Sunday, October 27, 2013

[Tifa] Kebebasan Warga Desa Menafsir Karya

-- Adang Iskandar

Ini seperti sebuah suguhan yang dihidangkan chef restoran berbintang, kemudian disajikan, ditafsir, dan dipresentasikan oleh warga dari beragam profesi masyarakat perdesaan.

FESTIVAL JARF. Grup musik People Clay memainkan alat musik yang
sebagian besar terbuat dari bahan dasar genteng (tanah liat) saat
penyambutan kegiatan Jatiwangi Artists in Residency Festival (JARF), di
Desa Loji, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Sabtu (26/6).
ANTARA/Taufik Mohammed
MALAM itu, Sabtu (19/9), beberapa anak muda tengah berkumpul di sebuah rumah. Mereka, yang tergabung dalam Jatiwangi Art Factory (JAF), tengah menggodok persiapan akhir menjelang pelaksanaan kegiatan pameran yang akan diselenggarakan menyambut ulang tahun kedelapan komunitas itu.

JAF merupakan sebuah organisasi nirlaba yang fokus terhadap kajian kehidupan lokal perdesaan lewat kegiatan seni dan budaya, seperti festival, pertunjukan, seni rupa, musik, video, keramik, pameran, residensi seniman, diskusi bulanan, siaran radio, dan pendidikan.

Mereka bermarkas di Desa Jatisura, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.

Setelah cukup lama bersawala, mereka akhirnya memutuskan bahwa sebanyak 42 rumah warga di Desa Jatisura dilibatkan dalam pameran bertema Kediaman yang tidak ingin tinggal diam itu pada 27 September-19 Oktober 2013.

Arief Yudi Rahman, salah satu pentolan JAF, mengatakan warga yang rumahnya dipilih sudah dimintai konfirmasi dan mereka siap menerima untuk memajang salah satu dari 16 rangkaian karya para perupa yang sengaja didatangkan dari Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta.

Kecuali informasi bahwa karya mereka akan ditempatkan di rumah warga setempat, para seniman itu dibiarkan untuk menentukan sendiri karya yang akan dikirim. Proses pemajangan karya pun menjadi sangat 'mencekam' karena beberapa seniman yang dilibatkan tidak pernah diizinkan pihak JAF untuk meninjau lokasi, merancang, atau membuat karya yang sengaja disesuaikan, termasuk juga dalam proses pemajangan, kecuali saat pembukaan. Tanpa rencana, karya-karya tersebut ditawarkan kepada warga yang berminat untuk memilih dan disalurkan secara intuitif seketika karya tiba di desa.

Pameran tersebut mengundang para perupa seperti Ade Darmawan, Agus Suwage, Anggun Priambodo, Asmudjo J Irianto, Dikdik Sayahdikumullah, FX Harsono, Handiwirman Saputra, Jumaldi Alfi, Mahardika Yudha, Radi Arwinda, Reza ‘Asung’ Afisina, Rudi Mantofani, Rudi St Darma, Titarubi, Yani Mariani Sastranegara, dan Yusra Martinus.

Setiap karya mereka nantinya dipandu dan dipresentasikan oleh warga dengan beragam profesi, seperti petani, pekerja bengkel, pensiunan militer, buruh genting, warga senior, penjaga warung, dan ibu rumah tangga, yang notabene belum pernah bertemu atau berkomunikasi satu sama lain.

Mencuri perhatian

Saat pelaksanaan hingga penutupan pada Sabtu (19/10), pameran pun berhasil mencuri perhatian banyak pihak karena karya-karya yang dipajang merupakan hasil karya dari para seniman dengan reputasi terbaik dalam pembacaan, pemetaan, dan perkembangan seni rupa di Indonesia. Bahkan beberapa seniman yang terlibat memiliki prestasi internasional. Selain itu, kemasan pameran ini menjadi sulit diduga dari kejauhan sehingga publik harus datang sendiri untuk menyaksikan.

Dida Ibrahim Abdurrahman, salah seorang pengamat seni rupa, tak kuasa untuk tidak menyaksikan pameran itu. Dida yang juga dosen di Jurusan Seni Rupa Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), Bandung, menganalogikan pameran itu seperti sebuah suguhan sekelas chef pada restoran berbintang yang kemudian disajikan, ditafsir, dan dipresentasikan oleh warga setempat dengan beragam kemungkinan profesi masyarakat perdesaan, tanpa mengurangi selera para pelanggannya untuk tetap menikmati hidangan.

"Ragam ketegangan terus bermunculan saat warga terkondisikan untuk mengamati karya dan latar pemikiran perupa yang nyata berada di dalam rumahnya. Dengan kemampuan yang dimilikinya, warga sangat cekatan dalam menafsir karya yang terpajang di rumahnya dengan menelusuri dan membaca jejak visual, kemudian merelasikan diri dengan tradisi yang dimilikinya tanpa diberi petunjuk, informasi, atau arahan dari perupa maupun penyelenggara. Yang disimulasikan hanyalah bagaimana mereka akan menghadapi pengunjung," Dida menjelaskan.

Menurut Dida, mengamati kekaryaan seni rupa tentunya merupakan upaya membaca fenomena sosial dan budaya dengan paradigmanya. Melalui pengamatannya, warga--tanpa disadari--tengah membaca Bandung, membaca Jakarta, membaca Yogyakarta, membaca Indonesia, bahkan membaca dunia.

Distribusi karya

Tanpa diduga, beberapa karya perupa yang didistribusikan ke warga seolah tepat secara tema serta menjadi representasi penghuni rumah tersebut.

Seperti pada tiga karya Agus Suwage yang ditempatkan di rumah Matasih, seorang perempuan berusia 67 tahun yang saat ini hidup sebatang kara. Karya tersebut menggambarkan seekor harimau yang sedang duduk sendiri, seekor anjing yang sedang berlari, dan seekor anjing yang sedang bermain tapi tetap terkesan bermain sendiri.

Selain itu, ada pula karya Asmudjo J Irianto, yang ditempatkan di rumah warga yang berprofesi sebagai tukang las. Secara medium, karya itu seperti menjadi bagian dari artistik bengkel lasnya, yang dimeriahkan dengan iringan musik dangdut pesisir. Karya Radi Arwinda serta Ade Darmawan yang menampilkan angka-angka yang ditempatkan di rumah warga yang berprofesi sebagai buruh genting dan tani, yang dimaknai sebagai gambaran mistik pesugihan dan perhitungan primbon untuk menghitung waktu panen ataupun menanam.

Ginggi Syarif Hasyim, Kepala Desa Jatisura, Kecamatan Jatiwangi, menambahkan, sebagai wilayah yang tradisi penghidupan warganya sedang bergeser, Jatiwangi sebagai salah satu produsen genting dengan reputasi terbaik semakin khawatir akan eksistensinya. Oleh karena itu, sebagai bagian dari pemangku kepentingan, Ginggi sangat mendukung JAF, yang menjadikan seni sebagai pilihan untuk mengangkat kembali reputasi Jatiwangi dan menempatkan warganya sebagai masyarakat yang siap menghadapi pergeseran.

Di sisi lain, Dida melihat bahwa secara tidak langsung, melalui pameran ini, Jatiwangi menjadi arena pertemuan sekaligus pertarungan yang nyata, sekaligus menempatkan dirinya sebagai bagian dari pemetaan wilayah, perkembangan, dan pembacaan kecenderungan praktik kekaryaan seni rupa secara umum.

Menurut Dida, itu karena biasanya publik selalu merasa terintimidasi oleh mitos 'kesaktian' dan 'kehigienisan' karya seni. Eksistensi karya diarahkan menjadi perangkat ‘formal’ disposisi semu yang akan menggeser watak, cara pandang, dan karakteristik sosiologi kemasyarakatan secara nyata. Perdebatan klasik tentang seniman sebagai agen perubahan sedang terjadi di sini. (M-2)

adang@mediaindonesia.com

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 27 Oktober 2013

[Tifa] Melihat Budaya Maritim Lewat BWCF

-- Iwan Kurniawan

MEMASUKI usia kedua, Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) seakan membuat perhelatan untuk melihat titik tolak dalam membawa festival ini menjadi ajang yang kuat ke depannya. Tidak hanya dari sumber daya manusia sebagai pemateri, tetapi ada pula bahan atau khazanah budaya yang ditampilkan.

BOROBUDUR FESTIVAL: Pengajar Cultural Studies Mudji Sutrisno (tengah)
bersama arkeolog Agus Aris Munandar (kiri) dan penulis Budi Subanar
memberikan keterangan pers di Jakarta, kemarin. Mereka
membahas Borobudur Writers and Cultural Festival 2012 yang akan
berlangsung pada 29-31 Oktober 2012 di Borobudur, Jawa Tengah..
MI/IMMANUEL ANTONIUS
Pada pergelaran tahun ini, sedikitnya 250 penulis, sastrawan, dan sejarawan hadir di kompleks Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, 17-20 Oktober. Kali ini BWCF mengusung tema Arus balik: memori rempah dan bahari Nusantara, antara kolonial dan poskolonial.

“Kekayaan alam berupa rempah-rempah yang pernah jaya di negeri bahari ini menjadi pembahasan para pembicara. Kami mengangkat budaya maritim karena laut Indonesia yang penuh dengan sejarah baharinya,” tutur Direktur BWCF Yoke Darmawan di sela-sela perhelatan.

Lewat ajang tersebut, Yoke pun berharap masyarakat dapat merayakan kembali kekayaan sejarah dan menemukan kembali keunggulan serta kekuatan jiwa melalui peradaban bahari. “Jangan sampai kekayaan bahari itu sirna. Ada tradisi dan budaya maritim yang dikaji secara mendalam,” jelasnya, santai.

Pada BWCF, ada berbagai acara yang di­sajikan, mulai dari wacana rempah (pesta kuliner), panggung seni, pesta buku, hingga pemberian Sang Hyang Kamahayanikan Award. Ajang ini semakin menunjukkan geliat karena hadir para pakar hingga seniman dengan reputasi yang sudah diakui.

Berbagai pembahasan mengenai harta karun di laut, kapal karam di laut, dan kemampuan maritim Nusantara dikaji secara ilmiah. Salah satu atraksi khas Nusa Tenggara Timur, yaitu penangkapan ikan paus dengan cara tradisional di Lamalera, pun dibahas terperinci.

Dalam BWCF, ada 30 pembicara utama. Mereka di antaranya Gusti Asnan (sejarawan), Remy Sylado (novelis), Daud Aris Tanudirjo (arkeolog), M Ridwan Alimuddin (pelaut Mandar), Bondan Kanumoyoso (sejarawan bahari), Tan Ta Sen (sejarawan Singapura), Romo G Budi Subanar (rohaniawan), Susanto Zuhdi (sejarawan), Horst H Liebner (antropolog Jerman), Nick Burningham (sejarawan Inggris), dan Bona Beding (penombak ikan paus).

“Budaya maritim masa lalu dan masa sekarang masih cukup relevan. Tentunya, dari hasil festival ini diharapkan dapat dirangkum dalam sebuah buku,” jelas budayawan Mudji Sutrisno.

BWCF merupakan sebuah festival untuk mempertemukan para penulis, khususnya penulis yang hanya menggali seni dan budaya Nusantara. Tujuannya ialah agar para seniman dan juga sastrawan dapat berbagi pengalaman.

BWCF pertama dilaksanakan pada Oktober 2012 dengan sukses. Saat itu, hadir 350 penulis cerita silat dan sastrawan seperti Arswendo Atmowiloto dan Seno Gumira Ajidarma.

“Saya kira ini menarik karena ada sebuah pemahaman dari para budayawan hingga penulis untuk mengangkat khazanah bahari Indonesia,” jelas Mudji.

Merasa terharu

Di penghujung BWCF, almarhum Adrian Bernard Lapian, ilmuwan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, meraih Sang Hyang Kamahayanikan Award. Adrian (1929-2011) dinilai laik dan pantas menerima penghargaan pada festival yang memasuki tahun kedua itu. Pasalnya, semasa hidup, ia memberikan banyak sumbangsih demi pengembangan kajian bahari di Indonesia.

“Keluarga besar terharu karena almarhum masih dikenang hari ini. Saya berharap kajian tentang bahari kita tetap diminati generasi muda sekarang,” ujar adik kandung almarhum, Albert J Lapian, seusai penerimaan penghargaan pada malam puncak BWCF yang digelar di Yokyakarta, Minggu (20/10) malam.

Albert mengaku penghargaan itu bukanlah yang pertama bagi mendiang. Ia pernah mewakili keluarga untuk menerima secara langsung dua penghargaan lainnya yang cukup bergengsi. Salah satunya Habibie Award. “Dengan adanya penghargaan ini, banyak yang akan melihat lebih jauh tentang budaya laut kita yang sangat luas. Mulai dari Sumatra hingga Papua,” jelasnya.

Juri penghargaan Sang Hyang Kamahayanikan 2013 antara lain Mudji, Dorothea Rosa Herliany (penyair), Taufik Rahzen (budayawan), dan Susanto Zuhdi (sejarawan).

