Thursday, July 19, 2012

Pancasila (2-Habis): Perubahan Sejati oleh Rakyat Jelata

-- Radhar Panca Dahana

SEJARAH kebudayaan suku-suku bangsa Indonesia tidak mudah ditakluk kan kebudayaan asing.

Penaklukan kolonialis pada mulanya tidak berhasil, kecuali dalam pengertian fisikal dan ekonomi, tapi kemudian ia menunjukkan hasil (sekurangnya akhir abad ke-19) pada tingkat intelektual.

Ahli-ahli hukum adat dan tradisi bermunculan di kalangan sarjana yang menjadi penasihat pemerintahan kolonial, tumbuhnya intelektualisme yang berorientasi pada logika Barat/kontinental, ditambah lahirnya kelompok-kelompok intelektual semacam teosofi di Jawa, menjadi kecambah bagi penaklukan intelektual itu.

Pemikiran “baru” dari kebudayaan kontinental yang disokong kekuatan ekonomi, politik, dan militer menindas kerja dan produk intelektual lokal/tradisional.

Pada masa berikutnya perlahan-lahan kekuatan rasionalisme Eropa yang materialistik dan dominatif itu menaklukkan kultural, terutama (pada awalnya) di kalangan masyarakat kota (urban). Ketika kemajuan teknologi informasi dan transportasi terjadi begitu masif dan revolusioner, penaklukan itu seperti mendapatkan momentum desisifnya.

Teknologi itu menjadi wahana ampuh untuk mengangkut ide-ide kultural yang termuat dalam konsep filosofis, demokrasi, kapitalisme, liberalisme, dan lain-lain, yang menjadi penumpang gelap dalam gerakan supermasif bernama globalisme.

Pada masa yang disebut banyak kalangan sebagai “kolonialisme baru” itu, pertahanan kebudayaan kita di tingkat pribadi hingga komunal menjadi rapuh, bahkan hingga pada tingkat terdominasi penuh.

Modus eksistensial yang secara tradisional dan primordial kita bangun selama ribuan tahun terekspresi secara kasar dan ganas oleh globalisme, sebuah topeng kolonial yang geraknya didukung kekuatan politik, ekonomi, hingga praktik militer dan intelijen negara/bangsa kolonial.

Sebagian masyarakat kita saat ini harus diakui telah menempatkan kebudayaan baru, yang postmodern itu, sebagai acuan tunggal dalam menegakkan eksistensi kontemporernya.

Masyarakat itu merasa dirinya eksis bila menggunakan simbol-simbol kebudayaan penakluk itu. Penaklukan simbolik itu semacam representasi dari takluknya pemikiran, ide, tradisi, bahkan ruang imajinasi kita sebagai pribadi dan bangsa.

Dalam kultur baru itu, hal-hal yang sifatnya pragmatik dan hedonistik–sebagai produk adab yang materialistik–menjadi standar bagi status atau simbol sosial pada umumnya. Dalam kultur ini pula bemunculan titik api yang menciptakan konflik di berbagai dimensi dan lapisan masyarakat.

Hidup yang dihela oleh kebutuhan material yang hiper-pragmatik dan hedonistik menciptakan kompetisi yang hanya sehat di atas kertas, tapi jahat dan destruktif di tingkat praktisnya.

Dengan asas yang dijumput dari kapitalisme, liberalisme hingga hak asasi manusia, sebagian dari kita mengejar kebutuhan materialistik itu dengan berbagai cara, termasuk mengkhianati dan membungkam nurani, adat, dan kearifan tradisinya.

Solusi Kebudayaan

Dari argumen singkat di atas, kita sudah bisa menemukan penyebab dari berbagai krisis negeri ini, yakni ketika kita menolak kenyataan eksistensial yang menjadi inti jati diri kita semua.

Maka solusinya pun menjadi jelas, untuk menjadi manusia yang beradab luhur (apa pun bentuk/kemajuan kebudayaannya), kita harus menimbang kembali dengan cara jujur, saksama, dan cerdas kebijaksanaan dan pengetahuan tradisi yang sejak ribuan tahun lalu diproduksi, dipelihara, dan dikembangkan oleh nenek moyang kita.

