-- Abdul Kadir Ibrahim
Tajak Kalam
SELEPAS berlalunya Kerajaan Bintan dengan Raja Wan Sri Benai, beratus tahun lamanya, berdirilah Kerajaan Johor. Semakin ke hadapan, ianya dibukalah Ulu Sungai Carang, Pulau Bintan oleh Sultan Johor, Raja Ibrahim dengan gelar Sultan Ibrahim Syah I, yang dibantu Temenggung Tun Abdul Jamil, sebagai tapak baru, sekira dalam tahun 1673. Sampailah pada generasi berikutnya dan berikutnya lagi, Tengku Sulaiman dilantik menjadi Yang Dipertuan Besar Kerajaan Riau-Johor-Pahang pada 4 Oktober 1722 dengan gelar Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah. Di samping Sultan ada pembesar yang baru diadakan dalam jabatan Kerajaan Melayu ini, yakni Yang (m) Dipertuan Muda atau Raja, sebagai yang pertama adalah Daeng Marewah.
Yang Dipertuan Besar (Sultan), selanjutnya diwarisi Sultan Mahmud Syah III. Pusat Kerajaan Riau-Johor, melebar ke Lingga dan juga berujung di Pulau Penyengat. Maka, pusat kerajaan “utama” di Ulu Riau, Pulau Biram Dewa dengan istana Kota Piring, Lingga dan Penyengat. Ada satu kawasan yang tak kalah penting bersebati langsung dengan pusat kawasan kerajaan, yakni Kampung Bulang. Di situlah berdiam sanak keluarga Sultan Riau-Johor-Pahang-Lingga. Di situ pula, pada akhirnya jenazah Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah dimakamkan. Tapak sejarah Kerajaan Riau-Lingga sebagai turunan dari Kerajaan Johor, sebegitu singkat. Syahdan, Rida K Liamsi, sastrawan yang namanya berada di rentangan sastrawan Indonesia —terlebih dahulu melalui sajak-sajak (puisi)— yang menulis karya fiksi, berupa prosa dalam wujud novel. Sebuah judul yang ditampilkan, yakni Bulang Cahaya —Yayasan Sagang, Pekanbaru, 2007— yang menarik dan bisa muncul beberapa penafsiran. Kata “bulang” bisa bermakna “bulan”. Bisa “seorang gadis” atau “anak dara” kerajaan dan bisa pula bermakna sebuah kawasan, yakni Kampung Bulang.
Bagi saya, yang paling menarik adalah ketika kata “bulang” itu tak lain dan tak bukan adalah dimaknakan sebagai kata ganti untuk menyebut seorang “kembang” gadis atau anak dara Kerajaan Melayu Riau-Lingga, yang bernama Tengku Buntat. Dan, nyatalah bahwa novel ini, mengisahkan tentang percintaan Tengku Buntat dengan Raja Djafaar. Ada pula muda-mudi yang merupakan keturunan raja dan tengku juga, yakni Raja Husin dan Tengku Khalijah. Percintaan Tengku Buntat dengan Raja Djafaar, berkarut-marut dengan perkara-perkara yang melilit-lilit dan membelit-belit perjalanan sejarah Kerajaan Riau-Johor-Pahang-Lingga. Rasa cinta sungguh mengarau dan menyauk rasa, menyilu hati, dan mengenaskan!
Luka Tangis Sepangkal Cinta
Jalinan kisah dalam novel Bulang Cahaya, dapat ditangkap dan diserapi dalam lubuk bacaan dan pemaknaan adalah cinta terbelah-bagi. Segala-gala cinta yang ditajak oleh Raja Djafaar dengan Tengku Buntat, jadi berkecai-kecai. Pangkal sebab, karena ayahanda Tengku Buntat, yakni Yang Dipertuan Muda Tengku Muhammad, tak setuju. Penyebabnya, mungkin “luka sejarah” antara raja dengan tengku dalam perjalanan waktu dan sejarah Kerajaan Riau-Johor-Pahang-Lingga. Alasan sejati bagi Tengku Muhammad, agaknya karena sewaktu itu dua jabatan atau kekuasaan dalam Kerajaan Melayu Riau-Johor-Pahang-Lingga berada di tangan orang Melayu, Yang Dipertuan Besar, Sultan Mahmud Syah III dan Yang Dipertuan Muda Tengku Muhammad. Pihak Bugis, yang sebelumnya diberi tempat sebagai Yang Dipertuan Muda —seolah-olah telah jadi tradisi atau warisan jabatan “tingkat kedua”— ketika itu segalanya tiada lagi. Tentulah Tengku Muhammad, tak hendak anaknya menikah dengan Raja, karena ianya akan memberi laluan ulang kepada keturunan Bugis untuk kembali berkuasa sebagai Yang Dipertuan Muda.
