dan Australia sangat dihargai dan di sambut, berbeda dengan yang dialaminya di Indonesia. "Terkadang beberapa pihak hanya menghargai wartawan bila ada perlunya, perlakuan mengecewakan masih terjadi di sini," ujarnya. "Saya ingin wartawan bisa lebih dihargai, baik dalam sikap, maupun salary-nya," ujar perempuan penulis yang memelihara enam ekor anjing ini.

Perjalanan kepenulisannya mulai dari dunia jurnalistik berlanjut menjadi penulis buku biografi. Sudah banyak tokoh terkenal di negri ini yang dia tulis kisah hidupnya, sebut saja penyanyi Krisdayanti.

"Selama sepuluh tahun kerja tahu-tahu aku ingin membuat cerita panjang dan aku mewawancarai Krisdayanti membuat Seribu Satu KD dan gak tahunya meledak," ujar Alberthiene.

Setelah keberhasilan menulis buku Seribu Satu KD, ia pun melanjutkan membuat buku tentang Raam Pundjabi, Venna Melinda, Chrisye, Anne Avantie. Semua buku yang ia buat itu hanya dalam kurun waktu tiga tahun. "Dalam kurun waktu tiga tahun itu saya berhasil membuat enam buku biografi dan enam novel, serta beberapa skenario film dan FTV," ujar penulis skenario film Detik Terakhir ini.

Ia hanya ingin membuktikan ketika kita mau dan memiliki kesempatan, artinya kita menyediakan waktu, dan ketika itu kita punya tekad, "Menulis itu powerfull banget, itu bisa dijadikan money, menjadikan suatu prestasi dan bisa membuat suatu gebrakan juga," kata wanita yang menikah pada Desember tahun 2005 ini.

Dalam membuat biografi ia mematok waktu paling minim adalah enam bulan. Itu pun menurutnya sudah termasuk buru-buru. "Sebenarnya semakin lama semakin baik, tapi jangan terlalu lama, itu bisa membuat mood turun, kalau sudah turun tulisan kendor, jadi kurang menjiwai," ujar istri Dio Hilaul ini.

Salah satu novelnya yang berjudul Jangan Beri Aku Narkoba mendapat penghargaan khusus dari Badan Narkotika Nasional dan meraih juara pertama Adikarya Award 2005 dari IKAPI.

Saat ini kesibukannya sebagai penulis terus berjalan, sebentar lagi buku biografi hasil karyanya tentang Sophia Mueller, nama baru dari Sophia Latjuba, akan segera diluncurkan.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 21 April 2013

[Artikulasi] Eksplorasi dan Ekspresi Penulis Perempuan

-- Wita Lestari
SAAT ini perempuan Indonesia sudah banyak yang bereksplorasi dan bereskpresi dalam dunia kepenulisan. Terlepas dari apakah mereka terinspirasi oleh RA Kartini yang jago menulis, yang jelas mereka sudah pasti beberapa langkah lebih maju dari Putri Bupati Jepara itu dalam hal keterbukaan berpikir dan bersikap.

NAOMI Wolf, seorang feminis asal Amerika, menyebut Abad 20 sebagai era gegar jender, era kebangkitan perempuan. Gaung kebangkitan ini terus berkembang di berbagai aspek kehidupan. Kaum perempuan yang sebelumnya mengalami subordinasi, represi, dan marjinalisasi di berbagai bidang dalam sistem patriarki, kini bisa mempertanyakan dan menggugat ketidakadilan itu, semisal dalam dunia kepenulisan.

Karya perempuan penulis yang marak bermunculan pada dekade belakangan ini secara umum dapat dikategorikan dua kelompok. Pertama, karya penulis perempuan yang secara sadar mengangkat tubuh dan seksualitas sebagai persoalan serius. Kedua, karya penulis perempuan yang tidak secara khusus bergelut dengan soal-soal keperempuanan meskipun tokoh utamanya mungkin perempuan.

Yang termasuk golongan pertama antara lain: Ayu Utami, Dinar Rahayu, Nova Riyanti Yusuf, dan Djenar Maesa Ayu. Golongan kedua antara lain: Laksmi Pamuntjak, Linda Christanty, Nukila Amal, dan Dewi Lestari.

Kemunculan kelompok pertama dimotori oleh Ayu Utami dengan novel Saman pada tahun 1998 (walaupun gaya penulisan seperti itu sebelumnya sudah diperkenalkan oleh Oka Rusmini) yang menimbulkan kontroversi. Dalam sejarah sastra Indonesia, kehadiran Ayu Utami memberikan sentuhan baru persoalan seks dalam sastra. Hal tersebut terkait dengan keberaniannya dalam menulis seksualitas secara eksplisit dan dalam.

Karyanya menjadi trend setter bagi perempuan penulis lainnya. Misalnya, dalam sebuah wawancara, pemenang sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta 2004, Dewi Sartika menyatakan bahwa novelnya, Dadaisme, dipengaruhi cara menulis Ayu Utami.

Novel Saman sendiri sebenarnya tidak hanya mengangkat seksualitas. Bila kita membaca dengan jeli, hal yang lebih kental ditonjolkan dalam novel ini adalah nuansa politisnya. Novel ini berisi gugatan terhadap kekuasaan Orde Baru yang militeristis dan sangat patriarkis.

Meminjam terminologi Mikhail Bakhtin, novel itu mengandung hetroglossia, keragaman, layaknya sebuah karnaval. Novel itu berkisah tentang pemogokan buruh, kolusi pengusaha perkebunan dengan militer lokal, penyiksaan aktivis, fenomena gaib, sekaligus mempertanyakan iman Katolik, dominasi lelaki atas perempuan, seksualitas dan cinta, dibalut bahasa yang indah dan eksploratif.

Pada kenyataannya kontroversi yang terjadi atas terbitnya sebuah karya sastra lebih sering terjadi karena ketidaksiapan masyarakat dan penguasa (politis, spiritual, dan moralis) dalam menanggapi ekspresi individu yang berbeda. Kita cenderung terbiasa dengan keseragaman, sehingga saat terjadi sesuatu yang bertentangan dengan tata nilai kolektif, hal itu menjadi masalah.

Menengok ke belakang, penulis perempuan zaman dulu menggunakan nama samaran, dari masa RA Kartini hingga Selasih. Pemakaian nama samaran ini dimaksudkan untuk meloloskan diri dari ancaman hukum adat atau pemerintah kolonial.

Sekarang ini walaupun perempuan penulis tidak lagi menggunakan nama samaran, namun potensinya belum diakui sungguh-sungguh dengan tangan terbuka. Menurut Nenden Lilis, perempuan penulis asal Bandung, banyak tuduhan-tuduhan tak terbukti yang dialamatkan kepada perempuan. Apabila karyanya dimuat, atau mendapat penghargaan, pasti dikait-kaitkan sebagai karya orang dekatnya. Isu yang muncul adalah bahwa perempuan tersebut memiliki hubungan khusus dengan redakturnya atau pemberi penghargaan itu.

