Sunday, November 25, 2012

Membaurkan Gradasi Sejarah

-- Beni Setia

BANYAK mata acara di Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2012, meskipun fokus utamanya mengarah pada ?Musyawarah Agung Penulis Cerita Silat dan Sejarah Nusantara?, yang diselenggarakan di Awadana Manohara Hotel, Borobudur, Magelang, 28?31 Oktober. Acara di mana para penulis bertemu. Kreator--menurut Yoke Darmawan--tak habis-habisnya mengeksplor berbagai kenyataan dengan mengaktifkan imajinasi. Si yang mengamati, mengumpulkan bahan-bahan dengan riset dan melihat dunia?baik hari ini, di masa silam, bahkan yang dibayangkan mungkin ada di masa depan?bersua. Namun, apa terjadi silaturahmi di antara para kreator itu?

Ternyata kekayaan imajinasi yang mengolah hal yang serba memungkinkan itu terkendala kendali yang dirumuskan sebagai tema Musyawarah. Aspek (cerita) silat itu membatasi sehingga fakta sejarah jadi seberapa jauh itu bisa dijadikan seting lokasi dan postulat tokoh yang senang berkelahi.

Selain itu, mengekslusifkan penerbit yang mau terlibat dalam acara?setidaknya di launching buku. Yang menyebabkan adanya pembicara berlatar belakang ilmu sejarah atau pelaku penelitian pada situs, dokumen, dan cerita (lisan) sejarah secara ilmiah dengan acuan akademik ketat, pun ada penafsir sejarah pengobral imajinasi yang memainkan fantasi ketimbang validasi fakta sejarah.

Pendekatan yang berbeda melahirkan asumsi serta hipotesa kebenaran sejarah yang bergradasi dan melahirkan teks yang sangat lain, yang terkait apa itu buku fiksi dan sejauh mana fiksi membiaskan fakta sejarah, dan apa itu buku fakta dan seberapa kuat fakta itu didukung referensi sahih.

Namun, gradasi itu tidak digarisbawahi, sehingga?selain inflasi kualitas narasumber?terjadi inflasi kualitas buku yang didiskusikan, serta (akhirnya) merontokkan minat peserta akan diskusi yang berlangsung. Minimal ada gap antara yang didiskusikan di ruang seminar, yang merujuk ke karya jadi?Api di Bukit Manoreh, karya S.H. Mintardja, peraih Sang Hyang Kamahayanikan Award 2012, atau Bende Mataram karya Herman Pratikta?,atau karya baru dan sedang diuji pembaca?terutama di forum launching buku dan merujuk ke penulis baru.

Ada semacam kehausan akan pengakuan yang dieksplisitkan. Ada kecemburuan terhadap apresiasi yang telah termanifestasikan jadi kuatnya pengakuan (masyarakat) pembaca atas karya yang dipublikasikan. Semacamn kemarahan, yang berangkat dari asumsi ego kreator yang merasa sama-sama cuma mengolah imajinasi meskipun memakai postulat seting sejarah berbeda, yang merasa bahwa apa pun yang ditulis S.H. Mintardja dan Herman Pratikta tidak jauh berbeda dengan apa yang ditulisnya?bahkan imajinasi dirinya lebih liar. Sekaligus lupa, bahwa menulis itu?sesuai hukum story telling yang merujuk pada seni meyakinkan orang lain yang kini banyak dieksplor salesman?cara untuk meyakinkan pembaca, yang amat tergantung dari apa kualitas dari pembaca.

Pembaca buku silat terlatih, misalnya, sesuai acuan resepsi dari Jauss, terbiasa menjadikan Sin Tiauw Hiap Lu, To Liong To, Soh Sih Kiam, Pendekar Super Sakti, Bende Mataram, atau Nagasastra Sabukinten sebagai standar. Pencinta sejarah akan bersikukuh dengan fakta sejarah dan menolak penafsiran fiksionalistik liar bersidasar superiorias etnik. Dan pengejar sensasi akan puas dengan kelebatan nonsens?terlebih bila dibumbu seksualitas. Lantas di mana tempat pengobral sensasi bertemu dengan si pencari validitas fakta dan dokumen sejarah? Di mana ruang temu dari pengapresiasi kemasifan fakta atau dokumen sejarah dengan penyesap imajinasi liar? Di mana ruang kompromi apresiator akademik fakta sejarah dengan penceracau fantasi?

Ada kecenderungan yang berawal dari toleransi yang bermuara dalam simpati, seperti yang terjadi pada pembicara tertentu di sesi terakhir musyawarah yang betema Napak tilas nusantara. Dan terkadang bermuara pada sikap antipati ekstrem karena merasa ada kekeliruan mendasar dalam pemanfaatan sumber referensi dari penulisan silsilah, atau terhadap sikap arogan bahwa imajinasi pengarang adalah segala-galanya?lupa kalau Roland Barthes sudah menghilangkan pengarang dari teks, sehingga sang pembaca jadi raja atas teks dan bisa semena-mena memperlakukannya. Gradasi itu tak terseberangi, meskipun telah ketat dirumuskan oleh steering committee.

Gagal disipadupadankan dalam seminar serta diskusi selama launching buku di Dunia Tera, padahal hal itu yang sebenarnya ingin dijembatani sehingga terlahir genre cerita silat dan sejarah Nusantara yang berkualitas?seperti diharapkan panitia dengan istilah sastra silat dan sastra sejarah Nusantara itu. Meskipun?ini yang penting?langkah telah dimulai, dan jejak pun tertera?minimalnya sebagian makalah terdokumentasi di buku Memori dan Imajinasi Nusantara: Musyawarah Agung Penulis Cerita Silat & Sejarah Nusantara, Samana Foundation. Magelang, 2012. Dan di tahun depan panitia menjanjikan tema Spices and maritime, yang lebih besar serta siap menayangkan aura trauma kolonial di Nusantara.

Beni Setia, pengarang

Sumber: Lampung Post, Minggu, 25 November 2012

[Buku] Memotret Keberagamaan Islam di Rusia

Data buku

Geliat Islam di Rusia, Catatan Diplomat Indonesia 

M. Aji Surya dan Frasminggi Kamasa

Buku Kompas, Jakarta

I, Juli 2012

xvi + 288 halaman


PERNAHKAN terbesit keinginan mendalami keberagamaan Islam di Rusia? Sebagian orang mungkin enggan menyambut tawaran itu, seiring dengan adanya stigma negatif yang dulu pernah melekat pada Rusia (dulu Uni Soviet) sebagai negara komunis, ateis, dan amoral. Namun, bagi sebagian yang lain, mendalami Islam di Rusia justru merupakan sebuah keunikan sekaligus tantangan tersendiri. Inilah yang pernah dibuktikan M. Aji Surya dan Frasmiggi Kamasa, penulis buku ini.

Rusia dulu dengan kini sangat jauh berbeda. Rusia sekarang justru dikenal sebagai salah satu negara Eropa yang sangat menjunjung tinggi etika, moral, demokrasi, dan bahkan pluralisme. Rusia kini juga dikenal sebagai negara yang memiliki penduduk muslim yang cukup banyak, yakni sekitar 25 juta jiwa, dan telah memiliki kurang lebih hampir 7.000 masjid, ratusan sekolah dan beberapa universitas Islam terkemuka. Rusia juga resmi tercatat menjadi observer di Organisasi Konferensi Islam (hal: xiv).

Kehadiran buku Geliat Islam di Rusia ini bermaksud mendedah sisi-sisi keunikan dan kemenarikan Islam di Rusia dalam aspek ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Buku ini sebenarnya merupakan hasil catatan harian penulis selama pernah menjadi diplomat di Negeri Beruang Putih yang sebagian sudah diterbitkan di media massa. Namun, karena tema-tema yang disuguhkan menarik dan belum banyak orang yang mengetahuinya, buku ini pun diterbitkan.

Dalam buku ini, Aji Surya menyuguhkan judul-judul menarik seputar kehidupan keberagamaan muslim di Rusia. Setidaknya, ada sekitar 30 judul catatan yang dapat membuat penasaran pembaca. Diantaranya, ada fenomena ngabuburit di lapangan Merah, Demografi dan Proposal Poligami, Pergi Haji Naik Pesawat Pribadi, hingga Aji pun pernah bertemu dengan ?cicit? Nabi Muhammad yang masih hidup hingga kini, dan lain sebagainya. Semua itu disajikan secara detail dan bernas dalam buku ini.

Di Rusia, Islam adalah agama terbesar kedua yang sangat dihormati dan dijunjung tinggi oleh masyarakatnya setelah Kristen Ortodoks. Islam di Rusia menjadi agama teladan bagi agama-agama lain.

Salah satu bukti fenomena riil adalah tak adanya kernet atau kondektur yang secara khusus menarik uang bagi yang naik angkot. Semua menyerahkan uangnya secara estafet langsung kepada sopir. Mereka saling percaya dan menjunjung tinggi prinsip kejujuran serta kerja sama antarsesama. Kejujuran di era sekarang ibarat barang mahal dan mewah. Pertanyaannya, muslim sekelas Rusia saja bisa menerapkan kejujuran dalam membayar ongkos angkot, tapi bagaimanakah dengan saudara muslim kita di Indonesia?

Ada fenomena lain yang luar biasa, mayoritas muslim Rusia, termasuk orang miskin sekalipun, berkeinginan besar untuk dapat pergi haji ke Baitullah. Pelbagai upaya pun dilakukan pemerintah Rusia untuk mendukung demi terlaksananya haji. Bahkan, saking perhatiannya pada rakyat yang papa, Suleman Kerimov, pengusaha minyak ternama di Rusia, pun mengagendakan hampir setiap tahun memberikan haji gratis kepada 2.500?3.000 orang miskin. Masing-masing mereka mendapatkan 2.800 dolar AS. Uniknya, agar perjalanan bisa berjalan lancar dan efisien, para jemaah calon haji difasilitasi dengan pesawat pribadi milik si miliuner muslim tersebut (hal: 204). Ini menunjukkan betapa sangat pedulinya muslim Rusia yang kaya terhadap yang papa.

Selain itu, berbagai kegiatan religius di Rusia pun sering digalakkan, diskusi-diskusi agama kini mulai merebak, masjid-masjid selalu ramai jemaah. Bahkan, terkadang saat salat idulfitri atau salat jumat tiba dan masjid tak mampu memuat jemaah, terkadang mereka pun terpaksa harus salat di pinggir jalan raya, trotoar, dan lain sebagainya. Mereka tidak lagi peduli apakah mendengar khatib berkhotbah atau bacaan imam. Dan mereka pun tak terlalu peduli arah kiblat yang tepat, atau tak peduli dengan dinginnya udara yang terkadang mencapai minus 10 derajat Celsius. Baginya, menghadap Tuhan dengan kesungguhan hati dan keimanan jauh lebih penting.

Dari pelbagai bukti fenomena tersebut, bisa dibilang Islam di Rusia sedang mengalami masa kebangkitan yang luar biasa. Rusia kini telah menjelma menjadi pusat peradaban Islam terpenting di Eropa. Dan, dengan buku inilah Aji Surya dan Frasminggi Kamasa mampu memotret keberagamaan Islam di Rusia sekaligus membuktikan geliat Islam di Rusia secara nyata. n

Ammar Machmud, penikmat buku, tinggal di Kudus, Jawa Tengah

Sumber: Lampung Post, Minggu, 25 November 2012

Deklarasi Hari Puisi Dapat Sambutan Hangat

BANDAR LAMPUNG -- Deklarasi Hari Puisi Indonesia di Pekanbaru, Riau, dilakukan oleh para penyair dan seniman dari berbagai daerah mendapatkan sambutan hangat dari berbagai pihak.

Menurut penyair asal Lampung, Isbedy Stiawan ZS yang juga ikut mendeklarasikan Hari Puisi pada Kamis (22/11) malam itu, saat dihubungi di Bandarlampung, Minggu, menegaskan bahwa deklarasi itu diniatkan untuk memualiakan puisi di Indonesia.

"Kalau tak penyair yang memberi penghormatan puisi, siapa lagi akan memuliakan puisi," kata dia.

Isbedy mengutip ungkapan Rida K Liamsi, penyair Riau sekaligus inisiator-konseptor Deklarasi Hari Puisi di Pekanbaru, Hari Puisi yang dideklarasikan Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri bersama penyair yang diundang dari Papua hingga Aceh jatuh pada hari kelahiran Chairil Anwar, 26 Juli.

"Penyair lebih dulu yang menghargai, menghormati, dan memualiakan puisi," kata Rida, seperti disampaikan kembali oleh Isbedy.

Deklarasi Hari Puisi Indonesia, berisi antara lain Indonesia dilahirkan oleh puisi yang ditulis secara bersama-sama oleh para pemuda dari berbagai wilayah tanah air.

Puisi pendek itu adalah Sumpah Pemuda.

Ia memberi dampak yang panjang dan luas bagi imajinasi dan kesadaran rakyat nusantara.

"Hari Puisi sebagai momentum bertemu penyair dan merayakan puisi guna memuliakan puisi," kata Rida K. Liamsi.

Para penyair yang diundang untuk mendeklarasikan Hari Puisi terbatas untuk mewakili provinsi/daerah. "Ini hanya soal anggaran untuk mengundang sebanyak penyair," kata Isbedy pula.

Dengan adanya Hari Puisi kita berharap dapat menempatkan puisi untuk dihormati. Sutardji menegaskan, bangsa yang besar adalah yang menghormati jasa-jasa pahlawannya. Tetapi, kata Sutardji lagi, kenapa tidak pada saat ini kita ikrarkan bahwa bangsa yang besar ialah bangsa yang berbudaya.

Gubernur Riau Rusli Zainal menyambut Deklarasi Hari Puisi yang dibacakan Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri, didampingi para penyair Indonesia, di Anjungan Seni Idrus Tintin, Pekanbaru.