Adalah sebenarnya kisah cinta antara Raja Djafaar dengan Tengku Buntat, dibumbui dan dibunga-bungakan pula oleh percintaan Raja Husin dengan Tengku Khalijah. Raja Djafaar di Kota Piring, Pulau Biram Dewa, sedangkan Tengku Buntat di Kampung Bulang. Dengan arti mendalam, bermula kisah perih cinta Raja Djafaar kepada Tengku Buntat dari Kota Lama, Ulu Riau dan Kota Piring, Pulau Biram Dewa. Di kawasan lain, yakni Kampung Bulang, Tengku Buntat bertempat tinggal dan senantiasa merindukan dan selalu hendak menunggu kedatangan Raja Djafaar. Saat keduanya saling mencintai, tapi sukar bertemu-muka untuk mencurah dan meluahkan segala-gala di hati dan cinta, dari arah yang lain datang pula kehendak dan kemauan keras sang ayahanda Buntat. Beliau berhajat sekali menjodohkan Tengku “Intan-Permata” Buntat dengan Ilyas. Hal ini, menjadikan “tugas suci” dan “pekerjaan mulia” Tengku Khalijah dan Raja Husin sebagai penugung-sambung cinta Tengku Buntat dengan Raja Djafaar begitu tidak mudah dan sebaliknya berat! Di celah-celah itu, Raja Husin dan Tengku Khalijah tengah tak mudah pula hendak memadukan cinta mereka. Semakin menganga dan merenggang, manakala Raja Djafaar berpindah-tugas di Lingga. Maka, percintaan dua pasang anak manusia di dalam keluarga Kerajaan Riau-Johor-Pahang-Lingga itu, jadi rumit dan kian mengiris luka di hati-diri. Harapan, nyaris pasti tiada bertirai-tirai dan apatah lagi bercahaya.
Buntat tampak murung. Hati kecilnya tetap sulit percaya cinta mereka akan bertaut semula. Siang malam, dia memang berharap, Raja Djafaar tiba-tiba muncul di hadapannya. Datang dan berbicara dari hati ke hati. Melepas rasa rindu yang tersimpan selama berbulan-bulan ini. Firasatnya mengatakan Raja Djafaar ada di Bulang. Bila dia memandang ke ujung tanjung, ke arah perahu-perahu berlabuh, dadanya berdesir. Dia seakan menangkap kelebat tubuh Djafaar melintas, memandang dari jauh. Melambai. Tetapi terkadang begitu hati kecilnya tersadar dan tahu itu hanya angan, bayang-bayang itu lenyap, dan dia merasakan kehilangan yang sangat dalam. “Beta ini bodoh, Ijah. Rindu seorang. Sedangkan orang lain tak perduli…” katanya dengan mata yang basah mencurah rasa pedih hatinya kepada Tengku Khalijah, kalau rindunya sudah tak tertahankan. (Hlm:154).