Adrian merupakan salah satu perintis sejarah bahari. Semasa hidupnya, ia dinilai setia dan gesit dalam me­ngarungi kajian bahari Nusantara. Salah satu diserta­sinya yang sering diperbincangkan para ilmuwan berjudul Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Disertasi itu dinilai sebagai salah satu karya ilmiah maritim terbaik.

Adrian menjadi guru besar sejarah di Universitas Indonesia hingga wafat. Atas pengabdian dan komitmen yang tinggi dalam kajian sejarah maritim, ia kemudian dijuluki sebagai ‘nakhoda sejarah maritim Asia Tenggara’.

Taufik mengaku penghargaan tersebut diputuskan dengan pertimbangan khusus tim dewan juri atas kepedulian sang tokoh dalam dunia sejarah bahari.

“Pengetahuan yang bisa dipetik yaitu semasa hidup, almarhum bisa memaknai ‘kesucian’ yang dilakukan lewat jalan sunyi. Penghargaan ini berpatok untuk sosok yang tidak ternilai dengan materi,” pungkasnya.

Pada malam penutupan BWCF, aksi kelompok seni kontemporer Senyawa mampu menghadirkan syair dan lagu yang cukup menggema. Sayang, sebelum Senyawa menutup instrumen terakhir, sound system mengalami gangguan. Dua personel pun langsung turun tanpa sedikit kata perpisahan kepada seluruh tamu malam itu. (M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 27 Oktober 2013

[Jendela Buku] Dual Novel yang Sama Disajikan Berbeda

-- Rudy Polycarpus

ACHI TM, penulis spesialis cerita teenlit, kembali meluncurkan novel dengan tema serupa, yakni Hati Kedua. Buku itu mengisahkan Rara, tokoh utama yang divonis menderita sakit tumor.

PELUNCURAN BUKU: Penulis novel Mata Kedua, Ramadya Adikara (paling
kiri) dan penulis novel Hati Kedua, Achi TM (kedua dari kanan) tampil
bersama saat meluncurkan novel mereka di Gramedia Matraman, Jakarta, 12
Oktober lalu. DOK
Rara yang sudah mengidap penyakit itu sejak di bangku sekolah menengah pertama kerap mengalami pasang-surut secara psikologis. Kadang kuat, adakalanya ia ingin menyerah. Meski singkat, Rara me­ngenal Syifa, seorang yang sedikit lebih tua daripada dirinya.

Kebetulan, Syifa mengidap penyakit yang mirip dengan Rara. Perkenalannya dengan Syifa pun tak lama karena sahabatnya tersebut menyerah dengan penyakitnya, kemudian meninggal. Kepergian sahabatnya itu bak pukulan telak yang menohok dagu Rara.

Ketika duduk di bangku SMA, Rara menemukan sosok Syifa dalam diri Rama. Sosok lelaki tunanetra itu rupanya menarik perhatiannya. Dikisahkan, Rama seorang lelaki yang ingin menjalani kehidupan normal seperti remaja lainnya. Rama berhasil masuk ke SMA negeri, padahal seha­rusnya dia berada di sekolah luar biasa (SLB).

Semangat yang Rama miliki membuatnya mampu menyesuaikan diri bahkan memiliki banyak kawan. Meski Rama buta, Rara belajar banyak hal darinya, seperti menjaga bara semangat, keceriaan, dan ketulusan. Walau memiliki keterbatasan penglihatan, Rama justru berprinsip kebutaan bukan penghalang bagi dia untuk beraktivitas dan mendulang prestasi.

Meski perempuan, Rara memiliki hobi membetulkan alat elektronik. Kebetulan, ia punya hobi lain yang sama dengan Rama, yakni bermain Nintendo.

Cinta datang karena terbiasa, sebuah ungkapan usang yang masih manjur sebagai mantra. Ikatan pertemanan Rara dan Rama pun me­ngendur seiiring dengan tumbuhnya cinta di antara mereka. Kesulitan dan kebahagiaan yang Rama alami selama di bangku sekolah mengantar dia menemukan cinta. Menemukan Rara.

Mungkin bila Rama tak buta, belum tentu hati Rara terpaku kepadanya. Ya, dahsyatnya panah sang Cupid memang mampu mengalahkan segala keterbatasan dan logika.

Secara keseluruhan, novel setebal 338 halaman itu sangat ringan, tapi cukup menarik dibaca. Jalinan hubungan antara Rama dan Rara mungkin sedikit klise dan picisan. Namun, justru hal itu terkadang menarik minat pembaca karena mereka jarang menemukannya di kehidupan nyata.

Tidak melawan takdir

Terkadang, kisah cinta seperti itu memang lebih renyah jika dibaca pada sebuah buku. Melalui buku itu, Achi TM mengajak pembaca untuk tidak melawan takdir, tapi pantang menyerah olehnya. Seperti buku kebanyakan, harus ada pesan moral dan kisah inspiratif yang disampaikan kepada pembaca.

Novel itu sebenarnya tergolong unik. Terdapat dua kisah yang sama tapi disajikan dan ditulis lewat sudut pandang yang berbeda. Kisah pertama berjudul Mata Kedua, yang mengambil sudut pandang Ramaditya Adikara dan ditulis langsung olehnya.

Rama ialah penjelmaan dari Ramaditya, sedangkan kisah kedua berjudul Hati Kedua karya Achi TM. Cerita keduanya berangkat dari satu kisah nyata yang hadir pada sosok Rama dan Rara.

Kedua novel itu pun berhubung­an. Seusai melumat Hati Kedua, pembaca pasti penasaran dengan isi buku Mata Kedua yang diterbitkan pada hari yang sama, yakni 12 Oktober.

Menurut Achi, itu proses menulis yang berbeda bagi dia. Bayangkan, dalam novel itu, ia menjelma menjadi seorang Rara. Perempuan yang kalem tapi cerdas. Berbeda dengan dia yang ceplas-ceplos dan terbuka, Rara agak tertutup dan tidak banyak bicara kecuali sama Rama.

“Satu kesamaan saya dan Rara adalah kami sama-sama penggila gim Nintendo dan Ding Dong saat masih kecil dan ABG. Itu yang akhirnya membuat saya agak sedikit enjoy menuliskan karakter Rara,” ujarnya.

Keduanya dijual terpisah. Ada pertanyaan tersisa untuk novel kembar itu. Kenapa tidak dibuat dalam satu buku saja? Toh tokoh dan alur ceritanya sama meski diambil dari sudut pandang berbeda.

Eko Ramaditya Adikara, seorang tunanetra, begitu cekatan menyimak ucapan mesin pembaca kiriman SMS dan cekatan pula membalasnya. Rama mengisahkan awal proses menulisnya semasa dia bersekolah di Madrasah Aliah Negeri (MAN) 11 Jakarta Selatan--setara dengan SMA.

“Saya mengenal seorang sahabat, bernama Rara. Bagi saya, dia seperti mata bagi saya untuk belajar. Saya kenal dia waktu pertama masuk SMA,” ujarnya.

Dari kenangan masa remaja itulah dia mulai menulis. Selama 14 tahun tulisan itu tak berproses menjadi novel, sampai akhirnya dia mengenal kawan penulis bernama Achi pada 2011.

Achil-ah yang membimbing dia dalam bidang kepenulisan novel, memilah karya imajinasinya bab per bab. Kebetulan juga, seperti Rara, Achi menyukai dunia gim.

Baginya, kesadaran di masyarakat jauh lebih baik daripada kebijakan dan peraturan pemerintah. Pemerintah saja selama ini tak memberikan sumbangan berarti untuk orang-orang yang berkebutuhan khusus.

Dengan buku karya seorang tunanetra, dia harapkan dapat juga memberikan kesadaran bagi masyarakat tentang kesadaran sosial dan berwarga negara yang baik lewat novel. (M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 27 Oktober 2013

[Jendela Buku] Bertualang Sekaligus Wisata Rohani

MESIR. Negara yang kaya akan sahara tandus ialah impian banyak pelajar muslim di seluruh dunia. Kejayaan Islam dan kegemilangannya pada masa lalu terlihat apik, mulai sejumlah situs hingga gedung-gedung bernilai sejarah tinggi.

Tak sedikit pula orang menjadikan negara di Benua Afrika itu sebagai destinasi sejarah. Owen Putra, melalui bukunya, Dua Sahara, mencoba merangkum salah satu penggalan dalam perjalanan hidupnya, dimulai pada 2006 ketika ia melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar, Mesir.

Buku setebal 289 yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama itu seakan menyedot pembacanya ke dalam kehidupan negeri yang baru saja terlibat perang saudara itu.

Penulisannya yang deskriptif membantu pembaca berimajinasi dan membayangkan seperti apa kehidupan umat Islam di sana, seperti burkak nan rapat para perempuan di pinggiran Kota Kairo ataupun syahdu merdu pengajian di Masjid Al-Azhar. Pada zaman itu, Mesir masih dipimpin rezim Presiden Hosni Mubarak.

Lewat buku itu pula, kita akan mencecap zaman orde baru di negara tersebut. Ya, di bawah pemerintahan Mubarak, banyak orang hilang yang tak diketahui rimbanya, ditangkap tanpa tahu salahnya.

‘Kuping-kuping intelijen seakan-akan ada di mana-mana’, tulis Owen. Sebagai orang Indonesia, situasi seperti itu sudah jamak ketika rezim Soeharto menancapkan kukunya. Demokrasi semu dan tangan besi merupakan keniscaan kala itu. “Awas, jangan bicara soal pemerntah dan politik,” ujar seseorang kepada Owen.

Nuansa religi

Owen menyajikan nuansa religi yang kental. Tak mengherankan, selain penduduknya mayoritas muslim taat, Mesir merupakan salah satu pusat peradaban Islam.

Jadi, sembari mengajak pembacanya berpetualang, penulis menyajikan budaya dan kearifan penduduk lokal, termasuk pelbagai keeksotisan dan kehidupan sosiologi masyarakatnya.

Sekilas, buku itu memiliki sedikit kemiripan dengan Titik Nol karya Agustinus Wibowo. Sama-sama menyajikan petualangan di negeri asing nan jauh. Namun, berbeda dengan karya Agustinus, buku Owen itu kurang memompa andrenalin pembacanya.

Owen tidak ‘segila’ Agustinus yang petualangannya kerap berujung antara hidup dan mati. Selain itu, buku tersebut minim konflik antartokoh.

Namun, sensasi membaca buku itu ialah Owen seakan menjadi pemandu pembaca ketika menikmati sensasi Mesir. Tak ketinggalan pula, dimensi rohani yang kental pada buku tersebut.

Mohammad Baharun, guru besar sosiologi yang juga mantan wartawan senior, dalam testimoninya mengatakan dengan membaca novel itu, pembaca seperti ditemani bertualang oleh penulisnya—bertamasya ke negeri tua Mesir yang penuh romantika kehidupan. “Ceritanya utuh, mengalir, dan enak dinikmati!” jelas Mohammad Baharun.

Nasihin Masha mengatakan, “Perjuangan, kegigihan, keteladan, dan pengorbanan menjadi warna Dua Sahara ini. Budaya dan kearifan lokal penduduk Mesir disajikan renyah dan larut membuka cakrawala pembaca. Penggalan kisah yang layak dibaca.”

Sementara itu, Johan Wahyudi. penulis buku/motivator nasional, mengatakan umum­nya novel sekadar berisi hiburan sebagai obat penat. Maka, cukup sulit kita menemukan added values setelah membacanya.

Namun, Anda akan terkejut jika memba­ca novel Dua Sahara. Anda tak hanya mendapatkan hiburan, tetapi juga beragam pengetahuan dan inspirasi, seperti sejarah, arsitektur, religi, bahkan kiat menghadapi beragam masalah kehidupan. Novel yang sen­sasional. (Pol/M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 27 Oktober 2013

Alice Munro Meraih Nobel Sastra 2013: Dari Governor General’s Award hingga ke Nobel Prize

-- Dantje S Moeis

‘IMPRIVISIBLI’, sebuah kalimat pendek dalam bahasa Perancis, yang terlontar dari mulut seorang teman, ketika via telepon saya menanyakan pendapatnya tentang Alice Ann Munro (kini berusia 82 tahun)  si peraih Nobel sastra tahun ini 2013 (diumumkan Jumat (11/10/2013).

Pada kenyataan memang demikian. ‘’Sangat di luar dugaan’’, karena memang panitia Nobel sama sekali tidak pernah membiaskan bayang tentang orang-orang yang masuk kriteria unggulan meraka untuk meraih hadiah yang paling bergengsi ini.

Dalam ‘’minda’’ kami para pengasuh majalah budaya Sagang dan para ‘’pebual budaya’’ yang mangkal di ‘’Kantin ‘Teselit’ kompleks Dewan Kesenian Riau Pekanbaru’’, hanya tersemat nama nama seperti, Bei Dao (Zhao Zhenkai) seorang penyair China yang kemudian pendapat para pengunggulnya jadi melemah karena ia telah didahului oleh rekan se-asalnya Mo Yan (pemenang Nobel sastra 2012).

Kemudian selain Bei Dao, terdapat Svetlana Alexievich dari Belarus, yang menggunakan sisi pandang orang pertama ‘saya’ dalam bercerita. Menyusul penulis Jepang, Haruki Murakami, yang namanya melejit berkat karya-karya seperti ‘’Norwegian Woods’’ dan ‘’1Q84'’.