Sambutan hangat Gubernur Riau itu, akan ditindaklanjuti dengan mewajibkan kepala daerah se-Riau agar merayakan Hari Puisi yang ditetapkan 26 Juli mengacu tanggal kelahiran Chairil Anwar.

"Menariknya lagi, Gubernur Riau Rusli Zainal juga membacakan puisi 'Cintaku Jauh di Pulau' karya Chairil Anwar sebagai bukti ia menyambut positif penetapan Hari Puisi. Dia membaca untuk penutup pada saat pukul 23.00 WIB," kata Isbedy pula.

Rida K Liamsi, salah satu inisiator-koseptor Hari Puisi mengharapkan, adanya Hari Puisi maka kita bisa memuliakan dan menghargai puisi di Indonesia.

Hari Puisi ditetapkan pada 26 Juli mengacu kelahiran Chairil Anwar.

"Chairil adalah penyair fenomenal, dikenal dari Aceh hingga Papua. Itu sebab dasar pilihan tanggal Hari Puisi," kata Isbedy menyampaikan hasil Musyawarah Penyair Indonesia di Hotel Grand Elite Pekanbaru itu pula.

Mulai tahun depan, perayaan Hari Puisi akan dilaksanakan serentak di kabupaten/kota di Provinsi Riau.

"Gubernur Riau sangat berharap momentum deklarasi di bumi Melayu ini didengar pemerintah pusat,lalu ditetapkan pada 26 Juli," kata Isbedy lagi.

Para penyair yang tampil pada Malam Puisi dan menandatangani deklarasi antara lain D Kemalawati (Aceh), Hasan Albanna (Sumatera Utara), Fakhrunnas MA Jabar (Riau), Hasan Aspahani (Kepri), Anwar Putra Bayu (Sumatera Selatan), Isbedy Stiawan ZS (Lampung), Bambang Widiatmoko, Jamal D Rahman (Jakarta), Pranita Dewi (Bali), Micky Hidayat (Kalses), John Manaru (Papua) dan lain-lain.

                                          Hargai Budaya

Penyair Sutardji Calzoum Bachri menegaskan bahwa bangsa yang besar harus menghargai kebudayaan, dan bukan hanya menghargai para pahlawan.
 
Pernyataan Presiden Penyair Indonesia dilontarkan saat Musyawarah Penyair di Pekanbaru, Riau, Kamis (22/11).
 
Kegiatan serangkaian Malam Puisi dan Deklarasi Hari Puisi Indonesia.
 
Menurut Sutardji, Hari Puisi diperlukan oleh bangsa ini.
 
"Namun soal tanggal dan bulan, silakan saja," kata dia.
 
Kelahiran Chairil Anwar sebagai Hari Puisi Indonesia karena kepenyairan Chairil sudah dikenal hingga Papua, dan ia merupakan tonggak perpuisian Indonesia.
 
Meskipun soal tanggal ini mengundang perdebatan dalam Musyawarah Penyair Indonesia, namun mayoritas peserta menyetujui 26 Juli sebagai Hari Puisi Indonesia.
 
"Kalau egois ke-Riau-an, saya lebih setuju hari lahirnya Sutardji atau Raja Ali Haji. Tapi kita bicara keIndonesian, maka sangatlah pas jika ditetapkan tanggal kelahiran Chairil," kata Marhalim Zaini, penyair asal Riau.

Sumber: Antara, Minggu, 25 November 2012

[Artikulasi] Sinergi dan Silahturahmi Para Pengarang

-- Utami Diah Kusumawati

SINERGISME sastra diperlukan dalam mewujudkan pembangunan nasional. Hal itu diungkapkan oleh budayawan sekaligus sastrawan Radhar Panca Dahana dalam acara jumpa pers dan bincang-bincang sastra bertajuk "Sinergi Sastra Indonesia" yang diadakan di Galeri Cemara, Senin (12/11).

"Sastra butuh bersinergi, baik antara pengarang sendiri ataupun dengan bidang lain di luar sastra untuk berkontribusi bagi pembangunan nasional," ujarnya.

Menurut Radhar, yang juga mendirikan forum Bale Sastra Indonesia dan Mufakat Budaya, dibutuhkan sebuah semangat dan kesadaran baru di kalangan pengarang untuk berani menyatukan dirinya sebagai alat atau cara mereka membela diri dari tekanan yang represif terhadap dunia kepengarangan. Hal itu salah satunya bisa dilakukan melalui pembentukan forum dan asosiasi pengarang, yang mempersatukan berbagai kalangan atau komunitas sastra, yang kini masih tersegregasi oleh berbagai kepentingan yang individualis dan pragmatis.

"Saat ini, silahturahmi yang positif antara para sastrawan sangat rendah jika dibandingkan dengan era sekitar tahun 1940-an. Pada tahun itu terdapat kekuatan literer yang bisa mendukung tujuan kebangsaan kita. Saat ini, semua itu semakin melemah, sebagian karena represi dari luar tetapi sebagian persoalan internal juga," ujarnya.

Persoalan-persoalan sastra semacam itu dibahas dalam acara Pertemuan Pengarang Indonesia (PPI) yang diadakan selama tiga hari (25 hingga 27 November 2012) di Benteng Fort Rotterdam, Makassar. Acara ini mengundang para pengarang, baik muda ataupun tua dari seluruh Indonesia sejumlah 150 orang. Menurut Ketua Pelaksana, Kurnia Effendy, atau akrab dipanggil Kef acara ini terutama bertujuan sebagai ajang silahturahmi para pengarang untuk berkomunikasi mengenai visi mereka dalam dunia kepengarangan Indonesia.

"Nanti akan terdapat pementasan monolog, dongeng, pembacaan puisi, kunjungan ke beberapa tempat yang mengisahkan sejarah sastra Indonesia, serta sidang pleno yang terbagi atas grup kerja dan membahas beberapa topik seperti potensi estetika lokal dalam sastra Indonesia, pertemuan kutub-kutub pemikiran antarkomunitas, hingga sinergi sastra," katanya merinci jadwal acara.

Dia berharap nantinya kegiatan ini mampu mendorong sebuah langkah aksi dan pembentukan forum asosiasi pengarang yang mewakili kawan-kawan di daerah. Sementara itu, Toety Heraty, penulis sekaligus doktor bidang filosofi, mengatakan, pengarang membutuhkan lingkungan yang mendukung proses kreativitasnya. Proses kreatif tersebut termasuk menyerap kekaryaan secara mendalam dan mampu menangkap kepekaan dan nuansa yang bagi orang lain tidak mampu diselami secara batiniah.

"Saya pikir pengarang butuh ruangan bagi dirinya sendiri untuk berkreasi dan mencipta karya tulis. Akan bagus kalau bisa disediakan sebuah tempat di mana para pengarang ini bisa mengarang atau menulis puisi tanpa terganggu dunia luar," ujar perempuan yang rajin mengikuti berbagai festival ini di antaranya Festival Penyair Internasional dan Iowa Writing Program.

Abdul Hadi WM, sastrawan, filsafat, dan budayawan Indonesia, mengatakan, dunia sastra Indonesia saat ini mengalami krisis kritik sastra bahkan kekosongan kritik sastra. Padahal, untuk bisa terus hidup di tengah masyarakat, kritik sastra dibutuhkan. Oleh karena itu, dia berharap melalui acara ini bisa juga mendorong kembali bergeliatnya kritik sastra. Apa lagi kalau orang sekaliber HB Yassin muncul saat ini ya Pak. Sang Paus Kritikus Sastra ini memang belum ada gantinya hingga kini.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 25 November 2012

[Artikulasi] Mari Menulis

-- Utami Diah Kusumawati

Menulis kini bukan lagi wewenang para profesional seperti sastrawan dan wartawan. Orang awam pun bisa menulis asal ada kemauan. Bagaimana dengan Anda?

ANDA tertarik untuk menulis? Jangan ragu, menulis saja. Kini banyak contoh orang awam seperti karyawan, ibu rumah tangga, dosen, pengusaha, membuat buku ataupun novel. Siapa pun kini bisa membuat karya tulis dengan cara dan kemampuannya masing-masing. Tentu saja jangan membandingkan tulisan para orang awam tersebut dengan karya para sastrawan. Namun, membaca dan mempelajari hasil karya mereka tentunya tidaklah dilarang, malah justru bagus untuk membantu meningkatkan kualitas tulisan kita.

Oka Rusmini, misalnya, yang terkenal dengan gaya penceritaan yang mengalir dan terutama membahas persoalan perempuan. Atau Clara NG yang lebih banyak mengeksplorasi tentang kisah persoalan manusia urban - kontemporer. Dia termasuk produktif menghasilkan karya novel dan aktif di sastra cyber.

Ada pula Okky Madasari (28) yang telah menyelesaikan dua novelnya, "Entrok" dan "86" yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Okky awalnya bekerja sebagai wartawan di salah satu koran nasional di Jakarta. Namun, setelah menikah, atas dorongan dan dukungan suaminya ia memutuskan untuk fokus menulis novel dan keluar dari tempat bekerjanya. Di salah satu halaman novel pertamanya, Okky menulis bahwa ide novel pertamanya berasal dari keluarga besarnya di Magetan, tempat dia pertama kali belajar tentang kesetaraan dan toleransi. Dia juga menyatakan, banyak belajar tentang kesewenang-wenangan, ketidakadilan, dan kekerasan selama menjalani kerjanya sebagai wartawan. Pada awalnya dia menulis novel pertamanya untuk teman-teman dekatnya dan para pembaca setia blong-nya.

"Bisa selesai nulis novel tuh rasanya lega banget," kata Andina (27).

Andina ditemui usai acara "Bincang Tokoh DKJ" di Taman Ismai Marzuki Jakarta, beberapa waktu lalu. Perempuan ini akhirnya berhasil menyelesaikan novelnya yang pertama dan mengirimkannya untuk disertakan dalam lomba Penulisan Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2012. Meski dia tidak menargetkan menjadi juara, tetapi lomba tersebut baginya merupakan perayaan karena telah berhasil menyelesaikan apa yang telah dia mulai, yakni menulis novel perdananya. Andina mulai menulis novelnya sekitar setahun lalu. Sempat terhenti akibat kesibukan kerjanya sebagai wartawan. Namun, akhirnya kerja kreatifnya selesai juga pada bulan Agustus tahun ini.

Sedangkan Wa Ode Wulan Ratna, cerpenis yang mendapatkan penghargaan Khatulistiwa Literary Award untuk kumpulan cerita pendek berjudul "Cari Aku di Canti" pada tahun 2008 mengatakan, dia berhasil menyelesaikan lima belas cerita pendeknya tersebut dalam waktu setahun. Sebelumnya ke-15 cerpennya itu telah diterbitkan di beberapa media dan memenangkan beberapa sayembara cerpen. Khatulistiwa Literary Award sendiri merupakan sebuah penghargaan sastra yang digagas oleh Richard Oh dan diberikan kepada cerpenis, penyair, dan novelis.

Wa Ode, yang juga bekerja sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta, mengatakan, dia menulis di sela kegiatannya sehari-hari yang sibuk.

"Aku menyiasatinya dengan banyak membaca buku berisi topik tentang hal-hal yang ingin kutulis dalam ceritaku saat mengajar dan mengurus kegiatan, di antaranya tentang HAM, Melayu, dan edukasi. Sementara saat libur bekerja, barulah aku menulis. Sebenarnya menulis itu proses yang sangat cepat kalau kita sudah tahu apa yang mau ditulis. Jika mengalami kebuntuan, biasanya disebabkan oleh pengetahuan baca yang kurang," katanya seperti memberi kiat.

Wa Ode mengatakan, dibutuhkan disiplin khusus untuk menyelesaikan sebuah tulisan. Dia misalnya menyisihkan waktu pada bulan puasa - di mana biasanya volume pekerjaannya jadi lebih sedikit - khusus untuk menulis.

Senada denganWa Ode, WidaWarida, cerpenis dan penyair asal Jawa Barat, yang juga seorang ibu rumah tangga mengatakan, dia menyisihkan waktu saat malam- saat anak-anaknya sudah terlelap - untuk menulis. Dia biasa menulis tepat pukul 12 malam hingga saat siang, sebelum kembali memulai pekerjaan domestik dan mengurus anak.

"Dulu waktu saya belum menikah, saya punya banyak waktu untuk menulis. Saya juga sering pergi keluar dengan teman-teman untuk berdiskusi, sehingga banyak pengetahuan dan motivasi untuk menulis," kata perempuan yang telah menghasilkan karya cerpen berjudul Perempuan dalam Reruntuhan Musim dan Pada Lelaki Harian Rimba ini.

Wida mengatakan, ada perubahan waktu yang dialaminya sebelum dan sesudah menikah. Dia mengaku sempat mengalami demotivasi menulis usai menikah. Hal itu disebabkan oleh rutinitas dan lingkup pergaulan domestik yang mengurangi waktunya untuk menulis. Dia, yang tadinya disibukkan oleh lingkup aktivitas diskusi, kini sibuk mengurusi anak, memasak, merapihkan rumah dan melakukan pekerjaan dosmetik lainnya setiap hari. Hal itu ia rasakan sempat membatasi ruang kreatifnya.

"Tetapi, akhirnya saya berpikir saya mesti mencari cara untuk kembali bisa menulis. Saya tak bisa hanya diam di rumah tanpa menghasilkan karya," katanya.

Akhirnya, ia mengatur waktunya. Jika pagi hingga (awal) malam dihabiskan untuk pekerjaan domestik, maka (larut) malam hingga siang - waktu di mana dia terbebas dari urusan domestik -- dihabiskannya untuk menulis. Untuk menambah pengetahuannya, dia banyak membaca buku dan bergabung dengan komunitas menulis -- Komunitas Ibu Doyan Nulis-- yang memberikannya peluang untuk mengirimkan karya. Komunitas menulis tersebut kemudian membuka seleksi pengarang untuk membuat antologi bersama.

"Meskipun jadi ibu rumah tangga, kalau rajin ikutan komunitas menulis, peluang akan banyak terbuka," katanya.