Rajutan tali cinta antara Tengku Buntat dengan Raja Djafaar, bukan semakin rapat dan bertaut, melainkan semakin berkerukut dan bersembi aral. Bagaimana tidak, Raja Djafaar, akhirnya menjadi Wakil Sekretaris Kerajaan, yang setia mengabdi kepada Sultan Mahmudsyah III dan menetap di Lingga pula adanya. Tatkala ada waktu senggang atau ada tugas khusus, barulah dapat sekali-sekali kembali ke Ulu Riau atau Kota Piring, yang nyatanya tak tertahankan rasa di hati hendak bersua mesra dengan pujaan hati, Tengku Buntat, namun selalu majal dan gagal. Bahkan, melihat dari kejauhan pun semakin jarang dan langka. Selanjutnya, Tengku Buntat atas kekuatan keluarga akhirnya pindah dan tinggal pula di Tanjungpinang. Pada perkara lain, ayahnya yang keturunan (pihak) Melayu yang berkuasa sebagai Yang Dipertuan Muda, begitu tak suka dengan zuriat (pihak) Raja Bugis. Dia berjaga-jaga dan berikhtiar agar Raja Ali tidak kembali ke Riau-Lingga sehingga kekuasaan Yang Dipertuan Muda tetap di genggamannya. Akhirnya, jalinan cinta Raja Djafaar dan Tengku Buntat makin kusut-masai dan bahkan makin menghalus sebagaimana ujung tikus, tersebab pihak Raja Ali (Bugis) dan pihak Tengku Muhammad makin berseteru dan berhadap-hadapan dengan perkara yang bukan lagi jabatan, melainkan marwah. Sungguh tak terbayangkan, dalam situasi kedua keluarga besar berselisih, cinta kedua insan itu akan bersatu? Buntat merasa sangat nelangsa. Hati yang mulai akan bertaut kembali di Pulau Bulang, dengan kedatangan secara sembunyi-sembunyi Raja Djafaar dan dengan sabar mengajuk hati lewat Raja Husin, kini kembali putus, karena Buntat pindah ke Tanjungpinang. Sekarang tak usahkan Raja Djafaar, Raja Husin pun yang biasa selalu datang ke daerah pihak Melayu membawa titah Yang Dipertuan Besar, juga tak lagi muncul. Sehingga kabar berita dari Djafaar benar-benar tak pernah ada lagi. Hanya dengan merisik sana-sini, Buntat tahu Djafaar masih tetap di Lingga, dan menolak diajak pamannya, Raja Lumu, pindah ke Selangor. Dia tetap mengabdi kepada Sultan Mahmud sebagai Wakil Sekretaris Kerajaan. Ini membuat Buntat hati semakin pedih, dan hidupnya kehilangan gairah. (Hlm: 162).
Dan, kisah dalam novel Bulang Cahaya karya Rida K Liamsi yang “puncak-pucuk meninggi” —masa awal sebagai penyair dikenal dengan nama Iskandar Leo dan Hasan Junus semasa hidup selalu juga akrab memanggilnya dengan nama itu— luar biasa “berani” dan “terang” mengurai dan mengusai peristiwa yang hampir saja terjadi pertembungan kekuatan demi “perebutan kekuasaan” Yang Dipertuan Muda (Raja) antara pihak Tengku Muda Muhammad (yang sudah menjadi Yang Dipertuan Muda) di pihak Melayu dengan Raja Ali (merasa berhak menjadi Yang Dipertuan Muda menggantikan Yang Dipertuan Muda Riau IV) di pihak raja, selepas meninggalnya, Raja Haji. (Hlm: 162-188).
Adalah benar sekali, Tengku Buntat dan Raja Djafaar, tak pernah bersatu dalam rajutan dan sulaman cinta dan ikatan pernikahan. Dia jadi “kurban-tumbal” bagi perikatan lagi antara Melayu (tengku) dengan Bugis (raja). Atas titah Yang Dipertuan Besar, Sultan Mahmud Syah III, maka Tengku Buntat dinikah dengan anaknya sendiri, yakni Tengku Husin atau Tengku Long. Nama lelaki zuriat Sultan itu sama sekali tiada dikenal rapat oleh Buntat. Dengan demikian, jangankan ada rasa terkena di hati, bercakap-cakap saja pun tiada pernah sekalipun!
Tengku Buntat meraung, menangis, dan menjerit. Tak terbayang olehnya, bahwa akhirnya dia harus menjadi isteri Tengku Husin atau Tengku Long, putra Sultan Mahmud. Orang yang baru beberapa kali dilihatnya, tapi belum dikenalnya. Tak terbayangkan olehnya, betapa hancur hati Djafaar mendengar itu. Padahal mereka sudah sepakat akan segera mewujudkan persatuan cintanya, begitu sengketa antara ayahnya dengan pihak Bugis selesai… Mengapa tiba-tiba semua berubah? (Hlm: 184-185).