Penulis perempuan juga kerap direndahkan peranannya dalam dunia kesusasteraan karena topik yang diangkat biasanya hanya seputar persoalan psikologis. Ada anggapan bahwa perempuan lebih sensitif daripada laki-laki, karena itu perempuan tidak bisa mengangkat topik-topik yang lebih luas. Dalam hal ini, Nenden Lilis berkomentar dengan tegas, "Sensitif itu bukan persoalan jenis kelamin, tapi itu tergantung kepada individu masing-masing. Coba lihat puisi karya Sapardi Djoko Damono, pemilihan diksi-diksinya sangat lembut dan halus."

Menurutnya, jika kita mau membuka mata sebenarnya tidak ada pembagian kerja secara seksual dalam sastra. Artinya, tidak relevan mengatakan perempuan harus menulis apa dan lelaki boleh menulis apa. Juga sangat tidak beralasan mengaitkan sebuah karya dengan kehidupan pribadi penulisnya, karena baik buruknya sebuah karya sastra hanya layak diukur dengan parameter yang berkaitan dengan sastra pula.

Fenomena yang terjadi belakangan ini sebenarnya merupakan reaksi atas represi terhadap perempuan oleh tata nilai yang serba-patriarkis. Kehadiran karya ‘para sastrawati' ini justru menyemarakkan khazanah sastra kita.

Sisi positif bangkitnya perempuan-perempuan penulis, menurut Ayu Utami, perempuan bisa memanfaatkan momen ini agar kebangkitan ini berlanjut. Sedangkan menurut Nova Riyanti Yusuf, pembaca akan mendapat pilihan bacaan yang lebih variatif.

Sementara sisi negatifnya, menurut Ayu, penerbit cenderung menganggap penulis perempuan sebagai komoditi yang laku di pasar. "Jadi, tetap saja perempuan dianggap sebagai obyek," kata Ayu kepada Jurnal Nasional beberapa waktu lalu di Jakarta. Namun, Nova Riyanti Yusuf berpendapat perempuan penulis jangan takut untuk tetap bereksplorasi dan berekspresi untuk sesuatu yang baru selama itu positif.

Nova Rianti Yusuf adalah perempuan penulis yang novelnya, Mahadewa dan Mahadewi laris manis di pasaran. Penulis yang juga dokter ahli jiwa dan legislator ini mengatakan, posisi perempuan dalam khasanah sastra Indonesia cukup kuat dan menjadi mata angin arah sastra Indonesia. Nova cukup bangga karena hal tersebut tidak terjadi di negara tetangga. "Di Malaysia (misalnya) tidak ada karya sastra perempuan yang mencuat," ujar Nova saat ditemui Jurnal Nasional di Jakarta beberapa waktu lalu.

Posisi perempuan penulis, menurut Nova, pada awalnya memang mengalami marjinalisasi. Keberadaan para perempuan penulis sering dikaitkan dengan laki-laki di dekatnya. "Fenomena tersebut akan hilang dengan sendirinya jika si perempuan bisa mempertahankan kualitas dan di dalam tulisannya ada pesan kuat yang disampaikan," ujar Nova. Nova juga berpendapat bahwa pandangan negatif itu dapat ditepis jika perempuan terus-menerus produktif dan memunculkan ide-ide kreatif yang baru.

Nova mengatakan, gaya penulisannya sendiri yang dinilai banyak pihak cukup berani merupakan bentuk euforia terhadap kebebasan mengungkapkan kegelisahan. "Dalam posisi trans ternyata kita lebih bebas mengekspresikan kegundahan terhadap masalah-masalah sosial yang ada," tutur Nova.

Menurut Nova, setiap generasi masing-masing tegak berdiri di atas permasalahannya. Realitas sosial, politik, dan ekonomi yang melingkupinya sangat berpengaruh. Ia mengibaratkan keberanian para perempuan penulis menggambarkan permasalahn secara eksplisit seperti waduk yang tidak ada saluran keluarnya. "Pro dan kontra dapat membuat suatu karya lebih hidup," katanya.

Nova berpendapat, pada hakekatnya setiap penulis itu berbeda, entah itu gaya bahasa, tema yang disampaikan atau cara bertutur. Psikoanalisa dalam artian latar belakang juga berpengaruh, baik itu latar belakang keluarga, pendidikan. "Misalnya saya, dengan latar belakang medis saya memperkuat tulisan saya dengan psikiatri, ilmu yang saya pelajari," kata penulis novel Threesome ini.

Penggemar JK Rowling dan Paulo Coelho ini mengartikan seksualitas sebagai insting. "Bila kita benar-benar menghayati proses menulis, hal tersebut akan keluar begitu saja," katanya.

Ia juga tidak menampik pro dan kontra atas karyanya. "Jika suatu karya sudah dilempar kepada publik, merupakan hak prerogatif pembaca untuk menilainya," ujar Nova.

Nova yang mulai belajar menulis sejak SD ini mengatakan, untuk saat ini ia menyublimasikan tulisannya, sehingga lebih bersifat kontemplatif. Hal tersebut berhubungan dengan spiritualitas Nova yang semakin matang. "Menulis adalah proses pembelajaran yang tiada henti. Mencari gaya penulisan adalah proses yang tidak akan pernah mencapai tahapan baku," kata Nova. n

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 21 April 2013

[Tifa] Meneropong Seni Sosialis Rusia

MENENGOK seni lukis dari Rusia mencuatkan sebuah makna mendalam yang membuat kita harus melihat dari berbagai perspektif untuk bisa mendapatkan hakikat yang sesungguhnya.

Perkembangan seni lukisan era 2000-an tak akan terlepas dari perkembangan seni Soviet (nama negara asal Rusia sebelum menjadi beberapa negara bagian) yang disebut sots art--seni bercorak sosialisme--terutama pada era 1970 hingga 1980-an. Hampir semua pelukis saat itu begitu menjadikan masa-masa pemberontakan kaum sosialis sebagai bentuk mencari jati diri. Sots art menjadi sebuah bagian penting yang disebut alternatif budaya dan oposisi dalam mendominasi paham ideologi.

Permainan simbol, moto, dan propaganda menjadi ciri khas yang membuat karya-karya itu sempat ditolak penguasa. Tak mengherankan, seniman-seniman di zaman itu disebut sebagai kelompok subversif atau pembangkang.

Salah satu karya Oleg Tselkov tanpa judul menghadirkan seorang manusia utuh. Dia hanya menghadirkan wajah, tangan, dan kaki. Seakan ada sebuah masa yang kejam sehingga orang-orang begitu takut pada kekuasaan.

"Karya-karya yang dipamerkan adalah sots art, sebuah seni yang digunakan sebagai provokasi," ujar kurator sekaligus kolektor Deborah C Iskandar di sela-sela pameran di Pusat Kebudayaan Rusia (PKR), Jakarta, pertengahan pekan ini.