Tulisan-tulisan Murakami yang bercerita mengenai absurditas dan perasaan sepi dalam kehidupan modern dan memiliki jutaan pembaca.

Sementara, Alexievich yang dengan karya-karya kesaksiannya sedang sangat populer di kawasan utara Eropa, dianggap berpeluang besar karena selain memiliki komitmen politik, tulisannya dekat dengan citarasa barat. Munro menjadi penulis perempuan ke-13 yang memenangkan hadiah Nobel Sastra yang mulai diselenggarakan pada tahun 1901.

Sekretaris tetap Akademi Swedia, Peter Englund mengakui bahwa masih terlalu sedikit penulis perempuan yang mendapat hadiah ini.

Penulis perempuan terakhir yang memenangkan Nobel Sastra adalah Herta Muller, penulis Jerman asal Romania, pada tahun 2009.

Dugaan-dugaan bahwa kali ini, para anggota tim penentu memiliki bias terhadap sastra Eropa dan memiliki kecenderungan untuk memilih penulis yang kurang terkenal dan dugaan itu menjadi terbukti.

Oleh sebab itu, nama Murakami juga banyak diragukan, apalagi berkisar pendapat bahwa konteks politik akan mendapat porsi lebih besar kali ini.

Karenanya, nama-nama penulis Korea Utara Ko Un, penyair dan penulis Suriah, Ali Ahmad Said Esber juga dikenal sebagai Adonis serta penulis Kenya, Ngugi wa Thiong’o juga dibicarakan.

Selain itu nama-nama penulis Albania, Ismail Kadare, Jon Fosse dari Norwegia dan penulis Belanda, Cees Nooteboom berada dalam daftar nama bandar taruhan pemenang Nobel Sastra.

Persisnya apa pertimbangan untuk menetapkan pemenangnya baru akan diketahui 50 tahun lagi saat kurun waktu kerahasiaan dokumen-dokumen Nobel berakhir.

Mungkin inilah yang memicu daya tarik terhadap hadiah Nobel Sastra. Yang pasti hanya bahwa usia rata-rata pemenang Nobel adalah 64 tahun.

Alice, saat ini berusia 82 tahun, merupakan penulis berkebangsaan Kanada dan menjadi wanita Kanada pertama yang meraih Nobel bidang Sastra serta menjadi wanita ke-13 dari seluruh dunia. Peraih Nobel Sastra wanita sebelumnya adalah novelis Rumania Hertha Muller (2009).

Dari press conference yang dilakukan, Alice mengaku sedang tertidur di rumah anaknya di Victoria, British Columbia ketika tiba-tiba dibangunkan pada pukul 4 pagi bahwa sebuah telepon telah masuk dan berasal dari Komite Nobel Norwegia.

Nama Alice Munroe diumumkan pada pukul 1 dini hari waktu setempat oleh Sekretaris Permanen Akademi Nobel Peter Englund di Gamla Stan, Stockholm.

Berbeda dengan kisah para penerima Nobel Sastra sebelumnya, termasuk Mo Yan (2012), yang akrab dengan bentuk sastra kisah panjang berupa novel, Alice Munro diganjar hadiah ini justru karena karya-karyanya yang berupa kumpulan cerita pendek.

Terkecuali untuk beberapa edisi pemenang Nobel Sastra seperti Tomas Transtromer (2011) yang lebih akrab dengan puisi-puisi dan Ernest Hemingway (1954) yang tulisannya banyak terpengaruh karya jurnalistik.

Pertama kali berkarir di usia 37, Alice muda banyak terinspirasi oleh pekerjaan suaminya (yang kemudian bercerai) James Munroe yang menjalankan bisnis toko buku.

Sejak saat itu ia banyak berlatih kemampuannya bercerita lewat tulisan yang sebagian hasilnya ikut disumbangkan untuk pengembangan toko tersebut.

Berbekal latar pendidikan Sastra dari University of Western Ontario sampai akhirnya keluar karena menikah tahun 1951, Alice konsisten mencoba banyak bentuk sastra, termasuk novel. Hanya saja, itu tidak kunjung membuatnya menemukan jiwa kepenulisan yang dicari.

‘’Dari tahun ke tahun, saya berpikir bahwa cerita pendek hanyalah bentuk latihan,’’ kata Alice kepada New York Times 2012 silam. ‘’Sampai akhirnya saya menyadari bahwa hanya itulah yang saya bisa. Hal yang kemudian membuat saya menumpahkan banyak hal ke dalam bentuk cerita, dan semuanya terbayar.’’

‘’Saya sangat berharap ini akan menjadikan orang-orang melihat cerita pendek sebagai seni yang penting, bukan sekadar sesuatu yang kau main-mainkan sampai bisa menulis sebuah novel,’’ Kata Alice Munro kemudian.

Peter Englund menyebutnya sebagai ‘’penulis minimalis.’’ Oleh kalangan sastrawan dunia, Alice kemudian dijuluki ‘’master of contemporary short stories’’.

Karya Alice banyak bercerita tentang kehidupan-kehidupan sulit di sudut kota Ontario, polemik sosial, dan juga banyak melibatkan tokoh-tokoh anak perempuan kecil yang dengan lihai dikelolanya dengan sentuhan pemikiran modern. Itu kurang lebih sama dengan karakter kehidupan nyata Alice yang tidak banyak menyentuh publisitas.

Kritikus sastra Amerika David Homel pernah menyebut Alice Munro sebagai ‘’bukan tipe sosialita. Dia jarang tampil di publik dan bahkan tidak mengadakan tur untuk buku-bukunya.’’

Karya Alice Munro yang pertama diakui berjudul ‘’Dance of the Happy Shades’’, berupa buku kumpulan cerita pendek yang diterbitkan tahun 1968 dan langsung mendapat apresiasi dari publik Kanada saat itu.

Bahkan, pemerintah Kanada mengapresiasi karya tersebut dengan penghargaan Governor General’s Award. Sejak saat itu Alice memilih berfokus membuat buku-buku kumpulan cerpen sampai sekarang, meski ia tak memungkiri terus mempelajari bentuk novel. Penghargaan tinggi yang diraihnya sebelum Nobel termasuk Man Booker International Price pada 2009.

Sampai saat ini Alice telah menerbitkan 14 karya koleksi cerpennya yang terjual hampir di seluruh dunia, di antaranya Karyanya baru-baru ini, ‘’’’Dear Life’’, diterbitkan tahun lalu dan akan menjadi ‘’karya terakhirku sebelum pensiun,’’ kata Alice.

Alice Munro berhak atas hadiah setara $ 1,24 juta. Penyerahan akan dilakukan di Stockholm pada 10 Desember mendatang, bertepatan dengan peringatan kematian Alfred Nobel, fisikawan yang mewasiatkan penghargaan ini.

Munro juga menyebut hadiah ini sebagai momen penting bagi harapannya agar masyarakat dapat menganggap cerita pendek sebagai salah satu seni yang penting.

Karya Alice Munro menjadi istimewa karena, kumpulan cerpen pertama Alice Munro terbit pada tahun 1968, berjudul Dance of the Happy Shades, dan langsung memenangkan Governor General’s Award (penghargaan sastra tertinggi di Kanada).

Pada tahun 1978 Alice memenangkan penghargaan bergengsi tersebut untuk kedua kalinya berkat kumpulan cerpennya yang berjudul Who Do You Think You Are (di Amerika diterbitkan dengan judul The Beggar Maid: Stories of Flo and Rose). Pada tahun 2006 salah satu cerpennya yang berjudul ‘’A Bear That Come Over A Mountain’’ diadaptasi menjadi film oleh Sarah Polley dengan judul ‘’Away From Her’’, dan mendapatkan nominasi Oscar untuk kategori Best Adapted Screenplay, namun kalah kepada No Country for Old Men.

Tak berhenti sampai di situ, pada tahun 2009 putri seorang peternak rubah dan guru sekolah ini memenangkan salah satu penghargaan sastra paling bergengsi di dunia (selain Nobel Prize tentunya) yaitu The Man Booker International Prize.

‘’Alice Munro dikenal sebagai penulis cerita pendek namun tulisannya memiliki kedalaman, kearifan dan ketepatan seperti yang hanya dimiliki para novelis yang sudah menulis seumur hidup. Membaca karya-karya Alice Munro selalu terasa seolah kamu sedang mempelajari sesuatu yang sebelumnya tak pernah terpikirkan olehmu.’’ Pernyataan itu dilontarkan oleh panel juri Man Booker saat itu.

Kemenangan Alice Munro disambut gembira oleh para insan sastra yang sepertinya sudah lelah dengan buku-buku para pemenang nobel sebelumnya yang cenderung lebih berat, rumit, dan berbau politik.

Karya-karya Alice disukai karena selalu membahas hal-hal yang sederhana namun di saat yang sama berhasil menampilkan sifat manusia dengan cara terbaik. Selain itu, karyanya juga dinilai karena memiliki deskripsi yang sangat detil dan indah sehingga berhasil membuat kejadian sehari-hari menjadi sesuatu yang istimewa.

Mengetahui bahwa dirinya berhasil memenangkan penghargaan Nobel yang diadakan oleh The Swedish Royal Academy of Sciences ini, Alice mengatakan, ‘’Hal ini sepertinya tidak mungkin terjadi. Seperti suatu hal yang terlalu luar biasa, aku tidak bisa menjelaskannya. Kemenangan ini melebihi sesuatu yang bisa kuungkapkan dengan kata-kata.’’ Kemenangan Alice Munro, seorang cerpenis, dianggap sebagai tanda bahwa golden age cerpen baru saja dimulai. Alice Munro adalah orang Kanada pertama  dan perempuan ke-13 yang pernah memenangkan Nobel Prize.

Di bulan Juni lalu, Alice Munro mengumumkan bahwa Dear Life, kumpulan cerpennya yang diterbitkan pada tahun 2012 adalah karya terakhirnya dan saat itu pula perempuan 82 tahun ini menyatakan pensiun sebagai penulis kreatif. (Dari berbagai sumber)

Dantje S Moeis, lahir di Rengat Indragiri-Hulu Riau. Adalah seniman, penulis kreatif, redaktur majalah budaya Sagang, anggota pengurus harian Lembaga Adat Melayu Riau (LAM Riau), penerima beberapa anugerah kebudayaan, pengajar Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR) Pekanbaru, illustrator cerpen Riau Pos (Ahad).

Sumber: Riau Pos, Minggu, 27 Oktober 2013

Menyongsong Kongres Bahasa Indonesia X

-- Yanti Riswara

BAHASA Indonesia ditetapkan sebagai bahasa negara dalam UUD 1945 Pasal 36. Sementara itu, sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia diikrarkan dalam Sumpah Pemuda 1928 (butir ketiga): Kami poetra dan poetri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia, dengan demikian, merupakan bahasa resmi yang selayaknya digunakan dalam segala segi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Meskipun telah terbukti mampu mempersatukan berbagai suku bangsa (sebagai perekat budaya), ternyata bahasa Indonesia belum sepenuhnya digunakan secara baik dan benar oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

Bahkan, sejak datangnya gelombang globalisasi dan arus reformasi di penghujung abad lalu, bahasa Indonesia cenderung di(ter)abaikan.

Dengan mengatasnamakan globalisasi dan reformasi itu, mereka  menempatkan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, pada posisi yang sangat strategis dan memberi peluang sangat besar terhadap degradasi penggunaan bahasa Indonesia di kalangan masyarakat Indonesia.

Contoh paling anyar dan ekstrim diperlihatkan oleh Vicky Prasetyo melalui ‘bahasa intelek’-nya yang belakangan ini banyak dibicarakan orang (lihat Alinea Riau Pos, 13 Oktober 2013).

Pada 27-31 Oktober 2013 ini di Jakarta akan diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia (KBI) X. Sebagaimana kongres-kongres sebelumnya, KBI X diharapkan akan membuahkan pemikiran-pemikiran yang berarti untuk perkembangan kebahasaan dan kesastraan Indonesia saat ini dalam menghadapi era globalisasi.

Hendaknya KBI X tidak hanya menjadi hajatan rutin lima tahunan, tetapi juga menjadi petanda bagi penentuan langkah-langkah berikutnya...

Seperti kita ketahui, KBI I (Solo, Oktober 1939) telah memberi dasar yang kuat tentang hakikat bahasa Indonesia dalam situasi perkembangan kebahasaan dan kesastraan di Indonesia. Hal itu, antara lain, diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara sebagai berikut.

...jang dinamaikan ‘Bahasa Indonesia’ jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari ‘Melajoe Riaoe’ akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh ra’jat diseloeroeh Indonesia; pembaharoean bahasa Melajoe hingga mendjadi bahasa Indonesia itoe harus dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia.

Rumusan itu membuktikan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu.

Bukti konkretnya adalah penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dalam UUD 1945 (Pasal 36) dan pemberlakuan ejaan Republik (1947, menggantikan  ejaan Van Ophuijsen).  

Pada 28 Oktober - 2 November 1954, KBI II diselenggarakan di Medan. Kongres ini merupakan perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.