Bagaimana Raja Djafaar yang sedang berada di Lingga, ketika dapat kabar “Keputusan Pulau Bulang” oleh Sultan atas usul keturunan Raja? Dia merasa sangat pedih, karena pernikahan akan berlangsung di depan matanya, di Lingga! Sungguh, kemana muka hendak ditaruh? Kemana marwah dan harga diri hendak disigaikan lagi? Segala-gala dirasakannya sudah tumpas dan terbenam dalam pelimbahan! Maka, lebih baik membunuh yang menzalimi atau yang merampas cintanya dengan Tengku Buntat, atau dirinya sendiri tewas terbunuh! Hatinya terasa semakin pahit, bila mengenang hari-hari terakhir di Lingga, hari-hari terakhir cintanya pada Buntat. (Hlm:189). Dan, tentang bagaimana kisah pahit dan sedihnya Raja Djafaar atas direnggut-ragut cintanya dengan Tengku Buntat. Pada ujungnya pula, dia pun ikut pamannya, Raja Lumu ke Selangor. Sehingga dia dengan kekasihnya itu dipisah paksa sebagai benar-benar berpisah-dedah jauh sekali dan usai! Maka, luka tangis sepangkal cinta, cinta terlepas dan terpisah selama-lamanya tiada terkira! Pada akhirnya pula dapat disimak dan niscayalah menyentuh lubuk hati yang paling dalam bagi sesiapa membacanya (Hlm: 189-197). Dan, kepedihan itu, dapat dirasakan betul dari apa yang dikatakan oleh Raja Djafaar: “Hhm…. Buntat, selesai sudah segalanya. Pupus sudah segalanya…” (Hlm: 314).(bersambung)
Abdul Kadir Ibrahim, Sastrawan dan Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Provinsi Kepulauan Riau. Sempena HUT ke-46 tahun pada 2012 ini akan meluncurkan delapan judul buku di antaranya 3 kumpulan cerpen, 1 novel dan tiga ulasan.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 22 April 2012
Tajak Kalam
SELEPAS berlalunya Kerajaan Bintan dengan Raja Wan Sri Benai, beratus tahun lamanya, berdirilah Kerajaan Johor. Semakin ke hadapan, ianya dibukalah Ulu Sungai Carang, Pulau Bintan oleh Sultan Johor, Raja Ibrahim dengan gelar Sultan Ibrahim Syah I, yang dibantu Temenggung Tun Abdul Jamil, sebagai tapak baru, sekira dalam tahun 1673. Sampailah pada generasi berikutnya dan berikutnya lagi, Tengku Sulaiman dilantik menjadi Yang Dipertuan Besar Kerajaan Riau-Johor-Pahang pada 4 Oktober 1722 dengan gelar Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah. Di samping Sultan ada pembesar yang baru diadakan dalam jabatan Kerajaan Melayu ini, yakni Yang (m) Dipertuan Muda atau Raja, sebagai yang pertama adalah Daeng Marewah.
Yang Dipertuan Besar (Sultan), selanjutnya diwarisi Sultan Mahmud Syah III. Pusat Kerajaan Riau-Johor, melebar ke Lingga dan juga berujung di Pulau Penyengat. Maka, pusat kerajaan “utama” di Ulu Riau, Pulau Biram Dewa dengan istana Kota Piring, Lingga dan Penyengat. Ada satu kawasan yang tak kalah penting bersebati langsung dengan pusat kawasan kerajaan, yakni Kampung Bulang. Di situlah berdiam sanak keluarga Sultan Riau-Johor-Pahang-Lingga. Di situ pula, pada akhirnya jenazah Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah dimakamkan. Tapak sejarah Kerajaan Riau-Lingga sebagai turunan dari Kerajaan Johor, sebegitu singkat. Syahdan, Rida K Liamsi, sastrawan yang namanya berada di rentangan sastrawan Indonesia —terlebih dahulu melalui sajak-sajak (puisi)— yang menulis karya fiksi, berupa prosa dalam wujud novel. Sebuah judul yang ditampilkan, yakni Bulang Cahaya —Yayasan Sagang, Pekanbaru, 2007— yang menarik dan bisa muncul beberapa penafsiran. Kata “bulang” bisa bermakna “bulan”. Bisa “seorang gadis” atau “anak dara” kerajaan dan bisa pula bermakna sebuah kawasan, yakni Kampung Bulang.