Pada pameran yang berlangsung sejak 16-27 April itu, ada puluhan karya belasan seniman besar Moskow dipamerkan dengan balutan historis yang tinggi. Namun, sejumlah 24 karya yang ada semuanya tak memiliki judul. "Saya lupa hampir sebagian besar judul lukisan ini sehingga saya tak mencantumkan. Namun, karya-karya pelukis Rusia penuh dengan estetika tinggi," papar perempuan berkebangsaan Amerika yang sudah 20 tahun menetap di Indonesia itu.

Sederet lukisan yang terpajang yaitu karya pelukis Vladimir Nemukhim, Lidiya Masterkova, Ernst Neizvestny, Zoya Frolova, Vyacheslav Kalinin, Vitaly Komar, Mikhail Chemyakin, dan Leonid Sokov.

Karya-karya yang terangkum dalam sots art itu dapat kita kenal lewat simbol, moto, dan tanda-tanda propaganda sosialistis (palu dan arit, bintang, pelopor salut, pembawa spanduk, potret pemimpin, dan lain-lain) yang digunakan dengan lelucon. Berkat simbol-simbol tersebut, kita menjadi paham arti sebenarnya dan kesadaran orang menjadi bebas dari standar ideologis.

Lidiya Masterkova (1927-2008) menghadirkan karya berjudul Kasih Ibu. Dalam objek lukisan yang buram itu terlihat seorang ibu sedang menyusui anaknya. Permainan warna yang pudar memang sengaja dihadirkan Masterkova sebagai bentuk protes kepada ibu-ibu di Rusia yang tak menyusui buah hatinya dengan ASI eksklusif.

Koleksi
Semua lukisan karya seniman Rusia yang dipajang pada pameran bertema itu merupakan koleksi Debora. Ia mulai membeli secara langsung dari pelukis saat melawat ke Eropa Timur.

"Saya pernah tinggal di Hong Kong dan Inggris. Saya mendapatkan karya para seniman legendaris secara langsung dari pelukis sendiri hingga dari balai lelang," ungkapnya.

Lukisan-lukisan itu baru pertama kali ia pamerkan kepada khalayak umum. Ia sengaja melakukan hal itu karena mendapatkan dukungan dari PKR.

"Sebenarnya seni Rusia itu unik. Ada realis hingga abstrak sehingga membuat orang mudah mengenal corak dan motifnya," timpal Ekaterina Tuchnina.

Memperhatikan karya-karya yang terpajang mengingatkan kita pada masa pemerintahan Uni Soviet yang begitu otoriter. Ciri khas karya para seniman pun menunjukkan ada sebuah gerakan protes yang mereka ciptakan hingga pengaruhnya masih bertahan di era kontemporer Rusia sekarang ini. (Iwa/M-1)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 21 April 2013

[Tifa] Penantian Abadi di Stasiun Kereta

-- Iwan Kurniawan
   
Sutradara Adjeng MJ menghadirkan roman picisan. Dekorasi dan set panggung menunjukkan drama musikal Gita Cinta digarap secara serius.

POPULER: Drama musikal Gita Cinta saat dipentaskan di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail
Marzuki (TIM), Jakarta, Rabu, (17/4). Tema klasik ini cukup populer dan menghibur penonton.
MI/ATET DWI PRAMADIA
LELAKI itu begitu gelisah menanti di sebuah stasiun. Ia mengerang lalu bernyanyi secara liris. Ada sebuah pemberontakan dalam hati. Kekasihnya telah pergi meninggalkan dia entah untuk sementara ataukah selamanya.

"Pertemuan, pertemanan, percintaan, pertengkaran, perpisahan.... Rindu, dendam makin dalam, makin kelam...," ujar Galih membuka adegan pementasan drama musikal Gita Cinta di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pertengahan pekan ini.

Pentas yang penuh dengan nuansa musikal itu akan berlangsung hingga malam ini. Ada sebuah pesan, cinta akan tetap bersemi meski ditentang dan dilarang.

Pementasan selama 2 jam itu dipenuhi suasana keremajaan yang terbuai oleh kisah percintaan. Tata panggung cukup sederhana. Ada sebuah kursi, kereta, dan tiang. Semuanya semakin membisu saat kereta fajar hendak berangkat.

Lakon tersebut menghadirkan sebuah kilas balik pada kisah percintaan antara Galih (Gabriel B Hervianto) dan Ratna (Andrea Miranda). Pada adegan awal, terlihat Galih yang pupus, tetapi masih percaya pada sebuah arti penantian.

Adegan pun berlanjut di sebuah sekolah. Para siswa dan siswi sedang memulai aktivitas. Galih masuk dari sisi kiri seraya mendorong sepedanya.

Di sekolah itu terdapat sebuah kantin. Biasanya siswa-siswi bergosip hingga berdiskusi. Pagi itu, ayah (Chandra Satria) mengantar Ratna ke sekolah yang baru. Ia siswa pindahan dari sebuah desa di Pantai Utara. "Ratna, ini sekolahmu yang baru," ujar sang ayah saat mengantar anak gadisnya itu.

Ada perasaan tak menentu saat Ratna masuk ke sekolah. Ia mendapati teman-teman baru dengan bermacam karakter. Ada yang baik dan jahat. Seperti dalam kisah aslinya dalam novel Gita Cinta dari SMA karya Eddy D Iskandar, kisah perjumpaan dua sejoli itu tergambar secara jelas.

Adegan pun berlanjut saat seorang guru sejarah (Lisa Depe) masuk ke kelas sambil membawa buku. Ia mulai mengajarkan sejarah cinta kepada murid-murid. Ia mengambil kapur dan menulis kata 'cinta' di papan tulis.

Adegan itu bagai sebuah intro drama musikal yang terbagi dalam dua babak. Masing-masing terdiri dari 10 babak yang memiliki sebuah kisah yang utuh tentang dua tokoh utama.

Pada bagian pertama, kisah perjumpaan hingga percintaan begitu tampak jelas. Ada nuansa kasmaran hingga kerinduan yang berbunga-bunga.

Bagian kedua menjadi sebuah perjodohan hingga perpisahan. Konflik pun semakin terasa saat ayah melarang Ratna untuk berpacaran dengan Galih.

Pasalnya, ayah telah menjodohkan Ratna dengan seorang pemuda kaya (Dendy MP Hamid). Ibu (Christine Tambunan) tak bisa berbuat banyak. Apalagi, ayah sangat keras kepala untuk hal yang satu itu.

"Untuk apa perjodohan ini (Ratna dan pemuda lain). Apakah karena bisnis atau harga diri?" ujar Mbak Ning (Sita Nursanti), adik ayah. "Kau jangan memengaruhi dia...," timpal ayah.

