NAMA lengkapnya Raja Aisyah binti Raja Sulaiman dan lebih dikenal dengan panggilan Aisyah Sulaiman. Istri dari Raja Khalid bin Raja Hasan atau Khalid Hitam ini adalah cucu dari pujangga besar Raja Ali Haji. Sebenarnya, Asiyah Sulaiman sepupu dari Khalid Hitam yang juga seorang pengarang ternama di masa Kerajaan Riau-Lingga. Artinya, Aisyah Sulaiman memang dari keturunan para pengarang, selain juga keturunan Diraja Kerajaan Riau-Lingga.
Aisyah Sulaiman diperkirakan lahir pada 1869 atau 1870 dan wafat pada 1924 atau 1925 dalam usia lebih kurang 55 tahun. Pada 1913 Kerajaan Riau-Lingga dimansuhkan (ditiadakan) oleh pemerintah kolonial Belanda. Karena tak sudi hidup di bawah pemerintahan kolonial aisyah Sulaiman dan keluarga hijrah ke Singapura. Kemudian Aisyah pindah ke Johor dan bertempat tinggal di sana hingga akhir hayatnya.
Dalam tradisi kepengarang, Aisyah Sulaiman dapat digolongkan sebagai pelopor pengarang zaman peralihan atau transisi dari kesusastraan Melayu tradisional ke kesusastraan Melayu atau Indonesia modern. Masa kepengarangan dan tema yang dihasilkan walaupun beliau masih menggunakan genre kesusastraan tradisional berupa syair dan hikayat. Pendapat yang selama ini menyatakan Munsyi Abdullah Abdul Kadir atau Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi sebagai pelopor kesusastraan Melayu modern masih perlu diperdebatkan. Pasalnya, Munsyi hidup di sampai pertengahan abad ke-19 sedangkan peralihan kesusastraan Melayu tradisional ke Melayu modern berlangsung sejak pertengahan abad ke-19 sampai abad perempat awal abad ke-20.
Masa itulah aisyah Sulaiman sedang giat-giatnya berkarya, sedangkan Munsyi telah tiada. Lagipula, karya-karya Aisyah telah mengungkapkan perubahan dalam masyarakat, dari masyarakat Melayu lama ke masyarakat Melayu baru dan perjuangan masyarakat, terutama kaum perempuan, merubuhkan tembok-tembok kokoh tradisi yang dianggap tak lagi sesuai dengan perubahan zaman.
Aisyah menghasilkan empat karya terbaik dan karya-karya itu antara lain �Hikayat Syamsul Anwar atau Hikayat Badrul Muin� hikayat ini dipercaya menjadi karya awal si pengarang. �Syair Khadamuddin yang terbit pada 1345 H atau 1926 M, menurut beberapa peneliti, syair ini ditulis saat Aisyah Sulaiman sudah hijrah ke Singapura. ��Hikayat Syarif al-Akhtar� dan hikayat satu ini baru diterbitkan setelah Aisyiah meninggal pada 1929 M. Sedangkan karyanya keempat, ��Syair Seligi Tajam Bertimbal��. Berbeda dengan karya-karya sebelumnya, dalam karya ini beliau tak menggunakan nama asli, tetapi memakai nama samaran Cik Wok Aminah.