Bagi saya, yang paling menarik adalah ketika kata “bulang” itu tak lain dan tak bukan adalah dimaknakan sebagai kata ganti untuk menyebut seorang “kembang” gadis atau anak dara Kerajaan Melayu Riau-Lingga, yang bernama Tengku Buntat. Dan, nyatalah bahwa novel ini, mengisahkan tentang percintaan Tengku Buntat dengan Raja Djafaar. Ada pula muda-mudi yang merupakan keturunan raja dan tengku juga, yakni Raja Husin dan Tengku Khalijah. Percintaan Tengku Buntat dengan Raja Djafaar, berkarut-marut dengan perkara-perkara yang melilit-lilit dan membelit-belit perjalanan sejarah Kerajaan Riau-Johor-Pahang-Lingga. Rasa cinta sungguh mengarau dan menyauk rasa, menyilu hati, dan mengenaskan!
Luka Tangis Sepangkal Cinta
Jalinan kisah dalam novel Bulang Cahaya, dapat ditangkap dan diserapi dalam lubuk bacaan dan pemaknaan adalah cinta terbelah-bagi. Segala-gala cinta yang ditajak oleh Raja Djafaar dengan Tengku Buntat, jadi berkecai-kecai. Pangkal sebab, karena ayahanda Tengku Buntat, yakni Yang Dipertuan Muda Tengku Muhammad, tak setuju. Penyebabnya, mungkin “luka sejarah” antara raja dengan tengku dalam perjalanan waktu dan sejarah Kerajaan Riau-Johor-Pahang-Lingga. Alasan sejati bagi Tengku Muhammad, agaknya karena sewaktu itu dua jabatan atau kekuasaan dalam Kerajaan Melayu Riau-Johor-Pahang-Lingga berada di tangan orang Melayu, Yang Dipertuan Besar, Sultan Mahmud Syah III dan Yang Dipertuan Muda Tengku Muhammad. Pihak Bugis, yang sebelumnya diberi tempat sebagai Yang Dipertuan Muda —seolah-olah telah jadi tradisi atau warisan jabatan “tingkat kedua”— ketika itu segalanya tiada lagi. Tentulah Tengku Muhammad, tak hendak anaknya menikah dengan Raja, karena ianya akan memberi laluan ulang kepada keturunan Bugis untuk kembali berkuasa sebagai Yang Dipertuan Muda.
Adalah sebenarnya kisah cinta antara Raja Djafaar dengan Tengku Buntat, dibumbui dan dibunga-bungakan pula oleh percintaan Raja Husin dengan Tengku Khalijah. Raja Djafaar di Kota Piring, Pulau Biram Dewa, sedangkan Tengku Buntat di Kampung Bulang. Dengan arti mendalam, bermula kisah perih cinta Raja Djafaar kepada Tengku Buntat dari Kota Lama, Ulu Riau dan Kota Piring, Pulau Biram Dewa. Di kawasan lain, yakni Kampung Bulang, Tengku Buntat bertempat tinggal dan senantiasa merindukan dan selalu hendak menunggu kedatangan Raja Djafaar. Saat keduanya saling mencintai, tapi sukar bertemu-muka untuk mencurah dan meluahkan segala-gala di hati dan cinta, dari arah yang lain datang pula kehendak dan kemauan keras sang ayahanda Buntat. Beliau berhajat sekali menjodohkan Tengku “Intan-Permata” Buntat dengan Ilyas. Hal ini, menjadikan “tugas suci” dan “pekerjaan mulia” Tengku Khalijah dan Raja Husin sebagai penugung-sambung cinta Tengku Buntat dengan Raja Djafaar begitu tidak mudah dan sebaliknya berat! Di celah-celah itu, Raja Husin dan Tengku Khalijah tengah tak mudah pula hendak memadukan cinta mereka. Semakin menganga dan merenggang, manakala Raja Djafaar berpindah-tugas di Lingga. Maka, percintaan dua pasang anak manusia di dalam keluarga Kerajaan Riau-Johor-Pahang-Lingga itu, jadi rumit dan kian mengiris luka di hati-diri. Harapan, nyaris pasti tiada bertirai-tirai dan apatah lagi bercahaya.