Sebuah perjalanan kebudayaan yang sama sekali bukan omong kosong dan jauh lebih panjang prosesnya ketimbang bangsa-bangsa yang menganggap dirinya maju, seperti bangsa-bangsa Eropa apalagi Amerika.

Dengan kebijaksanaan dan pengetahuan yang saat ini dianggap kuno, lampau, kaku, mistik, dan beku itu sebenarnya kita dapat menemukan jalan keluar dengan melakukan perubahan sikap (mindset juga attitude). Kita dengan sendirinya akan menemukan acuan hidup yang lebih dekat dengan jati diri kita sendiri, lebih komprehensif dalam melihat persoalan dan lebih praktis dalam pelaksanaan.

Jadi bila–katakanlah–orang Sunda menjadi Sunda yang sejati, dalam arti menggunakan kearifan primordialnya sebagai acuan untuk bereksistensi dan bermasyarakat, bisa dipastikan ia tidak akan tenggelam dalam konflik dengan warga lainnya baik sesama maupun dengan yang berbeda etnik.

Dengan begitu manusia Indonesia tidak akan menjadi korban dari gerak globalisasi kebudayaan saat ini, sekuat apa pun gerak itu.

Bahkan seharusnya dengan kapasitas dan kualitas kultural masing-masing etnik, kita dapat memerah atau “menunggangi” kuda peradaban postmodernisme yang berlari sangat kencang itu, mengambil saripatinya untuk memperkuat dan kian mendewasakan kebudayaan kita sendiri, sebagaimana dilakukan nenek moyang kita di masa lalu.

Kita adalah bangsa yang adaptif dalam arti memiliki kemampuan luar biasa lebih dari bangsa mana pun, dalam menyerap kebudayaan asing menjadi asupan positif bagi perkembangan jati diri dan kebudayaan kita sendiri.

Dalam prosesnya yang normal, sehat, dan egaliter, sejarah kebudayaan suku-suku bangsa Indonesia tidaklah mudah untuk ditaklukkan kebudayaan asing.

Kita adalah bangsa yang ramah, sopan, dan penuh hormat saat menerima kehadiran tamu, walau tentu saja kita bukan bangsa yang lunak dan melempem ketika tamu itu memiliki maksud untuk menguasai, apalagi merendahkan atau menghina martabat kita sebagai tuan rumah. I

tu berlaku untuk semua suku bangsa: rasa hormat dan martabat adalah hal yang bagi siapa pun dari kita siap mengorbankan apa pun, termasuk nyawa, untuk membelanya.

Membutuhkan “Updating”

Sesungguhnya nilai-nilai dan moralitas dasar dari kebudayaan di atas secara jenial telah dirumuskan–walau mungkin belum sempurna–oleh bapak-ibu bangsa (founding fathers-mothers) kita di masa lalu.

Melalui pergumulan ide yang dilandasi oleh visi dan spirit kebangsaan primordial, mereka akhirnya menyepakati nilai-nilai dasar dari keberadaan kita sebagai sebuah bangsa terangkum dalam sebuah rumusan bernama Pancasila. Namun betapa pun luhur dan jenialnya Pancasila, mesti jujur kita akui, itu adalah produk dari kerja manusia yang tidak abadi seperti kitab suci.

Ia membutuhkan updating untuk masalah-masalah baru, data-data, pemahaman, dan tujuan atau bahkan visi baru. Itulah tugas dari generasi baru terutama para anggota pemerintahan baru yang silih datang dan pergi.

Pada tingkat praktis, sebenarnya Pancasila adalah cara dan acuan yang niscaya dalam peri-hidup bangsa Indonesia sejak dulu kala. Apa yang dilakukan pendiri bangsa ini adalah menciptakan kristal-kristal kebudayaan dari praktik Pancasila di kalangan rakyat jelata itu.

Soekarno dkk tidak menciptakan ide baru untuk mengatasi hidup yang baru. Namun itulah tugas dan tanggung jawab generasi baru, generasi kita, untuk terus membuat Pancasila hidup dengan cara melakukan updating tadi.

Semacam panduan yang berakar dari perkembangan kebudayaan dan pengetahuan adat dan tradisi dalam upaya merespons kenyataan baru yang melesat dengan cepat. Panduan dan acuan yang harusnya bermula dari perubahan radikal para penguasa dan pengambil kebijaksanaan secara khusus dan kaum elite pada umumnya.

