Sunday, April 08, 2012

Realitas Sosial-Politik dalam Tunggu Aku di Sungai Duku

-- Cikie Wahab

Namun aku merasakan sesuatu yang lain ketika memasuki tempat ini. Aku tak peduli apakah ini penjara bagi pesakitan, perampok, pemerkosa, koruptor, bromocorah kambuhan atau residivis kelas kampung. Kalau engkau ingin tahu, Maria, aku merasa inilah tempat yang baik bagi pikiranku, setidaknya aku merasa hidup yang lebih bebas dan pikiranku bisa berjalan dengan seluas-luasnya. (�Penjara�: hal. 3)

Begitulah apa yang dirasakan Rusdi, tokoh protagonis  dalam cerpen berjudul �Penjara�. Ia berkeyakinan bahwa ada penjara yang lebih dalam, lebih tinggi, lebih kokoh dan lebih segalanya dari apa yang  sekarang dirasakannya. Penjara yang membuat kerangkeng kebebasan menjadi sebatas angan-angan, dan di dalamnya menyelinap kekecewaan, keletihan yang amat dalam. Tapi, satu hal yang mampu membuat Rusdi bisa berpikir lebih tenang ialah karena cinta. Sebuah ukuran kebahagiaan yang kerap membuat manusia mampu bertindak seperti dewa.

Cerpen ini menjadi cerita pembuka dalam kumpulan cerpen Tunggu Aku di Sungai Duku (Palagan Press Pekanbaru, Januari 2012), yang diitulis sastrawan Riau, Hary B Kori�un (HBK) dalam kurun waktu 1992-2006. Cerpen-cerpen yang terbit di beberapa media ini dirangkum agar pembaca bisa kembali menikmatinya, yang juga bisa menjadi �catatan� perjalanan kepengarangan HBK yang sering berpindah-pindah. Itu bisa dilihat dari tempat di mana cerpen-cerpen itu ditulis seperti Muara Bungo (Jambi), Padang, Jakarta, Pekanbaru dan kota lainnya.

Dan ketika saya �sebagai pembaca� menelusuri kesebelas cerpen tersebut, saya menemukan efek dari kenyataan yang mungkin bisa jadi pernah dimiliki si penulis cerita. Mungkin saja, bukan? Kisah-kisah heroik dalam bentuk realisme, kenyataan yang berbalut romantika dalam kemasan karya sastra.

Dalam cerpen �Lelaki Mumi�, misalnya, menceritakan seseorang lelaki yang menjadi kambing hitam dari sebuah insiden peledakan hotel. Hal ini juga terdapat dalam cerpen �Wanita di Seberang Jalan� di mana, di sebuah toko buku terbesar telah terjadi ledakan bom yang melukai banyak orang.  Cerita ini tentu mengingatkan kita pada teror bom yang terus terjadi sepanjang tahun 2000-an. Mulai dari Bom Bali I dan II, JW Mariot, Kedutaan Australia, Ritz Carlton, dan sebagainya yang membuat Indonesia pernah mendapatkan label travel warning dari beberapa negara.

HBK tidak hanya sekadar menceritakan sebuah peledakan dan isu-isu yang menyertainya, namun  berusaha menguatkan karakter masing-masing tokoh dengan transisi keadaan sebelum dan sesudah peledakan terjadi.  Bagaimana si Aku �Lelaki Mumi� yang bersikukuh tidak akan menyerahkan diri karena tidak bersalah dan menemui wanita yang ia cintai sebelum akhirnya ledakan besar terjadi. Dan latar belakang peledakan itu ialah target seorang �Komandan� yang salah sasaran. Meski untuk menutupi hal tersebut, sang Komandan mengkambing-hitamkan kelompok militanlah yang menjadi dalang di balik peledakan hotel, di mana si Aku hampir tewas dan kini terbaring lemah dalam balutan perban di sekujur tubuhnya tanpa identitas. Ah, kekuasaan benar-benar bisa merubah keadaan menjadi lebih kritis.

Sementara itu, cerpen �Tunggu Aku di Sungai Duku� (TAdSD) �yang menjadi judul utama kumpulan cerpen ini� menceritakan tentang Nyimas Rita Umi Kalsum yang terus saja menungggu kekasihnya, Martin,  yang tengah melakukan pelayaran dari dermaga Sungai Duku untuk berkeliling dunia.

Cerita ini mengambil sudut pandang yang berbeda, dimulai dari tokoh Umi Kalsum yang duduk di dermaga saat hari pertama kepergian Martin,  kemudian surat dari Martin sendiri yang berada di Kepulauan Anambas, cerita kembali di Sungai Duku yang telah bertahun-tahun pasca kepergian Martin, orang ketiga, dan berakhir dengan si Aku (kini) yang ternyata tengah bercerita dan mempertanyakan sendiri perihal kebenaran kesetiaan itu pada kekasihnya, Alia.