Buntat tampak murung. Hati kecilnya tetap sulit percaya cinta mereka akan bertaut semula. Siang malam, dia memang berharap, Raja Djafaar tiba-tiba muncul di hadapannya. Datang dan berbicara dari hati ke hati. Melepas rasa rindu yang tersimpan selama berbulan-bulan ini. Firasatnya mengatakan Raja Djafaar ada di Bulang. Bila dia memandang ke ujung tanjung, ke arah perahu-perahu berlabuh, dadanya berdesir. Dia seakan menangkap kelebat tubuh Djafaar melintas, memandang dari jauh. Melambai. Tetapi terkadang begitu hati kecilnya tersadar dan tahu itu hanya angan, bayang-bayang itu lenyap, dan dia merasakan kehilangan yang sangat dalam. “Beta ini bodoh, Ijah. Rindu seorang. Sedangkan orang lain tak perduli…” katanya dengan mata yang basah mencurah rasa pedih hatinya kepada Tengku Khalijah, kalau rindunya sudah tak tertahankan. (Hlm:154).
Rajutan tali cinta antara Tengku Buntat dengan Raja Djafaar, bukan semakin rapat dan bertaut, melainkan semakin berkerukut dan bersembi aral. Bagaimana tidak, Raja Djafaar, akhirnya menjadi Wakil Sekretaris Kerajaan, yang setia mengabdi kepada Sultan Mahmudsyah III dan menetap di Lingga pula adanya. Tatkala ada waktu senggang atau ada tugas khusus, barulah dapat sekali-sekali kembali ke Ulu Riau atau Kota Piring, yang nyatanya tak tertahankan rasa di hati hendak bersua mesra dengan pujaan hati, Tengku Buntat, namun selalu majal dan gagal. Bahkan, melihat dari kejauhan pun semakin jarang dan langka. Selanjutnya, Tengku Buntat atas kekuatan keluarga akhirnya pindah dan tinggal pula di Tanjungpinang. Pada perkara lain, ayahnya yang keturunan (pihak) Melayu yang berkuasa sebagai Yang Dipertuan Muda, begitu tak suka dengan zuriat (pihak) Raja Bugis. Dia berjaga-jaga dan berikhtiar agar Raja Ali tidak kembali ke Riau-Lingga sehingga kekuasaan Yang Dipertuan Muda tetap di genggamannya. Akhirnya, jalinan cinta Raja Djafaar dan Tengku Buntat makin kusut-masai dan bahkan makin menghalus sebagaimana ujung tikus, tersebab pihak Raja Ali (Bugis) dan pihak Tengku Muhammad makin berseteru dan berhadap-hadapan dengan perkara yang bukan lagi jabatan, melainkan marwah. Sungguh tak terbayangkan, dalam situasi kedua keluarga besar berselisih, cinta kedua insan itu akan bersatu? Buntat merasa sangat nelangsa. Hati yang mulai akan bertaut kembali di Pulau Bulang, dengan kedatangan secara sembunyi-sembunyi Raja Djafaar dan dengan sabar mengajuk hati lewat Raja Husin, kini kembali putus, karena Buntat pindah ke Tanjungpinang. Sekarang tak usahkan Raja Djafaar, Raja Husin pun yang biasa selalu datang ke daerah pihak Melayu membawa titah Yang Dipertuan Besar, juga tak lagi muncul. Sehingga kabar berita dari Djafaar benar-benar tak pernah ada lagi. Hanya dengan merisik sana-sini, Buntat tahu Djafaar masih tetap di Lingga, dan menolak diajak pamannya, Raja Lumu, pindah ke Selangor. Dia tetap mengabdi kepada Sultan Mahmud sebagai Wakil Sekretaris Kerajaan. Ini membuat Buntat hati semakin pedih, dan hidupnya kehilangan gairah. (Hlm: 162).
