-- Musa Ismail
PADA suatu ketika, Chairil Anwar pernah berkata kepada isterinya, mengenai cita-citanya. ‘’Gajah, kalau umurku panjang aku akan jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,’’ katanya. (Panggilan kesayangan terhadap isterinya (Hapsah Wiriaredja) adalah Gajah karena badannya gemuk).
‘’Ah, kalau umurmu panjang, kamu bakal masuk penjara,’’ gurau isterinya. Kemudian, Chairil melanjutkan lagi.
‘’Tapi, kalau umurku ditakdirkan pendek, anak-anak sekolah akan berziarah ke kuburku menabur bunga,’’ demikian katanya.
***
Hari itu, 26 Juli 1922, Chairil Anwar lahir. Penanggalan kelahirannya ini, menjadi penanggalan bersejarah sehingga lahirlah Hari Puisi Indonesia (HPI) yang diprakarsai penyair dan novelis Rida K. Liamsi dan Agus R Sarjono. Penetapan hari kelahiran Chairil Anwar sebagai HPI sungguh berdasar jika kita lihat ketotalannya di dalam dunia kepenyairan dan kemerdekaan berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesia menjadi lebih hidup, merdeka, liar, dan mampu membuncahkan nasionalisme.
Hari itu, 24 April 1949, Chairil ‘binatang jalang’ Anwar telah ‘’pergi’’ meninggalkan dunia baka di tengah gerimis siang hari. Seorang penyair agung yang pernah ada di tanah air. Kalau disebut dan dipertanyakan siapakah Chairil Anwar, orang cepat-cepat menjawab sekaligus membacakan puisi berjudul ekspresionis ‘’Aku’’, yang dilahirkannya dalam usia baru sekitar 21 tahun.
“Aku mau hidup seribu tahun lagi” kata si binatang jalang itu dalam ekspresi keakuannya pada 1943. Kedewasaannya memilih diksi sehingga menghasilkan larik-larik mapan (establishment) dalam puisi-puisinya. Penulis ‘’Derai-Derai Cemara’’ ini juga dianggap sebagai pelopor Angkatan 45 dalam periodeisasi kesusastraan Indonesia. Dalam kurikulum lembaga pendidikan formal, para pelajar diperkenalkan dengan penyair ini dan karyanya. Sangkaan Chairil memang benar. Anak-anak sekolah akan senantiasa ‘berziarah’ melalui karya-karyanya. Di dalam kelas, Chairil diperkenalkan oleh para guru kepada pelajar sebagai penyair yang vitalitas. Bukan hanya sebatas perkenalan, tetapi juga melakukan analisis terhadap karya sastranya.
Kita tidak hanya membicarakannya melalui karya-karya, tetapi juga mempergunjingkan lewat biografi-nya. Itulah bukti nyata seperti apa yang dikatakan oleh Scholes, ‘’Cogito ergo sum’’. Artinya, ‘’Akulah tulisan yang kuhasilkan, akulah tulisan itu sendiri’’. Chairil telah berkreativitas di dunia sastra. Beliau dapat disebut orang yang telah mengembangkan pendapat ‘’cogito ergo sum’’. Dari larik-larik puisi ‘’Aku’’, tergambar vitalitas dan kejalangan Chairil. Dia merupakan simbol seniman besar Indonesia.
Sapardi Djoko Damono pernah menulis tentangnya dengan judul Chairil Anwar Kita. Dalam tulisannya itu dikatakan, bukan seperti Rustam Effendi, Sanusi Pane, atau Amir Hamzah. Chairil dianggap memiliki seperangkat ciri seniman khusus, yaitu: tidak memiliki pekerjaan tetap, suka keluyuran, jorok, selalu kekurangan uang, penyakitan, dan tingkah lakunya menjengkelkan. Dari ciri-ciri itulah, lahir semacam anekdot yang berlaku untuk semua seniman. Masyarakat beranggapan bahwa seniman tidak berminat mengurus jasmaninya dan sering tergoda dengan khayalannya: bohemian.
‘’Aku mau hidup seribu tahun lagi’’ kata Chairil. Tetapi sayang, dia meninggal dalam usia relatif muda. Chairil mewariskan semboyan masa depan; suatu masa yang akan kita lalui bersama untuk mencapai tujuan ke arah suatu perubahan. Chairil meninggalkan kita setelah waktu kepenyairannya menggapai puncak, tetapi ‘’kerja belum selesai/belum apa-apa,’’ itu katanya. Dengan usia yang muda, dia telah mencapai titik kulminasi kepenyairannya. Situasi dan kondisi ini memungkinkan kita untuk melakukan pembahasan lebih intensif tentang keberadaanya di dunia seni (baca: sastra).
Tanpa kita sadari, kadang-kadang masyarakat awam mengutip beberapa larik puisi Chairil. Kutipan larik puisinya dihidupkan kembali di atas mimbar pidato atau spanduk-spanduk. Apalagi pada zaman penjajahan Jepang. Ketika itu, negara kita berjuang keras untuk menumpas penjajahan. Sekarang pun, semboyan itu merupakan kalimat-kalimat mutiara yang sering dimunculkan. Kita sering mendengar kalimat ‘’Aku masih tetap sendiri’’, yaitu merupakan kalimat penerimaan dari seseorang yang sedang menjalani fase percintaan (puisi berjudul ‘’Penerimaan’’). Seruan ‘’Merdeka!’’ tergambar dalam puisinya yang bertajuk ‘’Merdeka’’, yang menggambarkan ekspresi dan keinginan hidup dalam alam kebebasan. Merdeka dari semua belenggu kehidupan.
Larik yang lain adalah ‘’Hidup hanya menunda kekalahan’’ yang terdapat dalam puisi ‘’Derai-Derai Cemara’’. Kekalahan terakhir adalah kematian. Hanya semangat kehidupanlah yang dapat memperlambat datangnya kematian. ‘’Sekali berarti sudah itu mati’’, merupakan larik yang berpretensi agar manusia berbuat sesuatu yang penuh berarti dalam kehidupan sebelum dijemput maut. Masih banyak larik-larik puisi Chairil yang sempat dijadikan semboyan. Larik-larik puisinya dicabik-cabik dari konteks sebenarnya secara utuh, yang disesuaikan dengan objek pembicaraan.
Tidak heran jika Agus R Sarjono berpendapat bahwa nama Chairil yang besar nampaknya lebih dimungkinkan oleh sajak-sajaknya yang berjenis sastra mimbar seperti ‘’Aku’’, ‘’Catatan Tahun 1946'’, ‘’Perjanjian dengan Bung Karno’’, dan ‘’Kerawang Bekasi’’ (saduran dari sajak ‘’The Young Dead Soldiers’’ karya Archibald MacLeish). Sastra Mimbar, kata Agus, ditandai beberapa ciri, yaitu temanya cenderung merupakan tema-tema zaman. Puisi-puisi dalam jenis Sastra Mimbar cenderung berisi akupublik, berlatar sosial yang dahsyar seperti revolusi, perang, dan sejenisnya.
Sikap setia Chairil terhadap dunianya sangat jelas tergores dalam puisi-puisi dan surat-suratnya yang ditujukan kepada H.B. Jassin. Kesetiaan ini juga merupakan suatu keistimewaan Chairil karena tidak sedikit penyair yang justru terputus dari kesetiaannya. Dunia yang selalu menjadi teman setia ‘binatang jalang’ ini adalah dunia kepenyairannya sebagai seniman (sastrawan sejati).
Sikap selalu saja berubah. Suatu kesetiaan seperti yang telah ditancapkan Chairil memang cukup sulit untuk mencarinya. Ini berarti bahwa telah tertanam suatu prinsip dalam kepribadian Nini (begitu panggilan akrab yang diinginkan Chairil, pen). Sebagai manusia, senantiasa menginginkan kesetiaan. Namun, sikap ini terkadang bertolak belakang dengan realita kehidupan sosial. Sikap idealis sering bertembung dengan keadaan nyata dalam kehidupan. Ternyata, Chairil memang istimewa. Kesetiaannya itu dapat kita lihat dalam suratnya kepada HB Jassin berikut.
Jassin, dalam kalangan kita setengah-setengah, bersimaharajalela benar. Kau tentu tahu ini. Aku memasuki kesenian dengan sepenuh hati. Tapi, kini lahir aku yang hanya bisa mencampuri dunia kesenian setengah-setengah pula. Tapi, untunglah batin seluruh hasratku dan minatku sedari umur 15 tahun tertuju ke titik satu saja, kesenian.
Chairil Anwar, dalam perjalanan di Jawa Timur (8 Maret 1944)
Isi surat Chairil tersebut telah memperlihatkan kepada kita tentang sikap kesetiaannya. Kesetiaannya sebagai seorang yang meminati dunia kesenian. Kemudian, di hari yang sama, tercatat Kartu Pos, 8 Maret 1994, Chairil melayangkan sepucuk surat lagi kepada kritikus sastra itu. Isinya sebagai berikut.
Jassin, tidak Jassin, aku tidak akan kembali ke prosa seperti dalam pidato di depan Angkatan Baru dulu! Prosa seperti itu sebenarnya membubung, mengawang tinggi saja, karena keintensiteitan menulis serasa aku mendera jadinya, tetapi tiliklah setelitinya sekali lagi, dengan prosa seperti itu aku tidak sampai ke perhitungan. Sedangkan maksudnya aku akan bikin perhitungan habis-habisan dengan begitu banyak di sekelilingku.
Prosaku, puisiku juga, dalamnya tiap kata akan kugali korek sedalamnya, hingga ke kernwoord, ke kernbeeld. (sudah kumulai dengan sajak-sajak penghabisan, ‘’Di Depan Kaca’’, ‘’Fortisimo’’, dll)...