Interaksi Pembaca-Pengarang

Melihat fenomena munculnya penulis-penulis baru di masyarakat, Melanie Budianta, pengamat dan kritikus sastra dan dosen dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia menyikapinya secara positif. Menurutnya, generasi penulis sekarang berbeda dengan generasi penulis pada masa lalu. Sekarang adalah era digital, maka penulis era sekarang akrab dengan media sosial seperti twitter, facebook, atau blog. Tantangannya adalah bagaimana bisa memperkaya isi tulisan penulis sekarang dengan melakukan banyak diskusi dan proyek penulisan bersama.

"Sekarang adalah momen kolektif di mana sastra dan tulisan datang dengan berbagai bentuk. Generasi dahulu sebaiknya merangkul generasi muda sekarang untuk menghasilkan tulisan yang jauh lebih berkualitas," katanya memberi saran.

Senada dengan Melanie, Reno Azwir, editor akuisisi dari Noura Books (Mizan Group) mengatakan, penting bagi seorang pengarang untuk mengelola pembacanya melalui situs jejaring social seperti facebook, twitter, linkedln, atau blog. Pasalnya, psikologi pembaca di zaman sekarang berbeda dengan lima tahun lalu. Saat ini, pembaca sudah lebih terbuka terhadap pengarang.Tak jarang, kata Reno, pembaca ‘curhat' di twitter pengarangnya, baik mengenai isi buku atau pun persoalan keseharian mereka. Untuk bisa bertahan di pasaran, Reno menyarankan agar pengarang rajin mengelola pembacanya melalui media digital.

"Peluang untuk menerbitkan buku terbuka luas bagi siapa pun asalkan memenuhi criteria atau visi dan misi penerbitan, memiliki tema kuat dan unik yang tidak dimiliki pengarang lain, ada gaya bahasa yang kuat, hingga karakternya cocok untuk segmen pasar tertentu. Mizan sendiri sebulan bisa menerbitkan sampai 15 naskah. Kami mencari naskah dengan dua cara, berdasarkan kiriman sinopsis atau review oleh pengarang dan mencari lalu menghubungi langsung pengarangnya," ujarnya.

Dia mengatakan, saat ini, bukan eranya lagi pengarang mengirimkan naskah dan menunggu karyanya diterbitkan oleh penerbit. Pasalnya, penerbitan kini memperlakukan sistem yang berbeda pada naskah yang diterima.Kalau dinilai naskah tak berpotensi diterima di masyarakat, penerbit tak segan langsung menolak untuk terbit. Kalau dinilai layak, akan diterbitkan dalam sistem print on demand atau penerbit akan mencetak buku sesuai dengan permintaan pasar. Sistem promosinya melalui website online penerbitan sendiri. Selama beberapa waktu penerbitan lantas akan menilai apakah masyarakat menyukai karya tersebut atau tidak. Jika iya, maka karya tersebut baru akan dicetak menjadi buku. Proses tersebut menuntut pengarang untuk lebih mahir dalam merangkul pembaca dan memasarkan karyanya sendiri.

Jadi, saat ini peluang untuk menulis dan menerbitkan naskah bagi pengarang pemula sebenarnya sangat terbuka, namun era digital menuntut pengarang untuk bisa lebih mandiri dalam merangkul pembaca karya-karyanya sendiri. Nah, kalau Anda memahami hal ini, mengapa tidak segera menulis saja. Mari tulis apa saja yang bisa kita tulis.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 25 November 2012

Pertemuan Pengarang Membangun Kekuatan Sastra di Indonesia

-- Lusiana Indriasari

JAKARTA, KOMPAS.com - Kesusateraan Indonesia belum memiliki kekuatan menghadapi berbagai tekanan sosial di sekitarnya. Sejarah membuktikan kesusasteraan dan para pengarangnya menjadi korban kesewenangan.

Di masa lalu pengarang ditindas oleh penguasa, baik politik maupun militer. Di masa sekarang, kesusasteraan berhadapan dengan kekuatan pasar dan organisasi fundamentalis.

Ketidakberdayaan kesusasteraan dan para pengarangnya disebabkan tidak adanya komunikasi, dialog dan asosiasi yang kuat diantara para pengarang itu sendiri. "Sektarianisme dan komunalisme negatif kian kuat menggejala, sehingga perjuangan sastra secara kolektif sulit terselenggara. Akibatnya setiap pengarang harus berjuang dengan sendiri, bahkan sekadar untuk survive," ujar Radhar Panca Dahana, budayawan dan seniman, Minggu (25/11/2012) di Jakarta.

Pengarang di Indonesia masih terkotak-kotak menurut kelompok, keyakinan dan kepentingannya sendiri-sendiri. Trauma masa lalu ini sampai sekarang masih terus dipelihara.

Sebelumnya, Radhar bersama sastrawan lainnya yaitu Kurnia Effendi, Abdul Hadi WM dan Toety Herawati, menggelar diskusi bertema Sinergi Sastra Indonesia. Diskusi diadakan sebagai pembuka rangkaian kegiatan Pertemuan Pengarang Indonesia (PPI). Pertemuan tersebut diselenggarakan selama tiga hari yaitu 25-27 November di Hotel Aston, Benteng Fort Rotterdam Makassar, Sulawesi Selatan.

PPI dilaksanakan oleh Balai Sastra Indonesia dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tujuannya untuk membangun kembali dialog dan komunikasi di antara pengarang di seluruh Indonesia.

Selain memetakan masalah yang dihadapi pengarang dan dunia kesusasteraan di Tanah Air, PPI diharapkan mampu merumuskan pembentukan asosiasi pengarang. PPI merangkul 150 pengarang dari seluruh provinsi di Indonesia.

Ketua Pelaksana PPI, Kurnia Effendi, mengatakan, pengarang yang diundang ke PPI adalah mereka yang dianggap mewakili daerahnya, baik dari segi genre maupun angkatan pengarang.

Radhar menambahkan, para pengarang bergulat dengan kepentingannya masing-masing tanpa memiliki visi membawa kesusasteraan Indonesia sebagai kekuatan yang bisa membawa kejayaan bangsa. Perpecahan di antara pengarang itu merupakan warisan masa lalu, ketika sastrawan dikotak-kotakkan pada tahun 1960-an, yang "tradisinya" diteruskan hingga sekarang. Mereka tidak beradu pada tataran aliran kesusasteraan, tetapi lebih pada persaingan antar kelompok semata.

Melalui pertemuan, para pengarang diharapkan mampu memetakan masalah yang mereka hadapi selama ini, termasuk soal hubungan dan komunikasi antar sesama pengarang, mengeliminir friksi-friksi, dan membangun kekuatan bersama untuk memajukan kesusasteraan Indonesia.

Toety mengungkapkan, kehidupan pengarang di Indonesia memang belum menjanjikan. Alih-alih menciptkan karya, pengarang sering terbelit masalah untuk menghidupi dirinya sendiri karena mereka tidak bisa hidup dari dunia kepengarangan. Di luar negeri, banyak upaya dilakukan pemerintah negara setempat untuk mendukung kreasi pengarang. Salah satunya memberikan tunjangan hidup kepada pengarangnya.

Abdul Hadi menegaskan, kepedulian negara terhadap pengarang sangat minim. Di negara-negara lain. seperti di Eropa, China, dan India, pengarang menduduki tempat terhormat sejak berabad lalu. Melalui karya-karyanya, mereka ikut mengembangkan kemajuan suatu bangsa.

Penghargaan bagi pengarang dari pemerintah juga sangat minim. Hadiah sastra di Indonesia paling besar hanya sekitar Rp 20 juta, sedangkan di Iran penghargaan sastra bisa untuk membeli tiga mobil mercedez.

Dari pertemuan pengarang, kata Radhar, diharapkan bisa terbentuk asosiasi pengarang. Asosiasi pengarang ini mengurusi hal-hal bersifat non teknis, seperti mengurus asuransi, fasilitasi, mencari pasar, dan lain-lain.

Sumber: Kompas.com, Minggu, 25 November 2012

Sembilu Cinta dalam Sajak ”Bulang Cahaya”

-- Junaidi

BULANG Cahaya lebih terkenal sebagai judul novel yang dikarang  Rida K Liamsi dari pada judul sebuah sajak. Kritikus seperti Maman S Mahayana dan Musa Ismail telah mengulas novel ini. Bahkan Marhalim telah mengangkat novel ini ke dalam bentuk pertunjukkan dengan judul ‘’Opera Bulang Cahaya’’. Saya terusik untuk mengulas ‘’Bulang Cahaya’’ dalam bentuk sajak yang ternyata lebih dahulu ada dari pada novel. Dalam blog pribadi Rida K Liamsi, sajak ‘’Bulang Cahaya’’ terhimpun dalam kumpulan puisi Tempuling. Berdasar catatan pada bagian akhir sajak ‘’Bulang Cahaya’’, sajak ini lebih awal ditulis dari pada novel Bulang Cahaya, yakni tahun 1977/2011. Ini menandakan sajak ‘’Bulang Cahaya’’ sangat penting bagi kehadiran novelnya. Agaknya, sajak ‘’Bulang Cahaya’’ jadi saripati dari novel Bulang Cahaya. Sajak ‘’Bulang Cahaya’’ menjadi ruh dalam penyusunan cerita yang terdapat dalam novel Bulan Cahaya.

Diperlukan energi ekstra untuk memaknai sajak ini karena terdapat kata-kata Melayu lama yang perlu dicarikan rujukannya pada kamus bahasa Melayu. Penggunaan metafora berlatarbelakang Melayu juga membuat saya harus memainkan pikiran pada alam Melayu. Namum, alur pikir yang mantap dan permainan irama yang elok mendorong saya terus berpikir, merasakan dan menulis penafsiran sajak ini. Pembacaan sajak ‘’Bulang Cahaya’’ yang saya lakukan bisa saja beda dengan pembacaan yang dilakukan orang lain. Bahkan penafsiran yang saya buat mungkin beda dengan intensi penyairnya. Ini sangat mungkin terjadi sebab pembacalah yang memaknai suatu karya. Bahkan ketika sajak itu dibaca, pada saat itulah pemaknaan sesungguhnya terjadi. Jadi kita sebagai pembaca punya hak otonomi untuk menafsirkan karya sastra. Penafsiran yang saya lakukan hanya berdasar rujukan yang ada, perenungan dan permainan pikiran. Sepanjang saya mampu memberi justifikasi terhadap penafsiran yang saya buat maka penafsiran itu bisa diterima adanya. 

Proses pembacaan sajak ‘’Bulang Cahaya’’ diawali dengan meneroka judulnya. Judul sajak ini terdiri atas dua kata ‘’bulang’’ dan ‘’cahaya’’. Perlu diingat yang digunakan kata bulang bukan bulan. Tak ada salah ketik di sini.  Kata bulang nyaris tak terdengar penggunaannya dalam bahasa sehari-hari. Mau tak mau, kata bulang harus dilacak maknanya pada rujukan yang ada karena maknanya sangat penting dalam proses pemaknaan sajak ini secara keseluruhan. Rujukan pertama yang bisa dipertimbangkan adalah pengakuan Rida K Liamsi dalam pengantar novel Bulang Cahaya, yakni (bulang cahaya) tak serta-merta merujuk dan menunjuk pada nama tokoh- tokoh dalam novel ini. Tidak juga untuk menandai peristiwa-peristiwa utamanya yang jadi teras novel ini. Judul ini lebih dimaksudkan untuk melambangkan sebuah sisi kehidupan, sebuah percikan waktu dan dinamika hidup, di mana cinta, harapan, dendam, benci dan ketidakberdayaan menyatu dan berbancuh di dalamnya. Bila dilihat pada penafsiran yang ditulis Musa Ismail (Riau Pos, 13 Desember 2009) terhadap novel Bulang Cahaya, kata bulang cahaya merujuk pada dua hal, yakni Kampung Bulang (tempat Tengku Buntat pernah tinggal) dan panggilan kesayangan Raja Djaafar pada Tengku Buntat. Menariknya, sajak ini ditulis sebelum novel itu ada. Sehingga penafsiran bulang cahaya berdasar novel Bulang Cahaya tampaknya tak sesuai diterapkan dalam menafsirkan sajak ‘’Bulang Cahaya’’. Alhasil, kita harus menafsirkannya sendiri.

Rujukan kedua yang mungkin membantu kita untuk menemukan makna bulang dengan melihat Kamus Bahasa Indonesia (2008), yakni: 1. kain dsb yg dililitkan pd kepala; 2 perhiasan dr emas yg dipakai pengantin di kepala; 3 a tali pengika taji; b cara mengikat taji pd kaki ayam sabungan. Tampaknya, arti dalam Kamus Bahasa Indonesia tidak terlalu membantu untuk mencari makna bulang. Rujukan ketiga yang sangat membantu untuk menemukan makna bulang adalah Kamus Dewan (2005), yakni Kamus Bahasa Melayu yang diterbitkan di Malaysia. Dalam kamus ini diperoleh makna yang bisa mengarahkan kita untuk menafsirkan kata bulang, yakni: 1.kain dll yang dililitkan pada kepala a) ikat kepala b) sl [sastra lama] kekasih 2. pengikat taji. Arti kata yang paling mendekati adalah ‘kekasih’, yang dahulunya digunakan dalam sastra lama. Mengapa kata kekasih yang paling mendekati? Bila diamati secara mendalam, puisi ini memang berisikan perasaan mendalam seorang terhadap kekasihnya. Penggunaan kata bulang memberikan kesan bahwa gagasan yang terkandung dalam sajak ini sangat ‘Melayu’ sehingga ketika kita membaca sajak ini kita harus melewati pintu gerbang alam Melayu. Dengan masuk ke alam Melayu, perabaan kita terhadap tanda-tanda yang terdapat dalam puisi ini akan lebih mendekati. Penggunaan kata bulang memberi kesan khas dan tidak klise sebab kata ini sangat jarang digunakan. Pengangkatan kembali kosa kata lama ke dalam karya sastra masa kini menunjukkan ketekunan penyair dalam menggali alam pikiran yang melatarbelakangi penciptaan sajaknya. Selain itu, penggunaan kata lama juga memberikan kontribusi dalam penyelamatan kosa kata tertentu agar tidak punah.

