-- Didik Purwanto & Tri Wahono
JAKARTA, KOMPAS.com - Gubernur DI Yogyakarta dan Sultan Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X mengaku miris karena kekayaan masyarakat lokal tidak bisa dinikmati untuk kemakmuran masyarakat lokal sendiri.
Dari kanan-Budayawan Sindhunata, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu dan Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono di acara Sarasehan Kekayaan Tradisi dan Masa Depan Keindonesiaan Kita di Bentara Budaya Kompas Jakarta, Senin (30/4/2012).
(Kompas.com/Didik Purwanto)
"Meski kekayaan dan kearifan lokal kita banyak, apakah hal itu bisa dinikmati untuk kemakmuran masyarakat sendiri. Justru malah orang lain yang menguasai," kata Sri Sultan saat menjadi pembicara di acara 'Sarasehan Kekayaan Tradisi dan Masa Depan KeIndonesiaan Kita' di Bentara Budaya, Jakarta, Senin (30/4/2012).
Sri Sultan mencontohkan pariwisata di Bali mengalami pertumbuhan yang signifikan. Bahkan Bali menjadi destinasi wisata yang terkenal di dunia. Namun ternyata, kekayaan bisnis pariwisata di Bali malah dikuasai oleh segelintir pengusaha di tingkat pusat maupun asing. Orang Bali sendiri sebagai masyarakat lokal hanya menerima ampasnya.
"Orang Bali malah menjual tanahnya untuk kepentingan pariwisata Bali. Hasilnya malah dibawa ke pusat dan asing. Orang Bali tidak mendapat apa-apa," keluhnya.
Tidak hanya Bali, bagi masyarakat Indonesia Timur yang terkenal dengan budaya maritimnya justru tidak bisa mengembangkan dengan optimal. Mereka justru dipaksa melakukan budaya agraris. Padahal budaya agraris cenderung dilakukan oleh masyarakat Jawa.
"Sampai saat ini kearifan lokal belum bisa dimanfaatkan oleh masyarakat lokal sendiri. Yang menikmati itu orang lain dan masyarakat lokal malah mempelajari kearifan lokal masyarakat lain," jelasnya.
Di Yogyakarta sendiri, Sri Sultan juga mengaku sempat bersitegang dengan perusahaan ritel Carrefour yang kebetulan juga akan masuk Yogyakarta. Hal itu disebabkan perusahaan ritel tersebut akan membunuh pasar tradisional yang sampai saat ini menjadi ciri khas kota Yogyakarta.
"Saya ingin ada usaha kecil menengah (UKM) asal Yogyakarta bisa masuk Carrefour. Barang-barangnya bisa dijual di sana," katanya.
Alhasil, atas perjuangan Sri Sultan, ada sekitar 174 UKM yang bisa masuk Carrefour. Sehingga potensi ekonomi lokal bisa berkembang.
"Inilah yang disebut masyarakat lokal bisa jadi bos di negeri sendiri," jelasnya.
Sumber: Oase, Kompas.com, Senin, 30 April 2012
JAKARTA, KOMPAS.com - Gubernur DI Yogyakarta dan Sultan Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X mengaku miris karena kekayaan masyarakat lokal tidak bisa dinikmati untuk kemakmuran masyarakat lokal sendiri.
Dari kanan-Budayawan Sindhunata, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu dan Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono di acara Sarasehan Kekayaan Tradisi dan Masa Depan Keindonesiaan Kita di Bentara Budaya Kompas Jakarta, Senin (30/4/2012).
(Kompas.com/Didik Purwanto)
"Meski kekayaan dan kearifan lokal kita banyak, apakah hal itu bisa dinikmati untuk kemakmuran masyarakat sendiri. Justru malah orang lain yang menguasai," kata Sri Sultan saat menjadi pembicara di acara 'Sarasehan Kekayaan Tradisi dan Masa Depan KeIndonesiaan Kita' di Bentara Budaya, Jakarta, Senin (30/4/2012).
Sri Sultan mencontohkan pariwisata di Bali mengalami pertumbuhan yang signifikan. Bahkan Bali menjadi destinasi wisata yang terkenal di dunia. Namun ternyata, kekayaan bisnis pariwisata di Bali malah dikuasai oleh segelintir pengusaha di tingkat pusat maupun asing. Orang Bali sendiri sebagai masyarakat lokal hanya menerima ampasnya.
"Orang Bali malah menjual tanahnya untuk kepentingan pariwisata Bali. Hasilnya malah dibawa ke pusat dan asing. Orang Bali tidak mendapat apa-apa," keluhnya.
Tidak hanya Bali, bagi masyarakat Indonesia Timur yang terkenal dengan budaya maritimnya justru tidak bisa mengembangkan dengan optimal. Mereka justru dipaksa melakukan budaya agraris. Padahal budaya agraris cenderung dilakukan oleh masyarakat Jawa.
"Sampai saat ini kearifan lokal belum bisa dimanfaatkan oleh masyarakat lokal sendiri. Yang menikmati itu orang lain dan masyarakat lokal malah mempelajari kearifan lokal masyarakat lain," jelasnya.
Di Yogyakarta sendiri, Sri Sultan juga mengaku sempat bersitegang dengan perusahaan ritel Carrefour yang kebetulan juga akan masuk Yogyakarta. Hal itu disebabkan perusahaan ritel tersebut akan membunuh pasar tradisional yang sampai saat ini menjadi ciri khas kota Yogyakarta.
"Saya ingin ada usaha kecil menengah (UKM) asal Yogyakarta bisa masuk Carrefour. Barang-barangnya bisa dijual di sana," katanya.
Alhasil, atas perjuangan Sri Sultan, ada sekitar 174 UKM yang bisa masuk Carrefour. Sehingga potensi ekonomi lokal bisa berkembang.
"Inilah yang disebut masyarakat lokal bisa jadi bos di negeri sendiri," jelasnya.
Sumber: Oase, Kompas.com, Senin, 30 April 2012
No comments:
Post a Comment