-- Soelistijono
Sebuah kisah tragis dampak dari keserakahan manusia. Pemusnahan etnik secara sistematis oleh kekuatan modal sedang terjadi di Kalimantan.
TANAH Kalimantan telah terenggut. Kekayaan alamnya terkuras habis dan penghuni moyangnya terus merana, hidup tanpa arah tujuan. Terasing di tanah leluhurnya sendiri.
Pulau eksotik dengan berkah kekayaannya yang melimpah itu telah mengundang orang luar untuk menjarahnya. Nafsu eksploitasi oleh orang-orang berduit dari luar Kalimantan itu berakibat fatal bagi kehidupan suku Dayak. Suku asli yang telah meninggali dan hidup di hutan-hutan Kalimantan sejak dulu.
Setelah puluhan tahun eksploitasi berlangsung, hutan alam di Kalimantan terbabat habis oleh operasi illegal logging, satwa endemis orang utan, serta yang lainnya menuju kepunahan abadi.
Tidak itu saja, operasi tambang batu bara dan logam mulia di sana juga menambah sesak kadar polusi di seantero Kalimantan. Tanah, sungai, dan laut sekitarnya tercemar limbah logam berat. Bumi Kalimantan sudah sekarat menuju kehancuran abadi.
Kisah-kisah mengenaskan tentang bumi Kalimantan itu tergambar dengan jelas dalam novel Anak Bakumpai Terakhir karya Yuni Nurmalia, diterbitkan oleh Salsabila. Ruh yang ingin disampaikan di buku ini adalah bagaimana suku asli yang mendiami Kalimantan itu mulai kehilangan segalanya yang mereka punya. Tidak hanya kekayaan alamnya yang terampas, tetapi jati diri hingga keturunannya pun pada akhirnya akan hilang.
Dengan mengambil setting cerita suku Dayak Bakumpai, sebagai penulis buku ini bisa dengan jelas menuangkan alur demi alur kisah yang sangat menggugah itu.
Lewat tokoh Aruna (aku) seorang anak kecil perempuan, tergambarkan betapa bumi Kalimantan sekarang ini sudah menuju kehancuran. Lewat keluarga Aruna, hubungan kekeluargaan, tradisi, hingga konflik keluarga yang ingin mempertahankan darah murni Dayak Bakumpai tergambarkan dengan bagus.
Dari Aruna pula, kita akan tahu betapa suku Dayak di Kalimantan, seperti Dayak Ngaju, Kahayan, Ot Danum, dan Bahau menghadapi dilema hidup yang luar biasa. Mereka harus memilih hidup dengan cara mengikuti orang luar yang menjarah tanah leluhurnya atau bertahan dengan melestarikan lingkungan alamnya.
Lewat tokoh Aruna, Samudera, Avara yang masih mengalir darah Bakumpainya, dan Eliyana seorang peneliti dari Jakarta sekaligus pecinta alam--sahabat Aruna--konflik batin kemanusiaan itu tergambar syahdu.
Aruna yang mendapat wasiat dari Kai (kakeknya) agar kelak jika sudah dewasa nanti bersedia kawin dengan laki-laki asli Bakumpai demi menjaga garis keturunan suku harus menghadapi kondisi yang pahit.
Samudera yang masih saudaranya, setelah pindah ke Jawa karena orang tuanya Bi Awahita dan Lizam, ayahnya yang bukan berdarah asli Bakumpai rela hidup meninggalkan Tanah Kalimantan.
Dalam kesempatan bertemu dengan Aruna, Samudera dewasa pun telah berubah sikap. Dia tidak mau lagi menginjak tanah leluhurnya meski dia menyatakan masih bersaudara dengan Aruna.
Avara, lelaki asli berdarah Bakumpai yang dijodohkan dengan Aruna oleh Kai, tidak kunjung berjodoh. Dia lebih mengikuti jiwa petualangannya daripada menuruti wasiat Kai atau keinginan ayahnya Arai.
Kisah hidup Avara memang stragis. Dia oleh Arai diserahkan kepada orang kaya yang kerjanya mengeruk kekayaan alam Kalimantan untuk diasuh di Jakarta.
