-- Muslim Basyar
"Perempuan cantik akan luntur kecantikannya manakala ia membuka mulutnya dan ketahuan otaknya tolol!" (Mira Sato, Manusia Kamar, dalam Riwayat Negeri yang Haru; Cerpen Kompas Terpilih 1981-1990, Kompas, 2006)
PEREMPUAN dan kecantikan bagaikan dua sisi dari sekeping mata uang yang sama. Bahkan lebih dari itu, cantik telah menjadi kemutlakan untuk memberi makna pada sosok perempuan ketimbang kecerdasannya. Artinya, sekalipun seorang perempuan memiliki kecerdasan, ia tetap dilihat kurang menarik jika tidak cantik: tubuhnya gemuk, kulitnya tidak putih, dan rambutnya tidak lurus terurai.
Siapa pun tak bisa menampik bahwa kecantikan merupakan anugerah teramat indah bagi seorang perempuan. Tak ada yang lebih diimpikan dari mereka selain tampil cantik dan memesona, terutama di hadapan lawan jenisnya. Sebab itu, kecantikan begitu dipuja sehingga apa saja akan dipertaruhkan demi menebus impian-impian indah itu.
Maka, jangan heran, jika kita kerap memergoki sebagian (besar?) perempuan rela merogoh kocek dan mengorbankan tenaga, waktu, bahkan kariernya hanya untuk menggapai impian itu agar menjadi kenyataan. Tak peduli semahal apa pun biaya yang mesti dikeluarkan: asalkan wajah menjadi mulus, tubuh tampak langsing, hingga terlihat cantik dan menawan. Ujung-ujungnya, untuk menjadi cantik, dan sekaligus merawat kecantikan itu, perempuan menjadi tersiksa dan terbelenggu.
Dalam buku Menjelajah Tubuh; Perempuan dan Mitos Kecantikan (2006), Annastasia Melliana S. menyatakan bahwa keyakinan tentang kecantikan sebagai sifat feminin sebenarnya telah berakar kuat dalam sistem sosial yang lebih luas dan terprogram secara budaya. Melalui sosialisasi sepanjang sejarah dan budaya itu, mitos yang menghubungkan kecantikan dengan perempuan tidak pernah lekang oleh waktu dan tetap bertahan menentang segala usaha perlawanan terhadapnya.
Alhasil, masyarakat mengajarkan kita untuk menerima separuh kebenaran yang diajarkan mitos akan kecantikan tubuh perempuan tersebut. Pada gilirannya, untuk tampil cantik dan menawan tidak muncul dengan sendirinya, tapi datang dari tatanan masyarakat kapitalis-patriarkis yang ingin menjadikan tubuh perempuan sebagai objek.
Ini terlihat jelas dari budaya kita yang acap menilai seseorang berdasarkan pakaian, cara bicara, cara berjalan, dan seabrek tampilan fisik lainnya. Perempuan yang menarik secara fisik kerap diasosiasikan dengan kepribadian yang lebih baik, lebih sosial, dan lebih komunikatif. Maka, jika perempuan tersebut tidak menampakkan perilaku yang diharapkan itu, masyarakat akan menyayangkan sikapnya yang tak secantik fisiknya.
Di sisi lain, mitos yang berkembang dalam masyarakat juga menyatakan bahwa innerbeauty lebih banyak dimiliki oleh perempuan yang tidak mempunyai kecantikan fisik. Mitos ini setidaknya timbul dari pemikiran perempuan yang menyadari bahwa karena secara fisik tidak cantik, mereka harus menggantinya dengan sikap dan perilaku yang baik dan menyenangkan agar diterima masyarakat.
Tak pelak lagi, hal paling serius dari masalah perempuan adalah kenyataan bahwa hampir dari seluruh budaya di dunia saat ini menegaskan bahwa kemudaan, bertubuh langsing, dan berpenampilan menarik sebagai kriteria cantik. Dengan demikian, dalam interaksi sosial, bentuk fisik adalah hal pertama yang dinilai dari seorang perempuan. Karena masyarakat tidak akan menilai seorang perempuan dari kecerdasan intelektualnya atau kelebihan lain di balik bentuk fisiknya.