Cerita TAdSD mengusung nilai kesetiaan yang tak terukur. Bagaimana mungkin bertahun-tahun duduk di tepi dermaga hanya demi menunggu kekasihnya kembali  pulang. Cinta seperti apakah itu? Cinta zaman bahuela yang mungkin bisa jadi masih ada di sekitar kita, bisa benar adanya, namun bagi sebagian orang menjadi salah satu kebodohan terbesar.

Tertambat di manakah kapalmu saat ini, Martin? Di Madagaskar, Srilanka, Selat Melaka ataukah hampir sampai di Sungai Duku? Aku sebenarnya capek menunggumu berpuluh-puluh tahun seperti ini, namun cinta membuatku selalu menunggumu dan melupakan semua rasa capek dan penat itu. Meski aku tidak yakin, tetapi aku selalu berharap dan ingin selalu memahami, bahwa cintaku tak pernah terukur dengan apapun, termasuk oleh waktu seperti sekarang ini. (TAdSD: 38).

Berkuasanya cinta, berkuasanya segala rasa harap yang ada, membuat kekuatan datang dari dalam diri seseorang. Melupakan ketakutan-ketakutan dan bertindak di luar batas rasional. Namun sesungguhnya tampak ironis, menyedihkan dan tentunya kekesalan dari saya selaku pembaca. Bukankah cinta itu kebahagiaan dan kerelaan. Betapa dapat kita rasakan kesepian yang dijalani Umi Kalsum. Ah, lagi-lagi kuasa cinta pula yang membuat tampak kritis.

Pada cerpen yang lain, HBK  menceritakan gamblang kejadian pasca kerusuhan 1998 dalam cerpen �Maria� dan �Luka Beku�. Dengan latar belakang HBK sebagai jurnalis, dengan  referensi yang banyak  yang bisa ia ramu sedemikian rupa menjadi sebuah karya fiksi. Bagaimanakah fakta di tempat berbicara, bagaimana sebuah ideologi  bergejolak ketika itu, di mana masyarakat harus tunduk pada aturan yang terkesan �memaksa� dan berbenturan dengan nilai-nilai murni kehidupan itu sendiri.

HBK menilik sebuah alternatif lain dalam hal pembelaan terhadap kaum minoritas yang terjadi di sekitar kita. Dengan bahasa yang sederhana, mudah dipahami, romantis dan di sisipi kejadian-kejadian krisis dalam sebagian orang memandang hidup. Maka lihatlah dalam cerpen �Wanita Penunggu Kayu Tanam�, �Nyanyian Batanghari�, �Laksmi�, dan  �Mayat di  Kereta Api dan Lelaki Tua yang Selalu Menunggu�, HBK seolah-olah bernostalgia pada sebuah cinta yang dingin, meski tak bisa dijabarkan dengan sistematika apa, bagaimana, dan kenapa. Dia berhasil membahas sejumlah perasaan yang gelisah.

Dari sekian cerpen tersebut, saya begitu tertarik dengan cerpen berjudul �Pulang�. Cerpen ini  memiliki kesamaan latar emosional dengan novelnya, Malam, Hujan (nominator Ganti Award 2006). Ada �dendam� dari seorang anak pada ayahnya. Kekerasan fisik dan psikis yang diterima si Aku terjadi  akibat kesusahan hidup berkepanjangan yang dirasakan keluarga mereka. Si Aku enggan pulang setelah pergi dari rumah setamat SMA,  dan berusaha berbesar hati untuk pulang setelah lima belas tahun lamanya tak bersua, namun di luar kuasanya, si Aku yang mulai bisa memaafkan itu sang Ayah, harus memendam penyesalannya seumur hidup.

Dramatis memang. Padahal hanya berjarak satu kilometer lagi untuk si Aku menemui ayahnya yang  sekarat. Namun jarak dan waktu itu seperti bentangan lima belas tahun lamanya.

Warna lokalias dan teknik bercerita yang diramu dan dideskripsikan, menjadi pemikat yang tak bisa tidak, kerap mengawang-awang di kepala sehabis membacanya. Ada pergulatan manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan kehidupan itu sendiri. Nilai-nilai yang hendak diutarakan sebagai sebuah efek dari simbol kekuasaan pribadi manusia. Kepiawaian HBK sebagai tukang cerita terlihat dalam cerpen-cerpen yang ada dalam buku ini. Bagi pembaca yang sudah membaca salah satu atau lebih dari 6 novelnya yang telah diterbitkan, bisa melihat kembali bagaimana dia mempermainkan watak tokohnya, yang sekaligus mengaduk-aduk pikiran kita sebagai pembaca. Ada kekuasaan yang rakus, realitas sosial sebuah bangsa, keburaman hidup, cinta platonis, kesetiaan tanpa batas,  dan hal-hal ironi lainnya.***


Cikie Wahab, Lahir dan besar di Pekanbaru. Belajar di Sekolah Menulis Paragraf. Selain menulis esai dan sajak, juga menulis cerpen yang dimuat di berbagai media seperti Riau Pos, Padang Ekspres, Sumut Pos, Majalah Sagang, Majalah Story dan yang lainnya. Beberapa cerpen, sajak, dan esainya masuk dalam beberapa buku bunga rampai. Tinggal di Pekanbaru.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 8 April 2012

No comments: