-- Musa Ismail
KE mana karakter bangsa kita? Pertanyaan inilah yang sering muncul ketika kasus-kasus negatif menghantam nurani bangsa. Begitu banyak undang-undang, peraturan, dan keputusan sebagai wujud moralitas tertulis di negara kita.
Begitu banyak pula fenomena sosial menyapu aspek moralitas. Kita sebut saja berbagai kasus korupsi, kejujuran Siami dan anaknya, ketidakjujuran guru dalam Ujian Nasional (UN), atau seks bebas oknum elit politik dan artis. Ini sebagai contoh dari timbunan kasus yang mengidentifikasikan bahwa karakter bangsa ini sudah tercabik. Jadi, wajar saja timbul kecurigaan, ketidakpercayaan, bentrokan, dan krisis sosial di merata tempat di nusantara. Karakter bangsa sudah tergadai!
Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills).
Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti menandai dan memfokuskan (to mark) bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.
Secara psikologi, Gordon W. Allport menggambarkan karakter sebagai kepribadian yang (cenderung) dinilai baik buruknya (personality evaluated). Dalam karya fiksi (sastra), Echols dan Shadily, mengartikan karakter sebagai watak, peran, huruf. Kemudian, Hornby menambahkan bahwa karakter berarti orang, masyarakat, ras, sikap mental dan moral, kualitas nalar, orang terkenal, tokoh dalam karya sastra, reputasi dan tanda atau huruf.
Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut (Kemendiknas, 2010:8).
Dalam Seminar Kesusastraan Asia Tenggara di Jakarta setahun lalu, Sekjen Kemendiknas, Dodi Nandika Sastra menyampaikan, kemajuan bangsa sangat berhubungan erat dengan kemampuan bangsa dalam mendayagunakan potensi dan karakter. Bagi bangsa yang cerdas, kata dia, bahasa dan sastra adalah sumber daya strategis untuk mengembangkan kreasi, inovasi dan keunggulan peradaban. Karakter bangsa harus diperkuat antara lain dengan bahasa dan sastra sebagai pilar penting.
Kreativitas, inovasi, dan kemajuan suatu bangsa dan negara tidak terlepas dari karakter bangsanya. Menanamkan karakter, termasuk moralitas positif ke dada bangsa, dapat dilakukan melalui pembacaan, pemahaman, interpretasi, dan kontemplasi terhadap karya sastra, baik puisi maupun prosa. Kebatan nilai dalam kandungan karya sastra bagaikan gizi dalam berbagai hidangan yang diperlukan suatu bangsa/negara. Bangsa/negara mana yang tidak punya (karya) sastra? Bukankah itu suatu yang mustahil. Namun, tidak mustahil kalau pertanyaannya menjadi: bangsa/negara mana yang tidak memahami dan tidak peduli (karya) sastra?
Bayangkan suatu bangsa/negara yang tidak paham sastra. Sastra hanya dianggap secara sempit sebagai karya hiburan. Bayangkan juga, eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang sama sekali tidak memedulikan sastra. Atau elit politik dan pemimpin bangsa hanya disibukkan dengan hal-hal strategis tanpa berorientasi sastra. Bangsa/negara yang mengesampingkan sastra ibarat jasad tanpa jiwa, kosong akan kepribadian, Mereka tidak akan punya peka-rasa, tumpul akan kemanusiaan, lalai dengan persoalan yang mendasar dalam urusan kemasyarakatan, dan miskin dengan nilai luhur budaya budi pekerti. Di sinilah, (karya) sastra bisa masuk sebagai penyelaras, pemerkaya, penghalus, dan penyaring persoalan-persoalan negatif yang bisa menghancurleburkan moral/budi pekerti bangsa.
Bagaimana caranya agar sastra bisa menyatu dan menyelaras dalam darah daging bangsa/negara ini? Salah satu jalannya adalah reformasi pembelajaran sastra. Selama ini, pembelajaran sastra selalu dinilai kurang mendapat tempat di sekolah, kurang kreatif, dan kurang inovatif. Pembelajaran sastra sering terjebak dengan cara konvensional. Bahkan, tidak jarang guru bahasa Indonesia melewatkan begitu saja materi pembelajaran sastra karena kurang percaya diri, kurang menguasai materi, dan merasa kurang mampu. Padahal, persentase materi pembelajaran sastra dalam kurikulum di sekolah sangat minim. Karena minim itulah, seorang guru bahasa Indonesia dituntut lebih kreatif, inovatif, dan variatif dalam membelajarkan siswa.