Rakyat jelata adalah pihak terakhir yang akan menyempurnakan panduan-panduan hidup di atas. Rakyat jelatalah yang sebenarnya menjadi pelaku utama ketika kebudayaan itu berkembang dan memperbarui diri.

Maka bila harus ada perubahan yang substansial, tidak terelakkan ia harus terjadi dan dilaksanakan rakyat jelata pada muaranya. Awal dari semua itu adalah munculnya elite yang memiliki kesadaran bersama untuk mengubah mindset dan attitude-nya sesuai dengan realitas eksistensial kita.

Persoalannya kini menjadi lebih terang: bagaimana elite menjalankan peran dan tanggung jawab historik dan tradisionalnya itu, sementara saat ini mereka dalam keadaan mabuk karena alkohol globalisme, candu liberalisme, nafsu kapitalisme, dan penghambaan pada individualisme. Untuk penjelasan dan jawaban bagi pertanyaan kritis ini, kita membutuhkan kertas yang lebih panjang.

Radhar Panca Dahana, budayawan.

Sumber: Sinar Harapan, Kamis, 19 Juli 2012

Wednesday, July 18, 2012

Pancasila (1): Praksis Budaya dan Bangsa Bernama Indonesia

-- Radhar Panca Dahana


INTEGRASI kebudayaan adalah dasar yang lebih kokoh dan primordial ketimbang ikatan lainnya.

Dalam sebuah feature tentang kondisi masyarakat di wilayah perbatasan RI dengan negara lain, harian Kompas menceritakan kisah miris yang sudah terbayang dari judulnya, “30 Tahun Dipelihara oleh Malaysia”.

Suatu kenyataan yang tentu membuat kita sedih dan prihatin. Namun sesungguhnya di balik kisah itu terdapat juga bukti yang kuat tentang keteguhan jati diri sejati bangsa Indonesia.

Apakah rakyat di perbatasan Kalimantan itu hendak mengubah status kewarganegaraan mereka menjadi warga negara Malaysia?

Ketika kenyataan membuktikan lebih dari satu generasi mereka diabaikan oleh pemerintahnya sendiri, ketika akses dan peluang ekonomi mereka tertutup karena pemerintah tidak pernah membangun infrastruktur yang dibutuhkan sehingga mereka kesulitan untuk melakukan komunikasi sosial dan kultural dengan penduduk desa lain, sementara kebutuhan dasar hidup mereka lebih diperhatikan oleh negara tetangga, bukankah cukup semua alasan itu untuk mengganti kewarganegaraan menjadi orang Malaysia?

Ternyata, percayalah, rakyat kita yang diabaikan itu yang mungkin kecewa dan marah pada pemerintah yang sah, akan tetap menolak tawaran menjadi warga negara Malaysia.

Mereka akan tetap percaya diri menjadi warga Indonesia dan menjadi bagian dari sejarahnya, termasuk tetap menganggap Soekarno sebagai presidennya. Hal ini membuktikan bahwa seseorang menjadi bagian integral dari bangsa dan republik ini tidak hanya didasarkan oleh kaitan atau kepentingan ekonomi, politik, militer, bahkan agama belaka.

Terdapat faktor lain yang mampu meliatkan dan mempertahankan kesatuan bangsa Indonesia, yang bahkan ternyata juga tidak cukup dipenuhi oleh sebuah tema modern yang begitu populer: nasionalisme. Namun mereka—juga kita—tetap bertaut dengan bagian-bagian lain dari bangsa ini karena sebuah ikatan atau tautan yang bernama ikatan kebudayaan.

Ikatan yang kemudian menjadi sebuah integrasi kebudayaan kolektif, yang sesungguhnya adalah dasar yang lebih kokoh, fundamental, historis, dan primordial ketimbang ikatan-ikatan dalam kata sifat lainnya. Kita mengetahui dengan baik bagaimana sejarah masyarakat dan bangsa di dunia ini ternyata begitu rapuh dan mudah putus hanya karena tidak kuat ditopang oleh tautan kebudayaan itu.