Drama pertemuan yang tidak disengaja dari tiga saudara sedarah ini pun dilukiskan cukup menyentuh oleh penulis buku ini. Mereka bertemu saat ada kabar tentang terdamparnya tiga paus raksasa di pinggir Pantai Ujung Pandaran, dekat Kota Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah (hlm 235). Mereka seperti baru saja saling kenal, kenangan hidup masa kanak-kanak di hutan Kalimantan seperti terhapus. "Angin malam berhembus kencang. Suara ombak mendebur di telingaku, tapi aku merasa hening saat ini. Ku rasa itu adalah pertemuan terakhirku dengan Samudera. Avara pun menghilang, mungkin ia sudah pergi entah ke mana. Aku tidak peduli lagi." (hlm 247).
Alur
Buku setebal 263 halaman ini dengan baik mengangkat tema yang bisa dipastikan akan menarik minat pembacanya. Sebuah proses kepunahan dari etnik Dayak di Kalimantan akibat perusakan alam dan eksploitasi berlebihan yang abai akan nilai-nilai humanitas penduduk aslinya.
Cara penyampaiannya yang tidak bertele-tele juga memudahkan pembacanya untuk memahami alur cerita yang ingin dirangkai. Penulis buku ini juga bisa mengajak pembacanya untuk masuk ke alam budaya Kalimantan dengan dialog yang memasukkan unsur bahasa asli etnik Bakumpai.
Hanya saja ending yang disajikan penulis terkesan masih menggantung. Namun, mungkin penulis juga ingin mengajak pembacanya terlibat secara emosional memberi sumbangsih bagi eksistensi etnik Dayak di bumi Kalimantan.
Aruna merana dengan masih menunggu kedatangan Avara untuk ikut bersama melestarikan tanah moyangnya. Sebuah penantian yang tiada ujung.(M-4)
Judul: Anak Bakumpai Terakhir Penulis: Yuni Nurmalia Penerbit: Salsabila Terbitan: 2013
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 21 April 2013
Judul: Anak Bakumpai Terakhir Penulis: Yuni Nurmalia Penerbit: Salsabila Terbitan: 2013 |
TANAH Kalimantan telah terenggut. Kekayaan alamnya terkuras habis dan penghuni moyangnya terus merana, hidup tanpa arah tujuan. Terasing di tanah leluhurnya sendiri.
Pulau eksotik dengan berkah kekayaannya yang melimpah itu telah mengundang orang luar untuk menjarahnya. Nafsu eksploitasi oleh orang-orang berduit dari luar Kalimantan itu berakibat fatal bagi kehidupan suku Dayak. Suku asli yang telah meninggali dan hidup di hutan-hutan Kalimantan sejak dulu.
Setelah puluhan tahun eksploitasi berlangsung, hutan alam di Kalimantan terbabat habis oleh operasi illegal logging, satwa endemis orang utan, serta yang lainnya menuju kepunahan abadi.
Tidak itu saja, operasi tambang batu bara dan logam mulia di sana juga menambah sesak kadar polusi di seantero Kalimantan. Tanah, sungai, dan laut sekitarnya tercemar limbah logam berat. Bumi Kalimantan sudah sekarat menuju kehancuran abadi.
Kisah-kisah mengenaskan tentang bumi Kalimantan itu tergambar dengan jelas dalam novel Anak Bakumpai Terakhir karya Yuni Nurmalia, diterbitkan oleh Salsabila. Ruh yang ingin disampaikan di buku ini adalah bagaimana suku asli yang mendiami Kalimantan itu mulai kehilangan segalanya yang mereka punya. Tidak hanya kekayaan alamnya yang terampas, tetapi jati diri hingga keturunannya pun pada akhirnya akan hilang.
Dengan mengambil setting cerita suku Dayak Bakumpai, sebagai penulis buku ini bisa dengan jelas menuangkan alur demi alur kisah yang sangat menggugah itu.