Hal itu ditindaklanjuti dengan penetapan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) serta Pedoman Umum Pembentukan Istilah.

Pada 28 Oktober s.d. 2 November 1978, KBI III diselenggarakan di Jakarta. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 itu, selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.

KBI IV (Jakarta, 21-26 November 1983), antara lain, memutuskan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin.

KBI V (Jakarta, 28 Oktober s.d. 3 November 1988), antara lain, ditandai dengan dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. KBI VI (Jakarta, 28 Oktober s.d. 2 November 1993) mengusulkan agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa Indonesia serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia. KBI VII (Jakarta, 2630 Oktober 1998) mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa. Begitupun pada KBI VIII dan IX, usulan pembentukan lembaga dan penyusunan undang-undang kebahasaan semakin menguat.

Alhamdulillah, tak lama kemudian, lahirlah UU No.24 Tahun 2009 tentang Bendera, Lambang, dan Bahasa Negara serta Lagu Kebangsaan.

Pusat Pembinaan dan Pengambangan Bahasa (Pusat Bahasa) pun dinaikkan eselonnya (dari eselon 2 ke eselon 1) menjadi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa).

Tema yang diusung pada KBI X adalah Penguatan Bahasa Indonesia di Dunia Internasional. Sebagaimana KBI terdahulu, KBI X diharapkan dapat mengindentifikasi mutu pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra dan merumuskan rencana-rencana strategis jangka pendek dan jangka panjang yang dapat dijadikan arah kebijakan nasional kebahasaan dan kesastraan serta acuan peningkatan mutu pembelajaran bahasa Indonesia di masa datang.

Mari kita sukseskan KBI X dengan semangat penguatan bahasa Indonesia di dunia internasional. Potensi bahasa Indonesia untuk menjadi bahasa internasional sangat besar karena (1) penuturnya banyak, (2) wilayah pembelajarannya luas: di 45 negara/175 lembaga, dan (3) kemampuannya sebagai bahasa iptek, seni, dan informasi teruji: kamus/glosarium berbagai bidang ilmu tersedia. Semoga. n

Yanti Riswara, Pegawai Balai Bahasa Provinsi Riau

Sumber: Riau Pos, Minggu, 27 Oktober 2013

Sunday, October 20, 2013

[Buku] Potensi Destruktif Agama dan Penawarnya

Data buku:
Kala Agama Jadi Bencana
Charles Kimball
Mizan, Jakarta, 2013
471 hlm.
SEPANJANG sejarah perjalanan hidup manusia, agama barangkali dapat dikatakan sebagai kekuatan paling dahsyat dan berpengaruh di muka bumi ini. Potensi kekuatan luar biasa itu mampu meruntuhkan egosentrisme manusia dengan menunjukan semangat pengorbanan diri, perdamaian dan cinta kasih antarsesama.

Tapi, secara bersamaan, spirit keagamaan pun terkadang menjadi pendorong untuk saling meniadakan. Dengan kata lain, karena agama, manusia bisa saling mencinta; dan karena agama pula, manusia kadang-kadang saling membinasakan.

Setiap agama sejatinya pasti mengemban misi mulia: menawarkan jalan keselamatan. Kisah perjuangan para nabi dalam membebaskan umat dari belenggu kejahiliahan atau aktivitas kemanusiaan yang dipelopori Mahatma Ghandi melalui ajaran ahimsa, misalnya, makin mengukuhkan bahwa agama memang jembatan untuk meraih kebahagiaan.

Tapi, di balik misi mulianya itu, agama turut pula menyuguhkan kekejian dan kekerasan. Konflik tiada akhir antara penganut Yahudi-Islam di Palestina, ketegangan yang kerap muncul antarpemeluk Kristen-Islam, atau konflik Sunni-Ahmadiyah dan, kasus yang paling mutakhir, Sunni-Syiah di Sampang Madura yang berujung pemberangusan serta pengusiran jemaahnya, misalnya, turut menegaskan bahwa agama pun tak selamanya menampilkan perangainya yang bersih dan suci.

Keprihatinan dan kekhawatiran akan disfungsi agama seperti di atas itulah yang menjadi titik berangkat Charles Kimball dalam menulis buku Kala Agama Menjadi Bencana ini. Melalui buku ini, Kimball secara menarik menyajikan dan mengulas lima potensi awal radikalisme yang dimiliki setiap agama.

Sembari, dalam waktu yang sama, ia pun tetap membangkitkan asa optimistis dengan menawarkan pelbagai perbaikan agar agama kembali kepada misi awalnya sebagai penebar benih kasih sayang.

Sebagai kajian awal dari lima tanda kerusakan agama, Charles Kimball menempatkan klaim kebenaran mutlak (truth claim) sebagai penyebab utama bencana kemanusiaan yang dilakukan atas nama agama. Klaim kebenaran ini, menurutnya, lahir dari pemahaman teks kitab suci yang ditafsirkan secara literal. Penafsiran teks secara literal biasanya dilakukan untuk memonopoli ayat-ayat sebagai sarana pembenaran atas paham yang dianutnya. Padahal ayat berupa klaim kebenaran mutlak, menurut Kimball, merupakan bentuk korupsi manusia terhadap kekayaan Tuhan. Sebab, kebenaran mutlak yang dimiliki Tuhan sejatinya mustahil mampu ditafsirkan secara sempurna oleh bahasa manusia yang relatif.

Kepatuhan dan ketaatan utuh (taklid buta) kepada pemimpin agama menjadi tanda kedua dari penyelewengan manusia atas kesucian agama. Menurut Kimball, doktrin utama gerakan ini adalah pembebasan umat dari kesengsaraan yang didasari oleh janji-janji keselamatan yang diumbar pemimpin karismatiknya dan biasanya dilanjutkan dengan mengisolasi diri serta membentuk komunitas yang eksklusif. Gerakan Aum Shinrikyo ala Asahara Shoko di Jepang dan People Temple pimpinan Jim Jones di Guyana, yang melakukan gerakan bunuh diri massal, merupakan contoh paling nyata atas taklid buta terhadap pemimpin agama.

Tanda ketiga penyimpang terhadap agama adalah kegandrungan dalam merindukan zaman ideal yang berorientasi pada kejayaan masa lalu. Paradigma keagamaan ini menggambarkan kecemasan zaman sekarang yang dianggap penuh dengan keterpurukan, kebobrokan dan kesia-siaan belaka.

Untuk membebaskan diri dari semua belenggu itu, paham ini bertekad mengembalikan kejayaan masa lalu dengan merealisasikannya ke zaman sekarang. Cita-cita mewujudkan zaman ideal ini, menurut Kimball, biasanya diimplementasikan dengan upaya menegakkan negara berbasis ketuhanan (teokrasi).

Tanda keempat tentang kerusakan agama adalah menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Menurut Kimball, untuk memperteguh eksistensi sebuah komunitas religius, biasanya pemeluk agama membangun identitas seperti tempat-tempat sakral yang dianggap sebagai warisan agamanya. Tapi, yang menjadi masalah besar adalah ketika keinginan untuk membangun identitas tersebut ditempuh dengan membenarkan segala cara, termasuk meniadakan siapa pun yang dianggap menghalanginya. Bahkan, untuk mengejar tujuan itu, tak jarang dipekikkan juga perang suci atau jihad melawan kebatilan. Saat perang suci diteriakkan, menurut Kimball, itulah tanda kelima sebuah agama tengah mengobarkan bencana.

Oleh karena itu, untuk mewaspadai lima potensi destruktif agama tersebut, Kimball mengajak kita kembali kepada agama yang otentik dengan merayakan, apa yang ditunjuknya sebagai, ?pluralisme religius?. Sebab, menurut Guru Besar Universitas Oklahoma, Amerika Serikat, ini bencana kemanusiaan yang terjadi akibat malapraktik keagamaan sebenarnya tak hanya menjadi tanggung jawab satu agama semata. Semua (pemeluk) agama harus mawas diri dan bersama-sama mencari akar pemecahannya.

Akhirnya, buku Kala Agama Jadi Bencana ini setidaknya menggambarkan potret paling buram dalam sejarah perjalanan religius manusia, sekaligus dapat menjadi cermin bahwa wajah agama tak selamanya menampilkan perangai bersih dan suci seperti yang kita kira selama ini.

Oleh karena itu, pencarian akan kebenaran agama adalah proses yang berlangsung terus-menerus; dan setiap pemeluk agama wajib tak kenal henti mempelajari dan mengkaji ulang ajaran agamanya masing-masing.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Oktober 2013

[Tifa] Asmaraloka Entang Wiharso

-- Iwan Kurniawan

SAMBIL membelakangi seorang perempuan bule berkebaya merah, lelaki berbaju hitam itu menatap datar sambil berdiri menyamping. Tangan kanannya memegang payung hitan, sedangkan tangan kiri menggenggam sebilah keris.

RECLAIM PARADISE: Pengunjung mengamati lukisan karya Entang Wiharso
berjudul Reclaim Paradise dalam pameran bertajuk Geo - Potrait #2 di
Geleri Salihara, Jakarta Selatan, Kamis (17/10). Pameran itu
menceritakan tentang titik tolak Entang Wiharso dalam menelusuri
perjalanan hidupnya. MI/IMMANUEL ANTONIUS
Ia seolah menjadi sosok misterius. Rambutnya menjulur hingga melilit ke tanah. Saking panjangnya, rambut itu menyatu dengan kemaluan lelaki lain yang sedang berbisik dengan perempuan lainnya.

Sementara itu, rambut perempuan bagur berkebaya merah tadi pun dikonde. Rambutnya pun menjulur hingga ke tanah dan menyatu dengan sepotong tangan--terlepas dari sesosok tubuh--lainnya.

Gambaran itu terlihat jelas dalam lukisan Reclaim Paradise (media campuran, 3x6 meter, 3 panel, 2013) karya Entang Wiharso, 46, yang dipamerkan di Galeri Salihara, Jakarta, pertengahan pekan ini. Karya yang terlihat besar itu cukup mencolok sehingga memikat mata pengunjung.

Secara keseluruhan, terdapat tujuh objek manusia dalam Reclaim Paradise. Setiap objek memberikan nuansa ekspresif sehingga membuat kita harus melihat betul mimik-mimik berbeda. Hanya ada satu objek lelaki yang sedang membelakangi.

Pameran tunggal Entang bertajuk Geo Potrait #2 itu berlangsung sejak Jumat (11/10) hingga Senin (11/11) mendatang. Dia menghadirkan sembilan karya yang dibuat dalam dua tahun terakhir. Karya-karya yang ada meliputi lukisan, patung, instalasi, dan foto--semuanya berurusan dengan isu-isu persepsi dan realitas.

Dalam Geo Potrait #2 Entang memang sengaja menggunakan narasi pribadi sebagai titik tolak untuk kembali menelusuri lebih jauh perjalanan hidupnya. Ia juga menghubungkan berbagai peristiwa dan tindakan kecil dengan sejarah dan perubahan bumi dan penghuninya yang tampaknya tidak kita ingat lagi.

Ayah dua anak itu seakan mencoba melacak pengalaman pribadi dan kolektif yang mengarah kepada kejadian tertentu, lalu mengeksplo­rasi bagaimana riwayat ide, tanah permukiman, migrasi, dan ekologi yang terkandung dalam tindakan manusia hari ini ke dalam karya.

“Cerita-cerita yang mengandung anekdot dan kait-mengait dengan narasi geopolitik yang lebih besar merupakan inti kekaryaan saya saat ini,” ujarnya dalam pengantar pameran.

Persepsi

Lewat karya-karyanya, Entang ingin mengedepankan ide-ide dalam banyak konteks untuk menguji persepsi kita yang sering dibentuk oleh informasi yang tak lengkap, propaganda, generalisasi, dan pra­sangka.

Karya lain yang cukup memberikan sebuah rona tersendiri bisa dilihat pada Crush Me (resin, bubuk grafit, pigmen warna, dan benang, 2012-2013). Ada pengelanaan sehingga membaut Entang menjadi sesosok pribadi yang matang.

Karya berbahan aluminium pun terpajang manis, di antaranya, Geo Family Potrait: Reclaim Landscaped #2 (aluminium, benang, resin, pigmen warna, 87x95 cm, 2013), After the Agreement: Borderless#2 (aluminium kuning, pigmen warna, benang: 108x125 cm, 2013), Geo Family Potrait: Reclaim Landscape#1, (85x70 cm, 2013), dan Fake and Real: Live Together Forever (grafit, pigmen warna, benang, resin, 130x95 cm, 2013).

Karya-karya yang dibuat tahun lalu juga dipamerkan. Ada The Fa­mily Potrait (foto boks lampu LED, 120x196 cm, 2012) dan Temple of Hope Hot by a Bus. (300x325x225 cm). Pada karya kuil (temple), misalnya, Entang menghadirkan rumah atau kuil.

Pameran ini cukup memberikan gambaran tentang imajinasi yang melampaui batas. Entang mampu berpikir liar sehingga dapat menggabungkan tradisi dan modernisasi lewat seni kontemporer.

