Sunday, August 05, 2012

Kuburan Sejarah

-- Bre Redana

KEPADA ”sejarah nilai-nilai” atau history of values catatan ini hendak saya dedikasikan. Istilah sejarah nilai-nilai yang dimaksud di sini untuk membedakan dengan pengertian sejarah yang lain, taruhlah misalnya sejarah kemenangan, sejarah kejayaan, yang melindas dan meniadakan pihak yang dianggap kalah, salah, dan seterusnya.

Paradigma berpikir yang sering muncul dalam berbagai karya novelis Milan Kundera itu tebersit ketika membaca buku Otobiografi Dr Batara Simatupang & Kumpulan Tulisan yang baru saja diterbitkan oleh Yayasan Del tahun 2012 ini. Batara Simatupang adalah seorang eksil. Kelahiran Pematang Siantar tahun 1932—jadi kini usianya 80 tahun—ia adalah intelektual, ekonom, seangkatan Emil Salim semasa kuliah di UI tahun 1950-an.

Bersama Emil Salim dan sejumlah tenaga pengajar di UI, ia waktu itu dikirim tugas belajar ke Amerika. Sementara teman-temannya belajar di Berkeley, karena minatnya yang besar kepada perekonomian sosialis, Batara kemudian meninggalkan Amerika, memperdalam studinya di Yugoslavia dan Polandia.

Sampai kemudian meletus peristiwa G30S tahun 1965. Paspor Batara dicabut dan sejak itu ia terlunta-lunta di negeri orang. Saat ini Batara tinggal di Belanda sebagai warga negara Belanda.

Kuburan sejarah

Dalam buku setebal 462 halaman, Batara mengisahkan riwayat hidup serta menampilkan artikel-artikel ekonominya yang pernah dimuat di berbagai jurnal ilmiah. Di situ tampak sosoknya yang tegar, rasional, santun. Sikap dasar seorang intelektual yang mencari kemuliaan hidup lewat keketatan metode-metode ilmiah tak goyah oleh suatu peristiwa, yang disebut dengan istilah yang sangat bagus oleh Emil Salim: historical twist.

Implikasinya serius. Begitu status resmi kewarganegaraan hilang, sebagai manusia ia juga disingkirkan oleh manusia formal berkewarganegaraan. Pada saat kakaknya sakit dan dioperasi di Belanda—sang kakak adalah jenderal terkenal, yakni TB Simatupang—Batara harus menyingkir dari ruangan tatkala ada warga Indonesia membezoek. Ia mendapati pengalaman, tidak ada orang Indonesia—terutama lingkungan kedutaan—bersedia bersalaman dengannya.

Tahun 1980-an, ketika sudah mendapat kewarganegaraan Belanda, ia pernah pulang ke Indonesia untuk bertemu ibunda dan sanak saudara. Dikenangnya ia harus lapor polisi ke mana pun ia pergi.

Dia pulang waktu itu dalam suasana Lebaran. Ia gunakan kesempatan indah tersebut untuk bersilaturahim dengan para kolega di masa lalu, seperti Emil Salim dan Sadli, yang waktu itu menteri. Tergambar di sini kehangatan Emil Salim. Di rumah Emil Salim ia bertemu seorang menteri berlatar belakang militer. Emil Salim memperkenalkannya. Sang menteri ini, seperti diceritakan Batara, menariknya ke tempat yang tak terlalu ramai.

”Kalau Batara komunis, Anda adalah musuh saya,” kata beliau tegas, begitu kutipan Batara dalam bukunya. Saya menjawab, ”Kita masing-masing adalah ’anak dari zamannya’.” Pembicaraan berhenti di situ dan pertemuan pun berakhir, dan kami bersalaman dengan mengucapkan selamat Lebaran dan maaf lahir batin.

Batara menutup otobiografinya dengan pernyataan bahwa dia menulis otobiografi itu pada usia menjelang 80 tahun. Diakuinya, daya ingat telah mundur, catatan tertulis terbatas, dan masa lalu katanya telah banyak yang ditutupi oleh kabut waktu yang tebal.

Itulah sejarah. Sejarah kemenangan dan kejayaan tersebar di mana-mana catatannya. Sementara sejarah nilai-nilai? Ketika kehidupan bersama semakin merosot kualitasnya, sejumlah orang bertanya, di mana nilai-nilai yang dulu? Yang ada pada para tokoh pendiri bangsa ini dan para politisi di masa lalu?

Kalau kuburan ada sektor-sektornya, nilai-nilai hidup, ketabahan, kerja keras, kebersamaan, penghargaan terhadap persahabatan, masuk ke kuburan sejarah di sektor lupa.

Sumber: Kompas, Minggu, 5 Agustus 2012

Sastra Klasik Tak Akan Pernah Lapuk

-- Evi Melyati

BAGI masyarakat Jawa, sastra merupakan karya yang tertata apik dalam bahasa yang indah. Tak heran jika sastra jawa klasik tak hanya mengutamakan isi, tetapi keindahan bahasa juga menjadi perhatian sang pujangga. Karya sastra Jawa yang terlahir melalui pengolahan rasa dan laku tapa, disebut sebagai sastra adiluhung atau sastra yang memiliki tingkat apresiasi tinggi.

