-- Dhitta Puti Sarasvati
SEJUMLAH kepala sekolah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) mengunjungi Jepang pada 2009 lalu untuk menjajagi kerjasama dengan sekolah-sekolah di Jepang dalam bentuk sister school. Murni Ramli, penerjemah sekaligus seorang peneliti pendidikan yang saat itu mendampingi mereka, membuat catatan terkait kunjungan tersebut.
Berdasarkan catatannya, konsep RSBI dikritisi secara keras oleh para pendidik di Jepang. Mereka beranggapan, bahwa konsep RSBI yang dianggap sebagai sebuah konsep yang tidak jelas.
Menurut para pendidik di Jepang, pendidikan bukanlah barang elit yang harus diberikan hanya kepada sebagian anak pandai saja. Tetapi, pendidikan adalah sebuah hak, yang harus diterima oleh semua anak dengan kualitas sama.
Memang, mereka mengakui, anak yang pandai perlu difasilitasi secara lebih baik, tapi bukan dengan mendirikan sekolah berstandar internasional mengikuti standar negara lain. Yang dilakukan pemerintah Jepang bukanlah mendirikan sekolah unggul, tetapi membangun sekolah-sekolah dengan fasilitas yang sama, yang bisa mendidik anak-anak tanpa ada perbedaan (Ramli, 2009).
Para birokrat pendidikan Indonesia (pemerintah) tampaknya berpikiran lain. Mereka tidak menganggap, bahwa setiap anak harus diberikan kesempatan sama untuk memperolah haknya terhadap pendidikan. Mereka mendirikan sekolah-sekolah RSBI dan sekolah unggulan yang difasilitasi lebih baik dibandingkan sekolah-sekolah pada umumnya.
Seorang guru, di Langkat, Sumatra Utara, harus mengajar enam kelas sekaligus karena kurangnya jumlah guru (Harian Analisa, 2011). Sementara siswa-siswi yang bersekolah di RSBI dan sekolah unggulan tidak pernah merasakan kekurangan guru. Mereka, para siswa sekolah unggulan tersebut, juga bisa menikmati fasilitas laboratorium, komputer, dan perpustakaan yang tersedia di sekolah. Fasilitas yang mereka dapatkan lebih baik dibandingkan sekolah lain pada umumnya.
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan Suyanto membenarkan adanya kastanisasi dalam pendidikan di Indonesia. Menurutnya, sekolah-sekolah RSBI memang menciptakan kasta, yakni dari sisi akademik.
"Hidup kan memang ada kastanya. Di perusahaan kan juga ada kasta," kata Suyanto (Kompas.com/4/1/2012).
Dus, pernyataan Suyanto mengindikasikan, bahwa kastanisasi adalah hal wajar di dalam dunia pendidikan. Kastanisasi di sini berarti ada anak-anak yang lebih berhak difasilitasi dibandingkan dengan yang lain.
Pernyataan di dalam Education For All Global Monitoring Report, UNESCO, serupa tapi tak sama. UNESCO sepakat, bahwa ada pihak yang lebih perlu difasilitasi dibandingkan yang lain. Di situ tertulis bahwa "Dukungan terbesar perlu diberikan kepada yang paling memerlukannya (those in greatest need… [should recieve] the most support)" (UNESCO, 2009, h. 143).
Pertanyaannya adalah, siapakah yang dimaksud dengan those in greatest need tersebut? Siapakah paling perlu difasilitasi pendidikannya?
Tampaknya, versi pemerintah adalah, bahwa yang pendidikannya paling perlu difasilitasi lebih adalah anak-anak dengan kemampuan akademik tinggi dan juga kemampuan finansial memadai. Sekolah RSBI dan unggulan hanya menerima siswa yang memiliki kemampuan akademik di atas rata-rata.
Bukan hanya di Jakarta, di Lampung pun biaya masuk RSBI bisa mencapai Rp 20.000.000 (Tribun Lampung, 2011). Sebuah sekolah berlabel RSBI hanya wajib mengakomodasikan 20% siswa miskin dari total siswa. Sisanya, dipersilakan bersekolah di tempat lain, meskipun fasilitasnya masih jauh dari layak.
Mereka yang memiliki kemampuan finansial atau setidaknya berasal dari lingkungan keluarga yang resourceful, punya lebih banyak pilihan dalam menentukan bentuk pendidikan yang diinginkan. Kurang puas dengan sekolah publik? Bisa masuk sekolah swasta atau sekolah ke luar negeri. Kalau tidak, bisa memilih melakukan home schooling, ikut kursus ataupun belajar sendiri (melalui pengalaman, buku, maupun, internet). Hanya saja, tidak semua anak seberuntung itu.