Memang, banyak karya Entang yang sudah menjadi milik kolektor. Sebut saja pemerhati seni Melani W Setiawan. Di rumahnya di kawasan Tanjung Duren, Jakarta Barat, terdapat puluhan karya Entang, baik lukisan maupun instalasi. Semuanya ia pajang di ruangan keluarga, taman, hingga sebuah galeri kecil. "Entang punya gaya yang unik. Sebelum ia ke Amerika Serikat, saya sudah mengoleksi karya-karyanya, lo," cetus Melani, pengunjung, di tempat berbeda.

Dalam kariernya, lelaki kelahiran Tegal, Jawa Tengah, itu sudah sering berpameran, antara lain Love Me or Die (Jakarta, 2010), Untold Story (Berlin, Jerman, 2012), Crush Me (Shanghai, China, 2013), dan Geo Potrait (Lugana, Swiss, 2013).

Kurator Nirwan Dewanto menilai pameran kali ini ialah sebuah parodi terhadap budaya-budaya asli yang terselimuti oleh budaya massa global. Patok-patok yang menandai batas-batas imajiner sebuah lingkungan budaya niscayalah seperti jambangan-tabung-gas. Seni rupa kontemporer menjadi subversi-versi bawah tanah. ‘Geo Potrait Entang adalah cara merobek peta bumi kesadaran itu sendiri’, tulis Nirwan.

Terlepas dari karya-karya Entang yang elegan dan estetis, ia masih minim dalam pencarian identitas dan makna atas kemanusiannya. Itu terlihat jelas pada beberapa karya yang seakan hanya cocok dan pas jika dipajang sebagai dekorasi ruang­an tamu atau ruangan makan keluarga. (M-2)

miweekend@mediaindonesia.com

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 20 Oktober 2013

[Tifa] Mistik dalam Seni Grafis

SEBUAH lagu Bob Marley berjudul Natural Mystic mungkin sudah tak asing lagi bagi pecinta reggae. Terkandung unsur "mistis" yang membuat lirik demi lirik mampu merasuki hati setiap rastafarian.

NATURAL MYSTIC: Pengunjung mengamati pameran seni grafis karya Agung
Prabowo berjudul Natural Mystic di Bentara Budaya Jakarta, pada 17
Oktober 2-013. Ada kesu nyian, kematian, hingga kekaguman akan alam
semesta. MI/ADAM DWI
Begitulah sepintas yang tergambar pada pameran tunggal pegrafis Agung Prabowo, 28. Ia mengangkat Natural mystic sebagai tema pamer­annya.

Tentu saja ada pertimbangan khusus karena tema dapat menentukan kesuksesan atau sebaliknya penderitaan.

Terlepas dari judul itu, Agung mencoba eksis. Ia menghadirkan 28 fragmen pada pameran yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta, pada 17-27 Oktober.

Tentu saja, meski mengambil judul lagu dari sang legendaris Jamaika itu, Agung mencoba untuk tidak menghadirkan nuansa reggae pada pamerannya.

Namun, pada saat pembukaan, pertengahan pekan ini, seorang penyanyi melantunkan lagu reggae dengan iringan akustik.

Menengok setiap fragmen yang terpajang malam itu cukup memberikan sebuah persepsi baru tentang Agung dan dunianya. Ada kesu­nyian, kematian, hingga kekaguman akan alam semesta.

Pada karya Don’t Mind the Man: Behind the Curtain (10 cukilan lino, 27x36 cm, 2013) jelas terlihat Agung sangat jeli untuk menghadirkan objek di atas kertas yang berukuran selebar daun siri.

Pada salah satu cukilan lino Behind the Curtain 1 terlihat seekor anjing sedang duduk. Bayangannya memantul di tanah. Bulan selingkar penuh di atas langit semakin membuat malam hari semakin temaram.

Meski terlihat sepintas seperti anjing—atau mungkin serigala—yang tak bertuan, ada objek-objek lain seperti daun ganja dan pasir laut. Tentu saja itu sebagai sebuah penafsiran bebas setiap penikmat seni.

Di balik karya itu, ada yang menarik karena objek pemandangan itu terlihat dari sebuah jendela plus kain gorden. Agung mencoba untuk melihat lebih luas lagi tentang makna bulan, anjing, dan daun ganja.

Pada Behind the Curtain #10 terlihat dua kaki manusia yang tergeletak. Sementara itu, sebilah pisau terdampar di antara dua jasad itu. Ada semacam kejadian pembunuh­an. Hal itulah yang membuat fragmen ini terasa berbobot. Apalagi di dalamnya terdapat poster yang menggambaran tentang orang yang memegang pisau.

Terlepas dari pemikiran-pemikiran Agung yang begitu radikal, ada hal yang ia tunjukkan dalam dunia grafis, terutama metode cukil habis (reduction-print). Itu merupakan sebuah metode berlapis yang efektif dalam ruang seni grafis untuk menghasilkan cetakan-cetakan berwarna dengan memanfaatkan hanya satu plat cetak.

Metode itu dilakukan dengan menyusutkan permukaan plat hingga akhirnya habis. Teknik ini sebenarnya bukan hal baru. Pablo Picasso (1881-1973) merintis teknik itu sehingga tampak pada karya-karya grafis akhir 1950-an.

‘Simbol-simbol dalam Natural mystic bisa dipahami sebagai mitos-mitos yang diproduksi oleh peradab­an manusia. Hidup kita hari ini dikepung oleh mitos-mitos’, tulis kurator Aminudin TH Siregar.

Pada fragmen Natural Mystic (44x36 cm), Agung menghadirkan 28 cukilan lino. Berbagai objek sangat beragam. Mulai dari binatang, tumbuhan, hingga manusia. Cukup menarik karena dia tak sekadar menghadirkan objek.

Ada juga analisis yang dilakukan secara ilmiah. Itu telihat pada fragmen Blue Print of Pseudo-science No I-XLII. Karya tersebut terdiri dari 42 fragmen yang segera mengajak pengunjung untuk masuk ke ‘ruang-ruang laboratorium’ seorang ilmuwan.

Inilah yang membut karya Agung cukup lekat dengan kehidupan di sekitarnya.

“Ada pengalaman atas hidup yang saya alami sehingga tertuang ke dalam fragmen-fragmen,” jelas pegrafis muda alumnus program studi Seni Rupa, Studio Seni Grafis, FSRD, ITB (2010), itu.

Terlepas dari kejelian dan keterampilan menghadirkan cukilan lino, Agung masih perlu menjaga ritme dan mencari lebih jauh tentang teknik lainnya. Hal tersebut berguna agar karya seninya dapat terus berkembang sesuai dengan perubahan zaman. (Iwan Kurniawan/M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 20 Oktober 2013

[Jendela Buku] Satu Dekade Pesta Sastra di Ubud

-- Anata Siregar

ANGIN semilir di pertengahan Oktober itu berhembus sepanjang Jalan Sanggingan, Ubud, Bali. Meski siang terik, langkah-langkah para pengunjung Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) mantap menapaki jalan menurun-menanjak. Mereka menuju museum, kafe, atau taman tempat pesta sastra dirayakan.

GALA OPENING: Suasana acara Gala Opening Ubud Writers & Readers
Festival 2013 di Ubud, Bali, Jumat (11/10) lalu. Kurang lebih 2.000
pengunjung yang kebanyakan penikmat sastra mendatangi sekitar 50 lokasi
agenda (venue) yang tersebar di Jalan Sanggingan dan Jalan Raya Ubud.
MI/ANATA
Satu dekade sudah festival sastra internasional ini digelar. Kurang lebih 2.000 pengunjung yang kebanyakan penikmat sastra mendatangi sekitar 50 lokasi agenda (venue) yang tersebar di Jalan Sanggingan dan Jalan Raya Ubud.

Sebanyak 180 seniman berpartisipasi dalam festival tersebut, di antaranya 150 penulis sastra baik yang sudah memiliki nama besar maupun para penulis pendatang baru (emerging writer). Lebih dari 220 agenda digelar sepanjang perhelatan akbar itu. Pesta sastra dimulai pada 12 Oktober 2013.

Sejak itu hingga tiga hari berikutnya, sebanyak 18 hingga 20 program utama digelar dari pagi sampai petang. Pada panel-panel diskusi tersebut tampak penulis Indonesia bersanding dengan penulis internasional bertindak sebagai pembicara.

"Kami mau memperkenalkan mereka secara langsung supaya tidak ada kesalahpahaman. Kalau kita bicara tentang fundamentalis Islam di luar sana, selalu dianggap seluruh orang Indonesia ini fundamentalis. Ternyata ketika bertemu mereka baru mengerti, tidak begitu. Terjadi pertukaran ide ideologis antarmereka," tutur Manajer Program Indonesia UWRF I Wayan Juniartha.

Sepuluh tahun lalu, festival ini digelar pertama kali sebagai usaha bangkit dari keterpurukan pascabom Bali, dengan tajuk Habis Gelap Terbitlah Terang. Dengan diprakarsai Janet DeNeefe dan Ketut Suardana dari Yayasan Saraswati yang merancang sebuah perhelatan sastra sebagai penyambung lidah ke dunia internasional, festival ini mengabarkan Ubud aman dikunjungi.

Memasuki tahun kelima, penyelenggara sudah harus bergerak dari tujuan tadi. UWRF menjadi sebuah wadah atau jembatan bagi penulis Indonesia dan internasional untuk berinteraksi, bertukar pikiran, serta merajut jejaring.

Kini pada tahun kesepuluh penyelenggaraan, panitia ingin mengulang tema yang sama dengan berpijak pada kepercayaan masyarakat Bali yang merayakan siklus sepuluh tahun sebagai Panca Bali Krama, yaitu disucikan dengan kembali ke titik nol. Namun, tajuk Habis Gelap Terbitlah Terang (Through Darkness to Light) kali ini lebih dimaknai sebagai judul karya RA Kartini, sebagai penanda program mereka yang bercorak perempuan.

Malam sebelum hari pembukaan festival, digelar Tribute Night for RA Kartini. Begitu pula sebagian besar agenda pada hari pertama diwarnai tema perempuan seperti Kartini's Letter, Women in Ancient Text, Ibu, dan Looking at Women.

Nama-nama yang sudah tak asing di dunia sastra Indonesia pun hadir, di antaranya Leila S Chudori, Goenawan Mohamad, Dewi Lestari, Laksmi Pamuntjak, Agustinus Wibowo, dan Ayu Utami.

Tak sebatas nama besar

Tak hanya mereka yang sudah punya nama, para penulis muda atau pendatang baru punya tempat khusus di UWRF.

Wayan mengatakan UWRF merupakan satu-satunya festival sastra di Indonesia yang secara kontinu memberi ruang kepada emerging writer. Tujuannya agar penulis dari berbagai negara bisa melihat sastra Indonesia bukan hanya dari karya penulis besar saja. "Kita selalu mengundang penulis emerging agar ada regenerasi, ada nama-nama baru yang dikenal," terang Kadek.

Harus diakui, potensi-potensi baru dalam dunia sastra ternyata masih bertebaran di luar sana. Tahun ini peminat program submisi emerging writer mencapai puncaknya. Penyelenggara menerima karya dari 649 penulis sastra dengan rentang umur 19 hingga 40 tahun.

Masing-masing dari mereka harus mengirimkan 30 karya untuk kategori puisi, 5 untuk esai, 4 drama, dan 8 cerpen. Karya-karya tersebut kemudian diseleksi melalui dua tahap, prekurasi dan kurasi oleh dewan kurator. Panitia sama sekali tidak campur tangan dalam proses tersebut.

Tahun ini, anggota dewan kurator yang terdiri dari Sapardi Djoko Damono, Dewi Lestari, dan I Nyoman Darma Putra mengeluarkan 16 nama emerging writer yang terpilih.

Karya 16 penulis tersebut kemudian dibukukan sebagai antologi dengan judul sesuai tajuk festival, Through Darkness to Light. Di antara mereka, ada Dea Anugrah. Penyair, penulis cerpen, dan esais kelahiran 1991 itu cukup dikenal di Tanah Air karena sejumlah karyanya dimuat di media massa.

Festival ini pun mencatatkan tulisan jurnalistik karya Bayu Maitra sebagai karya sastra. Bayu, editor Reader's Digest Indonesia, masuk sebagai emerging writer melalui tulisan Uluran Tangan di Pinggir Jalan. "Harus kita akui karya jurnalis sekarang sudah banyak yang menganut jurnalisme sastrawi sehingga kita akui sebagai karya sastra," kata Wayan.

Selain itu, faktor asal daerah atau kenusantaraan pun menjadi penting. Tahun ini karya yang diterima panitia berasal dari 70 kota. Biasanya ciri penulis lokal ialah bicara tentang kearifan lokal sehingga tema yang ditulis pun lebih kaya.

"Indonesia bukan hanya masalah urban dan korupsi. Masih banyak tema lain seperti mitologi, folklore, mitos penciptaan, dan sistem matrilineal," kata Wayan. (M-2)

miweekend@mediaindonesia.com

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 20 Oktober 2013

[Jendela Buku] Saat Bisnis Selaras dengan Kemanusiaan

PEBISNIS dan aktivis. Kebanyakan orang melihat mereka sebagai hal yang dikotomis. Ketika bisnis lazimnya hanya mementingkan bagaimana marketing berjalan agar mencapai keuntungan perusahaan, umumnya tak selaras dengan kemanusiaan dan lingkungan. Namun, tak begitu adanya dengan pendiri The Body Shop, Anita Roddick. Semasa hidupnya, Anita telah banyak memberikan inspirasi kepada masyarakat dunia.