Ikatan integratif kebudayaan sudah menjadi sebuah keniscayaan bagi suku-suku bangsa yang ada di kepulauan yang indah ini. Dari mana dan bagaimana ikatan ini terbentuk melebihi ikatan-ikatan lain bahkan termasuk ikatan yang nasionalistik? Tidak lain ia tercipta dari realitas arkeologis dan primordial dari suku-suku bangsa itu sendiri.

Itulah realitas dari peradaban maritim. Sebuah peradaban yang karena faktor-faktor geografis, demografis, dan faktor natural lainnya membuat suku-suku bangsa itu menjalin hubungan yang mutualistik–interdependensial bahkan sejak awal terbentuknya suku-suku bangsa di Nusantara ini, ribuan tahun sebelum Masehi.

Identitas Adab Maritim

Bentuk hubungan itu meniscayakan sifat utama dari peradaban maritim, yakni keterbukaan, egaliterianisme, kebebasan fakultatif, dan proses akulturasi yang luwes serta dinamis sebagai bahan dasar terbentuknya masyarakat atau bangsa yang plural serta multikultural.

Maka sesungguhnya bila realitas arkeologis dan primordial di atas kita pahami dan jalani secara teguh dan intens, maka problem yang menciptakan konflik abadi di negara-negara dengan peradaban kontinental—seperti masalah multikulturalisme yang masih menjadi beban bagi sebagian besar bangsa dan negara-negara Eropa—seharusnya tidak terjadi di negeri ini.

Semua adat dan tradisi di negeri ini—betapa pun beraneka rupa dan bangsa lain masih kesulitan untuk membaca atau memahaminya—memiliki satu identitas kultural yang sama yang kemudian melahirkan sifat-sifat peradaban.

Identitas kultural yang sama itu bermula dari cara manusia Indonesia melihat realitas dirinya sendiri (aku) dan akhirnya melihat diri orang lain (kamu); diri sebagai sebuah kelompok (komunitas) hingga diri sebagai sebuah bangsa.

Pemahaman—yang dalam pengertian tertentu adalah sebuah filosofi—itu terekspresikan oleh semua adat dan tradisi sebagai peng-aku-an yang identik secara eksistensial dengan orang lain (peng-kamu-an).

Artinya, secara primordial kita adalah manusia yang sangat sadar dan mengakui bahwa “aku ada karena kamu ada”. Aku, sebagai pribadi, komunitas atau bangsa “ada” karena adanya kamu. Inilah dasar integrasi paling asal (primordial) dari bangsa Indonesia. Realitas eksistensial yang kemudian menciptakan kesatuan sosial, naluri bermasyarakat atau insting kegotongroyongan di antara rakyat negeri ini.

Karakteristik itulah yang membuat tidak ada etnik atau suku bangsa mana pun di negeri ini yang bisa mengklaim dirinya sebagai suatu identitas yang unik atau orisinal. Karena ternyata kita semua, entah orang Banjar, Bali, Sunda, Batak, Jawa, atau Ternate dan Papua itu dibentuk oleh sebuah pergaulan yang dilandasi oleh praksis kebudayaan di atas.

Praksis kebudayaan yang sebenarnya juga meniscayakan bangsa kita menjadi bangsa yang demokratis secara substansial. Memberi kita semua sebuah perasaan yang mengikat secara kuat bahwa kita adalah bangsa besar, di dalam keanekarupaan atau kebinekaan etnik, tradisi dan adatnya.

Ikatan yang tidak terlalu kita sadari hingga saat ini, menjadi faktor utama dalam melahirkan sebuah bangsa bernama Indonesia. Maka cobalah periksa sejarah perjuangan republik modern bangsa ini, yang pada mulanya diisi oleh tokoh-tokoh yang masih sangat kental kesadaran etniknya (katakanlah dengan munculnya berbagai organisasi kedaerahan seperti Jong Java, Jong Sumatera, Jong Celebes, dll), tapi ternyata mereka berhasil mengatasi sentimen lokalnya dengan mengutamakan sentimen yang lebih kuat: sentimen kesatuan, sentimen kebangsaan.

Mungkin ada benarnya ketika sentimen itu diformulasi dalam pengertian atau terminologi politik sebagai nasionalisme.

