-- Gilang A Aziz
Pada mula pemahaman, bahasa adalah alat komunikasi. Tak lebih hanya sebagai medium menyam-paikan pesan komunikator kepada komunikan. Setelah didekonstruksi, bahasa ternyata menjelma juga sebagai alat kuasa. Jurgen Habermas (1967) mengatakan: language is also a medium of domination and power/bahasa juga sarana dominasi dan kekuasaan.
Ironisnya, bahasa dalam kultur patriarkhi cenderung mengarah kepada penempatan perempuan sebagai objek, karena bahasa dikuasai orde laki-laki. Segala kepentingan disetting agar sesuai dengan kehendak dominasi patriarkhi. Ayu Utami, Maria Hartiningsih dan Gadis Arivia barangkali adalah sedikit diantara orang-orang yang berusaha membebaskan bahasa dari belenggu kuasa laki-laki. Bahasa kemudian diproyeksikan dengan aras kesetaraan gender. Bahwa bahasa yang peka terhadap gender adalah yang tidak menggunakan letupan kekerasan dan eufemisme.
Ayu Utami misalnya, dalam novel Saman dan Larung, ia menolak menggunakan eufemisme. Apa yang dikatakan sebagai "titit" ia tulis dengan "titit", bukan "alat vital". Bagi Utami, ini bukan semata perspektif kesetaraan gender, namun lebih karena ingin membebaskan bahasa Indonesia dari eufemisme berlebihan. Penggunaan kata "alat vital" justru terkesan erotis dan hegemonik. Pilihan diksi "titit" adalah ekspresi penggambaran atas lampahan sebuah penghinaan. Tidak ada unsur erotis di sana.
Begitu pula ketika Utami menceritakan kisah penyebutan Adam terhadap organ-organ tubuhnya. Ia menggunakan diksi "puting yang dihisap". Orang lain barangkali menyebutnya sebagai bahasa yang seronok dan tidak layak dihidangkan dalam bahasa tulis, tapi bagi Utami, diksi itu lebih mengutarakan penguasaan perempuan terhadap dirinya sendiri daripada harus diterjemahkan dengan bahasa konotatif berdalih eufemisme ala patriarkhi.
Taufik Ismail menyebut karya sastra yang menolak eufemisme semacam itu sebagai sastra madzhab "selangkangan". Keterbukaan bahasa dan vulgaritas makna dianggap tak sesuai dengan kultur Nusantara yang mengedepankan etika komunikasi yang lebih "santun". Habiburrahman el-Syirazy justru secara terang menyebut karya itu sebagai karya yang tak punya nilai estetika bahasa.
Jelaslah, perdebatan di atas muncul karena latar perspektif yang digunakan masing-masing berbeda. Sementara Utami tidak mau terikat oleh norma apapun untuk melakukan humanisasi bahasa; baik dari maskulinitas, feminimitas maupun agama.
Intinya, dia ingin mengembalikan bahasa sesuai fitrah asalnya. Karena eufemisme bahasa yang seksis sarat kepentingan jenis kelamin tertentu. Bahasa tidak netral. Karenanya, harus dibebaskan.
Motif menolak eufemisme adalah menguliti kepentingan-kepentingan seksisme bahasa dan membongkar substansi yang disembunyikan. Ia mengajak untuk keluar dari kesembunyian diri dan keterbukaan kata hati. Makanya, secara normatif, pilihan diksi kata eufemisme cenderung disebut vulgar, bebas, sarkastik dan tidak halus. Ini yang menjadi titik tekan erosi etika dan estetika bahasa dalam eufemisme.
Padahal, etika juga perlu digunakan dalam kultur komunikasi massa. Dalam sejarah Islam misalnya, orang sekelas Michael H Hart menempatkan Nabi Muhammad sebagai tokoh di rangking pertama yang paling berpengaruh sepanjang peradaban manusia. Bukan karena keberhasilan sejarah Nabi melakukan ekspansi misionaris agama yang sukses dalam waktu singkat (23 tahun) semata, tapi karena strategi yang digunakan memang menarik. Termasuk membangun kesetaraan perempuan yang di kala itu tak pernah mendapatkan tempat terhormat di mata masyarakat.
Toh demikian, cara yang digunakan dalam kerangka membangun kesetaraan gender Nabi tetap menggunakan etika dan estetika bahasa. Ini menjadi tuntutan profesionalitas sebagai Nabi karena estetika bahasa ketika itu sudah menjadi gaya hidup. Status kehormatan seseorang di masyarakat sukuisme Arab ditentukan sejauh mana ia mampu menciptakan karya estetik dalam bentuk puisi syair dan pantun.
Ketika menyebut alat kelamin (baik perempuan maupun laki-laki), Nabi menggunakan eufemisme bahasa. Ukuran sekarang, mungkin lebih halus daripada eufemisme normatif. Bukan alat vital (Arab: dzakar/farji) yang dipilih untuk mengungkapkan jenis kelamin. Lebih eufimis Nabi menyebutnya dengan ma wara al izar: yang dibalik sarung/rok/jarik.