Buku ini menampilkan kekuat­an story telling yang dimiliki Anita sehingga mudah menginspirasi orang,” ujar CEO of The Body Shop Indonesia Suzy Hutomo dalam peluncuran buku autobiografi Anita Roddick yang berjudul Business as Unusual pada Ubud Writers & Readers Festival 2013 di Ubud, Bali, Sabtu (12/10).

Anita, dalam pandangannya, bukanlah tipe pemimpin yang hanya duduk di belakang meja dan memberi perintah kepada para bawahan. Perempuan asal Inggris itu pejuang yang bepergian ke berbagai daerah di dunia. “Salah satu pengalaman yang dituliskan dalam buku ini ialah bagaimana ia datang ke perkebunan tembakau di Meksiko dan tergerak ketika mengetahui bagaimana penderitaan pekerja di sana. Sungai-sungai mereka tercemar limbah beracun hingga bayi mereka ada yang terlahir cacat,” tutur Suzy

Dalam buku tersebut, Anita pun mengisahkan bagaimana perusahaan industri hiburan raksasa Amerika Serikat memberikan upah yang tidak layak bagi buruh mereka di Thailand. Atau bagaimana perusahaan mi­nyak Prancis bekerja sama dengan diktator militer Myanmar membungkam demokrasi negara tersebut. “Saya 100% businesswoman dan 100% aktivis. Jangan dipertentangkan,” tutur pendiri dan CEO of Markplus Hermawan Kartajaya.

Dia menilai Anita sebagai marketer terbaik meski Anita sendiri antikonsep-konsep marketing. “Saya anti-CSR dan anti-marketing karena mereka tidak tulus, bagitu Anita bilang. Maka dia menerapkan konsep Marketing 3.0, yaitu konsep yang tidak hanya mengutamakan produk bagus dan customer senang, tapi juga memperhatikan spritual customer,” papar Hermawan.

Selama bertahun-tahun, Anita bersama The Body Shop telah menunjukkan bagaimana bisnis dapat dijalankan untuk mengubah dunia menjadi lebih baik. “Mengangkat masyarakat dari kemiskinan, tidak bisa hanya dengan mengandalkan LSM atau pemerintah, tetapi harus melibatkan bisnis, tapi bisnis yang mendorong pemakaian bahan-bahan ramah lingkungan,”

Ia mencontohkan Business as Unusual versi bahasa Indonesia diluncurkan The Body Shop Indonesia dan penerbit buku Gramedia Pustaka Utama. Buku yang pertama kali diluncurkan pada 2006 itu telah dialihbahasakan ke dalam 23 bahasa di penjuru dunia. “Jangan membayangkan buku bisnis yang biasa ditemui. Ini bukan jenis buku ‘how to become the most successful businessman in the World’. Buku ini gabungan catatan perjalanan, pemikiran, obsesi, dan resep menjalankan bisnis dengan prinsip keadilan sosial yang progresif,” ungkapnya.

Anita pencerita yang sangat baik dengan gaya bahasa seperti novel sehingga memudahkannya me­nerjemahkan buku itu dalam waktu tiga bulan. Kisah jujur dan gamblang tentang keberhasilan dan kegagalan dalam mengembangkan The Body Shop mengalir dalam 12 bab sendiri. Buku ini sangat relevan di negara mana pun tempat jiwa-jiwa wirausaha tumbuh subur merintis bisnis mereka, termasuk Indonesia. (Nat/M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 20 Oktober 2013

Rose: Denyar Melayu dalam Melodius Ridakus Liamsus

-- Fakhrunnas MA Jabbar

PELUNCURAN buku puisi Rose karya Rida K Liamsi yang digelar di ball room sebuah hotel berbintang di Pekanbaru, 12 Oktober malam terbilang meriah dan gemilang. Selain acara itu dihadiri Menteri BUMN, Dahlan Iskan yang juga wartawan senior, juga muncul ratusan tokoh dan hadirin dari berbagai daerah. Dalam acara pembacaan puisi sebagai penanda peluncuran buku, tampil secara atraktif dan bergantian Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri, aktris dan pemain teater Cornelia Agatha, penyair Murparsaulian dan Rida sendiri.

Suasana gemerlap ini, tentu saja sangat berbeda ketika Rida K Liamsi -waktu itu menggunakan nama pena Iskandar Leo- pertama kali membacakan sebagian puisi yang sama di Aula Universitas Islam Riau (UIR) tahun 1981. Pada waktu itulah lahir dan diluncurkannya kumpulan puisi Ode X yang selalu dikenang Rida sebagai peristiwa kultural dalam kepenyairannya.

Rida memang mengawali kepenyairan dan kesenimannya di Tanjungpinang (Kepulauan Riau) bersama sejumlah seniman dan wartawan lain seperti Hasan Junus, Eddy Mawuntu, Akmal Attatrick, Sudirman Backry dan Sutardji Calzoum Bachri -juga Ibrahim Sattah pada sebagian penggalan perjalanan- sudah terus menulis puisi. Sebagian puisinya dimuat dalam sejumlah media termasuk majalah sastra Horison yang menjadi barometer di Indonesia dan sejumlah antologi puisi di antaranya Jelaga.

Dalam acara pembacaan puisi tunggal Rida itu, saya bersama penyair Husnu Abadi terlibat penuh. Sebab, acara itu memang ditaja oleh Program Kreatif Yayasan Puisi Nusantara (YPN) yang kami kelola -Husnu sebagai Ketua dan saya sebagai Sekretaris- di bawah arahan Pendiri dan Ketua YPN, Ibrahim Sattah. Ada kebanggan lain bagi saya tatkala sayalah yang membuat desain cover buku Ode X yang sederhana dan kurang artistik berupa stensilan itu dan backdrop acara. Halaman-halaman buku puisi kami ketik dan sentil bersama.

Terus terang, bukan sisi historia itu yang hendak saya tuju dengan mengungkapkan kembali peristiwa yang berlangsung lebih dari tiga dasawarsa itu. Lebih jauh dari itu, licentia peotica  kata dan judul sejumlah puisi ‘’Rose’’ di dalam buku Ode X dan dibacakan Rida dengan lengkingan suaranya yang khas dan deklamatis, sudah jadi bahan pembicaraan kala itu. Dalam diskusi pun, Rida sempat dicecar pertanyaan sederhana: siapakah Rose itu.

Saya sebagai penyair dan penikmat puisi pun, sejak dulu hingga kini masih saja terkesan dengan sejumlah puisi Rida yang bertajuk ‘’Rose’’ itu. Dan ketika saya menerima buku kumpulan puisi dwi-bahasa (Indonesia dan Inggris) Rida terbaru yang berjudul Rose terbitan Yayasan Sagang di bulan Oktober 2013 ini, saya bagai menemukan jawaban atas hipotesis saya sendiri. Rida menulis dalam Catatan Pengarang yang ditampilkan di halaman-halaman terakhir buku puisi ini, Rida berwujud pengakuannya secara tulus dan terbuka: ‘’ROSE adalah mahakata yang selalu membuat saya terbakar dan melihat hidup dengan gairah...’’

Siapakah Rose itu yang sesungguhnya? Pertanyaan ini pasti terus muncul dalam diri banyak orang saat menatap dan membaca buku puisi yang diselenggarakan oleh sastrawan/pelukis, Armawi KH -perkiraan saya termasuk desain cover- dengan warna yang tampak agak gelap-klasik. Rose boleh saja ditafsir sebagai sosok seseorang yang tak mudah dilupakan, ruh dan napas yang tak boleh raib begitu saja atau sebuah misteri panjang yang tak akan pernah terjawab.

Tapi izinkan saya membingkai puisi-puisi Rida yang dilambungkan ke permukaan lewat Rose bak seorang pemahat Melayu di terjal ngarai dengan melodius Ridakus Liamsus. (Maaf, sebutan ini terasa sangat bombastis namun cukup representatif untuk meneguhkan kepiawaian Rida dalam memahat situasi dan nasib Melayu lewat kata-kata yang melodius. Secara sederhana, prasa ini dapat dimaknai sebagai ‘melodi ke-Rida-an’. Kata ‘melodius’ ini saya pinjam dari Murparsaulian sebagaimana ditulis dalam catatannya di buku yang sama).

Terus terang, saya merasa nyaman menamakan melodius yang dinyanyikan Rida dalam hampir semua puisinya senyap dan teduh seperti desahan ode (baca KBBI: sajak lirik untuk menyatakan pujian terhadap seseorang, benda, peristiwa yang dimuliakan) yang selalu menghentak-hentak bak tancap tempuling atau merayap-rayap berirama bagai perjalanan kelekatu.

Ada 56 puisi tersaji dalam buku puisi Rose ini. Sebagian besar puisi-puisi pilihan sebagaimana dicantumkan di cover sebagai Rose - Selected Poems memang diambil dari tiga kumpulan puisinya terdahulu. Mulai dari Ode X, Tempuling hingga Perjalanan Kelekatu. Selain itu, Rida juga menyertakan puisi-puisi terbarunya yang ditulis di era tahun 2000-an hingga sekarang yang sebagian berkisah tentang perjalanan dan perenungannya di sela-sela kegiatan bisnisnya yang berkaitan dengan media.

Tentu bukan pula sebuah kebetulan bila penyair Sutardji Calzoum Bachri didaulat memberikan ulasan pengantar di buku ini. Sutardji memang termasuk salah seorang sahabat Rida yang sedikit-banyaknya mengikuti pengembaraan kreatif Rida dalam memahat kata-kata. Begitu pula sebaliknya. Persahabatan kreatif itu di antara Rida dan Sutardji masih terus berlangsung.

Oleh sebab itu, Sutardji dalam pengantarnya mengakui perubahan-perubahan mendasar dalam puisi-puisi Rida dalam jangka waktu yang panjang. Tulis Sutardji: ‘’....Bila pada sajak-sajak awalnya kadang ia kelihatan terpesona pada ungkapan dan larik milik para penyair lain, yang membikin saya agak terganggu dalam membaca karyanya, maka pada sajak-sajak mutakhir ungkapannya semakin khas personal, dalam dan indah, yang pada hemat saya menjadikannya sebagai salah satu penyair terbilang di negeri ini.’’

Dan kata pamungkas Sutardji tentang puisi dan kepenyairan Rida ditulisnya begini: ‘’Cukup saya katakan di sini, kepiawaian Rida dalam melukis suasana alam dan hati, bagi saya dapat disejajarkan dengan kemampuan Chairil Anwar dan Amir Hamzah dalam sajak mereka: ‘’Senja di Pelabuhan Kecil’’ (Chairil Anwar) dan ‘’Berdiri Aku’’ (Amir Hamzah).’’

Melodius Ridakus Liamsus yang mewarnai puisi-puisi Rida sejak dulu hingga kini, terlihat jelas dalam diksi dan pahatan kata-kata arkhais dan magis Melayu. Kadangkala diksi kata pahatan Rida itu sebagaimana kehebatan mantra Melayu -Sutardji mengukuhkan diri dengan genre ini- menjadikan pahatan kata-kata magis itu bermiripan. Sebutlah kata ‘mawar’ atau ‘gaung gaib’ dan masih banyak lagi.

Tapi kepiawaian Rida memahat tiap liku kata-kata menjadi sebuah frasa atau ungkapan ekpresi spiritual dan bunyi, cukup mengejutkan. Simak saja, puisi ‘’Ode X’’ di bawah ini:

Ada seribu mawar
seribu merah
seribu pagi
basah

Tapi aku mau pergi
        dari satu ke lain malam
Luluhkan sukma dalam
gaung gaib
gua resahku
Karena seribu bunga layu
dalam genggamanku
Karena aku tak bisa berikan
selamat pagiku
pada kupu-kupu

Mawar merah
 Pagi yang basah
 Jangan berikan selamat pagimu
:     Pada bumi
yang cemburu kupu-kupu
berikan bau peluhMu
(1975)

Pahatan kata-kata Rida selalu mengejutkan. Ada rima magis yang khas Melayu. Ada pula lompatan imaji yang tak terduga seperti: ‘’Karena aku tak bisa berikan selamat pagiku/ pada kupu-kupu’’ atau ‘’cemburu kupu-kupu.’’ Oh, betapa indah dan melodius kata ‘’kupu-kupu’’ setelah berada di genggaman kata-kata Rida.

Penggunaan kalimat ringkas dan sederhana namun mengandung arkhaisme yang Ridakus Liamsus dapat dirasakan dalam puisi ‘’Bulang Cahaya’’. Puisi yang ditulis tahun 1975 yang kelak dijadikan judul novel sejarah Rida yang fenomenal dan berkisah tentang kesultanan Melayu Riau-Lingga dan Johor di masa silam.