    Sastra klasik ini tak pernah lapuk dimakan usia, sarat sejumlah nilai simbolis, dan dikenang sepanjang masa lantaran sifat dulce et utile-nya (menyenangkan dan bermanfaat) bagi peradaban umat manusia (Rene Wellek (1955). Alam sadar manusia yang selalu haus siraman imaji, menjadi ruang ideal muara sastra adiluhung. Sejatinya, produk sastra secara umum (puisi, syair, serat, novel, kitab dsb) tercipta bukan dari ruang hampa. Juga bukan produk instan, masif dan duplikatif. Penetrasi sosial budaya turut membangun karya sastra, Toh pada muaranya realitas sosial juga kembali dipengaruhi sastra tersebut. Alih-alih, meski sebagian besar karakternya mengambil bahasa, karya sastra tetap merupakan analisis estetis dan sintesis sebuah realitas tertentu (Gunoto Saparie, 2007).

    Serat dan suluk misalnya, merupakan penetrasi budaya yang berujud akulturasi Islam dan Jawa. Jalinan dipererat dengan narasi ilmiah nilai Islam dalam bentuk kepustakaan. Ini tampak pada Serat Wulangreh, Cibolek, Wedhatama, dan Centhini, serta Suluk cipta waskitha dan Haspiya.

    Sastra jawa klasik hadir melampaui sejarah (trans-historis), ruang dan waktu. Demikian pula obyeknya adalah realitas kehidupan, meskipun dalam menangkap realitas tersebut sang pujangga tidak mengambilnya secara acak. Ia memilih dan menyusun bahan-bahan itu dengan berpedoman pada asas dan tujuan tertentu. Serat Wedhatama karya Mangkunegoro IV misalnya, bertujuan mengajak umat manusia pada kemuliaan budi, dan larangan memperturutkan budi jahat. Mangkunegara menangkap realitas sosial dan pandangan jawa bahwa gejala-gejala lahiriyah, memiliki kekuatan kosmis nominus yang merupakan realitas sebenarnya. Dan realitas itu adalah batin manusia yang berakar dalam dunia nominus itu.

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 4 Agustus 2012

    Berangkat dari konsep tersebut, wedhatama tidak hanya murni karya sastra. Tetapi, juga mengajarkan laku spiritual khususnya terkait proses kebaktian kepada sang pencipta, atau dikenal dengan sembah raga, cipta, rasa dan karsa.

    Tak salah jika Simuh (1995) menggolongkan wedhatama sebagai sastra profetik (kenabian) lantaran tujuan utamanya pada penghayatan sufistik tinggi. Lain lagi jika realitas sastra jawa klasik itu sebuah peristiwa sejarah, maka sang pujangga mencoba menerjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imajiner dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarang.

    Kecuali itu, sastra adiluhung dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan tanggapannya mengenai peristiwa sejarah. Sebagaimana karya sejarah, sastra adiluhung merupakan penciptaan kembali peristiwa sejarah dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang. Ini dapat dilihat dalam serat Babad baik babad tanah jawa, babad Diponegoro, babad tanah sabrang dan sebagainya.

    Sastra jawa klasik adalah dunia yang bersifat dinamis, relatif, dan bukan eksklusif. Sastra jawa klasik tetap enak dicermati, terutama di era modernisdasi saat ini akan tampak nilai-nilai sastranya yang terkait dengan kepribadian manusia.

    Karena ketinggian tingkat apresisasinya, sastra jawa klasik sangat bermutu lantaran mampu menghaluskan rohaniah; mempertajam visi, misi dan ruang imajinasi, membuat manusia santun jiwanya, bertambah pengetahuannya, berkepribadian mulia, dan luas jiwanya. Misalnya dalam Serat Wulang Reh Karya Pakubuwono IV tersirat ajaran menjadi orang terhormat. Menurut wulang Reh, menjadi orang terhormat tidak mudah karena mesti jauh dari sifat adigang, adigung dan adiguna, atau membanggakan kelebihan yang dimilikinya. Wulang reh juga momot aturan tingkah laku yang utama. Apresiasi pada sastra jawa aklasik, memang meniscayakan wawasan yang luas, ketajaman pikiran dan kehalusan perasaan. Karena ia dikemas dalam bentuk-bentuk simbol yang multi tafsir.

    Misalnya ajaran manunggaling Kawula dan gusti, disimbolkan dalam lakon bima Suci. Tokoh Bima dalam serat ini digambarkan sebagai kesatria perkasa dengan kekuatan yang digdaya, dan seorang brahwana yang memiliki kearifan batin (waskita). Bima sejatinya merupakan simbol tokoh mistik jawa (Haryanto, 1990), yang bertemu dengan Tuhannya (Dewa ruci). Proses masuknya Bima ke tubuh Dewa Ruci diartikan sebagai manunggalnya hamba dengan tuhannya.