Bangsa/negara ini menginginkan generasi yang berkarakter seperti logam mulia. Selanjutnya, karakter mulia itu diupayakan meresap ke jiwa dan raga bangsa: Membangun jiwa dan raga seperti amanat lagu Indonesia Raya. Untuk membangun karakter yang berkembang ke arah pembentukan kepribadian tidak akan efektif jika dilakukan dalam bentuk perintah, tetapi membutuhkan proses panjang. Mempelajari (karya) sastra secara intensif merupakan suatu jembatan khusus untuk mencapai ke proses pembangunan karakter bangsa. Ini berarti bahwa keberadaan dan peranan guru dituntut lebih dari sekedar menjejalkan atau mentransfer ilmu.
Apakah yang diperoleh jika bangsa/negara ini memahamni (karya) sastra? Tjokrowinoto dalam buku yang bertajuk Sastra Melayu karangan Haryadi (1994) memperkenalkan istilah “pancaguna” untuk menjelaskan manfaat sastra lama (tentu termasuk sastra modern, pen.), yaitu
(1) mempertebal pendidikan agama dan budi pekerti,
(2) meningkatkan rasa cinta tanah air,
(3) memahami pengorbanan pahlawan bangsa,
(4) menambah pengetahuan sejarah,
(5) mawas diri dan menghibur.
Dalam buku yang sama, dikemukakan sembilan manfaat yang dapat diambil dari sastra lama (juga termasuk karya sastra modern, pen.), yaitu
(1) dapat berperan sebagai hiburan dan media pendidikan,
(2) isinya dapat menumbuhkan kecintaan, kebanggaan berbangsa dan hormat pada leluhur,
(3) isinya dapat memperluas wawasan tentang kepercayaan, adat-istiadat, dan peradaban bangsa,
(4) pergelarannya dapat menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan,
(5) proses penciptaannya menumbuhkan jiwa kreatif, responsif, dan dinamis,
(6) sumber inspirasi bagi penciptaan bentuk seni yang lain,
(7) proses penciptaannya merupakan contoh tentang cara kerja yang tekun, profesional, dan rendah hati,
(8) pergelarannya memberikan teladan kerja sama yang kompak dan harmonis,
(9) pengaruh asing yang ada di dalamnya memberi gambaran tentang tata pergaulan dan pandangan hidup yang luas.
Manfaat (karya) sastra tersebut akan diperoleh jika pembelajaran sastra di setiap jenjang sekolah dilaksanakan dengan kreatif, inovatif, dan kontiniu. Hanya dengan mencintai dan menggauli (karya) sastra dan bimbingan guru, manfaat dan pembangunan karakter dari (karya) sastra dapat dikonstruksikan dengan lebih hebat.
Karena itu, kegiatan apresiasi sastra di bangku sekolah, sangat penting. Kegiatan apresiasi sastra ini juga sangat penting di populerkan di kalangan elit politik, legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta masyarakat luas. Dengan demikian, pikiran, perasaan, dan kemampuan jiwa-raga akan terlatih dan dapat dikembangkan, kritis, peka-rasa, halus, dan mengutamakan nilai kemanusiaan. Karena itu, (karya) sastra termasuk pilar utama membangun dan membentuk karakter bangsa/negara ini. Sekali lagi, bangsa dan negara ini, memang selayaknya menjiwai (karya) sastra. Bukankah saat ini ada indikasi bahwa bangsa ini menghindari sastra?
Musa Ismail, guru bahasa Indonesia SMAN 3 Bengkalis, Mahasiswa Pascasarjana Prodi Manajemen Pendidikan, Universitas Riau.
Sumber: Riau Pos, 4 September 2011
1 comment:
nice :-) setuju. kunjungan balik ya. semoga mnjd silaturahim yg baik. follow jk sudi :-)
Post a Comment