Bagaimana pula makna cahaya yang mengikuti kata bulang? Kata cahaya bermakna percikan waktu. Lebih jelas lagi, cahaya bermakna sepenggal pengalaman cinta yang dirasakan aku lirik terhadap kekasihnya. Kata cahaya menegaskan betapa singkatnya pengalaman cinta itu dan harus pula berakhir dengan perpisahaan. Pengalaman cinta hadir dalam waktu singkat, setelah itu berakhir seperti hilangnya cahaya. Bila hendak ditegaskan, gabungan bulang cahaya bermakna pengalaman jatuh cinta dalam waktu sesaat saja. Artinya, aku lirik merasakan begitu singkatnya cinta. Kenikmatan jatuh cinta yang dirasakan harus berakhir dengan perpisahan antara aku lirik dan kekasihnya.

Puisi ini dibuka dengan gambaran seekor elang putih: Elang putih//berekor panjang//mengigal berahi//di ujung tanjung//mengirim isyarat//ke semua pintu.

Elang putih adalah sejenis burung buas yang memiliki penglihatan tajam dan banyak ditemukan di daerah lautan. Elang putih dikenali punya kekuatan, keberanian dan ketajaman mata. Sosok elang putih menandai seorang laki-laki yang gagah dan perkasa. Dalam sajak ini, elang putih merupakan tamsil seorang laki-laki yang sedang memiliki perasaan cinta yang sangat kuat pada kekasihnya. Sang laki-laki ingin menyampaikan pesan bahwa ia sedang jatuh cinta. Kata mengigal berasal dari kosa kata Melayu dan jarang digunakan dalam bahasa Indonesia saat ini. Ungkapan mengigal berahi mengisyaratkan perasaan cinta yang sangat mendalam. Frasa ujung tanjung semakin memperkuat latar kehidupan laut dalam sajak ini.  Frasa semua pintu mengisyaratkan bahwa elang putih sebagai aku lirik ingin menyampaikan kepada dunia betapa besar cinta kepada kekasihnya.

Pada bait berikutnya aku lirik secara jelas menyampaikan perasaan cintanya: terima cintaku//cinta tak berkeris//cinta tak bersuku//cinta yang tak tersurat//dalam lagu-lagu.

Ungkapan cinta tak berkeris dan cinta tak bersuku menarik untuk ditafsirkan. Kata ini membuat orang berpikir secara mendalam untuk menafsirkannya. Ungkapan cinta tak berkeris bisa ditafsirkan sebagai cinta yang sangat tulus atau cinta yang lurus tidak seperti keris yang berkeluk-keluk. Ketulusan cinta aku lirik semakin dipertegas dengan ungkapan cinta tak bersuku, yang bermakna cinta yang tidak berbagi dengan orang lain. Artinya, cinta aku lirik hanya untuk kekasihnya. Sedangkan ungkapan cinta yang tak bersurat//dalam lagu-lagu merujuk pada ketulusan cinta yang sangat mendalam dan tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata seperti yang terdapat dalam lagu-lagu. Dalam lagu memang sering didengarkan betapa sangat mudah orang mengucapkan kata cinta secara artifisial.

Pada bagian berikutnya, aku lirik terus mengungkapkan perasaannya: Angin berkisar//perahu berlayar//ku dengar sendumu//di ujung sitar. Ungkapan perahu berlayar mempertegas suasana lautan yang melatarbelakangi penciptaan sajak ini. Ungkapan perahu berlayar bertujuan untuk memberikan suasa yang sedih ketika diikuti oleh ungkapan ku dengar sendumu//di ujung sitar. Kata sendu memberikan kesan bahwa kekasih aku lirik juga berada dalam perasaan sedih karena ditinggalkan aku lirik. Dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008) tidak ditemukan kata sitar tetapi dalam Kamus Dewan (2005) kata sitar bermakna sejenis alat bunyi bunyian yang bertali (seperti kecapi).  Bagaimana menafsirkan kata sitar ini dalam hubungannya dengan perasaan sedih? Di sini penyair tampaknya dengan bebas memainkan imajinasinya untuk menyampaikan betapa dramatisnya suasana pada saat kekasih aku lirik sedang bersedih melepas kepergiannya seolah-olah diringi oleh dentingan senar sitar yang khas.

Rasa kehilangan aku lirik terhadap kekasihnya diungkapan seperti layang-layang yang putus benangnya: layang-layang//bertali benang//putus benang//tali belati//cinta ku lepas, cinta ku kenang//cinta sejati, ku biar pergi//hati ku kusut//rindu ku hanyut//berahi ku luput. Perumpamaan layang-layang yang putus benangnya bermakna hilang pegangan hidup atau pujaan hati aku lirik karena harus berpisah dengan kekakasihnya. Dalam bagian ini digambarkan layang-layang bertali benang dengan tali belati. Ini bermakna betapa kuatnnya hubungan cinta mereka seperti kuatnya tali belati. Meskipun talinya kuat, akhirnya putus juga. Aku liriknya mengakui bahwa cintanya telah berakhir tapi ia akan kenang selalu sebagai suatu kisah yang bermakna dalam kehidupannya. Cinta sejati ini harus ditinggalkan meskipun hatinya terasa sedih. Penggunaan kata rindu kuhanyut semakin memperkuat berakhirnya cinta aku lirik. Kesan makna lebih mendalam diungkap dengan kata hanyut. Hilangnya harapan aku lirik untuk hidup dengan kekasihnya diperkuat lagi dengan berahi ku luput. Ada penekanan makna perasaan cinta lagi di sini dengan penggunaan kata berahi.

Kegundahan hati aku lirik disebabkan kehilangan kekasihnya dilanjutkan pada bait berikut ini: Ombak gemuruh//mengobar dendam//membakar hari//mengubur mimpi//mengirim rindu//ke semua pintu.  Ungkapan ombak gemuruh memberikan makna perasaan berkecamuk dalam diri aku lirik dan perasaan sakit hati yang sangat mendalam ditunjukkan dengan ungkapan mengobar dendam. Ada kemarahan dalam diri aku lirik karena berpisah dengan kekasihnya. Ungkapan membakar hari bermakna melenyapkan semua kisah indah yang pernah dirasakan dengan kekasihnya. Selanjunnya, ungkapan mengubur mimpi bermakna hilang sudah harapan aku lirik untuk hidup bersama dengan kekasihnya. Rasa pedih ditinggal kekasihingin dikabarkan aku lirik kepada dunia.

Pada bait berikut ini penyair semacam menyampaikan pedih cinta yang dirasakannya: Inilah cinta ku//ku dulang jadi timah//ku pahat jadi patung//ku rendam jadi rempah//ku gulai bagai rebung//ku simpan duka ku//sampai ke ujung. Tamsil yang digunakan untuk menjelaskan cinta pada bagian ini menarik untuk ditafsirkan. Ungkapan  ku dulang jadi timah bermakna aku lirik telah berupaya merajut cinta dengan kekasihnya dengan perumpamaan melinang atau mencuci biji-biji timah. Mengapa cinta menjadi timah? Agaknya cinta aku lirik telah membeku seperti logam atau timah sehingga tak ada lagi harapan untuk bersama dengan kekasihnya. Ungkapan ku pahat jadi patung bermakna cinta aku lirik dan kekasihnya ternyata tak bergerak atau statis seperti patung. Ungkapan ku rendam cinta menjadi rempah bermakna cinta hilang atau tak tampak lagi seperti zat atau rempah yang telah larut dalam makan sehingga tak tampak lagi. Selanjutnya, ada pula ungkapan ku gulai bagai rebung. Apa hubungannya cinta dengan gulang rebung? Mengapa rebung? Rebung adalah anak (bakal batang) buluh yang masih kecil. Ini bermakna cinta aku lirik belum sampai pada tujuannya tapi sudah putus ibarat rebung yang belum menjadi buluh tapi sudah digulai orang.

Pada bagian akhir bait ini, aku lirik mengakui bahwa ia memendam kesedihan karena berpisah dengan kekasihnya sampai akhir hidup. Bagi aku lirik, kisah cintanya sangat berkesan dalam hidupnya.

Dalam bait selanjunya aku lirik kembali menyampaikan perasaan cinta yang kandas dengan menggunakan kata-kata yang mengandung emosi marah: kemarau menderau//padang kerontang//sedih//pedih//dendam//rindu//sangkak//pantang//sumpah//seranah//jadi barah// jadi luka//sejarah. Kemarau memberikan makna betapa sakitnya hati aku lirik. Menariknya, kemarau diikuti kata menderau. Ini menunjukkan kondisi kontradiktif sebab yang menderau atau berbunyi itu biasa hujan bukan kemarau. Dalam Kamus Dewan (2005) kata menderau bermakna berbunyi seperti bunyi hujan yang dibawa angin. Kontradiksi ini sengaja digunakan untuk mengunggapkan suasana tak menentu atau berkecamuk yang dirasakan aku lirik kerena berpisah dengan kekasihnya. Padang kerontang semakin mempertegas perasaan sedih yang dirasakannya. Kemarahan aku lirik terhadap kondisi yang dirasakannya dapat dilihat dari penggunaan kata sedih, pedih, dan dendam. Tetapi tetap ada kerinduan kepada kekasihnya.

Kegundahan aku lirik diperkuat lagi dengan mengucapkan kata-kata mengandung arti marah dalam bahasa Melayu, yakni sangkak yang bermakna menentang, pantang yang bermakna melarang, sumpah yang bermakna mengutuk-ngutuk, dan seranah yang juga bermakna mengutuk-ngutuk. Bait ini diakhiri dengan gambaran cinta yang sangat menyakitkan dengan ungkapan jadi barah//jadi luka. Barah bermakna nanah dan luka bermakna kondisi yang menyakitkan. Menariknya, semua duka itu menjadi sejarah. Artinya, duka itu menjadi bagian kehidupan yang bermakna, penting dan tentu saja tak bisa terlupakan. Meskipun cinta berakhir duka, ia akan tetap dikenang.

Pada bagian akhir sajak ini, gambaran elang putih kembali ditampilkan seperti pada bagian awalnya. Elang putih//berekor panjang//mengingal sendiri//di ujung petang//mengirim rindu//ke semua pintu. Perbedaan gambaran elang putih pada bagian awal sajak dengan bagian akhir adalah pada bagian awal elang putih mengigal berahi, sedangkan pada bagian akhir ini elang putih mengigal sendiri. Perbedaan ini disebabkan berahi, hasrat, dan rasa cinta telah hilang akibat berpisah dengan kekasih. Suatu gambaran yang sangat elok yang dilakukan oleh penyair untuk menyusun alur pikiran dalam sajak ini. Kemudian sajak ini ditutup dengan ungkapan: kini cinta ku//jadi sembilu. Ini adalah akhir dari kisah cinta aku lirik, yakni cinta yang sangat menyakitkan. Sakitnya cinta seperti diiris semilu yang sangat tajam. Anehnya, meskipun cinta itu menyakitkan orang tetap ingin dan jatuh cinta.

Dr Junaidi, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unilak ini menyukai karya sastra dan kerap menganalisisnya diberbagai media massa. Bermastautin di Pekanbaru.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 25 November 2012

Ikhtiar Mengistimewakan Desa

-- Riza Multazam Luthfy

Sejarah Desa, Sejarah Derita

SEJARAH desa menunjukkan sejarah yang kelam. Sejarah yang penuh dengan gema tangis, nada miris, keluh getir, dan penderitaan. Desa selalu diamini sebagai wilayah kecil dari sebuah negara, yang tidak banyak mendermakan andil dan pengaruh dalam pembangunan.

Ikhtiar mendulang ‘apresiasi’ terhadap desa merupakan hal urgent dalam menyongsong peradaban yang kokoh. Mustahil negara menjadi besar, jika para penguasa di dalamnya enggan memberi kesempatan kepada desa untuk turut ambil bagian dalam menjemput kemajuan. Dengan mengerahkan segala kemampuannya, dapat dipastikan desa bakal menyajikan capaian yang bernas dan memuaskan. Desa akan menunjukkan bahwa dirinya memang pantas dan layak untuk diajak serta dalam rangka mewujudkan kesejahteraan. Sayangnya, desa jarang sekaliatau bahkan tidak pernahmendapat kepercayaan untuk berunjuk gigi. Desa diperlakukan selaku anak kecil yang sama sekali belum mengenyam pendidikan.

Sudah banyak bukti yang tersebar, bahwa kehendak desa untuk tumbuh sering kali pupus, dikarenakan adanya intervensi pihak luar. Lebih dari itu, celakanya, intervensi yang berkelanjutan berubah menjadi otoriterisme. Padahal di manapun, otoriterisme memposisikan pihak penguasa selalu memiliki dalih atau alasan untuk memeras pihak yang dikuasai. Jadilah desa tidak terbentuk sesuai yang diinginkan. Apa yang kemudian terjadi pada desa merupakan hasil rekayasa (buatan) dari kekuasaan di atasnya yang lebih dulu ada. Kekuasaan itulah yang mengatur segala sesuatu mengenai desa. Sehingga, selain menjadi kurang cakap, hal tersebut menyebabkan desa kurang mandiri terhadap persoalan sendiri. Akhirnya desa menjadi pasif sekaligus tergantung kepada keputusan pihak lain.

Di jaman feodal, desa sangat sulit berkembang. Kebutuhan warga yang semestinya dicukupi desa tidak pernah terwujud. Hal ini disebabkan budaya penguasaan tanah desa oleh raja, selaku penguasa dalam kehidupan negara. Teori milik raja (vorstendomein), yang menetapkan bahwa raja adalah pemilik tanah seluruh kerajaan, dengan semena-mena diberlakukan.