Selain kuatnya pengaruh langsung dari masyarakat, mungkin tidak ada lagi yang dapat menyebarluaskan dampak negatif dari pemikiran mengenai fitur keindahan tubuh perempuan segencar media massa. Iklan televisi seakan-akan memberikan masukan produk-produk ajaib terbaru yang dapat menjembatani jurang antara kenyataan dan apa yang dianggap ideal.
Iklan telah disebut sebagai suatu bentuk penyampaian mitos kecantikan yang mempengaruhi para pemirsa televisi untuk menerima pesan komersil sebagai kebenaran daripada sebagai konstruksi. Tengoklah, bagaimana standar untuk kecantikan hanya diberikan kepada perempuan yang kerap dijadikan model majalah atau iklan suatu produk.
Maka, tidaklah heran jika kita kerap memergoki perempuan parubaya sibuk berkonsultasi ke dokter dan pergi ke pusat-pusat kebugaran hanya untuk mengurusi bagian tubuhnya yang sedikit menggelambir; anak remaja yang bangga memajang fotonya dirinya di jejaring sosial dengan pakaian bertelanjang dada; atau keceriaan tak berbilang dari anak sekolah menengah pertama yang setiap hari selalu memakai bedak dan lipstik.
Ah, maafkan saya jika tulisan ini hanya mengkritisi kebiasaan perempuan yang acap pergi ke salon, shoping, dan selalu menomorsatukan penampilan daripada kecerdasan. Kecantikan seorang perempuan, menurut saya, tetap harus diperhatikan; karena memang kaum hawa merupakan perhiasan yang teramat apik di bumi ini.
Begitulah realitas yang sedang terjadi. Fenomena yang kerap kita pergoki setiap saat, tapi ironisnya acap luput dari amatan kita. Anehnya lagi, di negeri yang kata sebagian orang mulai menampakkan kegemilangan dalam praktek demokrasi, ternyata perempuan juga belum diberikan porsi yang besar untuk ikut berperan dalam mengurus negara. Sebab, kata sebagai orang, politk adalah urusan laki-laki; dan perempuan cukuplah mengurus kecantikan diri. n
Muslim Basyar, pembaca sastra, mahasiswa S-2 IAIN Raden Intan Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 April 2012
"Perempuan cantik akan luntur kecantikannya manakala ia membuka mulutnya dan ketahuan otaknya tolol!" (Mira Sato, Manusia Kamar, dalam Riwayat Negeri yang Haru; Cerpen Kompas Terpilih 1981-1990, Kompas, 2006)
PEREMPUAN dan kecantikan bagaikan dua sisi dari sekeping mata uang yang sama. Bahkan lebih dari itu, cantik telah menjadi kemutlakan untuk memberi makna pada sosok perempuan ketimbang kecerdasannya. Artinya, sekalipun seorang perempuan memiliki kecerdasan, ia tetap dilihat kurang menarik jika tidak cantik: tubuhnya gemuk, kulitnya tidak putih, dan rambutnya tidak lurus terurai.
Siapa pun tak bisa menampik bahwa kecantikan merupakan anugerah teramat indah bagi seorang perempuan. Tak ada yang lebih diimpikan dari mereka selain tampil cantik dan memesona, terutama di hadapan lawan jenisnya. Sebab itu, kecantikan begitu dipuja sehingga apa saja akan dipertaruhkan demi menebus impian-impian indah itu.
Maka, jangan heran, jika kita kerap memergoki sebagian (besar?) perempuan rela merogoh kocek dan mengorbankan tenaga, waktu, bahkan kariernya hanya untuk menggapai impian itu agar menjadi kenyataan. Tak peduli semahal apa pun biaya yang mesti dikeluarkan: asalkan wajah menjadi mulus, tubuh tampak langsing, hingga terlihat cantik dan menawan. Ujung-ujungnya, untuk menjadi cantik, dan sekaligus merawat kecantikan itu, perempuan menjadi tersiksa dan terbelenggu.
Dalam buku Menjelajah Tubuh; Perempuan dan Mitos Kecantikan (2006), Annastasia Melliana S. menyatakan bahwa keyakinan tentang kecantikan sebagai sifat feminin sebenarnya telah berakar kuat dalam sistem sosial yang lebih luas dan terprogram secara budaya. Melalui sosialisasi sepanjang sejarah dan budaya itu, mitos yang menghubungkan kecantikan dengan perempuan tidak pernah lekang oleh waktu dan tetap bertahan menentang segala usaha perlawanan terhadapnya.