Kesempatan untuk bisa memilih bentuk pendidikan yang diinginkan adalah sebuah kemewahan (privillage) yang tidak dimiliki oleh kebanyakan rakyat Indonesia. Tugas pemerintah adalah memfasilitasi mereka yang tidak memiliki privillage ini.
Program RSBI dan sekolah unggulan sebenarnya mengasumsikan, bahwa siswa-siswa yang perlu difasilitasi lebih hanyalah anak-anak yang memiliki tingkat akademik tinggi dan memiliki kemampuan finansial memadai. Padahal, mereka bukan dari kalangan those in greatest need. Mereka punya pilihan lebih banyak ketimbang masyarakat Indonesia pada umumnya. Mereka adalah kaum yang memang punya kesempatan-kesempatan istimewa (priviliged).
Majalah Jakarta Globe dalam editorialnya menyatakan, 50% penduduk Indonesia hidup dengan penghasilan di bawah $2 per hari atau sekitar Rp 600.000 per bulan. Lalu, bagaimana caranya mereka memperoleh pendidikan layak apabila pemerintah tidak memfasilitasi mereka?
Sebagian besar penduduk Indonesia kemampuan akademiknya masih rendah. Setidaknya, berdasarkan hasil studi PISA (OECD, 2006) yang menyatakan, bahwa sebagian besar siswa Indonesia memiliki kemampuan literasi di bawah level 1 (tidak mampu memahami bacaan), baik dalam membaca, Matematika, maupun sains.
Tentu, itu semua bukan salah siswa. Mereka memang tidak pernah difasilitasi dengan baik untuk memperoleh pendidikan berkualitas. Pemerintah wajib memfasilitasi mereka dengan kualitas pendidikan terbaik.
Kenapa pemerintah tidak melakukannya? Apakah karena memang tidak ada dana atau kapasitas? Atau, karena memang tidak ada political will saja?
Dhitta Puti Sarasvati, Direktur Riset dan Pengembangan Program Ikatan Guru Indonesia (IGI)
Sumber: Edukasi, Kompas.com, Rabu, 11 April 2012
Yang dilakukan pemerintah Jepang bukanlah mendirikan sekolah unggul, tetapi membangun sekolah-sekolah dengan fasilitas yang sama, yang bisa mendidik anak-anak tanpa ada perbedaan. ~Murni Ramli
SEJUMLAH kepala sekolah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) mengunjungi Jepang pada 2009 lalu untuk menjajagi kerjasama dengan sekolah-sekolah di Jepang dalam bentuk sister school. Murni Ramli, penerjemah sekaligus seorang peneliti pendidikan yang saat itu mendampingi mereka, membuat catatan terkait kunjungan tersebut.
Berdasarkan catatannya, konsep RSBI dikritisi secara keras oleh para pendidik di Jepang. Mereka beranggapan, bahwa konsep RSBI yang dianggap sebagai sebuah konsep yang tidak jelas.
Menurut para pendidik di Jepang, pendidikan bukanlah barang elit yang harus diberikan hanya kepada sebagian anak pandai saja. Tetapi, pendidikan adalah sebuah hak, yang harus diterima oleh semua anak dengan kualitas sama.
Memang, mereka mengakui, anak yang pandai perlu difasilitasi secara lebih baik, tapi bukan dengan mendirikan sekolah berstandar internasional mengikuti standar negara lain. Yang dilakukan pemerintah Jepang bukanlah mendirikan sekolah unggul, tetapi membangun sekolah-sekolah dengan fasilitas yang sama, yang bisa mendidik anak-anak tanpa ada perbedaan (Ramli, 2009).
Para birokrat pendidikan Indonesia (pemerintah) tampaknya berpikiran lain. Mereka tidak menganggap, bahwa setiap anak harus diberikan kesempatan sama untuk memperolah haknya terhadap pendidikan. Mereka mendirikan sekolah-sekolah RSBI dan sekolah unggulan yang difasilitasi lebih baik dibandingkan sekolah-sekolah pada umumnya.
Seorang guru, di Langkat, Sumatra Utara, harus mengajar enam kelas sekaligus karena kurangnya jumlah guru (Harian Analisa, 2011). Sementara siswa-siswi yang bersekolah di RSBI dan sekolah unggulan tidak pernah merasakan kekurangan guru. Mereka, para siswa sekolah unggulan tersebut, juga bisa menikmati fasilitas laboratorium, komputer, dan perpustakaan yang tersedia di sekolah. Fasilitas yang mereka dapatkan lebih baik dibandingkan sekolah lain pada umumnya.