Aisyah Sulaiman telah memperjuangkan harkat, martabat dan marwah kaum perempuan melalui karya-karyanya pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 M. ��Hikayat Syamsul Anwar� misalnya, Aisyah Sulaiman berhasil menyuarakan semangat emansipasi yang belum banyak terpikirkan kaum perempuan sezamannya. Semangat individualistik begitu kentara di dalam hikayat ini sehingga mengantarkan Aisyah Sulaiman sebagai pelopor kesusastraan Indonesia modern. Beliau bahkan dapat mengungguli pengarang-pengarang sesudahnya, termasuk pengarang laki-laki yang terlanjur disebut sebagai pelopor kesusastraan Indonesia modern. Aisyah Sulaiman telah berhasil menjadikan dirinya dan karya-karyanya sebagai pejuang emansipasi bagi kaumnya. Tak hanya sampai di situ, beliau bahkan mengukuhkan diri sebagai pelopor kesusastraan Melayu-Indonesia modern.(fed)
Sumber: Riau Pos, Minggu, 29 April 2012 ibaca 3 kali
Aisyah Sulaiman diperkirakan lahir pada 1869 atau 1870 dan wafat pada 1924 atau 1925 dalam usia lebih kurang 55 tahun. Pada 1913 Kerajaan Riau-Lingga dimansuhkan (ditiadakan) oleh pemerintah kolonial Belanda. Karena tak sudi hidup di bawah pemerintahan kolonial aisyah Sulaiman dan keluarga hijrah ke Singapura. Kemudian Aisyah pindah ke Johor dan bertempat tinggal di sana hingga akhir hayatnya.
Dalam tradisi kepengarang, Aisyah Sulaiman dapat digolongkan sebagai pelopor pengarang zaman peralihan atau transisi dari kesusastraan Melayu tradisional ke kesusastraan Melayu atau Indonesia modern. Masa kepengarangan dan tema yang dihasilkan walaupun beliau masih menggunakan genre kesusastraan tradisional berupa syair dan hikayat. Pendapat yang selama ini menyatakan Munsyi Abdullah Abdul Kadir atau Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi sebagai pelopor kesusastraan Melayu modern masih perlu diperdebatkan. Pasalnya, Munsyi hidup di sampai pertengahan abad ke-19 sedangkan peralihan kesusastraan Melayu tradisional ke Melayu modern berlangsung sejak pertengahan abad ke-19 sampai abad perempat awal abad ke-20.
Masa itulah aisyah Sulaiman sedang giat-giatnya berkarya, sedangkan Munsyi telah tiada. Lagipula, karya-karya Aisyah telah mengungkapkan perubahan dalam masyarakat, dari masyarakat Melayu lama ke masyarakat Melayu baru dan perjuangan masyarakat, terutama kaum perempuan, merubuhkan tembok-tembok kokoh tradisi yang dianggap tak lagi sesuai dengan perubahan zaman.
Aisyah menghasilkan empat karya terbaik dan karya-karya itu antara lain �Hikayat Syamsul Anwar atau Hikayat Badrul Muin� hikayat ini dipercaya menjadi karya awal si pengarang. �Syair Khadamuddin yang terbit pada 1345 H atau 1926 M, menurut beberapa peneliti, syair ini ditulis saat Aisyah Sulaiman sudah hijrah ke Singapura. ��Hikayat Syarif al-Akhtar� dan hikayat satu ini baru diterbitkan setelah Aisyiah meninggal pada 1929 M. Sedangkan karyanya keempat, ��Syair Seligi Tajam Bertimbal��. Berbeda dengan karya-karya sebelumnya, dalam karya ini beliau tak menggunakan nama asli, tetapi memakai nama samaran Cik Wok Aminah.
Aisyah Sulaiman telah memperjuangkan harkat, martabat dan marwah kaum perempuan melalui karya-karyanya pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 M. ��Hikayat Syamsul Anwar� misalnya, Aisyah Sulaiman berhasil menyuarakan semangat emansipasi yang belum banyak terpikirkan kaum perempuan sezamannya. Semangat individualistik begitu kentara di dalam hikayat ini sehingga mengantarkan Aisyah Sulaiman sebagai pelopor kesusastraan Indonesia modern. Beliau bahkan dapat mengungguli pengarang-pengarang sesudahnya, termasuk pengarang laki-laki yang terlanjur disebut sebagai pelopor kesusastraan Indonesia modern. Aisyah Sulaiman telah berhasil menjadikan dirinya dan karya-karyanya sebagai pejuang emansipasi bagi kaumnya. Tak hanya sampai di situ, beliau bahkan mengukuhkan diri sebagai pelopor kesusastraan Melayu-Indonesia modern.(fed)
Sumber: Riau Pos, Minggu, 29 April 2012 ibaca 3 kali
No comments:
Post a Comment