Puisi memang telah menjadi pilihan terakhir Chairil. Baginya, prosa dalam arti sebenarnya adalah banyak penyimpangan dari batinnya sebagai penyair. Prosa telah mendera batinnya dan itu sangat dirasakan oleh dirinya sendiri. Karena itu, dia mengatakan kepada Jassin bahwa prosanya sama dengan puisi atau puisinya sama dengan prosa. Melalui puisi, Chairil menggali kehidupan manusia dengan ‘cangkul’ kata.
Pernyataan Chairil memang nyata tercermin dalam sikapnya sebagai penulis. Dia memperlihatkan aktivitas dan kreativitasnya di bidang puisi secara maksimal jika dibandingkan dengan prosa. Keagungan namanya, berkat puisi-puisi yang telah dilahirkan dari resa dan minatnya sejak berusia lima-belas tahun. Dalam pandangannya, puisi merupakan lapangan yang lebih khas dan pas buat batin seorang penyair seperti dirinya.
Dengan sikap setia ini, Chairil telah dibawa angin kepiawaiannya menukilkan larik-larik yang dewasa. Dalam kepiawaiannya sebagai penyair, tidak ada kerja asal-asalan dalam menggubah kata-kata. Pilihan kata (diksi) sering menjadi tumpuan utamanya dalam menulis puisi. Ketika Chairil melahirkan ‘’Aku’’, banyak sekali coret-moret perkataan yang dianggapnya kurang sesuai dengan kepribadian dan ekspresi yang diinginkannya.
Bagi Chairil, puisi merupakan dunianya. Keseimbangan antara pernyataan dan perbuatan dihasilkannya secara teserlah dalam salah satu puisinya yang berjudul ‘’Rumahku’’ (27 April 1943). Mari kita simak kesetiaan ‘binatang jalang’ dalam dunia puisinya.
Rumahku dari unggun-timbun sajak/Kaca jernih dari luar segala nampak//Kulari dari gedong lebar halaman/Aku tersesat tak dapat jalan//Kemah kudirikan ketika senjakala/Di pagi terbang entah ke mana//Rumahku dari ungun-timbun sajak/Di sini aku berbini dan beranak//Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang/Aku tidak lagi meraih petang/Biar berleleran kata manis madu/Jika menagih yang satu//
Dalam ‘’Derai-Derai Cemara’’ Chairil berkata.
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
Si ‘Binatang Jalang’ sudah menyerah. Ia pergi dengan meninggalkan reputasi; mulai dari anak kurang ajar sampai pada pencuri. Ia adalah seorang bohemian. Banyak orang mengira bahwa ia adalah seorang petualang kumuh. Tidak. Chairil selalu berpakaian rapi. Kerah kemejanya selalu kaku karena dikanji, bajunya senantiasa disitrika licin. Ia bahkan boleh dikatakan dandy. Orang ingat pada matanya yang merah. Ia tidak mengerikan. Ia adalah seorang periang dan seorang sahabat yang baik (Asrul Sani dalam ‘’Derai-Derai Cemara’’: xx). Si ‘’Binatang Jalang’’ memang sudah menyerah. Selain reputasi, kepergiannya pun telah meninggalkan kesetiaan.
***
Chairil Anwar lahir di Medan, 26 Juli 1922. Ayahnya bernama Toeloes dan ibunya adalah Saleha. Kedua orangtuanya berasal dari Sumatera Barat. Dia meninggal pada usia 26 tahun 9 bulan. Isterinya bernama Hapsah Wiriaredja, lahir di Cicuruk, Sukabumi, pada 11 Mei 1922. Kedua orangtua isterinya berasal dari Jawa Barat. Isterinya bekerja di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan hingga pensiun, meninggal dalam usia 56 tahun (9 Mei 1978). Dalam keluarga, panggilan akrab Chairil Anwar adalah Nini. Kepada isterinya, Chairil berpesan begini, ‘’Eva jangan diajari panggil aku papa, tapi Nini, atau Chairil saja.’’ Chairil Anwar hanya meninggalkan satu anak perempuan bernama Evawani Alissa.
Ayahnya, Toeloes, berasal dari kenegerian Taeh, 50 Kota (Sumbar), yang bekerja sebagai pamongpraja di Sumatera Utara. Pada zaman revolusi kemerdekaan, ayahnya menjadi Bupati Indragiri, keresidenan Riau. Sedangkan ibunya, berasal dari Koto Gadang (Sumbar), yang masih memiliki pertalian keluarga dengan ayah Sutan Sjahrir.
Masa kanak-kanak hingga masa remaja Chairil dihabiskan di kota kelahirannya, Medan. Dia masuk sekolah Belanda HIS (Hollands Inlandsche School, setingkat SD). Di sana, Chairil kecil sudah menampakkan diri sebagai siswa cerdas dan berbakat dalam menulis. Kemudian, Chairil melanjutkan sekolahnya ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, setingkat SLTP). Ketika di kelas dua, pada usia 19 tahun, Chairil hijrah ke Jakarta mengikuti ibunya, sebagai protes terhadap ayahnya yang menikah lagi dan bercerai dengan ibunya. Karena kesulitan ekonomi pada masa kolonial Jepang tahun 1942, akhirnya Chairil putus sekolah.