Sebagai contoh di Jawa. Untuk menjadi petani saja, seseorang diwajibkan menyewa tanah dari bangsawan atau raja, dengan biaya selangit. Di sinilah terletak ketimpangan yang membabibuta. Tanah yang selayaknya bisa mereka manfaatkan untuk kepentingan sendiri, rupanya disalahgunakan oleh penguasa. Bukan hanya itu. Orang-orang yang bekerja untuk tuan mereka tidak mampu berbuat apa-apa. Karena sedikit saja menunjukkan perlawanan, atau gelagat yang kurang disukai, maka mereka akan menanggung risikonya: dijual kepada tuan lain atau dipasung. Akibatnya, rakyat (petani) merasakan penderitaan luar biasa. Mereka disamakan dengan hamba sahaya: diperas keringatnya, lalu hasil kerjanya dipersembahkan kepada raja. Tak ayal, jika masa panen tiba, orang-orang berduyun-duyun ke kota guna menyerahkan padi, jagung, palawija, serta hasil bumi lainnya untuk dinikmati sang raja.

Di jaman kolonial, nasib desa tidak banyak berubah. Momentum pembaruan desa yang sangat diharapkan, sekadar halusinasi belaka. Hal ini terjadi karena perkembangan desa berada di bawah kungkungan watak kolonial itu sendiri, dimana menurut Kartodirjo (dalam Suhartono, dkk, 2000) kolonialisme mempunyai ciri pokok yang berpangkal pada prinsip dominasi, eksploitasi, diskriminasi, dan dependensi. Proses ekspansi bangsa Eropa untuk mengambil sebanyak-banyaknya rempah-rempahyang pada waktu itu menjadi komoditi penting di pasar Eropamenjadikan desa sebagai lahan basah.

Dengan datangnya penguasa kolonial, tata hidup warga desa tidak menjadi lebih baik, justru sebaliknya, penderitaan yang dialami kian membabibuta. Jika diperhatikan lebih seksama, kolonialisme membawa citra berlawanan. Di satu sisi, para penguasa kolonial hendak membebasakan tanah dari genggaman raja atau kaum bangsawan. Akan tetapi, di sisi lain (dan ini lebih parah), mereka menindas petani demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Dan, semua yang terkandung di desa dikeluarkan secara paksa, untuk dibawa pulang ke Eropa.

Mengistimewakan Desa

Sebenarnya desa mempunyai hak untuk diperlakukan istimewa. Sejak dahulu kala, ‘keistimewaan’ sudah semestinya dilekatkan ke desa. Bersandar pada sejarah lahirnya UUD 1945, Mohammad Yamin (dalam Nimatul Huda, 2005) pernah melampirkan suatu rancangan sementara perumusan Undang-Undang Dasar yang berisi:

Pembangunan daerah Indonesia atas daerah yang besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.

Makna dan pengertian hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa dalam kalimat terakhir di atas belum sempat dibahas dalam agenda rapat-rapat yang digelar BPUPKI. Namun setelah rancangan UUD tersebut ditetapkan oleh PPKI dan diberi penjelasan resmi dalam Berita Republik Indonesia, Penjelasan Pasal 18 menyatakan bahwa volksgemeenschappen, semisal desa, negeri, dusun, atau marga dapat dianggap sebagai daerah bersifat istimewa. Meskipun demikian, ternyata sejarah berceloteh lain. Desa dan sekian volksgemeenschappen lainnya bernasib buruk, sebab tidak pernah dianggap istimewa.

‘’Sejarah derita’’ pada desa tak perlu berulang. Oleh sebab itulah, sudah saatnya desa dikembalikan pada ‘fitrah’-nya. Desa harus diperlakukan istimewa. Dalam rangka mengistimewakan desa tersebut ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

Pertama, seyogyanya RUU Desa didukung oleh semua pihak. Pansus DPR dalam rangkaian kunjungan kerja ke China (pada tanggal 6-12 Juli 2012), tak perlu dicurigai jalan-jalan semata, jika pada akhirnya tim penyusun RUU tersebut mampu memahami konsep kedudukan pemerintahan kabupaten, provinsi, dan pemerintahan pusat di sana.

Kunjungan dengan lokasi tujuan di antaranya Hwangsi, yang dulu tergolong desa termiskin dan kini menjadi desa lima besar terkaya di China, tidak mungkin dipermasalahan jika benar-benar memberikan hasil yang maksimal. Dan lebih dari itu, apa yang dipetik bisa diadopsi dan disesuaikan dalam rangka penyusunan RUU Desa.

Kedua, desa tak boleh lagi dipandang sebelah mata. Desa merupakan kekuatan besar yang menjadi pondasi kemajuan negara. Oleh sebab itu, desa harus diberikan wewenang dan akses anggaran lebih longgar. Dengan demikian, dalam kondisi bagaimanapun, desa dituntut cekatan serta cakap dalam mengelola dirinya sendiri. Selain bisa meringankan tugas pemerintah pusat, hal tersebut secara bertahap dapat menjadikan desa selaku salah satu penyokong ekonomi negara, sehingga perekonomian Indonesia akan semakin membaik.

Ketiga, sayap pergerakan ekonomi mulai dini harus diperlebar ke desa. Bukan saatnya lagi mengandalkan kota sebagai satu-satunya penggerak perekonomian negara. Dengan berbagai permasalahan pada kota, desa -yang notabene mempunyai permasalahan lebih sedikit- merupakan alternatif terbaik untuk membantu menjalankan roda perekonomian Indonesia. Keempat, jenis pekerjaan yang semula hanya ada di kota harus tersedia di desa. Sudah barang tentu pekerjaan-pekerjaan yang cocok dengan demografi dan kultur desa. Jangan sampai dengan meluasnya lahan pekerjaan, permasalahan di desa malah ikut bertambah. Hal ini dalam rangka menghindari semakin banyaknya warga desa berhijrah, memburu kerja ke kota. Lagu ‘’Desa’’ (Iwan Fals): Desa harus jadi kekuatan ekonomi/ Agar warganya tak hijrah ke kota/ Sepinya desa adalah modal utama/ Untuk bekerja dan mengembangkan diri//, tampaknya perlu dihayati dan direnungkan.

Hal kedua, ketiga, dan keempat di atas mustahil dapat terrealisir tanpa adanya langkah nyata dari pemerintah. Mulai sekarang pemerintah harus gencar memberdayakan desa. Karena di desalah sejarah peradaban negara bermula. WS Rendra (1977) pernah berkoar dalam ‘’Sajak Sebatang Lisong’’-nya: Kita mesti keluar ke jalan raya/ keluar ke desa-desa/ mencatat sendiri semua gejala/ dan menghayati persoalan yang nyata//.

Jogjakarta, 2012

Riza Multazam Luthfy, Karya-karyanya dimuat di Kompas, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Suara Pembaruan, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Riau Pos, Radar Surabaya, Malang Post, Radar Malang, Radar Bojonegoro, Sumut Pos, Padang Ekspres, Haluan, Sumatera Ekspres, Jurnal Medan, Analisa, Waspada, Serambi Indonesia, Satelit Post, Basis, Sagang, Sabili, Annida, Okezone.com dan Kompas.com. Ia adalah ahlul mahad Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang. Sedang melanjutkan studi di program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 25 November 2012

Mohammad Yamin, Pencipta Imaji Keindonesiaan

MR Prof Mohammad Yamin SH atau Mohammad Yamin dilahirkan di Talawi, Sawahlunto pada 24 Agustus 1903. Ia merupakan putra dari pasangan Usman Baginda Khatib dan Siti Saadah yang masing-masing berasal dari Sawahlunto dan Padang Panjang.

Ayahnya memiliki enam belas anak dari lima istri, yang hampir keseluruhannya kelak menjadi intelektual yang berpengaruh. Saudara-saudara Yamin antara lain : Muhammad Yaman, seorang pendidik; Djamaluddin Adinegoro, seorang wartawan terkemuka; dan Ramana Usman, pelopor korps diplomatik Indonesia. Selain itu sepupunya, Mohammad Amir, juga merupakan tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Ia merupakan salah seorang perintis puisi modern Indonesia dan pelopor Sumpah Pemuda sekaligus ‘’pencipta imaji keindonesiaan’’ yang mempengaruhi sejarah persatuan Indonesia. Yamin mendapatkan pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Palembang, kemudian melanjutkannya ke Algemeene Middelbare School (AMS) Jogjakarta.

Di AMS, ia mulai mempelajari sejarah purbakala dan berbagai bahasa seperti Yunani, Latin, dan Kaei. Namun setelah tamat, niat untuk melanjutkan pendidikan ke Leiden, Belanda harus diurungnya dikarenakan ayahnya meninggal dunia. Ia kemudian menjalani kuliah di Recht Hogeschool (RHS yang kelak menjadi Fakultas Hukum Universitas Indonesia), Jakarta dan berhasil memperoleh gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum) 1932.

Mohammad Yamin memulai karier sebagai seorang penulis pada dekade 1920-an semasa dunia sastra Indonesia mengalami perkembangan. Karya-karya pertamanya ditulis menggunakan bahasa Melayu dalam jurnal Jong Sumatera, sebuah jurnal berbahasa Belanda 1920. Karya-karya terawalnya masih terikat kepada bentuk-bentuk bahasa Melayu Klasik.

Pada 1922, Yamin muncul untuk pertama kali sebagai penyair dengan puisinya, Tanah Air; yang dimaksud tanah airnya yaitu Minangkabau di Sumatera. Tanah Air merupakan himpunan puisi modern Melayu pertama yang pernah diterbitkan.

Himpunan Yamin yang kedua, Tumpah Darahku, muncul pada 28 Oktober 1928. Karya ini sangat penting dari segi sejarah, karena pada waktu itulah Yamin dan beberapa orang pejuang kebangsaan memutuskan untuk menghormati satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia yang tunggal. Dramanya, Ken Arok dan Ken Dedes yang berdasarkan sejarah Jawa, muncul juga pada tahun yang sama. Dalam puisinya, Yamin banyak menggunakan bentuk soneta yang dipinjamnya dari literatur Belanda.

Walaupun Yamin melakukan banyak eksperimen bahasa dalam puisi-puisinya, ia masih lebih menepati norma-norma klasik Bahasa Melayu, berbanding dengan generasi-generasi penulis yang lebih muda. Ia juga menerbitkan banyak drama, esei, novel sejarah, dan puisi. Ia juga menterjemahkan karya-karya William Shakespeare (drama Julius Caesar) dan Rabindranath Tagore.

Karier politik Yamin dimulai ketika ia masih menjadi mahasiswa di Jakarta. Ketika itu ia bergabung dalam organisasi Jong Sumatranen Bond[3] dan menyusun ikrah Sumpah Pemuda yang dibacakan pada Kongres Pemuda II. Dalam ikrar tersebut, ia menetapkan Bahasa Indonesia, yang berasal dari Bahasa Melayu, sebagai bahasa nasional Indonesia. Melalui organisasi Indonesia Muda, Yamin mendesak supaya Bahasa Indonesia dijadikan sebagai alat persatuan. Kemudian setelah kemerdekaan, Bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi serta bahasa utama dalam kesusasteraan Indonesia.

Pada 1932, Yamin memperoleh gelar sarjana hukum. Ia kemudian bekerja dalam bidang hukum di Jakarta hingga 1942. Di tahun yang sama, Yamin tercatat sebagai anggota Partindo. Setelah Partindo bubar, bersama Adenan Kapau Gani dan Amir Sjarifoeddin, ia mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). 1939, ia terpilih sebagai anggota Volksraad.

Semasa pendudukan Jepang (1942-1945), Yamin bertugas pada Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA), sebuah organisasi nasionalis yang disokong oleh pemerintah Jepang. Pada 1945, ia terpilih sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam sidang BPUPKI, Yamin banyak memainkan peran.

Ia berpendapat agar hak asasi manusia dimasukkan ke dalam konstitusi negara. Ia juga mengusulkan agar wilayah Indonesia pasca-kemerdekaan, mencakup Sarawak, Sabah, Semenanjung Malaya, Timor Portugis, serta semua wilayah Hindia Belanda. Soekarno yang juga merupakan anggota BPUPKI menyokong ide Yamin tersebut. Setelah kemerdekaan, Soekarno menjadi Presiden Republik Indonesia yang pertama, dan Yamin dilantik untuk jabatan-jabatan yang penting dalam pemerintahannya.

Setelah kemerdekaan, jabatan-jabatan yang pernah dipangku Yamin antara lain anggota DPR sejak tahun 1950, Menteri Kehakiman (1951-1952), Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (1953-1955), Menteri Urusan Sosial dan Budaya (1959-1960), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), dan Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961-1962).

Pada saat menjabat sebagai Menteri Kehakiman, Yamin membebaskan tahanan politik yang dipenjara tanpa proses pengadilan. Tanpa grasi dan remisi, ia mengeluarkan 950 orang tahanan yang dicap komunis atau sosialis. Atas kebijakannya itu, ia dikritik oleh banyak anggota DPR. Namun Yamin berani bertanggung jawab atas tindakannya tersebut. Kemudian di saat menjabat Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, Yamin banyak mendorong pendirian universitas-universitas negeri dan swasta di seluruh Indonesia. Diantara perguruan tinggi yang ia dirikan adalah Universitas Andalas di Padang, Sumatera Barat.

Pada 1937, Mohammad Yamin menikah dengan Siti Sundari, putri seorang bangsawan dari Kadingalu, Demak, Jawa Tengah. Mereka dikaruniai satu orang putra, Dang Rahadian Sinayangish Yamin (Dian). Pada tahun 1969, Dian melangsungkan pernikahan dengan Gusti Raden Ayu Retno Satuti, putri tertua dari Mangkunegoro VIII.