Namun pengertian yang sangat muda itu tidaklah didasari oleh satu spirit yang jauh lebih kuat, luhur, dan primordial, yaitu spirit kemasyarakatan atau kesatuan yang sudah tertanam sekian masa dalam insting dan naluri kebudayaan kita. Insting dan naluri yang telah terbukti tetap mempertahankan rakyat kita menjadi satu bangsa, betapa pun pada saat yang sama rakyat itu mengalami ketertindasan secara ekonomi, militer, agama, hingga politik.

Akar Krisis Bangsa

Saya kira inilah argumen utama dan pertama saya untuk menjelaskan akar muasal dari persoalan-persoalan kritis negeri. Bahkan bisa jadi ini adalah kunci untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut.

Asal muasal dari persoalan itu sebenarnya tidak lain dari sebuah keadaan baru (modern) yang membuat sebagian dari kita terpaksa atau tidak, sadar atau tidak, telah mengkhianati bahkan melawan eksistensi kita (sebagai manusia, suku dan bangsa). Keadaan baru/modern itu tentu saja, kita tahu, berawal dari masa kolonialistik di waktu lalu.

Masa yang secara kultural menjadi proses pertemuan kebudayaan atau akulturasi yang sesungguhnya secara alamiah sudah menjadi karakter pergaulan dari bangsa ini dalam menerima keberadaan dan keikutsertaan budaya-budaya lain dalam proses pengembangan dirinya.

Namun di masa kekuasaan kolonialistik terjadi pergaulan kebudayaan yang sangat tidak sehat bahkan jahat, ketika kebudayaan asing dibawa oleh pemerintah kolonial bersama sekutunya dengan represif menciptakan dominasi sampai memusnahkan adat setempat.

Pola penaklukan kolonialis yang sebelumnya termaktub dalam slogan “gold, gospel, and glory” sebagai dasar moral gerak penjelajahan dan penaklukan bangsa Eropa terhadap bangsa non-Eropa, yang kemudian berkembang menjadi lebih filosofis, politis, dan akhirnya menjadi penaklukan kultural. (Bersambung)

Radhar Panca Dahana, budayawan.

Sumber: Sinar Harapan, Rabu, 18 Juli 2012

Menetaskan Telur di Ujung Tanduk

-- Hardi Hamzah


TRANSFORMASI sosial bagi seorang Udo Z. Karzi, tampaknya bukanlah sekadar fenomenal, melainkan ia lebih banyak memandangnya sebagai ruas kehidupan yang mengasyikkan.

Ini terlihat dalam kumpulan kolom (nuansa)-nya yang terbilang banyak dalam bukunya Mamak Kenut, Orang Lampung Punya Celoteh (diterbitkan Indepth Publishing, Bandar Lampung, Juni 2012). Dalam buku ini, Udo mengintrodusasi fenomena perubahan menjadi fenomenal dalam lakon para tokoh khas daerah Lampung Mamak Kenut dan konco-konconya. Dari sinilah kemudian mengalir nafas sosiopolitik yang ditekuk-tekuk oleh kesejarahan zaman kebebasan era reformasi.

Bahasanya yang tumpah dari baskom lakon dinamisasi sosial, politik, budaya, dan seabrek lagi kencan-kencan interaktif, mengingatkan saya dengan rubrik secangkir kopi yang diasuh Emha Ainun Nadjib dalam surat kabar Masa Kini Yogyakarta (1988), dan atau sketsa-sketsa lainnya yang telah dipaparkan Djadjat Sudradjat dalam pengantar buku ini.


Promosi Lampung

Udo Z. Karzi alias Zulkarnain Zubairi seakan memayungi budaya Lampung lewat para tokoh-tokoh yang ditawarkannya. Udo yang memenangkan hadiah Sastra Rancage 2008 lewat buku puisinya Mak Dawah Mak Debingi (2007), sungguh concerned dengan budaya Lampung, meskipun budaya Lampung terus-menerus tercabik-cabik oleh zamannya.

Oleh karena itu, buku setebal 226 halaman ini memberikan kontribusi untuk melestarikan budaya Lampung (meskipun Udo hanya melalui nama-nama tokoh ansich), yang pada gilirannya menjadi amat penting.