Di masa putus sekolah itu, Chairil tidak putus belajar. Di Jakarta, daia mengisi waktunya dengan membaca sebanyak-banyaknya karya sastra Indonesia, Belanda, Jerman, Inggris, Amerika, dan berbagai terjemahan sastra dunia. Sebagai pelajar MULO, otomatis Chairil menguasai tiga bahasa asing, yaitu Belanda, Inggris, dan Jerman secara aktif. Bahasa daerah yang dikuasainya adalah bahasa Minang. Ketiga bahasa asing inilah yang mengantarkan Chairil pada karya-karya sastrawan dunia sebagai rujukan yang berhasil disadur dan diterjemahkan. Keberhasilannya menyadur dan menerjemahkan karya puisi dan cerpen Andre Gide, John Steinbeck, Rainer Maria Rilke, Ernest Hemingway, W.H. Auden, Conrad Aiken, John Cornford, Hsu Chih-Mo, Archibald Macleish, Willem Elsschot, H. Marsman, Edgar du Perron, J. Slauerhoff, dan lain-lain, telah menyudutkan Chairil pada kleim kritikus sastra sebagai plagiator, penyadur, atau penerima pengaruh berat dari karya-karya itu.
Chairil semakin memperlihatkan kematangannnya sebagai penyair yang menyerahkan hampir seluruh perjalanan kehidupannya dengan penuh kesetiaan untuk sastra. Di antara kredo penciptaan puisinya yang sangat menarik adalah,Puisiku tiap kata akan kugali-korek sedalamnya hingga ke kernwoord, ke kernbeeld. Dalam Pidato Radio tahun 1946, Chairil menegaskan kembali pendapatnya, bahwa sebuah sajak (puisi) yang menjadi adalah suatu dunia. Dunia yang dijadikan, diciptakan oleh si penyair.
Tiga kumpulan puisi Chairil, yaitu Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949), atau Tiga Menguak Takdir (1950kumpulan puisi bertiga dengan Asrul Sani dan Rivai Apin), merupakan sejumlah puisi yang selama bertahun-tahun hidup dan memompakan antusiasme dalam sejarah sastra Indonesia, sekaligus referensi yang telah memasuki lubuk teks dunia pendidikan dan bidan kajian sastra. Chairil juga menjadi bagian tersendiri dalam kajian atau penelitian mengenai sastra yang ditulis sastrawan Indonesia. Terjemahan puisinya dalam bahasa Inggris adalah Selected Poems of Chairil Anwar (1962) dan The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar (1970) oleh Burton Raffel, The Complete Poems of Chairil Anwar (1970) oleh Liauw Yock Fang, dan dalam bahasa Jerman adalah Feuer und Asche oleh Walter Karwath.
Nama Chairil Anwar mulai dikenal di lingkungan seniman dan budayawan Jakarta ketika ia berusia 21 tahun 1943. Pada masa itu, ia sering datang ke kantor redaksi majalah Pandji Poestaka mengantarkan puisi-puisinya. Pergaulannya dengan para sastrawan dan budayawan senior makin luas ketika ia kerap muncul di Keimin Bunka Shidoso, pusat kebudayaan yang diprakarsai oleh tentara pendudukan Jepang.
Chairil sempat bekerja menjadi redaksi majalah Gema Suasana (1948). Ia hanya bertahan selama tiga bulan di sana (Januari-Maret), kemudian kelua dan bekerja di mingguan berita Siasat. Di sana, ia menjadi anggota redaksi ruang kebudayaan Gelanggang bersama Ida Nasoetion, Asrul Sani, dan Rivai Apin. Dia salah seorang pemikir yang memberikan kontribusi lahirnya Surat Kepercayaan Gelanggang.
Untuk menghormati kepenyairan Chairil, Dewan Kesenian Jakarta memberikan Anugerah Sastra Chairil Anwar, pertama kepada Mochtar Lubis di tahun 1992 dan kedua kepada Sutardji Calzoum Bachri tahun 1998.
Chairil menikah dengan Hapsah Wiradiredja, 6 September 1946. Putri mereka satu-satunya adalah Evawani Alissa, lahir 17 Juni 1947. Eva tamatan Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, bekerja sebagai notaris di Jakarta.
Chairil Anwar cukup lama mengidap penyakit paru-paru. Pada akhirnya, di usia 26 tahun 9 bulan, beliau meninggal dunia. Warisan karyanya tidak terbilang besar, yaitu 70 puisi asli, 4 puisi saduran, 10 puisi terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan. Namun, dia telah mampu mengilhami kita untuk mengekspresikan pikiran, perasaan, dan estetika dalam bahasa Indonesia yang penuh tenaga..
Seperti memenuhi makna yang profetik dalam bait puisinya: di Karet, di Karet (daerahku y.a.d.) sampai juga deru angin, penyair utama ini meninggal pada 28 April 1949 dan dikebumikan di Pemakaman Karet. n
Musa Ismail, guru SMAN 3 Bengkalis.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 4 Agustus 2013
PADA suatu ketika, Chairil Anwar pernah berkata kepada isterinya, mengenai cita-citanya. ‘’Gajah, kalau umurku panjang aku akan jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,’’ katanya. (Panggilan kesayangan terhadap isterinya (Hapsah Wiriaredja) adalah Gajah karena badannya gemuk).