    Menurut T. S. Eliot, mengukur kesastraan sebuah karya sastra adalah dengan kriteria estetik, sedangkan mengukur kebesaran karya sastra adalah dengan kriteria di luar estetik (Lubis, 1997: 15). Salah satu kriteria estetik yang bisa dipakai adalah kriteria norma sastra. Rene Wellek menyatakan bahwa norma sastra adalah tata nilai impilisit yang mesti ditarik dari karya sastra dan menunjukkan karya sastra sebagai keseluruhan.

    Norma karya sastra itu terdiri dari beberapa lapis; lapis suara (berupa kata), lapis arti (berupa kalimat), dan lapis obyek (berupa dunia sastrawan). Serat Wedhatama karya Sri Mangkunegara IV misalnya; lapis suara berbentuk tembang gambuh. Lapis arti berisi pendidikan budi pekerti antara manusia dengan sesama, lingkungan/ makhluk hidup dan dengan tujannya.

    Sementara untuk menjamin martabatnya, seseorang mesti menguasai 3 syarat wirya (keberanian) yaitu: berani berkurban arta (harta), raga (badan jasmani) dan rasa (jiwa). Sosok individu hasil tempaan tiga wirya ini, adalah individu yang Tri winasis artinya cendekia yang cerdas, tangguh dan arif memaknai kehidupan. Selain itu, sastra jawa klasik menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial.

    Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Maka sastra jawa klasik berusaha menggambarkan dunia dan kehidupan manusia melalui kriteria utama yaitu "kebenaran" penggambaran, atau yang hendak digambarkan.

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 4 Agustus 2012

Saturday, August 04, 2012

Pluralisme: Indonesia Majemuk sejak Awal

JAKARTA, KOMPAS--Bangsa Indonesia sejak awal merupakan bangsa majemuk yang terdiri dari berbagai suku, agama, dan budaya. Kondisi ini merupakan kekayaan berharga dan dapat mendorong berbagai inovasi dan produktivitas jika masyarakat pandai mengelolanya.

Mantan Presiden Indonesia BJ Habibie berbicara di depan para cendekiawan lintas agama di kediamannya di kawasan Kuningan, Jakarta, Jumat (3/8). Silaturahim ini dihadiri para pemimpin organisasi lintas agama, di antaranya Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia, Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia, Ikatan Cendekiawan Hindu Indonesia, Kesatuan Cendekiawan Buddha Indonesia, Ikatan Sarjana Katolik Indonesia, dan Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama. (KOMPAS/RIZA FATHONI)

Demikian disampaikan mantan Presiden Indonesia BJ Habibie dalam ”Silaturahmi dan Dialog Cendekiawan Lintas Agama” di Jakarta, Jumat (3/8). Hadir dalam pertemuan itu pimpinan Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI), antara lain Ketua Presidum ICMI tahun 2012 Prof Dr. Nanat Fatah Natsir; Dr. Ing. Ilham Akbar Habibie,  Dr. Marwah Daud Ibrahim, Dr. Priyo Budi Santoso dan Dr. Sugiharto sebagai Anggota Presidium ICMI. Ada juga Ketua Ikatan Sarjana Katolik Indonesia Muliawan Margadana, Ketua Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Ali Masykur Musa, dan pengurus Perwakilan Umat Buddha Indonesia Philip K Wijaya.

Menurut Habibie, Indonesia dibentuk dari beragam kelompok suku di Nusantara. ”Masyarakat plural terjadi di sini karena ada toleransi besar, saling pengertian. Toleransi ini yang memungkinkan Pancasila lahir meski lebih dari 80 persen penduduk kita Muslim,” katanya.

Pancasila


Kondisi ini, kata Habibie, perlu disyukuri karena kemajemukan ini tumbuh sejak awal secara alami. Di bawah dasar negara Pancasila, tak pernah ada perang saudara besar di Indonesia. ”Kita harus kembali ke dasar, yaitu Pancasila,” kata Ketua Dewan Kehormatan Pusat ICMI itu.

Muliawan juga mengatakan, bangsa Indonesia harus berpegang teguh pada Pancasila dan UUD 1945. Dasar negara dan konstitusi itu menjadi sarana untuk membangun solidaritas tanpa sekat.

Ali Masykur Musa berharap para cendekiawan mau tampil memberikan pencerahan bagi masyarakat dan bangsa dalam kehidupan yang kian pragmatis dan tersandera oleh berbagai kepentingan. Kolektivitas dalam Indonesia yang pluralis ini perlu dirawat dengan saling menghargai tanpa mempersoalkan latar belakang etnik dan agama.

Untuk membangun kehidupan rukun dalam kemajemukan, menurut Philip, bangsa Indonesia membutuhkan sumber daya manusia yang unggul. Untuk itu, diperlukan pendidikan yang memadai. Berbekal pengetahuan dan kesadaran, tercipta keharmonisan, toleransi, dan saling menghargai perbedaan.

”Kita juga perlu lebih sering berkumpul. Dengan begitu, kita bisa ciptakan saling pengertian satu sama lain,” katanya. (IAM)

Sumber: Kompas, Sabtu, 4 Agustus 2012