Mbak Ning sangat menantang perjodohan itu. Apalagi, ia merasa iba melihat Ratna yang selalu murung di dalam kamar. Sebuah pengalaman pahit sebenarnya telah ia alami duluan puluhan tahun silam. Saat itu, Ning terpaksa dijodohkan di kampung.

Ruang berbeda

Terlepas dari naskah itu sendiri yang sudah populer, aspek tata panggung (skenografi) juga begitu memikat mata. Penata panggung dan dekor set Hardiman Radjab mampu menghadirkan nuansa yang sesuai dengan kisah dalam percintaan itu.

Permainan cahaya dan lampu semakin melengkapi dekorasi. Itu terlihat saat kegiatan di rumah, sekolah, stasiun, dan taman. Semuanya dihadirkan secara tepat dengan penuh estetika.

Pada satu adegan yang menggambarkan Galih dan Ratna tak ingin berpisah, misalnya, tata panggung dibuat mendatar tapi kontras.

Di sisi kiri, ada rumah Galih yang sederhana. Di sisi kanan, Ratna sedang di kamar yang penuh dengan buku-buku.

Ada sebuah simbol, mereka berdua memang berlatar belakang strata (sosial) berbeda.

Drama musikal produksi kedua Art Swara dengan pengarah musik Dian HP itu menghadirkan aransemen musikal yang mampu menggambarkan jalannya cerita kisah percintaan tersebut.

"Pada 2010, semua adegan disajikan secara bernyanyi. Namun, di sini saya mencoba memberikan celah untuk adanya proses dialog dalam pertunjukan," ujar Dian, serius.

Kendati demikian, drama musikal Gita Cinta masih memiliki kelemahan, terutama pada beberapa tokoh yang bukan pemeran utama. Sebagian aktor begitu asyik berakting sehingga terkesan berlebih-lebihan.

Penggunaan bahasa baku memperlihatkan pertunjukan itu cukup serius digarap. Sutradara mampu menghadirkan sebuah roman picisan yang menggugah dan menggetarkan hati penonton. (M-1)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 21 April 2013

[Jendela Buku] Terputusnya Generasi Dayak Bakumpai

-- Soelistijono


Judul: Anak Bakumpai Terakhir
Penulis: Yuni Nurmalia
Penerbit: Salsabila
Terbitan: 2013
Sebuah kisah tragis dampak dari keserakahan manusia. Pemusnahan etnik secara sistematis oleh kekuatan modal sedang terjadi di Kalimantan.

TANAH Kalimantan telah terenggut. Kekayaan alamnya terkuras habis dan penghuni moyangnya terus merana, hidup tanpa arah tujuan. Terasing di tanah leluhurnya sendiri.

Pulau eksotik dengan berkah kekayaannya yang melimpah itu telah mengundang orang luar untuk menjarahnya. Nafsu eksploitasi oleh orang-orang berduit dari luar Kalimantan itu berakibat fatal bagi kehidupan suku Dayak. Suku asli yang telah meninggali dan hidup di hutan-hutan Kalimantan sejak dulu.

Setelah puluhan tahun eksploitasi berlangsung, hutan alam di Kalimantan terbabat habis oleh operasi illegal logging, satwa endemis orang utan, serta yang lainnya menuju kepunahan abadi.

Tidak itu saja, operasi tambang batu bara dan logam mulia di sana juga menambah sesak kadar polusi di seantero Kalimantan. Tanah, sungai, dan laut sekitarnya tercemar limbah logam berat. Bumi Kalimantan sudah sekarat menuju kehancuran abadi.

Kisah-kisah mengenaskan tentang bumi Kalimantan itu tergambar dengan jelas dalam novel Anak Bakumpai Terakhir karya Yuni Nurmalia, diterbitkan oleh Salsabila. Ruh yang ingin disampaikan di buku ini adalah bagaimana suku asli yang mendiami Kalimantan itu mulai kehilangan segalanya yang mereka punya. Tidak hanya kekayaan alamnya yang terampas, tetapi jati diri hingga keturunannya pun pada akhirnya akan hilang.

Dengan mengambil setting cerita suku Dayak Bakumpai, sebagai penulis buku ini bisa dengan jelas menuangkan alur demi alur kisah yang sangat menggugah itu.

Lewat tokoh Aruna (aku) seorang anak kecil perempuan, tergambarkan betapa bumi Kalimantan sekarang ini sudah menuju kehancuran. Lewat keluarga Aruna, hubungan kekeluargaan, tradisi, hingga konflik keluarga yang ingin mempertahankan darah murni Dayak Bakumpai tergambarkan dengan bagus.

Dari Aruna pula, kita akan tahu betapa suku Dayak di Kalimantan, seperti Dayak Ngaju, Kahayan, Ot Danum, dan Bahau menghadapi dilema hidup yang luar biasa. Mereka harus memilih hidup dengan cara mengikuti orang luar yang menjarah tanah leluhurnya atau bertahan dengan melestarikan lingkungan alamnya.

Lewat tokoh Aruna, Samudera, Avara yang masih mengalir darah Bakumpainya, dan Eliyana seorang peneliti dari Jakarta sekaligus pecinta alam--sahabat Aruna--konflik batin kemanusiaan itu tergambar syahdu.

Aruna yang mendapat wasiat dari Kai (kakeknya) agar kelak jika sudah dewasa nanti bersedia kawin dengan laki-laki asli Bakumpai demi menjaga garis keturunan suku harus menghadapi kondisi yang pahit.

Samudera yang masih saudaranya, setelah pindah ke Jawa karena orang tuanya Bi Awahita dan Lizam, ayahnya yang bukan berdarah asli Bakumpai rela hidup meninggalkan Tanah Kalimantan.

Dalam kesempatan bertemu dengan Aruna, Samudera dewasa pun telah berubah sikap. Dia tidak mau lagi menginjak tanah leluhurnya meski dia menyatakan masih bersaudara dengan Aruna.

Avara, lelaki asli berdarah Bakumpai yang dijodohkan dengan Aruna oleh Kai, tidak kunjung berjodoh. Dia lebih mengikuti jiwa petualangannya daripada menuruti wasiat Kai atau keinginan ayahnya Arai.

Kisah hidup Avara memang stragis. Dia oleh Arai diserahkan kepada orang kaya yang kerjanya mengeruk kekayaan alam Kalimantan untuk diasuh di Jakarta.

Drama pertemuan yang tidak disengaja dari tiga saudara sedarah ini pun dilukiskan cukup menyentuh oleh penulis buku ini. Mereka bertemu saat ada kabar tentang terdamparnya tiga paus raksasa di pinggir Pantai Ujung Pandaran, dekat Kota Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah (hlm 235). Mereka seperti baru saja saling kenal, kenangan hidup masa kanak-kanak di hutan Kalimantan seperti terhapus. "Angin malam berhembus kencang. Suara ombak mendebur di telingaku, tapi aku merasa hening saat ini. Ku rasa itu adalah pertemuan terakhirku dengan Samudera. Avara pun menghilang, mungkin ia sudah pergi entah ke mana. Aku tidak peduli lagi." (hlm 247).