Pada titik inilah, kita merasakn betapa gigihnya Udo Z. Karzi memperjuangkan budaya Lampung melalui kesusastraan dan esai-esai. Ini setidaknya bila kita rasakan makin "gombalnya" orang Lampung sendiri yang kerap menjadikan tradisi dan budayanya secara temporer, bahkan mengaduk-aduknya dalam kiasan yang centang-perenang di TVRI dan merampoknya lewat lakon seremoni para birokrat.

Itulah sebabnya, budaya Lampung, kini bak telur di ujung tanduk yang siap diremas siapa saja dengan alasan idiom "Lampung itu Indonesia Mini", "Orang Lampung Sangat Terbuka" dan seterus dan seterusnya, yang tanpa terasa idiom ini justru menggeser setting sosial budaya Lampung kehilangan pakemnya.

Dus, Udo Z. Karzi jauh dari ingin meremas telur yang telah di ujung tanduk itu, tetapi ia berusaha menetaskannya agar beranak-pinak dan besar serta memberikan benefit tersendiri. Apalagi bila buku yang meskipun hanya kumpulan nuansa ini diterjemahkan dalam bahasa Lampung, barangkali saja telur yang telah di ujung tanduk itu benar-benar bisa menetas dan menjadi "anak ayam" kebudayaan Lampung yang makin mahal harganya.

Kumpulan tulisan yang terasa basah ini, menjual suatu strategi sendiri bagi jalan pintas untuk mempromosikan Lampung tidak dengan seremoni. Menguatnya celotehan para lakonnya menghidupkan api tradisi Lampung dalam dimensi kebudayaan.

Ya, Tampaknya Udo merasakan betul, bahwa kebudayaan Lampung, apa pun juga alasannya makin "dikeringkan" oleh birokrat. Bahkan, diperalat menjadi komoditi politik, sementara Udo Z. Karzi terus menerus mentransformasikannya, meskipun sekecil apa pun premis-premis yang disajikannya.

Di sini mengingatkan kita pada Trotzky yang memperpanjang napas Rusia melalui polemik kesusasteraan Rusia, yang kemudian dikalkulasikan ulang oleh St. Takdir Alisjahbana dan Syahrir dalam polemik kebudyaan pada paruhan kedua tahun 30-an.


Telur KebudayaanKendati namanya juga celoteh Udo Z. Karzi, harus diakui bahwa kehendaknya untuk menyelamatkan budaya Lampung yang telah diujung tanduk itu sedemikian dinamis. Biarlah "telur kebudayaan" bergelayut, singkirkan tanduknya dan eramkan telurnya dalam sosok-sosok yang sangat ngelampung.

Yang pada gilirannya kita dapat menimang-nimang kebudayaan Lampung sesuai dengan pakemnya. Karena bisa saja para penguasa di daerah ini memecahkan telur kebudayaan itu, atau mengambil atau menggeser tanduk sampai telur kebudayaan pecah dalam genggaman antara pepadun dan saibatin.

Kalaulah ini terjadi dan hal ini sangat mungkin, buku ini dapat menjadi fundamen atau kandang bagi ayam yang kemudian dapat menemukan induknya tersendiri. Bahwa, Lampung tidak hanya berada pada dikotomi pepadun dan saibatin, tetapi Lampung juga punya tokoh-tokoh jenaka yang patut diperkenalkan.

Di sini, Udo mengkajinya dengan jernih melalui buku ini sehingga lagi-lagi kita berharap agar "telur kebudayaan" yang telah di ujung tanduk itu benar-benar menetaskan kesadaran sublimatif, semisal kita tidak lagi malu berbahasa Lampung, muatan lokal (mulok) di sekolah tidak hanya mengenalkan aksara, dan last but not least para birokrat "tidak merampok kesenian dan budaya Lampung" semena-mena.

Selamat Do, teruskan pergulatanmu untuk menembus rusuk terdalam menyadarkan kita semua, bahwa Lampung kalau ingin besar tidak hanya lewat kosmopolitan, tetapi lewat sebongkah harapan yang diwujudkan lewat karya-karya.

Hardi Hamzah, Peneliti Madya Mahar Indonesia Foundation

Sumber: Lampung Post, Rabu, 18 Juli 2012