Alhasil, masyarakat mengajarkan kita untuk menerima separuh kebenaran yang diajarkan mitos akan kecantikan tubuh perempuan tersebut. Pada gilirannya, untuk tampil cantik dan menawan tidak muncul dengan sendirinya, tapi datang dari tatanan masyarakat kapitalis-patriarkis yang ingin menjadikan tubuh perempuan sebagai objek.
Ini terlihat jelas dari budaya kita yang acap menilai seseorang berdasarkan pakaian, cara bicara, cara berjalan, dan seabrek tampilan fisik lainnya. Perempuan yang menarik secara fisik kerap diasosiasikan dengan kepribadian yang lebih baik, lebih sosial, dan lebih komunikatif. Maka, jika perempuan tersebut tidak menampakkan perilaku yang diharapkan itu, masyarakat akan menyayangkan sikapnya yang tak secantik fisiknya.
Di sisi lain, mitos yang berkembang dalam masyarakat juga menyatakan bahwa innerbeauty lebih banyak dimiliki oleh perempuan yang tidak mempunyai kecantikan fisik. Mitos ini setidaknya timbul dari pemikiran perempuan yang menyadari bahwa karena secara fisik tidak cantik, mereka harus menggantinya dengan sikap dan perilaku yang baik dan menyenangkan agar diterima masyarakat.
Tak pelak lagi, hal paling serius dari masalah perempuan adalah kenyataan bahwa hampir dari seluruh budaya di dunia saat ini menegaskan bahwa kemudaan, bertubuh langsing, dan berpenampilan menarik sebagai kriteria cantik. Dengan demikian, dalam interaksi sosial, bentuk fisik adalah hal pertama yang dinilai dari seorang perempuan. Karena masyarakat tidak akan menilai seorang perempuan dari kecerdasan intelektualnya atau kelebihan lain di balik bentuk fisiknya.
Selain kuatnya pengaruh langsung dari masyarakat, mungkin tidak ada lagi yang dapat menyebarluaskan dampak negatif dari pemikiran mengenai fitur keindahan tubuh perempuan segencar media massa. Iklan televisi seakan-akan memberikan masukan produk-produk ajaib terbaru yang dapat menjembatani jurang antara kenyataan dan apa yang dianggap ideal.
Iklan telah disebut sebagai suatu bentuk penyampaian mitos kecantikan yang mempengaruhi para pemirsa televisi untuk menerima pesan komersil sebagai kebenaran daripada sebagai konstruksi. Tengoklah, bagaimana standar untuk kecantikan hanya diberikan kepada perempuan yang kerap dijadikan model majalah atau iklan suatu produk.
Maka, tidaklah heran jika kita kerap memergoki perempuan parubaya sibuk berkonsultasi ke dokter dan pergi ke pusat-pusat kebugaran hanya untuk mengurusi bagian tubuhnya yang sedikit menggelambir; anak remaja yang bangga memajang fotonya dirinya di jejaring sosial dengan pakaian bertelanjang dada; atau keceriaan tak berbilang dari anak sekolah menengah pertama yang setiap hari selalu memakai bedak dan lipstik.
Ah, maafkan saya jika tulisan ini hanya mengkritisi kebiasaan perempuan yang acap pergi ke salon, shoping, dan selalu menomorsatukan penampilan daripada kecerdasan. Kecantikan seorang perempuan, menurut saya, tetap harus diperhatikan; karena memang kaum hawa merupakan perhiasan yang teramat apik di bumi ini.
Begitulah realitas yang sedang terjadi. Fenomena yang kerap kita pergoki setiap saat, tapi ironisnya acap luput dari amatan kita. Anehnya lagi, di negeri yang kata sebagian orang mulai menampakkan kegemilangan dalam praktek demokrasi, ternyata perempuan juga belum diberikan porsi yang besar untuk ikut berperan dalam mengurus negara. Sebab, kata sebagai orang, politk adalah urusan laki-laki; dan perempuan cukuplah mengurus kecantikan diri. n
Muslim Basyar, pembaca sastra, mahasiswa S-2 IAIN Raden Intan Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 April 2012
No comments:
Post a Comment