Karya-karyanya antara lain; Sampul Buku Muhammad Yamin dan cita cita persatuan, Tanah Air (puisi)-1922, Indonesia, Tumpah Darahku-1928, ‘’Kalau Dewa Tara Sudah Berkata’’ (drama)-1932, ‘’Ken Arok dan Ken Dedes’’ (drama)-1934, Sedjarah Peperangan Dipanegara-1945, Tan Malaka-1945, Gadjah Mada (novel)-1948, Sapta Dharma-1950, Revolusi Amerika-1951, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia-1951, Kebudayaan Asia-Afrika-1955, Konstitusi Indonesia dalam Gelanggang Demokrasi-1956, 6000 Tahun Sang Merah Putih-1958, Naskah Persiapan Undang-undang Dasar-1960, 3 jilid, Ketatanegaraan Madjapahit, 7 jilid.

Sedangkan penghargaan yang diraihnya adalah; Bintang Mahaputra RI, tanda penghargaan tertinggi dari Presiden, RI atas jasa-jasanya pada nusa dan bangsa, Tanda penghargaan dari Corps Polisi Militer sebagai pencipta lambang Gajah Mada dan Panca Darma Corps, Tanda penghargaan Panglima Kostrad atas jasanya menciptakan Petaka Komando Strategi Angkatan Darat.(fed/berbagai sumber)

Sumber: Riau Pos, Minggu, 25 November 2012

Puisi Pendek Lahirkan Indonesia

-- Fedli Azis

Puisi, bagi masyarakat Melayu tidak saja sebagai hasil kesenian, bahkan lebih jauh menjangkau hingga ke alam mistik, sebagai pemeliharaan adat, pengajaran agama, ilmu pengasih, pertahanan, hiburan serta kepercayaan. Puisi cukup mulianya dalam alam masyarakat Melayu tradisional hingga hari ini.



MUSYAWARAH Penyair se-Indonesia, Kamis (22/11) lalu di Kota Bertuah Pekanbaru menghasilkan sebuah gagasan besar dan menjadi tonggak sejarah kesusastraan modern negeri ini. Gagasan itu adalah ditetapkannya ‘’Hari Puisi Indonesia’’ yang nantinya dilaksanakan setiap tahun, tepat di hari lahir Bapak Puisi Indonesia Chairil Anwar, 26 Juli. Lebih membanggakan lagi, gagasan besar itu diusulkan oleh sastrawan Riau dan dideklarasikan pula di Riau. 

Cukup banyak alasan kenapa deklarasi Hari Puisi Indonesia itu dicetuskan di Riau salah satunya, kawasan Melayu ini tidak bisa dipisahkan dari puisi. Bahkan negeri-negeri Melayu masa lampau memiliki kurang lebih 12 jenis puisi yakni pantun, syair, gurindam, nazam, seloka, teka-teki, peribahasa berangkap, teromba, talibun (sesomba), prosa berirama (prosa lirik), bahkan dikir (zikir). Tidak hanya itu, bahasa Indonesia pun berakar dan berasal dari bahasa Melayu Riau yang di masa silam disebut sebagai bahasa lingua franca. Lebih jauh jauh lagi, Indonesia pun dilahirkan oleh puisi pendek pada 28 Oktober 1928 yang tercantum dalam teks Sumpah Pemuda.

Kelahiran Indonesia jauh sebelum lepas dari belenggu penjajahan itu bisa kita lihat dalam perumusan Dekalarasi Hari Puisi Indonesia yang dicetuskan penyair se Indonesia tiga hari lalu. Isi deklarasi secara lengkap bisa dilihat di bawah ini;

Deklarasi Hari Puisi Indonesia
Indonesia dilahirkan oleh puisi yang ditulis secara bersama-sama oleh para pemuda dari berbagai wilayah tanah air.

Puisi pendek itu adalah Sumpah Pemuda. Ia memberi dampak yang panjang dan luas bagi imajinasi dan kesadaran rakyat Nusantara. Sejak itu pula sastrawan dari berbagai daerah menulis dalam bahasa Indonesia, mengantarkan bangsa Indonesia meraih kedaulatan sebagai bangsa yang meredeka.

Bahasa Indonesia adalah pilihan yang sangat nasionalistis. Dengan semangat itu pula memilih menulis dalam bahasa Indonesia, sehingga puisi secara nyata ikut membangun kebudayaan Indonesia. Nasionalisme kepenyairan ini kemudian mengental pada Chairil Anwar yang dengan spirit kebangsaan berhasil meletakkan tonggak utama tradisi puisi Indonesia.

Sebagai rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menganugerahi bangsa Indonesia dengan kemerdekaan dan kesusastraan, sekaligus untuk mengabadikan kenangan atas puisi yang telah melahirkan bangsa ini, kami mendeklarasikan tanggal lahir Chairil Anwar, 26 Juli, sebagai Hari Puisi Indonesia.

Dengan ditetapkannya Hari Puisi Indonesia, maka kita memililki hari puisi Nasional sebagai sumber inspirasi untuk menunjukkan kebudayaan Indonesia modern, literat dan terbuka.


Pekanbaru, 22 November 2012

Sastrawan Riau Rida K Liamsi sebagai pencetus gagasan Hari Puisi Indonesia menuturkan, gagasan itu muncul saat dirinya bersama Agus R Sarjono diundang ke Vietnam di helat Pertemuan Penyair Asia Fasifik beberapa bulan lalu. Mereka terilhami atas upaya Vietnam memuliakan puisi. Di negeri itu, setiap tahunnya dilaksanakan hari puisi dan pesta itu dibuka langsung oleh presiden dan didukung penuh pemerintah daerahnya. Mereka membayangkan pula hal itu terjadi di Indonesia yang juga memiliki sejarah besar dalam dunia perpuisian.

Sepulang dari Vietnam, Rida K Liamsi bertemu kembali dengan penyair-penyair Indonesia lainnya di Korea Selatan di acara pertemuan penyair. Di sana, diskusi dibuatnya hari puisi di Indonesia berlangsung berhari-hari dan mengerucut hingga dibentuklah konseptor dan inisiator antara lain Ahmadun Y Herfanda, Agus R Sarjono, Asrizal Nur, Jamal D Rahman, Kazzaini Ks, Maman S Mahayana dan Rida K Liamsi. Diskusi dan dialog terus berlangsung, baik via e mail, SMS maupun BBM dan telepon.

‘’Di Vietnam puisi mendapat tempat yang mulia. Lalu bersama Agus R Sarjono, saya bawa pikiran itu ke Indonesia dan mendapat respon hangat dari kawan-kawan penyair. Ya kami membayangkan Indonesia juga punya hari puisi dan itu berhasil kita deklarasikan hari ini,’’ ungkapnya.

Agus R Sarjono dan Jamal D Rahman mengatakan, jika Vietnam sangat menghargai puisi kenapa Indonesia tidak. Hebatnya lagi, di sana acara peringatan hari puisi langsung dibuka presidennya. Harapan mereka tentu saja, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang menghargai teks, bukan saja lisan. Sejak dibentuk tim inisiator, mereka bekerja keras untuk Indonesia yang lahir dari sebuah puisi pendek Sumpah Pemuda dan berpuncak pada teks Proklamasi sebagai tonggak kemerdekaan Indonesia. 

Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri asal Riau didaulat 33 penyair membacakan teks deklarasi Hari Puisi Indonesia. Dia juga yang pertama mengatakan teks Sumpah Pemuda dan proklamasi sebagai puisi pada 2010 lalu di Pekanbaru.

Dijelaskannya, kenapa dia mengatakan teks Sumpah Pemuda puisi? Sutardji menegaskan, karena semua kalimat dalam teks Sumpah Pemuda itu adalah ‘imajinasi’. Teks Sumpah Pemuda itu adalah Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia, Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa satu bangsa Indonesia, Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.   

Saat pemuda-pemudi Indonesia mencetuskan Sumpah Pemuda 1928 silam, Tanah Air, bangsa dan bahasa Indonesia itu belum ada sama sekali. Hanya ada Jong Java, Sumatera dan sebagainya.

Begitu juga bahasa yang dipakai dalam pergaulan dan komunikasi adalah bahasa Melayu sedangkan bangsa hanya ada Hindia Belanda dan daerah-daerah di kawasan Indonesia sekarang seperti Sumatera, Jawa dan lainnya. Semua yang belum ada dan bukan realitas itu adalah ‘imajinasi’ dan ‘imajinasi’ adalah unsur utama dari puisi.

‘’Teks Sumpah Pemuda yang dirumuskan para sastrawan zaman itu adalah puisi pendek yang menjadi pemersatu bangsa ini di kemudian hari. Kemerdekaan terwujud pula dalam teks proklamasi. Inilah maha karya puisi yang perlu kita ingat dan hargai sampai kapanpun. Kenapa Chairil Anwar? Karena beliau lebih populer dan total berkesenian dalam hidupnya tapi bukan pula kita mengkultuskannya sebagai dewa tapi sekadar pengingat saja,’’ ulas Sutardji.

Salah seorang penyair Papua Jhon Waromi menegaskan, penetapan Hari Puisi Indonesia ini cukup tepat dan benar. Sebagai bangsa yang besar, Indonesia tentulah harus menghargai sejarah dan kebudayaannya sendiri. Jika Indonesia lahir dari puisi kenapa hal itu tidak dipatenkan menjadi hari penting dalam perjalanan bangsa ini.

Itu pula yang dituturkan Isbedy Stiawan ZS asal Lampung, Anwar Putra Bayu asal Sumatera Selatan, Hasan Albana asal Medan, Leak Sosiawan asal Solo, Capcai Syaifullah asal Jawa Barat, Pranita Dewi asal Bali, Hasan Haspahani asal Kepulauan Riau, Fatin Hamama Rijal Syam asal Jakarta, Asrizal Nur dan beberapa penyair Riau seperti Fakrunas MA Jabbar, Husnu Abadi, Marhalim Zaini dan lainnya.

Baca Puisi

Helat yang diprakarsai Dewan Kesenian Riau (DKR) dan Yayasan Sagang bertajuk ‘’Pertemuan Penyair Nasional dan Deklarasi Hari Puisi Indonesia’’ tersebut, juga menggelar aksi seni dengan acara baca puisi para penyair se Indonesia di Gedung Teater Tertutup Anjung Seni Idrus Tintin, Kamis (22/11) malam. Aksi baca puisi tersebut juga diselingi dengan penampilan lainnya seperti tari dan musikalisasi puisi lewat suara merdu Idawati berduet dengan komposer Arman Rambah dan kawan-kawan. Hadir pula Gubernur Riau HM Rusli Zainal yang ikut ambil bagian membaca puisi karya Chairil Anwar.

Baca puisi diawali dengan pembacaan puisi lima pulau dan dilanjutkan prosesi penandatanganan prasasti teks Hari Puisi Indonesia yang diterima langsung oleh Asisten III Pemprov Riau Joni Irwan untuk disimpan di Museum Sang Nila Utama.

Menariknya, sebelum membaca puisi, Gubri meminta kepada semua bupati dan wali kota se-Riau untuk melaksanakan Hari Puisi Indonesia setiap tanggal 26 Juli dengan menggelar acara kesenian. Ini sebagai upaya untuk lebih memasyarakatkan puisi sehingga para pemuda dan pemudi tahu cara menghargai perjuangan para pahlawan bangsa ini.

‘’Saya meminta, semua kepala daerah di Riau untuk melaksanakan Hari Puisi Indonesia setiap tahunnya,’’ kata Gubri menegaskan.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 25 November 2012

Saturday, November 24, 2012

Sastra pun Membutuhkan Mediasi

-- Herry Firyansyah

KETIKA hendak berkomunikasi dengan pembaca, sastra membutuhkan sarana atau mediasi, yaitu bahasa. Singkatnya, sastra mengguratkan hasil pencarian imajinasi itu dalam rangkaian kata, dan bahasa yang tertata amat indah. Maka, peran bahasa menurut Slamet Mulyana (1964), sangat vital dan tidak bisa dianggap sepele.

    Pertanyaanya kemudian, apakah ada hubungan antara penguasaan bahasa, mutu bahasa dan apresiasi seseorang terhadap karya sastra? Tentu saja ada korelasi yang sangat signifikan. Sebab, kedalaman dan penguasaan bahasa seseorang akan memberinya kemudahan untuk menangkap pesan, pengetahuan, hiburan, atau ancaman yang dibawa teks (termasuk sastra), termasuk kemudahan menyampaikan pengetahuan itu pada orang lain. Maka, benar kata Seno Gumira Ajidarma (2007), bahwa bahasa itu menentukan corak berpikir tentang sesuatu, ekpresi imajinasi, dan pengeta-huan seseorang. Singkatnya, bahasa adalah batas pengetahuan dan batas apresiasi budaya seseorang.

    Fakta itu juga saya alami ketika me-nyimak Emha Ainun Najib (Cak Nun) membacakan karya sastra maupun orasi budaya yang disampaikan setiap malam tengah bulan. Demikian juga ketika mendengar Mustofa W Hasyim, Hamdy Salad, Indra Trenggono, Agus R Sarjono, dan sastrawan lainnya membaca karyanya.

    Para sastrawan dan penyair itu, karena penguasaan bahasa, mampu menangkap pesan teks-baik yang tersurat maupun tidak-secara apik, yang selanjutnya dikomunikasikan kepada audience sastra. Karena penguasaan bahasa pula, audience sekitar saya ada yang menangis terharu, gusar, atau hanya melongo (baca;tak tau apa-apa).

    Dari analisa itu, tepat pendapat Slamet Mulyana bahwa besar kecilnya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra ditentukan oleh penguasaan bahasa. Sayangnya, sistem pendidikan kita tidak menanamkan penguasaan keterampilan bahasa itu pada anak didik. Dus, guru lebih menekankan teori dan pengetahuan bahasa daripada mengutamakan keterampilan berbahasa.

    Dengan kata lain, pengajaran bahasa Indonesia cenderung membawa siswa belajar tentang bahasa daripada belajar berbahasa, aspek kognitif lebih diutamakan daripada aspek psikomotorik.

    Kurikulum pengajaran bahasa, tulis St Kartono (2007), benar silih berganti, mulai dari Kurikulum 1975, 1984, 1994, hingga 2006. Namun demikian, pendekatan pembelajaran bahasa yang mendasari kurikulum itu belum beranjak dari pendekatan struktural menuju pendekatan komunikatif.