Alur

Buku setebal 263 halaman ini dengan baik mengangkat tema yang bisa dipastikan akan menarik minat pembacanya. Sebuah proses kepunahan dari etnik Dayak di Kalimantan akibat perusakan alam dan eksploitasi berlebihan yang abai akan nilai-nilai humanitas penduduk aslinya.

Cara penyampaiannya yang tidak bertele-tele juga memudahkan pembacanya untuk memahami alur cerita yang ingin dirangkai. Penulis buku ini juga bisa mengajak pembacanya untuk masuk ke alam budaya Kalimantan dengan dialog yang memasukkan unsur bahasa asli etnik Bakumpai.

Hanya saja ending yang disajikan penulis terkesan masih menggantung. Namun, mungkin penulis juga ingin mengajak pembacanya terlibat secara emosional memberi sumbangsih bagi eksistensi etnik Dayak di bumi Kalimantan.

Aruna merana dengan masih menunggu kedatangan Avara untuk ikut bersama melestarikan tanah moyangnya. Sebuah penantian yang tiada ujung.(M-4)

Judul: Anak Bakumpai Terakhir Penulis: Yuni Nurmalia Penerbit: Salsabila Terbitan: 2013

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 21 April 2013

[Jendela Buku] Karya Sastra Motivasi dan Selera Pasar

PASAR buku di Tanah Air dalam lima tahun terakhir ini boleh dibilang lebih bergairah daripada yang sudah-sudah. Itu, seperti diakui beberapa pengurus Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), tidak terpengaruh oleh kehadiran perangkat smartphone yang menyediakan layanan buku digital (e-book) dengan cepat dan mudah.

Penikmat buku lebih suka ke toko buku untuk mendapatkan judul buku yang diinginkan. Bahkan di beberapa daerah seperti Surabaya dan Yogyakarta, gairah perbukuan itu semakin dirasakan dengan bertambahnya judul buku yang diterbitkan penerbit lokal. Toko-toko buku pun mulai menjamur.

Dalam beberapa kesempatan, terlihat penerbit lokal lebih banyak menerbitkan karya-karya sastra seperti novel dengan beragam jenis. Alasannya, buku dalam bentuk novel saat ini lebih mudah dipasarkan dan semakin diminati masyarakat.

Dalam setahun, sekitar 8.000 judul buku bisa diterbitkan pelbagai penerbit di dalam negeri, baik penerbit besar maupun kecil, meski harus diakui, capaian angka itu masih jauh jika dibandingkan dengan negara lain yang masyarakatnya sudah melek baca.

Sebagai gambaran, di Amerika Serikat angka penerbitan buku sudah mencapai 80 ribu judul dalam setahun. Demikian juga buku-buku yang diterbitkan di negara-negara Eropa seperti Jerman, Inggris, dan Prancis, yang kuantitasnya mendekati angka yang diraih AS tersebut.

Bahkan di negara berkembang seperti Iran, Mesir, dan India, diperkirakan buku yang diterbitkan dalam setahun mencapai 60 ribuan judul. Di Mesir atau Iran, hal itu bisa terjadi karena negara tersebut dikenal sebagai surganya penerbit. Mereka bisa menerbitkan buku-buku tertentu tanpa harus membeli hak intelektual dari pengarangnya.

Tidak sedikit penerbit asal Indonesia yang berburu judul-judul buku tertentu. "Biasanya buku religius beraliran syiah yang banyak disediakan," kata salah seorang pengelola penerbitan di Jakarta yang tidak mau namanya ditulis.

Tak mengherankan, dari sekitar 8.000 buku setiap tahun yang dicetak penerbit lokal itu, sebagian besar ialah buku-buku terjemahan. Pihak penerbit beralasan masih sedikit penulis lokal yang menghasilkan karya-karya yang mereka anggap berbobot.

Persoalan kapasitas dan kualitas perbukuan tersebut bagaikan mengurai benang kusut. Mungkin hal itu disebabkan tingkat penghargaan terhadap penulis dari segi materi masih minim. Selain itu, penerbit mengaku menghadapi kesulitan untuk menjual buku-buku terbitan lokal.

Berimbas

Kondisi yang tidak menentu itu rupanya menghasilkan 'kompromi' antara penulis dan pihak penerbit. Pasar menjadi pertimbangan utama dan sudah seharusnya mereka layani dengan cerdas.

Nah, entah secara kebetulan, saat pasar lebih banyak menyerap karya-karya yang tergolong 'buku motivasi' dan religi, kehadiran karya sastra seperti roman Negeri 5 Menara (2009) karya Ahmad Fuadi terbitan Gramedia, Ayat-Ayat Cinta (2004) karya Habiburrahman El Shirazy yang diterbitkan penerbit Basmala dan Republika, langsung diserbu pembaca. Penjualannya mencapai sekitar 200 ribu eksemplar.

Negeri 5 Menara bercerita tentang kehidupan enam santri dari berbagai daerah yang menuntut ilmu di sebuah pondok pesantren di Ponorogo Jawa Timur dan berhasil mewujudkan impian masing-masing.

Dalam perspektif pembaca, buku tersebut sangat memotivasi atau menginspirasi bahwa siapa pun orangnya akan sulit untuk sukses tanpa diikuti kerja keras.

Buku lainya yang mendapat sambutan hangat dari pasar yaitu Laskar Pelangi (2005), karya Andrea Hirata yang diterbitkan Bentang Pustaka. Novel tersebut menceritakan kehidupan 10 anak dari keluarga miskin yang belajar (SD dan SMP) di sebuah sekolah di Belitung yang kondisi ekonominya sangat terbatas. Namun, keterbatasan yang ada tidak menjadikan mereka putus asa. Yang terjadi justru mereka terpacu untuk dapat melakukan sesuatu yang lebih baik.

Karya lain baru-baru ini misalnya Sepatu Dahlan. Novel ini bisa dianggap memotivasi pembaca setelah mengetahui kisah hidup seorang Dahlan Iskan, orang jelata yang sukses menjadi pengusaha dan menteri.

Novel itu mengajarkan dan memotivasi bahwa hidup miskin bukan berarti harus mengiba untuk dikasihani, melainkan harus dihadapi dengan kerja keras dan doa. Buku-buku yang dianggap bisa memotivasi dan mengarahkan pembangunan jiwa bagi pembaca ternyata mendapat sambutan luar biasa besar dari pasar.

Sebagai sebuah tren sekaligus peluang bagi pelaku industri perbukuan, hal itu tentu sah-sah saja. Meskipun dalam sejarah kesusastraan di Tanah Air, karya-karya yang dianggap sukses lahir tidak didasarkan pada harapan pasar, tetapi lebih pada idealisme sastra itu sendiri.