Rasakan kekhasan Rida yang sangat Melayu itu dalam bait-bait ini:

Terimalah cintaku
cinta tak berkeris
cinta tak bersuku
cinta yang tak tersurat   
dalam lagu-lagu

......
Inilah cintaku
kudulang jadi timah
kupahat jadi patung
kurendam jadi rempah
kugulai bagai rebung
kusimpan dukaku
sampai ke ujung

Kata keris, suku, timah, rempah dan rebung tentu secara mudah ditemukan di dalam bahasa tulis dan tutur semua orang di negeri ini. Namun, dalam puisi ini, kata-kata pahatan Rida itu memberi rujukan pada makna dan nilai kultural Melayu. Kedalaman puisi ini akan begitu terasa bila disanding dengan bacaan dan kisah novel Bulang Cahaya yang diuncurkan tahun 2007 itu.

Puisi ‘’Hai Rasa Kepingin yang Lelah’’ lagi-lagi memperlihatkan suasana emosional dan magis yang dibancuh dengan spritual Melayu. Pahatan kata-kata pada kalimat yang ringkas membesutkan resonansi bunyi yang memukau. Simak saja:

Istirahatlah
sambil meminumkan sisa
anggur lukaMu
dan sekatkan diri dari
umbai mimpi siaMu
jangan bilang
sia
     sia   
nangiskan rasa
di rasa yang tak tangis
sedihkan siapa
yang tak sedih

Kemolekan pahatan kata-kata Rida sangat terasa dalam penggalan bait: nangiskan rasa/ di rasa yang tak tangis/ sedihkan siapa/ yang tak sedih. Melodius Melayu makin mengukuhkan betapa Rida begitu akrab dan terus berdekap dengan bahasa ibu Melayu.

Keakraban Rida dengan kalimat-kalimat magis yang ringkas hampir ditemukan di semua puisi yang dituis Rida pada periode awal kepenyairannya. Puisi ‘’Rose (I)’’ hingga ‘’Rose (V)’’ memperlihatkan kecenderungan itu. Tampaknya denyut kehidupan dan perjalanan panjang Rida yang terhimpun dalam buku ini secara keseluruhan terbingkai di dalam rangkaian puisi ‘’Rose’’ ini.

Melodius Ridakus Liamsus itu benar-benar terasa dengan kekhasan medium ekspresi Rida yang kaya dengan frasa, metafora dan arkhaise kata-kata Melayu yang sebagian sudah lama terkubur dalam bahasa lisan dan tutur. Simak saja penggalannya:

Rasa rinduku padamu ROSE
adalah kuda
di padang terbuka
tak henti lari
tak siang tak malam
tak panas tak hujan
tak perih tak luka
tak satu tak dua
tak
tak
tak
tak
tak nyerah
tak kallah
(Rose I)

Rasa rindku padaMu
adalah ragi
rapuhkan ranting ragaku
adalah racun
lecuhkan urat rabuku
adalah rayap
runtuhkan ruang rahasiaku

Ngapa kau jadi riak
tak jadi rakit
seberangkan rasa rinduku
Ngapa kau jadi resam
tak jadi rotan
anyamkan tali rinduku
(Rose II)

Coba rasakan melodius Ridakus Liamsus dalam puisi Rose (I) dan (II). Rasakan pula getaran repetisi kata ‘tak’ kala dibaca dengan gaya dan perasaan menghentak yang memperlihatkan suasana emosional yang khas orang Melayu. Begitu pula kalimat metaforik: Rasa rinduku padamu, ROSE/ adalah kuda/ di padang terbuka.

Atau kau mungkin tetap ingin seperti dulu:
Membiarkan waktu yang mencatatnya di karang
sehabis pasang, dan membiarkan semuanya menyimpan rindu
dalam lubuk kita yang dalam

Seperti segelas racun, meneguknya, meski dengan rasa
sesal dan takut, menjadi keputusan keputusasaan

Mengapa terjadi ketika rindu sudah sampai ke ujung tunggu

(Rose IV)

:    O, mampuslah kau
Akhirnya kalah
Tak lagi mencacak pancang
Tak lagi menggelinyang pasang
Tak lagi menggelenyar gelombang
Siapa yang bisa melawan
Sang kala
Sang lelah
Sang lejuk
Sang hianat

(Rose V)

Repetisi (pengulangan) kata-kata bernuansa magis dan arkhais itu benar-benar mendominasi hampir semua puisi Rida periode awal. Rasakan dalam kalimat: ‘’Ngapa kau tak jadi riak/ tak jadi rakit’’ atau ‘’Ngapa kau jadi resam/ tak jadi rotan.’’ Diksi dan metafora yang digunakan Rida memperlihatkan keakraban Rida tidak hanya secara kultural-spiritual melainkan juga dari sudut naturalisme yang mengangkat situasi alam Melayu pada masanya. 

Puisi-puisi Rida yang terlahir di awal milenium baru memang cenderung lebih naratif. Rida cenderung bertutur dan berkisah. Sikap Rida pun mulai keluar dari pergulatan hati dan perasaannya sendiri. Meski upaya keras untuk memotret diri dari lensa kejauhan tak terhindar. Kegalauan baru muncul begitu leluasa saat menatap sekeliling yang terus berubah dan berubah. Semua ini sejalan dengan mobilitas Rida terkait urusan bisnis dan jalan-jalan ke mancanegara.

Modus perenungan Rida pun tentu sedikit berubah dibanding dulu masih berkutat dengan kegelisahan diri dan kampung halaman. Bila dulu Rida melakukan kontemplasi itu di bilik-bilik sunyi atau malam yang penuh kunang-kunang, kini Rida menemukan locus yang berbeda.

Sejumlah puisi terakhir yang lahir dari kegundahan baru kejiwaannya tak jarang ditulis dan direnungkan saat duduk di kursi pesawat dalam perjalanan panjang Jakarta-Los Angeles atau Jakarta-Belanda yang selanjutnya mengembara di kota-kota besar lain di Amerika, Eropa atau pun Asia.

Temukanlah melodius lain dalam puisi-puisi: ‘’Suatu Siang di Penghujung Abad’’, ‘’Di Stockholm’’, ‘’Di Seberang Gedung Putih’’, ‘’Shang Hai Bab’’, ‘’Cerita-cerita dari Korea’’ dan ‘’Di Great Wal’’ dan sejumlah puisi lain yang ditulis pada era bersamaan.

Suatu siang, penghujung abad
Bahang melinia menyentuh gerbang
terbangkan beratus gagak
derukan beribu dingin
Tuhan, aku saksikan zelzah gemetar menatap angin
dan aku gemetar menangkap dingin

(Suatu Siang di Penghujung Abad)

Adakah kau di sana
mendengarkannya
tapi pintu pagarmu
menelan suara
Aku juga di situ
di depan gerbangmu
mengunjuk puisiku
membacakan petisiku:

(Di Seberang Gedung Putih)

Di Najing Lok, ujung semi menyisakan gigil
Plaza basah, sehabis renyai
Dan kau datang dari sudut yang hiruk
Dari balik trem dan kereta turis
:    Sir,
Aku tawarkan sebatang rokok dan sejenak kehangatan
Punyakah anda 100 yuan?

(Shang Hai Baby)

O, kesetiaan yang dihunjam benci dan ketakutan, dapatkan
cinta bertahan ketika airmata telah jadi salju, dan kerinduan
telah jadi batu, ketika sebut telah jadi lumut

(Di Great Wall)

Kedalaman spritualitas Rida dalam beragama, terlihat pula dalam sejumlah puisi bertema pencarian akan kebenaran dan perjalanan di tanah suci seperti ‘’Di Masjid Amir Hamzah’’, ‘’Di Jabbal Rahmah’’, ‘’Di Masjidil Haram’’ setelah ‘’Menara Zamzam’’ dan beberapa lagi.
Meski Rida sedang berada jauh, namun keakraban dan kerinduannya pada kampung halaman dan ribuan orang yang mencari dan menemukan diri tak pernah luput dari tatapannya. Begitu pula, pemunculan kata-kata arkhais Melayu yang khas menunjukan kesebatian Rida yang takkan terpisahkan dengan tanah ibu Melayunya.

Tak cukup kata-kata untuk membongkar semua misteri yang terkandung dalam puisi-puisi Rida. Sebab, galibnya sebuah puisi memang selalu menjadi misteri yang kadangkala dibawa mati oleh penyairnya. Masyarakat pembaca diperbolehkan melakukan multi-tafsir yang tak terbatas kala membaca puisi itu di tempat, ruang dan waktu yang berkebedaan.

Akan halnya sosok dan wujud buku puisi Rose ini, boleh jadi tersebab terburu-buru dalam pengerjaan atau pun terlalu berhati-hati akan khliaf-keliru dalam penulisan atau pengetikan. Masih ditemukan sedikit-sebanyak kekeliruan dalam pengetikan yang sesungguhnya tidaklah mengganggu penampilan sekalian kandungannya. Sebutlah, penulisan nama Sutardji Calzoum Bachri pada halaman cover menjadi: ‘’Soetardji Qalzoum Bachri’’. Ini boleh jadi terkait gaya hiperkoreksi (terlalu takut salah) pada seseorang yang mengetiknya. n

Fakhrunnas MA Jabbar, budayawan dan sastrawan, lahir di Airtiris, 18 Januari 1959. Menulis dan menerbitkan sejumlah buku (5 buku puisi, 3 buku cerpen, 4 buku cerita anak, 2 biografi dan satu buku teks perikanan). Saat ini mengajar di Fakultas Pertanian Universitas Islam Riau.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 20 Oktober 2013

Saturday, October 19, 2013

Wayang, Empati, serta Perfoming

-- Beni Setia

PENJUDULAN atas kumpulan cerpen Bagus Putu Parto (BPP) dengan Catatan Harian Doktorandus Kartomarmo (Surabaya, SatuKata Book, Agstus 2013) termasuk unik. Setidaknya tidak diambil dari salah satu dari sepuluh cerpen yang dikumpulkan, tapi dari judul catatan epilog. Bisa jadi karena cerpen-cerpen itu tidak mutlak sebagai teks-meski bisa dibaca sebagai teks-, tapi lebih berupa acuan buat dihadirkan secara perfoming. Tidak heran BPP sediri menyebut epilog itu sebagai (teks) Paska Lakon-sedang Kata Pengantar editor, R Giryadi, diidentifikasikan sebagai (teks) Pra Lakon-, yang menunjukkan cerpen akan lebih menyapa saat dipentaskan dan tak pasif dibaca.

    Fakta sebagian besar cerpen-cerpen itu telah disipanggungkan dengan taat acuan perfoming art bisa dirunut dari tiga fakta. Pertama, secara kultural BPP itu dimomong tradisi pagelaran wayang serta dikondisikan suntuk membaca serial cerita wayang di majalah bahasa Jawa Penyebar Semangat. Bahkan nama pena nan Putu Parto itu juga berasal dari kata Jawa putu (= cucu) Parto (= Suparto Broto-sastrawan Jawa ternama, yang menulis di PS). Sekaligus menandaskan sejak kecil BPP diperkaya budaya lisan perfoming pagelaran wayang dan budaya tekstual cerita wayang. Kedua, BPP memilih pendidikan teater formal di ISI Yogyakarya, sehingga bisa memenej seniman-terlihat dari acara "Haul Bung Karno" atau "Drama Kolosal Pemberontakan Peta Blitar".

    Studi mendalam dan terpola formal itu menyebabkan paham akan kemungkinan pemanggungan, akan potensi perfoming art, sehingga membangun kesadaran tentang keseimbangan (budaya) oralitas kedua. Bahwa sesuatu itu tidak hadir secara lisan dan juga tidak tekstual murni, tapi kongkrit diperagakan. Semacam hadiran yang lebih dari sekedar sinetron, di mana cerita tak lagi bertumpu pada wacana dan tak mutlak melulu diwakili gambar. Jadi perfoming cerpen-seperti teaterisasi puisi. Bahkan ketika BPP menulis cerpen ia tak membayangkan cerita hadir tekstual, tapi dalam jalinan ekspresi panggung yang didukung aspek perfoming.

    SEMUA itu, ketiga, mengental ketika BPP tersilibat gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP). Upaya menolak pemusatan sastra di Jakarta, usaha mengsialihkan model publikasi sastra tekstual di media masa cetak-yang melahirkan rubrik budaya koran dan majalah tertentu itu-ke model lisani-jadi ekspresi seni yang mutlak tunduk kaidah perfoming art. Karena itu, sejak paruh pertama dekade 1990-an, BPP menulis cerita yang tidak tekstual, tapi yang (menjadi) ekspresif kalau dihadirkan di panggung dengan memperhatikan acuan perfoming. Di titik itu, karena itu, kita bisa memahami keberadaan fantasi improvisasi liar BPP, yang tak bisa terlihat dalam teks karena amat situasional pementasan.

    Cerpen "Nyanyi Sunyi si Burung Merak"-ditulis dan dipentaskan pada Festival Seni Surabaya, 2003-, menghadirkan tokoh semi-riil Rendra sebagai si kakek berusia 100 tahun. Kangen kejayaan masa muda dengan memaksa ingin tampil membacakan puisi-puisi terbarunya secara kharismatik teateristik. Kesampaian, serta tersadar kalau ia manggung tanpa penonton. Ada pergeseran waktu, ada pergantian ikon, dan model ideal ekpresi senipun berubah. Apresiasi ikut trend! Atau

    "Aku Ingin Jadi Walikota"-ditulis dan dipentaskan di DPRD kota Blitar di acara menggali gagasan dan pendapat tentang walikota ideal-, yang bercerita tentang tukang becak yang ingin jadi walikota, diaksentuasi wartawan koran kuning, dan menjadi semacam pemimpin alternatif.