Dan, kisah dalam novel Bulang Cahaya karya Rida K Liamsi yang “puncak-pucuk meninggi” —masa awal sebagai penyair dikenal dengan nama Iskandar Leo dan Hasan Junus semasa hidup selalu juga akrab memanggilnya dengan nama itu— luar biasa “berani” dan “terang” mengurai dan mengusai peristiwa yang hampir saja terjadi pertembungan kekuatan demi “perebutan kekuasaan” Yang Dipertuan Muda (Raja) antara pihak Tengku Muda Muhammad (yang sudah menjadi Yang Dipertuan Muda) di pihak Melayu dengan Raja Ali (merasa berhak menjadi Yang Dipertuan Muda menggantikan Yang Dipertuan Muda Riau IV) di pihak raja, selepas meninggalnya, Raja Haji. (Hlm: 162-188).
Adalah benar sekali, Tengku Buntat dan Raja Djafaar, tak pernah bersatu dalam rajutan dan sulaman cinta dan ikatan pernikahan. Dia jadi “kurban-tumbal” bagi perikatan lagi antara Melayu (tengku) dengan Bugis (raja). Atas titah Yang Dipertuan Besar, Sultan Mahmud Syah III, maka Tengku Buntat dinikah dengan anaknya sendiri, yakni Tengku Husin atau Tengku Long. Nama lelaki zuriat Sultan itu sama sekali tiada dikenal rapat oleh Buntat. Dengan demikian, jangankan ada rasa terkena di hati, bercakap-cakap saja pun tiada pernah sekalipun!
Tengku Buntat meraung, menangis, dan menjerit. Tak terbayang olehnya, bahwa akhirnya dia harus menjadi isteri Tengku Husin atau Tengku Long, putra Sultan Mahmud. Orang yang baru beberapa kali dilihatnya, tapi belum dikenalnya. Tak terbayangkan olehnya, betapa hancur hati Djafaar mendengar itu. Padahal mereka sudah sepakat akan segera mewujudkan persatuan cintanya, begitu sengketa antara ayahnya dengan pihak Bugis selesai… Mengapa tiba-tiba semua berubah? (Hlm: 184-185).
Bagaimana Raja Djafaar yang sedang berada di Lingga, ketika dapat kabar “Keputusan Pulau Bulang” oleh Sultan atas usul keturunan Raja? Dia merasa sangat pedih, karena pernikahan akan berlangsung di depan matanya, di Lingga! Sungguh, kemana muka hendak ditaruh? Kemana marwah dan harga diri hendak disigaikan lagi? Segala-gala dirasakannya sudah tumpas dan terbenam dalam pelimbahan! Maka, lebih baik membunuh yang menzalimi atau yang merampas cintanya dengan Tengku Buntat, atau dirinya sendiri tewas terbunuh! Hatinya terasa semakin pahit, bila mengenang hari-hari terakhir di Lingga, hari-hari terakhir cintanya pada Buntat. (Hlm:189). Dan, tentang bagaimana kisah pahit dan sedihnya Raja Djafaar atas direnggut-ragut cintanya dengan Tengku Buntat. Pada ujungnya pula, dia pun ikut pamannya, Raja Lumu ke Selangor. Sehingga dia dengan kekasihnya itu dipisah paksa sebagai benar-benar berpisah-dedah jauh sekali dan usai! Maka, luka tangis sepangkal cinta, cinta terlepas dan terpisah selama-lamanya tiada terkira! Pada akhirnya pula dapat disimak dan niscayalah menyentuh lubuk hati yang paling dalam bagi sesiapa membacanya (Hlm: 189-197). Dan, kepedihan itu, dapat dirasakan betul dari apa yang dikatakan oleh Raja Djafaar: “Hhm…. Buntat, selesai sudah segalanya. Pupus sudah segalanya…” (Hlm: 314).(bersambung)
Abdul Kadir Ibrahim, Sastrawan dan Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Provinsi Kepulauan Riau. Sempena HUT ke-46 tahun pada 2012 ini akan meluncurkan delapan judul buku di antaranya 3 kumpulan cerpen, 1 novel dan tiga ulasan.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 22 April 2012
No comments:
Post a Comment