‘’Ah, kalau umurmu panjang, kamu bakal masuk penjara,’’ gurau isterinya. Kemudian, Chairil melanjutkan lagi.
‘’Tapi, kalau umurku ditakdirkan pendek, anak-anak sekolah akan berziarah ke kuburku menabur bunga,’’ demikian katanya.
***
Hari itu, 26 Juli 1922, Chairil Anwar lahir. Penanggalan kelahirannya ini, menjadi penanggalan bersejarah sehingga lahirlah Hari Puisi Indonesia (HPI) yang diprakarsai penyair dan novelis Rida K. Liamsi dan Agus R Sarjono. Penetapan hari kelahiran Chairil Anwar sebagai HPI sungguh berdasar jika kita lihat ketotalannya di dalam dunia kepenyairan dan kemerdekaan berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesia menjadi lebih hidup, merdeka, liar, dan mampu membuncahkan nasionalisme.
Hari itu, 24 April 1949, Chairil ‘binatang jalang’ Anwar telah ‘’pergi’’ meninggalkan dunia baka di tengah gerimis siang hari. Seorang penyair agung yang pernah ada di tanah air. Kalau disebut dan dipertanyakan siapakah Chairil Anwar, orang cepat-cepat menjawab sekaligus membacakan puisi berjudul ekspresionis ‘’Aku’’, yang dilahirkannya dalam usia baru sekitar 21 tahun.
“Aku mau hidup seribu tahun lagi” kata si binatang jalang itu dalam ekspresi keakuannya pada 1943. Kedewasaannya memilih diksi sehingga menghasilkan larik-larik mapan (establishment) dalam puisi-puisinya. Penulis ‘’Derai-Derai Cemara’’ ini juga dianggap sebagai pelopor Angkatan 45 dalam periodeisasi kesusastraan Indonesia. Dalam kurikulum lembaga pendidikan formal, para pelajar diperkenalkan dengan penyair ini dan karyanya. Sangkaan Chairil memang benar. Anak-anak sekolah akan senantiasa ‘berziarah’ melalui karya-karyanya. Di dalam kelas, Chairil diperkenalkan oleh para guru kepada pelajar sebagai penyair yang vitalitas. Bukan hanya sebatas perkenalan, tetapi juga melakukan analisis terhadap karya sastranya.
Kita tidak hanya membicarakannya melalui karya-karya, tetapi juga mempergunjingkan lewat biografi-nya. Itulah bukti nyata seperti apa yang dikatakan oleh Scholes, ‘’Cogito ergo sum’’. Artinya, ‘’Akulah tulisan yang kuhasilkan, akulah tulisan itu sendiri’’. Chairil telah berkreativitas di dunia sastra. Beliau dapat disebut orang yang telah mengembangkan pendapat ‘’cogito ergo sum’’. Dari larik-larik puisi ‘’Aku’’, tergambar vitalitas dan kejalangan Chairil. Dia merupakan simbol seniman besar Indonesia.
Sapardi Djoko Damono pernah menulis tentangnya dengan judul Chairil Anwar Kita. Dalam tulisannya itu dikatakan, bukan seperti Rustam Effendi, Sanusi Pane, atau Amir Hamzah. Chairil dianggap memiliki seperangkat ciri seniman khusus, yaitu: tidak memiliki pekerjaan tetap, suka keluyuran, jorok, selalu kekurangan uang, penyakitan, dan tingkah lakunya menjengkelkan. Dari ciri-ciri itulah, lahir semacam anekdot yang berlaku untuk semua seniman. Masyarakat beranggapan bahwa seniman tidak berminat mengurus jasmaninya dan sering tergoda dengan khayalannya: bohemian.
‘’Aku mau hidup seribu tahun lagi’’ kata Chairil. Tetapi sayang, dia meninggal dalam usia relatif muda. Chairil mewariskan semboyan masa depan; suatu masa yang akan kita lalui bersama untuk mencapai tujuan ke arah suatu perubahan. Chairil meninggalkan kita setelah waktu kepenyairannya menggapai puncak, tetapi ‘’kerja belum selesai/belum apa-apa,’’ itu katanya. Dengan usia yang muda, dia telah mencapai titik kulminasi kepenyairannya. Situasi dan kondisi ini memungkinkan kita untuk melakukan pembahasan lebih intensif tentang keberadaanya di dunia seni (baca: sastra).