    Tapi apa sembarang orang bisa jadi sang walikota hanya dengan dipilih-tanpa si bersangkutan punya ilmu dan keahlian manajerial birokrasi. Ada tonjokan yang khas BPP. Pada "Kuku Bima", Bima mengamuk karena kuku Pancanakanya itu hilang dan jadi produk minuman suplemen.

    Pada "In Memoriam" si penulis menulis cerpen yang merupakan obituari bagi kematiannya sebagai sastrawan. Setelah obituari itu dimuat-aslinya JP dengan kesepakatan Arief Santosa-ia kebingungan menunggu kedatangan maut. Pada "Seusai Baratayuda" Destarata dan Gendaripun nglanggut saat menelusuri Kurusetra, menangisi fakta musnahnya (keluarga) Kurawa-yang tak diterima Gandari dan dihayati Destarata sebagai takdir. Lalu muncul Kartomarmo, yang tak ikut perang dan didorong Destarata agar berperang menunaikan takdir sebagai tumbal kebenaran.

    TAPI Baratayuda sudah berakhir. Kartomarmo mati setelah membunuh generasi kedua Pandawa-tahta Astina jatuh ke Parikesit, si generasi ketiga yang dikutuk mati, seperti diperlihatkan pada cerpen "Pak". Tapi aura terus berjuang mesti disitakdirkan kalah membuat BPP terpukau. Menjadikan metoda perjuangan gerilya Kartomarmo-pada Pandawa yang mutlak menang-sebagai cara melawan Jakarta, pusat sastra serta legitimasi kualitas dari teks. Semangat RSP itu rasanya tak terlihat pada diri Triyanto Triwikromo dan hanya samar pada Koesprihyanto Namma-sudah bergeser ke sastra serta teater bertenden, yang lebih dianggap sebagai sarana untuk membangun karakter aktor lewat nash-nash Qur'an.

    Itu menunjukkan BPP, pada dasarnya, masih tetap hidup dalam atmosfir RSP-terlihat jelas pada teks epilog yang dijadikan judul kumpulan cerpen, yang ditulis Juni 2013-, masih mengandaikan ada musuh di Jakarta. Dan aspek romantis itu pula yang menyebabkan BPP memberi judul kumpulan cerpennya Catatan Harian Doktorandus Kartomarmo-dengan Kata Penutup mensidadar kenangan perjuangan RSP melawan Jakarta.

    Koesprihyanto Namma yang dirangkul Boemipoetra-bukan BPP yang tak luntur oleh waktu. Mungkin karena dalam rentang 20 tahun terakhir itu BPP sibuk dengan proyek melawan labilisasi ekonomi, melupakan sastra dan terserap putaran produksi serta distribusi Kalimasada Cookies. Memang!

Beni Setia, Pengarang
   
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 19 Oktober 2013

Sunday, October 13, 2013

[Buku] Membaca Ruang Khusus Anak Gaul

Data buku
FLU, Fallin' Love with U  
Adnan Buchori
Andi Publisher, 2013
188 hlm.
DEMAM kumpulan cerpen dengan berbagai genre mulai mewabah. Tentu, munculnya kumpulan cerpen dengan berbagai genre dengan kover yang didesain heboh agar menarik perhatian pembeli.

Satu di antara sekian banyak genre kumpulan cerpen yang mejeng di toko buku adalah FLU, Fallin‘ Love with U yang diterbitkan penerbit Andi, Yogyakarta. Sekumpulan cerita pendek bergenre remaja yang ditulis Adnan Buchori, penulis asal Surabaya, ini berjumlah 13 judul.

Sebagian besar sudah dipublikasi di majalah remaja. Dari judulnya saja sudah terasa cerita yang ditulis Abe demikian Adnan biasa dipanggil, menggambarkan kisah remaja yang selalu beraroma cinta dan kegokilan anak remaja masa kini.

Jika melihat kovernya, yang gambar seorang (anak) perempuan sedang meler, memberi kesan buku kumpulan cerita pendek ini adalah sekumpulan cerita untuk anak-anak, bukan untuk para remaja. Bukankah kover sebuah buku seharusnya menggambarkan isi buku tersebut? Atau penerbitnya memang sengaja? Setidaknya untuk memancing rasa penasaran pembaca?

FLU bukan sakit flu biasa sebagaimana yang dipikirkan banyak orang. FLU justru cerita yang sangat beraroma cinta yang disebabkan karena virus, bersin, dan bakteri lain yang membuat kumpulan cerita pendek ini menjadi menarik dan bikin penasaran.

Cara Abe meramu kisah-kisah cinta ala remaja dalam kumpulan cerita ini tentu akan membuat gemas para remaja, terutama yang sedang dilanda kasmaran. Kasmaran dengan Suju sampai tokoh Vivie tega melakukan apa saja agar keinginannya terpenuhi, sungguh sesuatu yang tidak boleh ditularkan pada remaja. Namun, Abe punya cara juga bagaimana menumbuhkan simpati dengan berempati pada anak pembantunya yang sudah lama menginginkan sebuah boneka barbie seperti milik Vivie. Baca deh ada sisi baik yang bisa ditiru oleh para remaja.

Mengalir dan Enak Dibaca

Sebenarnya, apa yang diinginkan remaja kita ketika membaca buku? Jawabannya sederhana. Ceritanya simpel, bahasanya remaja, dengan kata lain menggunakan kalimat dengan gaya bahasa lisan dan kalau dibaca tidak bikin kening berkerut dan kepala nyut-nyut.

Nah, dalam kumpulan cerpen ini hampir semua cerita Abe menjawab keinginan para pembaca remaja yang cenderung nggak suka bacaan berat dan kalimat yang menggunakan gaya bahasa indah, tetapi kadang sulit dicerna maknanya, seperti gaya bahasa dalam karya sastra.

Bahkan, membaca cerpen Abe kita seperti dibawa penulisnya ke dalam sebuah ruang khusus anak gaul yang dalam keseharian menggunakan bahasa lisan yang supergaul, tidak memedulikan tatanan dan kaidah bahasa Indonesia. Yang pasti bisa dibilang bacaan ringan yang bisa dibaca dalam waktu semalam.

Kendati begitu, bukan berarti buku semacam ini tidak banyak dibeli. Justru buku-buku semacam ini bisa menjadi bacaan alernatif yang cukup menghibur. Konon, buku Abe sebelumnya, Paperlane of Love, sudah cetak ulang beberapa kali.

Cinta Selalu Menarik Perhatian

Kisah yang paling abadi dan nyaris tidak pernah turun harganya di pasaran adalah kisah tentang cinta dan cinta. Dari 13 judul cerita pendek dalam buku ini, sebagian besar menyuguhkan tentang kisah cinta anak remaja, tentu dengan keunikan dan ramuan yang berbeda. Memang kisah cinta yang paling bisa dijadikan magnet agar buku bisa laku dan laris manis. Enggak percaya? Baca, deh! n
   
Tita Tjindarbumi , Cerpenis

Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 Oktober 2013

[Tifa] Suara Joko masih Pekik

-- Iwan Kurniawan

SAMBIL menyeka wajahnya, pelukis Joko Pekik mulai duduk di depan pintu masuk Galeri Nasional, Jakarta. Di bawah atap berlangit bintang, ia mulai berceloteh tentang masa muda hingga masa tua sekarang ini.

Zaman Edan Kesurupan: Pelukis Djoko Pekik (kedua kiri) bersama istrinya
Tini Purwaningsih hadir dalam pameran tunggal bertajuk Zaman Edan
Kesurupan di Galeri Nasional, Jakarta Pusat, Kamis (10/10). Pameran
yang berlangsung hingga 17 Oktober 2013 tersebut menampilkan lukisan
dan patung Djoko Pekik dalam kurun waktu 1964-2013 atau seiring dengan
60 tahun perjalanan seninya. MI/IMMANUEL ANTONIUS
Bau dupa mengiringi setiap kalimat yang ia tuturkan. Di depannya ada dua barong dan topeng celeng yang sengaja didaratkan sebagai sebuah prosesi pembukaan pamer­an tunggalnya bertajuk Zaman Edan Kesurupan, pertengahan pekan ini.

Joko Pekik tampak santai malam itu. Sembari bertutur tentang 30 lukisan (termasuk patung) yang akan dipamerkan hingga Kamis (17/10) mendatang, ia sesekali menerima ucapan selamat dari para pengunjung.

“Celeng sebagai simbol angkara murka. Itu sebagai koreksi diri. Terserah mau dibilang sebagai simbol koruptor atau apa pun, bebas saja,” ujar Joko Pekik di sela-sela pembukaan.

Di antara puluhan karya yang terpajang rapi, Joko Pekik mengha­dirkan sebuah karya patung berjudul Berburu Celeng (200x400x100 cm, 2013). Karya itu digeletakkan di luar pintu masuk gedung. Ada dua orang sedang menggotong celeng (babi hutan).

Celeng yang terlihat gemuk itu diikat secara kuat. Dua pria memanggulnya menuju ke rumah. Seolah, mereka baru saja berhasil menangkap atau membunuh hasil buruan di hutan.

Simbol celeng yang ada dalam karya setinggi hampir 2 meter itu menjadi simbol angkara murka yang selalu dihadapi setiap manusia. Sebagai sebuah pemikiran mendalam, sang pelukis tua itu pun mencoba menuangkan dalam karya lainnya yang memiliki kesamaan.

Itu terlihat jelas pada karya patung lainnya Berburu Pekik (200x400x100 cm, 2013). Namun, bukan celeng yang digotong oleh dua lelaki tua, melainkan diri Joko Pekik sendiri. Tangan dan kakinya diikat dan dipanggul dua orang itu dengan kayu. Tentu saja, Joko Pekik mencoba untuk menunjukkan ada sebuah kekejaman atas kemanusiaan sehingga manusia sudah dianggap sebagai ‘celeng’.

“Sekarang ini zamannya sudah zaman edan,” cetus Joko Pekik.

Suara dari bui

Terlepas dari karya-karya (baik patung maupun lukisan) yang penuh nilai tradisi dan historis, ada pengalaman yang masih tebersit dalam ingatan Joko Pekik. Ia masih ingat betul pada 8 November 1965. Saat itu ia disakiti oleh tentara.

“Kata tentara, ‘Ojo noleh’ (jangan lihat karya-karya). Sejak itu, timbul sakit hati yang luar biasa. Saya disiksa. Kok lali aku... haha,” ujar Joko Pekik seraya tertawa karena beberapa kejadian di era Orde Lama itu sedikit ia lupakan dalam ingatannya.

Karena dilarang melakukan kegiatan seni rupa pada era 50 hingga 60-an, ia pun beralih profesi sebagai tukang jahit selama 20 tahun. “Saya menjahit untuk menghidupi anak saya,” cetusnya.

Sebagai penjahit, Joko Pekik pun menyimpan sebuah celana milik pelukis (alm) Affandi Koesoema. Celana itu masih ia simpan rapih sebagai sebuah kenangan.

“Saya selalu minta sisa-sisa barang milik Affandi. Selain minta cat dan kanvas, ada celana yang tidak dimiliki museum mana pun,” tutur ayah 7 anak dan kakek dengan 17 cucu itu.

M Agus Burhan, pemerhati seni, menilai dalam pengolahan gaya, Joko Pekik cenderung tidak banyak berubah, kecuali perubahan yang dilakukan semasa Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), sebuah organisasi kebudayaan yang diprakarsai kubu komunis.

Jika pada masa Lekra, lukisannya bergaya naif realis dan mengusung semangat paham kerakyatan revo­lusioner seperti Tuan Tanah Kawin Muda (1964), sesudah masa Lekra, kata Burhan, Joko Pekik bangkit pelan-pelan melukis dalam gaya ekspresionisme.

Namun, dia tetap memperjuangkan paham kerakyatan. Hal itu terlihat pula pada karya terbaru seperti lukisan Berburu Istana (182x390 cm, 2 panel, 2009-2010), Pawang Kesurup­an (150x200 cm, 2012), dan Ledek Gogik (150x250, 2012).

“Sesudah Lekra, masa semangat revolusioner dalam paham kerakyat­an tetap muncul. Terutama pada nilai-nilai yang mengolah ironi dan kontradiksi,” nilai Burhan dalam kurasinya.

Konsep dalam karya-karya Joko Pekik memang dibangun dari manusia atau masyarakat bawah yang terus mempertahankan dan menuntut haknya yang terus dirampas.

Itulah keberanian Joko Pekik yang ia tuangkan lewat karya terbaru Berburu Pekik. Suara-suara yang dirampas penguasa, atau sebaliknya, hak-hak yang terhempas hegemoni. “Kami masih sadar. Revolusi belum selesai,” ucap Joko Pekik. (M-2)

miweekend@mediaindonesia.com
     
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 13 Oktober 2013