    Belum lagi keterbatasan alokasi waktu, di mana untuk SMA hanya disediakan waktu empat jam pelajaran tiap minggu. Bandingkan dengan pelajaran IPA, Matematika, Fisika dan ilmu-ilmu eksak lainnya. Anehnya, kurikulum itu dengan tegas mensyaratkan kenaikan kelas atau kelulusan dengan nilai bahasa Indonesia bukan merah.

    Problem pengajaran bahasa masih diperparah dengan kualitas bahasa Indonesia sendiri, ketika dipersandingkan dengan bahasa dunia lainya. Bahasa kita (Indonesia) tidak mampu menangkap dan menterjemahkan semua letupan atau "ujaran" sastra.

    Fenomena ini dikeluhkan hampir semua sastrawan kita, salah satunya Otto Sukatno CR (2007). Menurutnya, lantara sempitnya perbendaharaan kosokata bahasa Indonesia, sastrawan kita sering meminjam istilah bahasa asing. Akibatnya, produk sastra menjadi elitis karena maknanya hanya diketahui oleh orang-orang tertentu (yang paham bahasa lain). Produk sastra menjadi kehilangan pembacanya sehingga tidak banyak memberi kontribusi pada kehidupan manusia.

    Keterbatasan bahasa kita, semakin terasa tatkala menterjemahkan karya sastra atau pemikiran bahasa lain (Inggris, Arab, Spanyol, Prancis, India dan sebagainya). Naskah asli misalnya hanya sekitar 100 lembar, tetapi begitu diterjemahkan menjadi 200 lembar atau lebih. Karena keterbatasan perbendaharaan koso kata pula, bahasa kita sering memenggal atau mendangkalkan rasa bahasa aslinya. Ketika membaca dan mengapresiasikan karya-karya besar semacam Wordsworth, Mahabarata, Ramayana dan Mary Shelley, mestinya hati kita akan takjub dan bergetar.

    Akan tetapi justru sebaliknya, karya besar itu terasa biasa-biasa saja dan tak mampu menggugah relung batin kita. Ini artinya, bahasa kita boros kata tetapi dangkal makna. Selain aspek pengajaran, problem bahasa juga tidak lepas dari peran politik dan kekuasaan. Pemerintah Orde Baru (orba) misalnya, sering menempatkan bahasa sebagai komuditi kekuasaan yang sering dipolitisi. Orba dengan sistem sentralistik dan totaliter, mengharuskan keseragaman di setiap lini kehidupan, termasuk bahasa. Maka, dikelurakanlah aturan baku penggunaan bahasa yang disebut dengan "Ejaan Yang Disempurnakan" (EYD).

    Di satu sisi, adanya peraturan yang ketat terhadap masuknya berbagai kosokata asing bertujuan meneguhkan identitas kebangsaan kita. Tetapi di sisi lain, aturan itu justru menyempitkan ruang apresiasi bahasa terhadap teks-teks sastra asing.

    Tampaknya, tidak ada pilihan lain bagi kita selain terus membenahi model pengajaran dan kualitas bahasa Indonesia. Pertama, pengajaran bahasa harus menjadi proses pembiasaan berbahasa yang baik dan benar.

    Para guru harus menjadi teladan bagi anak didiknya dalam penguasaan keterampilan berbahasa. Sebab, kebiasaan berbahasa anak didik hanya dapat dibentuk dalam suasana disiplin para guru bahasa Indonesia itu sendiri. Maka, para guru bahasa harus mempunyai kebiasaan membaca, terbuka dengan pemikiran baru, dan membiasakan menulis, sehingga merangsang siswa untuk melakukan hal yang sama.

    Singkatnya, para guru bahasa Indonesia tidak sekadar sebagai pengajar, tetapi juga menempatkan diri sebagai pendidik yang membangun kebiasaan berbahasa para siswanya.

    Kedua, adanya kebijakan pemerintah yang memberi kebebasan bagi para pa-kar bahasa untuk mengkaji dan meneliti unsur-unsur kebudayaan kita sehingga menemukan istilah-istilah, padanan kata atau kosokata yang bisa menterjemahkan berbagai simbol bahasa di dunia.

    Jika bahasa kita tidak terus berbenah, dia tidak akan sanggup menterjemahkan simbol-simbol bahasa dunia, dan dengan demikian tidak akan menjadi alat komunikasi yang efektif. Hanya dengan berbendaharaan kosokata yang lengkap, dan memiliki rasa yang baik atau paling tidak mendekati bahasa aslinya. Hanya dengan itu, penghayatan kita terhadap dunia sastra-yang selalu menggunakan mediasi bahasa-bisa lebih holistik, mendalam dan universal, se-hingga bisa semakin memperkokoh peradaban bangsa ini. Semoga.

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 23 November 2012

Wednesday, November 21, 2012

Petualangan Seno Gumira Ajidarma

-- Monalisa

NAMA Seno Gumira Ajidarma atau SGA mungkin tidak akan mengemuka di dunia sastra kalau puisi pertamanya tidak dimuat di majalah Aktuil.

Seno Gumira Ajidarma (Kompas/was)

"Saya tidak akan terus menulis barangkali, jika puisi pertama saya tidak dimuat di majalah Aktuil," kata Seno, yang sampai sekarang masih menjalani profesi sebagai wartawan dan fotografer.

Remy Sylado, redaktur majalah yang menjadi bacaan wajib anak muda Indonesia tahun 1970-an itu, rupanya punya andil cukup besar dalam mendorong Seno untuk menulis.

Remy meloloskan puisi Seno, yang dia sebut puisi cukup "jelek." Pada masa itu Remy menyuntikkan eksperimen sastra mbeling yang mempengaruhi Seno, yang ketika itu mulai meraba-raba dunia sastra.

"Bung Remy saya kira berpengaruh besar. Dia bisa menghancurkan mitos sastra. Saya mengalami itu, dunia sastra mbeling yang dikembangkan Remy Sylado," kata Seno.

Seno akhirnya malang melintang di dunia sastra Indonesia dengan gaya penulisannya yang khas, meramu kritik politis dengan cerita fiksi yang indah.

Kredibilitas Seno kini tidak diragukan lagi. Sederet penghargaan telah ia terima, termasuk diantaranya Sea Write Awards (1987), Dinny O'Hearn Prize for Literary (1997), serta meraih Khatulistiwa Literary Awards tahun 2004 dan 2005.

Tahun 2012 pria yang lahir di Boston pada 19 Juni 1958 itu juga mendapatkan Achmad Bakrie Awards, namun dia menolak menerimanya.

Esais Damhuri Muhamad menyebut setiap detak napas kepengarangan Seno yang ditemukan pada beberapa karyanya seperti "Saksi Mata", "Penembak Misterius", "Jazz, Parfum dan Insiden" serta "Kematian Donny Osmond" adalah fakta-fakta kisah pembunuhan biadab, juga kekerasan atas nama keamanan, yang dimainkan menjadi deretan prosa.

"Semua itu berubah menjadi tepung imajinasi yang tidak dapat dipilah lagi mana fakta, mana fiksi. Keduanya menyatu, berkelit-kelindan, bersenyawa dalam sebuah adonan bernama cerita," kata Damhuri dalam Bincang Tokoh Dewan Kesenian Jakarta Rabu (14/11) lalu.

Teknik meramu itu tampaknya membuat Seno bebas menghadirkan fakta secara tersirat di tengah kondisi sosial politik yang ingin "membungkam kebenaran."

Seno yang berprofesi sebagai wartawan memilih bicara lewat sastra saat jurnalisme masih dikekang.

Pendekar cerpen

Guru Besar Sastra Universitas Indonesia, Melani Budianta, mengibaratkan Seno sebagai pendekar cerpen Indonesia yang piawai.

"Misinya tidak lepas untuk melakukan kritik terhadap kekuasaan, solidaritas terhadap orang yang terpinggirkan, perjuangan yang sifatnya kemanusiaan tetapi dengan cara yang berbeda," jelas Melani.

Kalau meminjam istilah dunia persilatan, Melani menjelaskan, Seno terlahir dari perguruan sastra tahun 1950-an dan 1960-an.

Seno tumbuh dalam dunia petualangan Karl May, karya klasik "Sebatangkara" oleh Hector Mallot dan "Tom Sawyer" karya Samuel Langhorne Clemens (Mark Twain), serta komik wayang R.A. Kosasih dan komik petualangan Jan Mintaraga.

"Dunia imajinasi yang hingar bingar dan meriah di masa remaja itulah yang membangkitkan gairah imajinasi dan eksplorasi ke dunia mengarang pada diri Seno Gumira Ajidarma," kata Melani.

Imajinasi itu membawa Seno mengembara, menjelajah

Selepas Sekolah Menengah Pertama (SMP), Seno melakukan perjalanan ke Pulau Sumatera selama tiga bulan karena terasuki cerita Karl May tentang petualangan Old Shatterhand dan kepala suku rimba Apache, Winnetou.

Waktu itu Seno belum mengetahui fakta yang kemudian membuatnya kecewa, yakni bahwa cerita Karl May hanya karangan belaka.

Bak pendekar, ia mengembara menelusuri hutan-hutan Sumatera yang masih perawan dan berlumpur, menyaksikan langsung bis-bis yang harus menyeberangi kali dengan getek, rumah-rumah yang masih bisa diangkut, dan menjadi buruh pabrik kerupuk di Medan, Sumatera Utara, selama sebulan.

"Orang dulu bilangnya minggat. Maunya keliling Indonesia tetapi rupa-rupanya pulang lagi," kata ayah fotografer Timur Angin itu.

"Yang didapat banyak, banyak sekali. Seru," kenangnya.

Meski akhirnya kembali lagi ke rumah dan meneruskan sekolah, jiwa petualang Seno terus melesak-lesak.

Putra fisikawan dan pakar energi surya, Prof. MSA Sastroamidjojo, itu pun kemudian memilih jalannya sendiri, berpetualang menjadi seniman.

Setelah puisinya dimuat di majalah Aktuil, ia tertantang untuk mengirimkan puisi ke majalah Horison dan berhasil menembus majalah sastra itu saat berusia 17 tahun.

Gaya khas

Pada usia 19 tahun Seno mulai menggeluti profesi wartawan. Saat itu pula dia menikahi Ikke Susilowati dan memantapkan diri hidup di dunia sastra dan jurnalistik, meski dia mengambil jurusan sinematografi di Insitut Kesenian Jakarta (dulu LPKJ).

Cerpen demi cerpen ia garap dan lama kelamaan gaya bercerita khas terlihat dalam karya-karyanya, seperti cerita-cerita untuk Alina, tokoh Sukab, dan romantisme senja.

Menurut Melani, Seno bereksperimen dari satu cerpen ke cerpen lain. Dan dia kadang memainkan cerita yang berbingkai, atau bermain-main dengan majas hiperbola dan metafora dalam imaji dan alur yang penuh kejutan.

"Akhirnya ia menemukan gayanya, gaya Seno yang menjadi ciri khasnya, yang seringkali disebut surealistis. Gaya yang main-main, penuh dengan kritik sosial dan politik," katanya.

Seno, yang sempat menggunakan nama samaran Mira Sato, membebaskan imajinasinya dengan mencoba berbagai wahana.

Ia meluaskan audiensnya lewat karya komiknya atau naskah drama "Mengapa Kau Culik Anak Kami" serta menovelkan film yang sudah jadi, "Biola Tak Berdawai."

"Sifat mbeling-nya pun sampai pada novel tebalnya, Nagabumi, yang kadang bisa membuat kita tertawa tetapi juga jengkel," tambah Melani.

Ratusan karya

Pengembaraan Seno dalam dunia sastra sudah membuahkan ratusan cerpen, 12 antalogi cerpen, delapan novel, tiga komik, dan macam-macam karya lainnya.

Seno, yang menyebut kreativitas menulisnya "tergantung keadaan" dan tidak memiliki ritual khusus untuk menulis, tidak secara khusus mempelajari teknik menulis untuk menghasilkan karya-karyanya.

"Perkara ketrampilan dan teknik, sebetulnya tidak pernah saya sadari bagaimana mempelajarinya kecuali sering menulis saja. Itu tergantung keadaan," ujar Seno.

Saat masih sibuk bekerja di lapangan sebagai wartawan dan hanya punya sedikit waktu untuk menulis, dia akan lebih sering membuat cerita pendek.

Dia membuat novel pertamanya, "Jazz, Parfum dan Insiden," saat dicekal oleh perusahaan tempat dia bekerja.

"Jadi nganggur dan waktunya ada. Itu obsesi saya yang saat menjadi wartawan tidak bisa tersalur," kata seniman berambut gondrong itu.

Seno juga mengaku tidak pernah pusing memikirkan aliran tulisannya, dan apakah tulisannya bagus atau tidak. Dia menyerahkan semuanya kepada pembaca.

Yang pasti dia berkarya seiring dengan pergulatan hidup. Saat dia menjadi penghayat senja yang menganggap senja itu romantis, ia menuangkannya dalam "Negeri Senja" dan "Sepotong Senja Untuk Pacarku."

"Tetapi itu dulu, sekarang tidak romantis lagi. Perhatiannya sudah beda, sudah berubah," kata Seno yang sekarang juga menjadi dosen.

Petualangan Seno sampai sekarang masih berlanjut dan dia akan terus berkarya. "Setiap saat bisa, asal pengen," katanya. (ANT)

Sumber: Oase, Kompas.com, Rabu, 21 November 2012

Sunday, November 18, 2012

Lokalitas, Mutilasi Budaya, dan Multikultural

-- Beni Setia

YANG tersisa dari gaung seminar Wong Jawa Ilang Jawane (Balai Budaya Sudjamiko, Solo, 14-6-2009) itu asumsi dasar dari diskusi. Siapa (orang) Jawa dan apa fenomena kejawaan yang hilang.