Lewat tokoh Aruna (aku) seorang anak kecil perempuan, tergambarkan betapa bumi Kalimantan sekarang ini sudah menuju kehancuran. Lewat keluarga Aruna, hubungan kekeluargaan, tradisi, hingga konflik keluarga yang ingin mempertahankan darah murni Dayak Bakumpai tergambarkan dengan bagus.
Dari Aruna pula, kita akan tahu betapa suku Dayak di Kalimantan, seperti Dayak Ngaju, Kahayan, Ot Danum, dan Bahau menghadapi dilema hidup yang luar biasa. Mereka harus memilih hidup dengan cara mengikuti orang luar yang menjarah tanah leluhurnya atau bertahan dengan melestarikan lingkungan alamnya.
Lewat tokoh Aruna, Samudera, Avara yang masih mengalir darah Bakumpainya, dan Eliyana seorang peneliti dari Jakarta sekaligus pecinta alam--sahabat Aruna--konflik batin kemanusiaan itu tergambar syahdu.
Aruna yang mendapat wasiat dari Kai (kakeknya) agar kelak jika sudah dewasa nanti bersedia kawin dengan laki-laki asli Bakumpai demi menjaga garis keturunan suku harus menghadapi kondisi yang pahit.
Samudera yang masih saudaranya, setelah pindah ke Jawa karena orang tuanya Bi Awahita dan Lizam, ayahnya yang bukan berdarah asli Bakumpai rela hidup meninggalkan Tanah Kalimantan.
Dalam kesempatan bertemu dengan Aruna, Samudera dewasa pun telah berubah sikap. Dia tidak mau lagi menginjak tanah leluhurnya meski dia menyatakan masih bersaudara dengan Aruna.
Avara, lelaki asli berdarah Bakumpai yang dijodohkan dengan Aruna oleh Kai, tidak kunjung berjodoh. Dia lebih mengikuti jiwa petualangannya daripada menuruti wasiat Kai atau keinginan ayahnya Arai.
Kisah hidup Avara memang stragis. Dia oleh Arai diserahkan kepada orang kaya yang kerjanya mengeruk kekayaan alam Kalimantan untuk diasuh di Jakarta.
Drama pertemuan yang tidak disengaja dari tiga saudara sedarah ini pun dilukiskan cukup menyentuh oleh penulis buku ini. Mereka bertemu saat ada kabar tentang terdamparnya tiga paus raksasa di pinggir Pantai Ujung Pandaran, dekat Kota Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah (hlm 235). Mereka seperti baru saja saling kenal, kenangan hidup masa kanak-kanak di hutan Kalimantan seperti terhapus. "Angin malam berhembus kencang. Suara ombak mendebur di telingaku, tapi aku merasa hening saat ini. Ku rasa itu adalah pertemuan terakhirku dengan Samudera. Avara pun menghilang, mungkin ia sudah pergi entah ke mana. Aku tidak peduli lagi." (hlm 247).
Alur
Buku setebal 263 halaman ini dengan baik mengangkat tema yang bisa dipastikan akan menarik minat pembacanya. Sebuah proses kepunahan dari etnik Dayak di Kalimantan akibat perusakan alam dan eksploitasi berlebihan yang abai akan nilai-nilai humanitas penduduk aslinya.
Cara penyampaiannya yang tidak bertele-tele juga memudahkan pembacanya untuk memahami alur cerita yang ingin dirangkai. Penulis buku ini juga bisa mengajak pembacanya untuk masuk ke alam budaya Kalimantan dengan dialog yang memasukkan unsur bahasa asli etnik Bakumpai.
Hanya saja ending yang disajikan penulis terkesan masih menggantung. Namun, mungkin penulis juga ingin mengajak pembacanya terlibat secara emosional memberi sumbangsih bagi eksistensi etnik Dayak di bumi Kalimantan.
Aruna merana dengan masih menunggu kedatangan Avara untuk ikut bersama melestarikan tanah moyangnya. Sebuah penantian yang tiada ujung.(M-4)
Judul: Anak Bakumpai Terakhir Penulis: Yuni Nurmalia Penerbit: Salsabila Terbitan: 2013
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 21 April 2013
1 comment:
Sangat mennyentuh
Post a Comment