Tanpa kita sadari, kadang-kadang masyarakat awam mengutip beberapa larik puisi Chairil. Kutipan larik puisinya dihidupkan kembali di atas mimbar pidato atau spanduk-spanduk. Apalagi pada zaman penjajahan Jepang. Ketika itu, negara kita berjuang keras untuk menumpas penjajahan. Sekarang pun, semboyan itu merupakan kalimat-kalimat mutiara yang sering dimunculkan. Kita sering mendengar kalimat ‘’Aku masih tetap sendiri’’, yaitu merupakan kalimat penerimaan dari seseorang yang sedang menjalani fase percintaan (puisi berjudul ‘’Penerimaan’’). Seruan ‘’Merdeka!’’ tergambar dalam puisinya yang bertajuk ‘’Merdeka’’, yang menggambarkan ekspresi dan keinginan hidup dalam alam kebebasan. Merdeka dari semua belenggu kehidupan.
Larik yang lain adalah ‘’Hidup hanya menunda kekalahan’’ yang terdapat dalam puisi ‘’Derai-Derai Cemara’’. Kekalahan terakhir adalah kematian. Hanya semangat kehidupanlah yang dapat memperlambat datangnya kematian. ‘’Sekali berarti sudah itu mati’’, merupakan larik yang berpretensi agar manusia berbuat sesuatu yang penuh berarti dalam kehidupan sebelum dijemput maut. Masih banyak larik-larik puisi Chairil yang sempat dijadikan semboyan. Larik-larik puisinya dicabik-cabik dari konteks sebenarnya secara utuh, yang disesuaikan dengan objek pembicaraan.
Tidak heran jika Agus R Sarjono berpendapat bahwa nama Chairil yang besar nampaknya lebih dimungkinkan oleh sajak-sajaknya yang berjenis sastra mimbar seperti ‘’Aku’’, ‘’Catatan Tahun 1946'’, ‘’Perjanjian dengan Bung Karno’’, dan ‘’Kerawang Bekasi’’ (saduran dari sajak ‘’The Young Dead Soldiers’’ karya Archibald MacLeish). Sastra Mimbar, kata Agus, ditandai beberapa ciri, yaitu temanya cenderung merupakan tema-tema zaman. Puisi-puisi dalam jenis Sastra Mimbar cenderung berisi akupublik, berlatar sosial yang dahsyar seperti revolusi, perang, dan sejenisnya.
Sikap setia Chairil terhadap dunianya sangat jelas tergores dalam puisi-puisi dan surat-suratnya yang ditujukan kepada H.B. Jassin. Kesetiaan ini juga merupakan suatu keistimewaan Chairil karena tidak sedikit penyair yang justru terputus dari kesetiaannya. Dunia yang selalu menjadi teman setia ‘binatang jalang’ ini adalah dunia kepenyairannya sebagai seniman (sastrawan sejati).
Sikap selalu saja berubah. Suatu kesetiaan seperti yang telah ditancapkan Chairil memang cukup sulit untuk mencarinya. Ini berarti bahwa telah tertanam suatu prinsip dalam kepribadian Nini (begitu panggilan akrab yang diinginkan Chairil, pen). Sebagai manusia, senantiasa menginginkan kesetiaan. Namun, sikap ini terkadang bertolak belakang dengan realita kehidupan sosial. Sikap idealis sering bertembung dengan keadaan nyata dalam kehidupan. Ternyata, Chairil memang istimewa. Kesetiaannya itu dapat kita lihat dalam suratnya kepada HB Jassin berikut.
Jassin, dalam kalangan kita setengah-setengah, bersimaharajalela benar. Kau tentu tahu ini. Aku memasuki kesenian dengan sepenuh hati. Tapi, kini lahir aku yang hanya bisa mencampuri dunia kesenian setengah-setengah pula. Tapi, untunglah batin seluruh hasratku dan minatku sedari umur 15 tahun tertuju ke titik satu saja, kesenian.
Chairil Anwar, dalam perjalanan di Jawa Timur (8 Maret 1944)
Isi surat Chairil tersebut telah memperlihatkan kepada kita tentang sikap kesetiaannya. Kesetiaannya sebagai seorang yang meminati dunia kesenian. Kemudian, di hari yang sama, tercatat Kartu Pos, 8 Maret 1994, Chairil melayangkan sepucuk surat lagi kepada kritikus sastra itu. Isinya sebagai berikut.
Jassin, tidak Jassin, aku tidak akan kembali ke prosa seperti dalam pidato di depan Angkatan Baru dulu! Prosa seperti itu sebenarnya membubung, mengawang tinggi saja, karena keintensiteitan menulis serasa aku mendera jadinya, tetapi tiliklah setelitinya sekali lagi, dengan prosa seperti itu aku tidak sampai ke perhitungan. Sedangkan maksudnya aku akan bikin perhitungan habis-habisan dengan begitu banyak di sekelilingku.
Prosaku, puisiku juga, dalamnya tiap kata akan kugali korek sedalamnya, hingga ke kernwoord, ke kernbeeld. (sudah kumulai dengan sajak-sajak penghabisan, ‘’Di Depan Kaca’’, ‘’Fortisimo’’, dll)...
Puisi memang telah menjadi pilihan terakhir Chairil. Baginya, prosa dalam arti sebenarnya adalah banyak penyimpangan dari batinnya sebagai penyair. Prosa telah mendera batinnya dan itu sangat dirasakan oleh dirinya sendiri. Karena itu, dia mengatakan kepada Jassin bahwa prosanya sama dengan puisi atau puisinya sama dengan prosa. Melalui puisi, Chairil menggali kehidupan manusia dengan ‘cangkul’ kata.