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan Suyanto membenarkan adanya kastanisasi dalam pendidikan di Indonesia. Menurutnya, sekolah-sekolah RSBI memang menciptakan kasta, yakni dari sisi akademik.
"Hidup kan memang ada kastanya. Di perusahaan kan juga ada kasta," kata Suyanto (Kompas.com/4/1/2012).
Dus, pernyataan Suyanto mengindikasikan, bahwa kastanisasi adalah hal wajar di dalam dunia pendidikan. Kastanisasi di sini berarti ada anak-anak yang lebih berhak difasilitasi dibandingkan dengan yang lain.
Pernyataan di dalam Education For All Global Monitoring Report, UNESCO, serupa tapi tak sama. UNESCO sepakat, bahwa ada pihak yang lebih perlu difasilitasi dibandingkan yang lain. Di situ tertulis bahwa "Dukungan terbesar perlu diberikan kepada yang paling memerlukannya (those in greatest need… [should recieve] the most support)" (UNESCO, 2009, h. 143).
Pertanyaannya adalah, siapakah yang dimaksud dengan those in greatest need tersebut? Siapakah paling perlu difasilitasi pendidikannya?
Tampaknya, versi pemerintah adalah, bahwa yang pendidikannya paling perlu difasilitasi lebih adalah anak-anak dengan kemampuan akademik tinggi dan juga kemampuan finansial memadai. Sekolah RSBI dan unggulan hanya menerima siswa yang memiliki kemampuan akademik di atas rata-rata.
Bukan hanya di Jakarta, di Lampung pun biaya masuk RSBI bisa mencapai Rp 20.000.000 (Tribun Lampung, 2011). Sebuah sekolah berlabel RSBI hanya wajib mengakomodasikan 20% siswa miskin dari total siswa. Sisanya, dipersilakan bersekolah di tempat lain, meskipun fasilitasnya masih jauh dari layak.
Mereka yang memiliki kemampuan finansial atau setidaknya berasal dari lingkungan keluarga yang resourceful, punya lebih banyak pilihan dalam menentukan bentuk pendidikan yang diinginkan. Kurang puas dengan sekolah publik? Bisa masuk sekolah swasta atau sekolah ke luar negeri. Kalau tidak, bisa memilih melakukan home schooling, ikut kursus ataupun belajar sendiri (melalui pengalaman, buku, maupun, internet). Hanya saja, tidak semua anak seberuntung itu.
Kesempatan untuk bisa memilih bentuk pendidikan yang diinginkan adalah sebuah kemewahan (privillage) yang tidak dimiliki oleh kebanyakan rakyat Indonesia. Tugas pemerintah adalah memfasilitasi mereka yang tidak memiliki privillage ini.
Program RSBI dan sekolah unggulan sebenarnya mengasumsikan, bahwa siswa-siswa yang perlu difasilitasi lebih hanyalah anak-anak yang memiliki tingkat akademik tinggi dan memiliki kemampuan finansial memadai. Padahal, mereka bukan dari kalangan those in greatest need. Mereka punya pilihan lebih banyak ketimbang masyarakat Indonesia pada umumnya. Mereka adalah kaum yang memang punya kesempatan-kesempatan istimewa (priviliged).
Majalah Jakarta Globe dalam editorialnya menyatakan, 50% penduduk Indonesia hidup dengan penghasilan di bawah $2 per hari atau sekitar Rp 600.000 per bulan. Lalu, bagaimana caranya mereka memperoleh pendidikan layak apabila pemerintah tidak memfasilitasi mereka?
Sebagian besar penduduk Indonesia kemampuan akademiknya masih rendah. Setidaknya, berdasarkan hasil studi PISA (OECD, 2006) yang menyatakan, bahwa sebagian besar siswa Indonesia memiliki kemampuan literasi di bawah level 1 (tidak mampu memahami bacaan), baik dalam membaca, Matematika, maupun sains.
Tentu, itu semua bukan salah siswa. Mereka memang tidak pernah difasilitasi dengan baik untuk memperoleh pendidikan berkualitas. Pemerintah wajib memfasilitasi mereka dengan kualitas pendidikan terbaik.
Kenapa pemerintah tidak melakukannya? Apakah karena memang tidak ada dana atau kapasitas? Atau, karena memang tidak ada political will saja?
Dhitta Puti Sarasvati, Direktur Riset dan Pengembangan Program Ikatan Guru Indonesia (IGI)
Sumber: Edukasi, Kompas.com, Rabu, 11 April 2012
No comments:
Post a Comment