Karya sastra yang lahir waktu itu lebih menekankan karya yang bernapaskan perlawanan hingga kritik sosial. Tema dari karya sastra semacam itu tidak memiliki pretensi untuk memotivasi pembacanya atau menggiring orang untuk bersemangat, how to.

Coba tengok lagi karya sastra Bumi Manusia oleh Pramoedya Ananta Toer atau Merahnya Merah karya Iwan Simatupang, yang begitu kuat akan kesadaran eksotis dan memperbincangkan alegori bangsa yang runyam. Akan tetapi, sekarang pengarang sepertinya harus beradaptasi dengan permintaan pembacanya, dalam hal ini selera pasar. Tentu saja dua hal itu memiliki kelebihan masing-masing. Jika dulu tren karya sastra lebih memotret kondisi sosial dan bangsa secara kritis tanpa embel-embel, karya itu nantinya, laku atau tidak, sekarang banyak penerbit akan bersedia mencetak sebuah karya sastra yang sesuai dengan selera pasar.

Keuntungan dari kecenderungan perkembangan tren penulisan dan respons pasar tersebut tentu juga ada. Misalnya, orang awam yang tidak tahu tentang nilai sastra sekarang bisa dan mau membaca karya sastra. Sastra menjadi membumi, dibaca oleh khalayak seluasnya-luasnya.     (Soelistijono/M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 21 April 2013

Budaya Harus Menjadi Panglima

PERINGATAN Hari Lahir (Harlah) Ke-79 Gerakan Pemuda (GP) Ansor digelar di Balai Kartini, Jakarta, tadi malam. Ribuan anggota Banser GP Ansor dari Jabodetabek, Bandung, Sulawesi, mengikuti harlah yang bertemakan Dari pesantren untuk bangsa: merevitalisasi tradisi dan menghargai budaya lokal.

Acara tersebut diisi pula dengan pidato kebudayaan oleh KH Mustofa Bisri dan dihadiri sejumlah kalangan dari Nahdlatul Ulama (NU) di antaranya Mahfud MD dan Lilly Wahid.

Ketua Umum GP Ansor Nusron Wahid berharap eksistensi GP Ansor hingga mencapai usia ke-79 dapat membawa manfaat bagi seluruh umat manusia. Nusron mengatakan, dengan membawa tema kebudayaan dan pesantren, pihaknya ingin menunjukkan bahwa kebudayaan bisa memperbaiki citra politik.

"Politik tidak dilawan dengan politik, tetapi dengan gerakan kebudayaan supaya memiliki keberadaan yang pas," ujarnya dalam sambutan saat membuka acara harlah GP Ansor itu.

Ia juga mengatakan peran dan pengaruh Islam yang lebih menonjol terlihat dalam sistem pendidikan dan sistem budaya bangsa.

"Dalam bidang pendidikan, pesantren mengajarkan nilai-nilai Islam yang memberikan alternatif baru kepada para penganutnya. Itu terlihat dari pembentukan pola hubungan antara santri dan kiai, masjid dan rumah, dan membentuk nilai-nilai yang menghargai tradisi lokal," tandasnya.

Secara budaya, kata Nusron, tradisi Islam pesantren masuk dan berinteraksi dengan budaya lokal secara damai, bersifat terbuka, dan inklusif. "Inilah budaya dasar pesantren yang lebih adaptif terhadap tumbuhnya nilai-nilai budaya lokal," pungkasnya.

Modal budaya yang dimiliki pesantren, kata Nusron, harus menjadi bagian budaya yang dilestarikan dalam sistem nilai kebudayaan nasional.

Ketua Panitia Hari Lahir Ke-79 GP Ansor, Ace Hasan Syadzily, menambahkan budaya pesantren sebagai subkultur Indonesia lebih adaptif dan menghargai tradisi dan kearifan budaya lokal. Selain itu, menurutnya, budaya pesantren dapat mengembalikan akar budaya Indonesia yang ramah dan toleran. "Ini juga sebagai kekuatan sejarah, militansi paham keagamaan, militansi perjuanga

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 21 April 2013

Sastra Masa Depan Harus Kembali pada Perenungan

-- Isbedy Stiawan ZS

PADA November 2012 lalu, saya berjumpa lagi dengan penyair asal Madura ini, D Zawawi Imron, pada acara Pertemuan Pengarang Indonesia (PPI) di Makassar. Setelah beberapa tahun tak bertemu, penulis buku puisi Bantalku Ombak Selimutku Angin ini sudah bertongkat. Kami pun berangkulan.

Ternyata penambahan satu kaki itu untuk menyangga kaki kanan D Zawawi Imron yang katanya teridentifikasi pengeroposan. Tapi penyair ini tetaplah terpancar kegagahannya. Ia juga selalu tersenyum, menaburkan tawa dan canda pada rekan-rekan pengarang tanpa memandang senior ataupun junior.

Saya baru tahu, kenapa penyair yang juga pernah diundang di berbagai forum sastra dan budaya di Tanah Air ataupun luar negeri ini selalu tersenyum walaupun mungkin ada canda rekan-rekan penyair yang keliwat batas. ‘’Selalu berpikir positif dan tersenyumlah pada siapapun dan itu dilakukan dari dalam jiwa,’’ katanya.

Ia pun mencontohkan, para pengajar semestinya sejak masuk kelas hingga keluar berilah senyuman pada siswa (murid) dengan senyuman dari dalam hati. Dengan demikian, para guru telah menyumbangkan pada anak-anak bangsa rasa damai. ‘’Damai itu datang dari hatinurani, bukan dari slogan. Damai itu indah, harus dimulai dari perilaku bukan menyuruh,’’ ujar D Zawawi Imron.

Saya telah menduga salah, pertemuan di Makassar tak lagi berlanjut. Penyair Madura ini kembali saya jumpai di Lampung, Rabu malam, 6 Maret 2013 lalu. Saya berkesempatan menemaninya selama dua jam.

Bersama penyair Syaiful Irba Tanpaka, kami mengobrol dengan penyair ‘’silawan’’ (nama daun yang tumbuh di desa kelahiran Zawawi) ini di Kafe Diggers, Pahoman, Bandarlampung. Kedatangan Zawawi Imrom ke Lampung serangkaian kegiatan yang diadakan Yayasan Paramadina di Universitas Lampung.

***

D ZAWAWI Imron, penyair yang juga kyai ini, meski hanya berpendidikan rendah setingkat SD di desa yang dulunya sangat terpencil namun dengan kegigihan dan perjuangannya bisa menjadi salah seorang penyair Indonesia yang diperhitungkan (Celurit Emas, Said Abdullah Institute, untuk Kongres Kebudayaan Madura II, 2012).

Penyair “Bulan Tertusuk Ilalang” yang telah memperoleh penghargaan The SEA Writers dari Kerajaan Thailand tahun 2012 ini, banyak menerbitkan kumpulan puisi. Zawawi Imron mulai diperhitungkan dalam ranah sastra Indonesia ketika diundang Pertemuan Penyair 10 Kota tahun 1982 di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.