Pernyataan Chairil memang nyata tercermin dalam sikapnya sebagai penulis. Dia memperlihatkan aktivitas dan kreativitasnya di bidang puisi secara maksimal jika dibandingkan dengan prosa. Keagungan namanya, berkat puisi-puisi yang telah dilahirkan dari resa dan minatnya sejak berusia lima-belas tahun. Dalam pandangannya, puisi merupakan lapangan yang lebih khas dan pas buat batin seorang penyair seperti dirinya.
Dengan sikap setia ini, Chairil telah dibawa angin kepiawaiannya menukilkan larik-larik yang dewasa. Dalam kepiawaiannya sebagai penyair, tidak ada kerja asal-asalan dalam menggubah kata-kata. Pilihan kata (diksi) sering menjadi tumpuan utamanya dalam menulis puisi. Ketika Chairil melahirkan ‘’Aku’’, banyak sekali coret-moret perkataan yang dianggapnya kurang sesuai dengan kepribadian dan ekspresi yang diinginkannya.
Bagi Chairil, puisi merupakan dunianya. Keseimbangan antara pernyataan dan perbuatan dihasilkannya secara teserlah dalam salah satu puisinya yang berjudul ‘’Rumahku’’ (27 April 1943). Mari kita simak kesetiaan ‘binatang jalang’ dalam dunia puisinya.
Rumahku dari unggun-timbun sajak/Kaca jernih dari luar segala nampak//Kulari dari gedong lebar halaman/Aku tersesat tak dapat jalan//Kemah kudirikan ketika senjakala/Di pagi terbang entah ke mana//Rumahku dari ungun-timbun sajak/Di sini aku berbini dan beranak//Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang/Aku tidak lagi meraih petang/Biar berleleran kata manis madu/Jika menagih yang satu//
Dalam ‘’Derai-Derai Cemara’’ Chairil berkata.
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
Si ‘Binatang Jalang’ sudah menyerah. Ia pergi dengan meninggalkan reputasi; mulai dari anak kurang ajar sampai pada pencuri. Ia adalah seorang bohemian. Banyak orang mengira bahwa ia adalah seorang petualang kumuh. Tidak. Chairil selalu berpakaian rapi. Kerah kemejanya selalu kaku karena dikanji, bajunya senantiasa disitrika licin. Ia bahkan boleh dikatakan dandy. Orang ingat pada matanya yang merah. Ia tidak mengerikan. Ia adalah seorang periang dan seorang sahabat yang baik (Asrul Sani dalam ‘’Derai-Derai Cemara’’: xx). Si ‘’Binatang Jalang’’ memang sudah menyerah. Selain reputasi, kepergiannya pun telah meninggalkan kesetiaan.
***
Chairil Anwar lahir di Medan, 26 Juli 1922. Ayahnya bernama Toeloes dan ibunya adalah Saleha. Kedua orangtuanya berasal dari Sumatera Barat. Dia meninggal pada usia 26 tahun 9 bulan. Isterinya bernama Hapsah Wiriaredja, lahir di Cicuruk, Sukabumi, pada 11 Mei 1922. Kedua orangtua isterinya berasal dari Jawa Barat. Isterinya bekerja di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan hingga pensiun, meninggal dalam usia 56 tahun (9 Mei 1978). Dalam keluarga, panggilan akrab Chairil Anwar adalah Nini. Kepada isterinya, Chairil berpesan begini, ‘’Eva jangan diajari panggil aku papa, tapi Nini, atau Chairil saja.’’ Chairil Anwar hanya meninggalkan satu anak perempuan bernama Evawani Alissa.
Ayahnya, Toeloes, berasal dari kenegerian Taeh, 50 Kota (Sumbar), yang bekerja sebagai pamongpraja di Sumatera Utara. Pada zaman revolusi kemerdekaan, ayahnya menjadi Bupati Indragiri, keresidenan Riau. Sedangkan ibunya, berasal dari Koto Gadang (Sumbar), yang masih memiliki pertalian keluarga dengan ayah Sutan Sjahrir.
Masa kanak-kanak hingga masa remaja Chairil dihabiskan di kota kelahirannya, Medan. Dia masuk sekolah Belanda HIS (Hollands Inlandsche School, setingkat SD). Di sana, Chairil kecil sudah menampakkan diri sebagai siswa cerdas dan berbakat dalam menulis. Kemudian, Chairil melanjutkan sekolahnya ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, setingkat SLTP). Ketika di kelas dua, pada usia 19 tahun, Chairil hijrah ke Jakarta mengikuti ibunya, sebagai protes terhadap ayahnya yang menikah lagi dan bercerai dengan ibunya. Karena kesulitan ekonomi pada masa kolonial Jepang tahun 1942, akhirnya Chairil putus sekolah.