INI sekaligus mengingatkan penulis ke satu obrolan di depan Aula Graha Sanusi Hardjadinata (Unpad, Bandung, 21-2-2009) saat peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional (International Mother Language Day). Pas ada teman yang menunjukkan draf kumpulan puisi Sunda, yang akan diterbitkan, dan meminta agar dibuatkan semacam kata pengantar.

Kami spontan memeriksa draf itu, dan tiba satu kesimpulan, bahwa poetika dan rasa bahasa dalam memilih serta menyusun diksi tidak beraroma dan berkepekaan rasa Sunda. Mungkin karena faktor usia si penyair?sekitar 40 tahun?, tak peduli si penyair sengaja mengambil idiom dari teks khazanah budaya Sunda c.q. budayawan Hasan Mustapa dan fakta sosial aktual lokal Masjid Agung Bandung, dan tidak peduli semua puisi itu bergenre sajak bebas.

Bahkan tiba di kesimpulan mengerikan: ada pengaruh pola estetika persajakan asing, ada kata/bahasa non-Sunda yang diserap sebagai kosa kata pinjaman, dan ada aspek sosial-budaya yang tidak eksklusif Sunda tapi sengaja dipinjam sebagai idiom ungkap. Citarasa Sunda dan eksotisme lokalitas hilang, meski komunikatif, karena secara teks tak berbeda dengan puisi berbahasa Indonesia.

Ini terlihat dari munculnya sosok Bob Dyllan, sebagai referensi si penyanyi lagu pop internasional yang menyejarah sebagai ikon si anak muda antiperang di Amerika. Atau, diksi tol sebagai semiotika perampasan hak petani oleh negara yang berambisi membangun tanpa menyejahterakan petani yang faktual tidak lagi memiliki sawah. Tanpa merujuk fakta sejarah di Tangerang, Betawi, dan Bogor di masa kolonial awal Belanda, tentang tanah partikelir yang mengharuskan siapa saja yang lewat di fasilitas jalan di zona itu harus membayar tol, yang melahirkan novel grafis klasik Ganes T.H., Tuan Tanah Kedawung, atau Si Buta dari Gua Hantu. Fakta sejarah yang bila dioplos dengan fakta tol kini akan jadi komposisi derita abadi tanpa penanda merdeka 17/8.

Untuk fenomena bahasa, Wawan Husain cerdas mengajukan sebuah istilah yang menohok kesadaran. Si multi-linguist dan tak sekedar bi-linguist, buat menandai ujud orang Sunda yang tidak mono-linguist terisolasi dalam komunitas dan habitat orisinal?total terpisah dari dunia. Tapi mungkinkah (masih) ada komunitas Sunda (baca: Jawa, karena fokus tulisan ini merujuk ke budaya Jawa) yang hidup dalam satu lost horison?

Komunitas Sunda yang secara ?sadar? memisahkan diri ke dalam kubah eksklusivitas di Sukabumi selatan itu, misalnya, memang masih mempertahankan sistem pertanian dan tradisi asli, tapi mereka juga tak mengisolasi diri di asylum xenophobia. Mereka menerima cara berpakaian lain, cara perniagaan lain, dan alat hiburan terkini c.q. radio, tape, VCD dan televisi?hampir mirip dengan kesadaran berbudaya Samin di sekitar Cepu.

Mayoritas orang Sunda (baca: Jawa) hidup dalam pola budaya berbahasa Sunda (baca: Jawa) di rumah dan dengan teman bermainan semenjak kecil, lantas berbahasa Indonesia saat menempuh pendidikan sejak TK sampai PT?kini malah bahasa Inggris?dan bekerja. Spontan semua referensi berbahasa dan berpikir etis Sunda (baca: Jawa) dipenggal dan direduksi etika dan tertib berbahasa Indonesia yang teramat dominan di kehidupan riil. Yang primair memancarkan etika lokal tiba-tiba dihempaskan, diganti oleh referensi etika baru dari pembiasaan berpikir dan berbahasa baru, karena itu laku santun menghargai yang lebih berpangkat dan lebih tua didegradasi sikap humanistik sederajat yang demokratik?atau yang sok egaliter kurang ajar amerikanistik.

Di titik ini, masalahnya bukan cuma subordinasi bahasa Sunda (baca: Jawa) oleh pilihan progresif prokemajuan yang bercirikan bahasa modern Indonesia dan Inggris?yang memunculkan dominasi budaya dan tak sekadar dominasi bahasa, seperti yang amat disadari pemikir post-moderinisme. Yang terjadi karena bahasa itu tidak sekadar mengubah preferensi etika berbahasa dan tertib berpikir sesuai tuntutan tata bahasa, tapi juga sebuah medium yang aktif menyodorkan aneka informasi pengetahuan serta gaya hidup yang harus diinpentarisasi, dipilih serta dipilah sesuai kebutuhan. Si orang yang berbahasa (baca: menyimak komunikasi lisan dan tulisan) sebenarnya sedang dikocok oleh banyak informasi, yang menimbulkan bah apatisme bagi si orang yang tidak siap menanggapinya. Anak muda yang pasif terdampar di dalam tsunami MTV, misalnya?berbeda dengan Islam yang bebas ditafsirkan dan menghasilkan mistisme kejawen, atau mitologi babad yang menyebabkan silsilah raja-raja Jawa bisa terkait erat dengan klan Amarta dari epik Mahabarata dengan menyisipkan tokoh rekaan Semar.

Anak-anak muda dan generasi bapak-ibu beranak usia SD-SMP adalah generasi yang tidak hanya dipaksa keadaan untuk hidup dengan keharusan multi-linguist, tapi juga multikultural?sebagai konsekuensi dari harus selalu toleran menerima informasi pendidikan, pengetahuan, ilmu, cara bergaul, gaya hidup, dan cara bersantai aktual kini yang meng-Indonesia dan menginternasional. Dan itu jadi pilihan politis negara untuk membina toleransi warga di tengah fenomena gerakan pemurnian cara beragama c.q. Islam, Kristen, dan Hindu atau Buddha.

Selain berupaya mengikuti gerakan antibandul nonreligius yang merujuk kepada cara berpolitik serta bernegara yang terkait dengan ideologi yang sekuler dan sekaligus tidak menyertakan tradisi (adat) yang diwariskan oleh leluhur di sisi lainnya.

Fenomena yang menyebabkan para orang tua kini kehilangan fungsi aji sejati kearifan budaya lokal, yang?sayangnya?tak dianggap sebagai satu siksaan (budaya) bagi generasi yang terbiasa dalam kondisi pola didik dan aroma bergaul yang sudah meng-Indonesia dan nginternasional. Tapi tak ada yang salah dengan generasi muda, mereka ditakdirkan hidup dalam pola bahasa dan budaya yang memang sudah edan seperti yang diramalkan Ranggawasita. Sekaligus tak bisa menyalahkan generasi tua yang sadar memilih strategi budaya progresif prokemajuan dengan memihak budaya Barat?c.q. bahasa Indonesia dan Inggris. Pihak pertama yang memilih ngedhan mengikuti kehendak zaman. Yang harus dilakukan hanya upaya refleksi budaya: mengawetkan budaya lalu, merevitalisasi khazanah budaya lalu, dan sekaligus menampilkannya lagi sebagai ekspresi budaya alternatif?dan berharap diapresiasi sebagai local genius yang sederajat dengan ekspresi budaya dominan.

Tak ada waktu buat menangis atau terharu, hanya ada kesempatan untuk survive secara kreatif meski dengan kehilangan orisinalitas dan autentisitas budaya?seperti yang diandaikan Arswendo Atmowiloto dalam novel Canting, ketika mengekalkan tradisi mengenakan baju batik dengan memanfaatkan teknologi printing dan bukan bersetia pada pola (batik) tulis. Menyakitkan memang! n

Beni Setia, Pengarang

Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 November 2012          

[Buku] Mendalami Perkembangan Ilmu Hukum

Data Buku

Ilmu Hukum dalam Perkembangan Pemikiran Menuju Postmodernisme

Prof. Dr. F.X. Adji Samekto, S.H., M.H.

Indepth Publishing

I, November 2012

xviii + 122 hlm


HUKUM dan perkembangan ilmu hukum tidak akan lepas dari tatanan sosialnya. Dengan perkataan lain, memahami hukum harus dimulai dengan memahami tatanan sosial masyarakatnya. Tatanan sosial sesungguhnya mewakili cara pikir manusia terhadap lingkungan sosialnya, yang selalu terikat oleh ruang dan waktu. Perkembangan tatanan hukum dengan demikian akan merefleksikan semangat zamannya, semangat tatanan sosialnya.

Salah satu tujuan penulisan buku ini adalah untuk mendeskripsikan pergeseran pemikiran yang memengaruhi perkembangan hukum. Bahwa pemikiran hukum yang ada pada masa kini tidak terjadi begitu saja, tetapi melalui perjalanan pergeseran pemikiran filsafat dalam peradaban manusia.

Proses-proses falsifikasi dalam pemikiran hukum terus-menerus terjadi hingga menjadi seperti sekarang, yang saling terhubung menampilkan hubungan sebab-akibat. Dari tujuan itu ingin ditunjukkan bahwa filsafat selalu bersifat terbuka. Pemikiran filsafat dari seorang filsof selalu terkait, atau merefleksikan semangat zamannya.

Tujuan berikutnya penulisan buku ini adalah untuk meneguhkan pemikiran bahwa memahami tatanan sosial (order) melalui penelitian sosial (yang berbasis paradigma) dalam ilmu hukum adalah penting untuk menemukan atau menyusun norma-norma positif. Dengan demikian, penelitian sosial merupakan alat bantu dalam ilmu hukum. Hal ini perlu dipertegas supaya tidak ada keragu-raguan atau kekaburan tentang pengertian mendasar tujuan ilmu hukum, yaitu ilmu tentang kaidah hukum, ilmu tentang sistem hukum, dan ilmu tentang penemuan hukum.

Ilmu-ilmu tersebut dikembangkan dan dikaji untuk menyelesaikan problem konkret di dalam masyarakat, dengan tetap bermuara pada tujuan hukum, yakni menciptakan keadilan, kestabilan hidup, dan kesejahteraan. Dalam rangka menjalankan peran untuk menyelesaikan problem konkret di masyarakat, maka penelitian hukum harus dibantu dengan pendekatan-pendekatan ilmu sosial agar dapat diperoleh data empirik yang akurat. Seperti kita ketahui, metode penelitian dalam ilmu sosial telah berkembang pesat, tidak semata-mata bertumpu pada cara berpikir dalam ranah filsafat positivisme semata. Perkembangan dalam metode penelitian sosial itu tentu sangat berguna bagi ilmu hukum agar kehadirannya dapat memberikan manfaat pada masyarakat. Lewat buku ini, pembaca akan diperkenalkan dengan paradigma dalam penelitian sosial yang dalam kajian ilmu hukum, bisa diintegrasikan dalam metode penelitiannya.

Ilmu hukum juga harus membuka diri terhadap perkembangan-perkembangan pesat dalam ilmu sosial. Cara kita mempelajari hukum seharusnya mulai berkembang dari sekadar analytical jurisprudence, tetapi juga menjelajah lebih jauh untuk menemukan kebenaran keilmuan dengan menggunakan bantuan ilmu-ilmu lain. Buku ini ingin memberi jawaban mengapa dalam mempelajari hukum kita harus membuka diri terhadap masuknya paradigma dalam ilmu sosial.

Dewasa ini, hampir tidak mungkin suatu ilmu akan bekerja sendiri untuk menyelesaikan problem di dalam masyarakat. Bersinerginya suatu cabang ilmu dengan cabang ilmu yang lain, bukan bermaksud ?melacurkan diri?, tetapi justru untuk mendapatkan kebenaran demi kepentingan kemanusiaan. Ilmu harus dipersembahkan bagi kepentingan kemanusiaan.

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan eksplorasi terus-menerus dalam mencari kebenaran ilmiah, maka positivisme yang berpijak pada realitas, objektivitas, netralitas, dan menekankan pada fakta mulai dipertanyakan keabsahannya ketika cara berpikir positivisme harus diterapkan pada soal-soal kemasyarakatan. Hal ini tentunya berpengaruh dalam cara kita mengembangkan ilmu hukum. Bertolak dari cara berpikir dalam post-modernisme (yang dikonsepsikan sebagai kritik terhadap cara berpikir modernisme atau positivisme) kemudian berkembanglah aliran-aliran baru dalam kajian hukum.

Kuatnya pengaruh pendekatan-pendekatan ilmu sosial di dalam ilmu hukum membuat beberapa pihak mengidentikkan ilmu hukum sebagai ilmu sosial, atau setidaknya sebagai bagian dari ilmu sosial. Pandangan seperti ini harus dikoreksi. Sesungguhnya ilmu hukum dan ilmu sosial merupakan dua bidang yang berbeda, tetapi bisa bersimbiosis dalam rangka searching for the justice atau searching for the truth demi kemaslahatan umat manusia.

Ilmu hukum mempelajari nilai-nilai untuk mengatur perilaku manusia, ilmu sosial mempelajari perilaku manusia. Lewat kerja sama dengan ilmu sosial itulah tugas dari ilmu hukum untuk membuka ketidakbenaran (ketidakadilan) bisa dilakukan. Dalam melakukan ?kerja sama? inilah kemudian penelitian-penelitian ilmu hukum harus bersimbiosis dengan pendekatan-pendekatan ilmu sosial.

Boleh dibilang, pendekatan di dalam ilmu sosial sekarang tidak lagi hanya mengandalkan pada cara pandang dalam persepktif filsafat positivisme, tetapi menjelajah lebih jauh pada cara berpikir dalam paradigma constructivism dan critical. Oleh karena itulah pemahaman tentang paradigma-paradigma dalam ilmu sosial menjadi penting, karena ia akan membantu penelitian hukum di lapangan sehingga dapat diperoleh kebenaran keilmuan yang memuaskan.

Muhammad Reza, Pembaca buku, tinggal di Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 November 2012