Dari Hotel Sheraton, tempat penyair ini menginap, hingga Kafe Diggers kami membincangkan ihwal sastra Indonesia. Percakapan dilanjutkan di kafe di sela-sela menikmati hidangan ringan dan penyair ini membuat sketsa wajah kami.

Menurut penyair yang semasa kecil pernah menjalani kehidupan sebagai kuli dan mengumpulkan batu-batu untuk menghampari jalan, saat ini banyak penyair muda yang di antaranya bagus dan bisa diharapkan menjadi penyair yang benar-benar bagus.

Bagi mereka yang baru muncul menghiasi media cetak, biarlah berproses untuk menemukan identitas dirinya dalam puisinya. ‘’Saya senang membacanya, karena ada warna dan gaya yang bagus,’’ ujar penyair kelahiran 1 Januari 1945 di Batang-Batang, Sumenep, Madura.

Penyair kumpulan puisi Nenek Moyangku Airmata yang ditunjuk sebagai Buku Puisi Terbaik dari Yayasan Buku Utama (1985) mengaku ada semacam perasaan bahagia tersendiri dalam kehidupan bersajak, yakni ia sering berhadapan dengan aneka rahasia dan teka-teki yang mengasyikkan untuk disingkap.

‘’Adakalanya saya berhasil membuka sebagian saja wajah teka-teki itu, tapi adakalanya pula saya kehilangan jejak karena rahasia dan teka-teki itu secara tiba-tiba menghilang dari jangkauan ingatan atau kenangan,’’ ujar penyair yang dikenal sebagai ustad ini.

Proses kreatif Zawawi Imron ini pernah pula ia sampaikan pada pembacaan sajak-sajak “Celurit Emas” di TIM, 22 November 1984. Menyinggung maraknya komunitas sastra di Tanah Air, Zawawi melihatnya sebagai gerakan positif. Dikatakan penulis buku Madura Akulah Darahmu dan Lautmu tak Habis Gelombang ini, kalau anak-anak muda mau menulis dengan jiwa yang jernih dan kreatif, berarti makin banyak barisan hatinurani yang akan memberikan inspirasi positif bagi bangsa nantinya.

Menanggapi masa depan sastra harus kembali kepada sastra ’renungan’ yang sempat dilontarkan Budi Darma, penyair yang kini bekerja di Yayasan Paramadina ini, sangat setuju. Pasalnya, Zawawi menerangkan, olah pikir dan olah rasa dengan penghayatan terhadap nilai-nilai hidup itu diperlukan untuk memberikan ruh dan substansi kemanusiaan ke dalam sastra.

Karena itu, sastra tanpa renungan tentu tak mengandung pendalaman. Ia hanya ditulis mengikuti selera pasar dan otomatis tak bisa memberi inspirasi yang menuju kehidupan berbudaya dan bermartabat.

Sastra hasil kontemplasi, menurut Zawawi, akan menyimpan nilai-nilai yang diperlukan pembaca. Sehingga pembaca menemukan sesuatu yang berharga (bernilai) yang sebelumnya tidak terpikirkan. Ihwal anggapan karya sastra di media cetak cenderung mengikuti selera redaktur, Zawawi Imron menilai, bahwa tiap tedaktur sastra punya selera sendiri itu sudah sejak dulu. Karena itu, pesan dia, redaktur sastra harus pula luas cakrawala sastranya. Tetapi yang sudah berjalan ini sudah sehat.

Sayang percakapan harus dihentikan, sebab malam menunjukkan pukul 22.13. Penyair D Zawawi Imron harus istirahat, seperti kata dia saat di mobil seakan mengingatkan kami, berilah hak bagi tubuhmu untuk istirahat karena jika kau tak memberikan hak itu pada tubuhmu sama artinya telah menzalimi diri sendiri. n

Isbedy Stiawan ZS, sastrawan yang rajin menulis karya sastra seperti sajak, cerpen dan esai. Buku-buku kumpulan puisinya telah terbit dan terjual di pasaran. Bermastautin di Bandarlampung, Lampung.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 21 April 2013

Ihwal Sepatu

-- Riza Multazam Luthfy

SEPATU menyimpan berbagai identitas diri. Dari yang sederhana hingga paling luks sekalipun. Identitas-identitas tersebut melekat seiring laju perjalanan kehidupan manusia yang semakin kencang. Dahulu kala, penggunaan sepatu ditengok dari satu sudut pandang saja, yaitu berdasarkan fungsi. Siapapun yang memakai sepatu pada umumnya bertujuan untuk melindungi kaki dari ancaman duri, paku, pecahan kaca atau benda berbahaya lainnya yang bisa mengakibatkan seseorang terluka saat berjalan. Selain itu, sepatu juga dimanfaatkan untuk menghindarkan tubuh, utamanya kaki, dari kebekuan saat musim dingin tiba. Dengan kulit atau bahan baku lainnya, sepatu dipercaya mampu mengusir bengalnya kedinginan dan menghadirkan bulir-bulir kehangatan.

Namun demikian, menggelindingnya bola waktu nyatanya menunjukkan kegunaan sepatu kian beragam. Sepatu tak lagi melulu sebagai pelindung kaki. Lebih dari itu, sepatu telah dilegitimasi menjadi simbol kemapanan, kesopanan, serta profesionalitas.

Harga diri sepatu pun meningkat, sebab menjelma menjadi lambang gengsi kehidupan. Itulah mengapa, guna menopang penampilan dan meyakinkan orang lain bahwa dirinya adalah eksekutif sejati, maka seorang perempuan memerlukan simbol-simbol kebudayaan (ikon) yang membungkus tubuhnya sepanjang hari, di antaranya mode sepatu hak tinggi dengan ujung sempit. (Sidik Jatmika, 2009: 138). Dengan mengenakan sepatu tersebut, niscaya kesan rendah perempuan dengan sendirinya akan hilang.

Mengenai harga diri sepatu ini, Darmawijaya (1994) mencatat bahwa Michael Jordan pernah dijanjikan mengantongi kompensasi sangat tinggi bila bersedia memakai sepatu Nike dalam pertandingan bola basket. Betapa hanya dengan menempel pada kaki pemain basket dunia, derajat sepatu juga turut melambung. Berbanding terbalik dengan apa yang dialami Sadisah, seseorang bermatapencaharian penjahit sepatu. Ia menjahit sepatu tersebut di Tangerang dengan menghabiskan waktu sekitar dua minggu dan dituntut bekerja ekstra keras selama 10 jam saban hari untuk bisa membeli sepatu yang biasa dijahitnya. Demikianlah, dengan mudahnya pemakai sepatu Nike memperoleh gengsi tinggi, namun begitu sulit bagi para pembuatnya untuk meraih gengsi tersebut.