Di masa putus sekolah itu, Chairil tidak putus belajar. Di Jakarta, daia mengisi waktunya dengan membaca sebanyak-banyaknya karya sastra Indonesia, Belanda, Jerman, Inggris, Amerika, dan berbagai terjemahan sastra dunia. Sebagai pelajar MULO, otomatis Chairil menguasai tiga bahasa asing, yaitu Belanda, Inggris, dan Jerman secara aktif. Bahasa daerah yang dikuasainya adalah bahasa Minang. Ketiga bahasa asing inilah yang mengantarkan Chairil pada karya-karya sastrawan dunia sebagai rujukan yang berhasil disadur dan diterjemahkan. Keberhasilannya menyadur dan menerjemahkan karya puisi dan cerpen Andre Gide, John Steinbeck, Rainer Maria Rilke, Ernest Hemingway, W.H. Auden, Conrad Aiken, John Cornford, Hsu Chih-Mo, Archibald Macleish, Willem Elsschot, H. Marsman, Edgar du Perron, J. Slauerhoff, dan lain-lain, telah menyudutkan Chairil pada kleim kritikus sastra sebagai plagiator, penyadur, atau penerima pengaruh berat dari karya-karya itu.
Chairil semakin memperlihatkan kematangannnya sebagai penyair yang menyerahkan hampir seluruh perjalanan kehidupannya dengan penuh kesetiaan untuk sastra. Di antara kredo penciptaan puisinya yang sangat menarik adalah,Puisiku tiap kata akan kugali-korek sedalamnya hingga ke kernwoord, ke kernbeeld. Dalam Pidato Radio tahun 1946, Chairil menegaskan kembali pendapatnya, bahwa sebuah sajak (puisi) yang menjadi adalah suatu dunia. Dunia yang dijadikan, diciptakan oleh si penyair.
Tiga kumpulan puisi Chairil, yaitu Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949), atau Tiga Menguak Takdir (1950kumpulan puisi bertiga dengan Asrul Sani dan Rivai Apin), merupakan sejumlah puisi yang selama bertahun-tahun hidup dan memompakan antusiasme dalam sejarah sastra Indonesia, sekaligus referensi yang telah memasuki lubuk teks dunia pendidikan dan bidan kajian sastra. Chairil juga menjadi bagian tersendiri dalam kajian atau penelitian mengenai sastra yang ditulis sastrawan Indonesia. Terjemahan puisinya dalam bahasa Inggris adalah Selected Poems of Chairil Anwar (1962) dan The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar (1970) oleh Burton Raffel, The Complete Poems of Chairil Anwar (1970) oleh Liauw Yock Fang, dan dalam bahasa Jerman adalah Feuer und Asche oleh Walter Karwath.
Nama Chairil Anwar mulai dikenal di lingkungan seniman dan budayawan Jakarta ketika ia berusia 21 tahun 1943. Pada masa itu, ia sering datang ke kantor redaksi majalah Pandji Poestaka mengantarkan puisi-puisinya. Pergaulannya dengan para sastrawan dan budayawan senior makin luas ketika ia kerap muncul di Keimin Bunka Shidoso, pusat kebudayaan yang diprakarsai oleh tentara pendudukan Jepang.
Chairil sempat bekerja menjadi redaksi majalah Gema Suasana (1948). Ia hanya bertahan selama tiga bulan di sana (Januari-Maret), kemudian kelua dan bekerja di mingguan berita Siasat. Di sana, ia menjadi anggota redaksi ruang kebudayaan Gelanggang bersama Ida Nasoetion, Asrul Sani, dan Rivai Apin. Dia salah seorang pemikir yang memberikan kontribusi lahirnya Surat Kepercayaan Gelanggang.
Untuk menghormati kepenyairan Chairil, Dewan Kesenian Jakarta memberikan Anugerah Sastra Chairil Anwar, pertama kepada Mochtar Lubis di tahun 1992 dan kedua kepada Sutardji Calzoum Bachri tahun 1998.
Chairil menikah dengan Hapsah Wiradiredja, 6 September 1946. Putri mereka satu-satunya adalah Evawani Alissa, lahir 17 Juni 1947. Eva tamatan Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, bekerja sebagai notaris di Jakarta.
Chairil Anwar cukup lama mengidap penyakit paru-paru. Pada akhirnya, di usia 26 tahun 9 bulan, beliau meninggal dunia. Warisan karyanya tidak terbilang besar, yaitu 70 puisi asli, 4 puisi saduran, 10 puisi terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan. Namun, dia telah mampu mengilhami kita untuk mengekspresikan pikiran, perasaan, dan estetika dalam bahasa Indonesia yang penuh tenaga..
Seperti memenuhi makna yang profetik dalam bait puisinya: di Karet, di Karet (daerahku y.a.d.) sampai juga deru angin, penyair utama ini meninggal pada 28 April 1949 dan dikebumikan di Pemakaman Karet. n
Musa Ismail, guru SMAN 3 Bengkalis.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 4 Agustus 2013
1 comment:
Terima kasih atas tulisan ini. Salam.
Post a Comment