Penyalahgunaan Sepatu

Meski terkesan remeh, fakta berkoar bahwa dalam sepatu terkandung kekuatan besar yang tak boleh dipandang sebelah mata. Sayangnya, kelebihan yang melekat pada sepatu justru kerap disalahgunakan. Misalnya, demi kepentingan pragmatis, sepatu dimanfaatkan para penguasa untuk melindas rakyat. Pada saat itulah sepatu berperan sebagai simbol kekuasaan.

Pada 1997, dengan sisa-sisa kekuatan Orde Baru, gerakan penyeragaman masih jadi momok menakutkan bagi masyarakat, karena menyelundup ke hampir segala sendi kehidupan, tak terkecuali kehidupan anak-anak. Betapa tidak! Upaya menyeragamkan segala-galanya yang berhubungan dengan kehidupan anak-anak mencapai puncaknya dengan adanya penyeragaman sepatu sekolah. Hal ini diwujudkan dengan terbitnya Keputusan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang merekomendasikan sepatu berlogo Organisasi Siswa Intra-Sekolah (OSIS) untuk dipakai oleh murid-murid baru. Sesuai rencana, sepatu bermerek OSIS tersebut akan dijadikan sepatu nasional (sepnas), dengan target semua murid Sekolah Dasar di seluruh Indonesia.

Sepatu yang dipasok PT Aryo Nusa Pakarti dengan harga Rp21.000 tersebut dinilai terlalu mahal dan memberatkan wali murid. Padahal, dengan kualitas yang sama sepatu semacam itu bisa didapat di Cibaduyut dengan harga Rp10.000. Meski perusahaan milik cucu pertama Presiden Soeharto, Ary Sigit, tersebut berjanji menyumbang Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GN-OTA) untuk tiap 10 pasang yang terjual, sorotan luar biasa tetap datang dari berbagai pihak.

Syukurlah, gerakan penyeragaman sepatu sekolah tersebut dibatalkan. Didorong berbagai pertimbangan dan masukan, akhirnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mencabut surat rekomendasi ’bisnis sepatu sekolah’ yang diberikan ke PT Aryo Nusa Pakarti.

Ikhtiar penyalahgunaan sepatu juga begitu nampak ketika sepatu dinobatkan sebagai simbol kekejaman. Hal itu diwakili oleh sosok bengis sepatu lars militer, yang merupakan lambang kekerasan serta produk dari pemerintahan tiran. Aksi-aksi kekerasan sengaja dirancang guna menyajikan teror kepada rakyat; berlangsung secara sistematik dan struktural dengan mendayagunakan sepatu lars militer selaku pendukungnya.

Anneline Marie Frank, gadis keturunan Yahudi yang hidup pada masa Perang Dunia II, begitu cemas ketika di tempat persembunyiannya mendapati suara derap sepatu lars militer Nazi. Sungguh, hanya dengan mendengar suara yang ditimbulkan sepatu tersebut, Anne bisa menggigil ketakutan. Dalam dirinya terdapat kekhawatiran, apabila ia beserta keluarganya ditemukan oleh para tentara Nazi. Untungnya, di bawah bayang-bayang sepatu lars militer, saksi peristiwa Holocaust tersebut tetap menulis kegelisahannya dalam buku harian. Meskipun kemudian ia tertangkap, ternyata diari tersebut berhasil diselamatkan, diterbitkan, dan diterjemahkan dalam banyak bahasa. Diari Anne dimasukkan dalam ribuan kurikulum sekolah menengah di seluruh dunia dan menjadi inspirasi tak henti bagi setiap pembaca.

Ilham dari Sepatu
Posisi sepatu tak ubahnya dengan pisau; pada suatu kali dipakai dalam keburukan, namun pada kali lain untuk perkara yang bermanfaat bagi kehidupan. Barang tentu hal itu tergantung pada siapa yang menggunakan. Tak ayal, selain menjadi simbol kekuasaan dan kekejaman, sepatu juga menjadi pemantik bagi lahirnya konsep arsitektur dan karya sastra.

Di tangan arsitek handal, sepatu mengilhami tercetusnya konsep arsitektur yang mengagumkan. Philip K Hitti (1970) dalam bukunya yang tersohor, History of Arabs, melanting notasi bahwa konsep arsitektur sepatu kuda yang kelak menjadi keistimewaan muslim-Barat merupakan salah satu ciri khas bidang arsitektur Spanyol-muslim. Sistem arsitektur itu merebak pada bangunan-bangunan di utara Suriah, Ctesifon, juga tempat-tempat lain.

Tapak lancip, penanda penting arsitektur Barat-Gotik, muncul pertama kalinya dalam arsitektur Islam pada Masjid Umayyah dan Istana Amrah. Beberapa jenis corak lingkaran sepatu kuda lainnya di Barat masyhur dengan sebutan lengkungan Moor. Di semenanjung utara terdapat kombinasi antara tradisi Kristen dan muslim sehingga muncul suatu corak berciri khas penggunaan tapak dan kubah sepatu kuda. Para arsitek Mudejar mengantar seni campuran ini menggapai puncak keindahan dan kesempurnaan serta menjadi gaya nasional Spanyol. 

Sepatu juga mendermakan inspirasi bagi Khrisna Pabichara dalam menganggit novel Sepatu Dahlan. Novel yang diangkat dari memoar Dahlan Iskan dalam menapaki terjalnya kehidupan sampai berhasil merengkuh kesuksesan. Di dalamnya digambarkan bagaimana beratnya perjuangan menteri BUMN tersebut untuk memiliki sepatu dan mengejar mimpi-mimpi lainnya. Begitu akrabnya telinga masyarakat dengan profil tokoh satu ini, didukung dengan penggarapan penulis yang serius dan intens, muncul animo luar biasa dari masyarakat dengan membelinya di toko-toko buku, sehingga dalam waktu singkat novel tersebut mengetam label Best Seller.  

Ada fenomena menarik ketika novel tersebut diluncurkan di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta. Pada waktu itu, Dahlan melempar sepatu yang ia pakai. Aksi pelemparan sepatu itu merupakan bentuk penolakan terhadap sepatu rakitan luar negeri. Usai melempar sepatu, Dahlan mengawali Gerakan Sepatu untuk Anak Indonesia dengan membagikan secara gratis sekitar 1.000 sepatu untuk anak-anak Sekolah Dasar di seluruh sudut Jakarta. Entah, apa yang dilakukan memang berasal dari lubuk hati terdalam, bertujuan pencitraan, ataukah dalam rangka membuat novel tersebut laris manis di pasaran. Yang pasti, respon masyarakat sangat berbeda bila dibandingkan ketika rencana penyeragaman sepatu OSIS dijalankan. n

Jogjakarta, 2012

Riza Multazam Luthfy, menulis puisi, cerpen dan esai. Karya-karyanya bertebaran di beberapa media. Cerpennya juga tergabung dalam antologi Negeri Sejuta Fantasi (2012). Kini melanjutkan studi di program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 21 April 2013