Bagi saya, ini lebih etis, estetis dan mengena. Menjelaskan fungsionalitas alat fital, orang tak perlu diterangkan secara gamblang. Hanya dengan simbol, kerja pikir setiap orang akan serta merta secara naluriah memiliki pemahaman sendiri. Ini hanya sebagai tamsil saja. Bahwa membebaskan bahasa untuk dikembalikan kepada fitrah makna asalnya agaknya memang perlu estetika. Komunikan juga punya hak menerima pesan seksis yang etis. Itu saja.
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 12 Januari 2013
Pada mula pemahaman, bahasa adalah alat komunikasi. Tak lebih hanya sebagai medium menyam-paikan pesan komunikator kepada komunikan. Setelah didekonstruksi, bahasa ternyata menjelma juga sebagai alat kuasa. Jurgen Habermas (1967) mengatakan: language is also a medium of domination and power/bahasa juga sarana dominasi dan kekuasaan.
Ironisnya, bahasa dalam kultur patriarkhi cenderung mengarah kepada penempatan perempuan sebagai objek, karena bahasa dikuasai orde laki-laki. Segala kepentingan disetting agar sesuai dengan kehendak dominasi patriarkhi. Ayu Utami, Maria Hartiningsih dan Gadis Arivia barangkali adalah sedikit diantara orang-orang yang berusaha membebaskan bahasa dari belenggu kuasa laki-laki. Bahasa kemudian diproyeksikan dengan aras kesetaraan gender. Bahwa bahasa yang peka terhadap gender adalah yang tidak menggunakan letupan kekerasan dan eufemisme.
Ayu Utami misalnya, dalam novel Saman dan Larung, ia menolak menggunakan eufemisme. Apa yang dikatakan sebagai "titit" ia tulis dengan "titit", bukan "alat vital". Bagi Utami, ini bukan semata perspektif kesetaraan gender, namun lebih karena ingin membebaskan bahasa Indonesia dari eufemisme berlebihan. Penggunaan kata "alat vital" justru terkesan erotis dan hegemonik. Pilihan diksi "titit" adalah ekspresi penggambaran atas lampahan sebuah penghinaan. Tidak ada unsur erotis di sana.
Begitu pula ketika Utami menceritakan kisah penyebutan Adam terhadap organ-organ tubuhnya. Ia menggunakan diksi "puting yang dihisap". Orang lain barangkali menyebutnya sebagai bahasa yang seronok dan tidak layak dihidangkan dalam bahasa tulis, tapi bagi Utami, diksi itu lebih mengutarakan penguasaan perempuan terhadap dirinya sendiri daripada harus diterjemahkan dengan bahasa konotatif berdalih eufemisme ala patriarkhi.
Taufik Ismail menyebut karya sastra yang menolak eufemisme semacam itu sebagai sastra madzhab "selangkangan". Keterbukaan bahasa dan vulgaritas makna dianggap tak sesuai dengan kultur Nusantara yang mengedepankan etika komunikasi yang lebih "santun". Habiburrahman el-Syirazy justru secara terang menyebut karya itu sebagai karya yang tak punya nilai estetika bahasa.
Jelaslah, perdebatan di atas muncul karena latar perspektif yang digunakan masing-masing berbeda. Sementara Utami tidak mau terikat oleh norma apapun untuk melakukan humanisasi bahasa; baik dari maskulinitas, feminimitas maupun agama.
Intinya, dia ingin mengembalikan bahasa sesuai fitrah asalnya. Karena eufemisme bahasa yang seksis sarat kepentingan jenis kelamin tertentu. Bahasa tidak netral. Karenanya, harus dibebaskan.
Motif menolak eufemisme adalah menguliti kepentingan-kepentingan seksisme bahasa dan membongkar substansi yang disembunyikan. Ia mengajak untuk keluar dari kesembunyian diri dan keterbukaan kata hati. Makanya, secara normatif, pilihan diksi kata eufemisme cenderung disebut vulgar, bebas, sarkastik dan tidak halus. Ini yang menjadi titik tekan erosi etika dan estetika bahasa dalam eufemisme.
Padahal, etika juga perlu digunakan dalam kultur komunikasi massa. Dalam sejarah Islam misalnya, orang sekelas Michael H Hart menempatkan Nabi Muhammad sebagai tokoh di rangking pertama yang paling berpengaruh sepanjang peradaban manusia. Bukan karena keberhasilan sejarah Nabi melakukan ekspansi misionaris agama yang sukses dalam waktu singkat (23 tahun) semata, tapi karena strategi yang digunakan memang menarik. Termasuk membangun kesetaraan perempuan yang di kala itu tak pernah mendapatkan tempat terhormat di mata masyarakat.
Toh demikian, cara yang digunakan dalam kerangka membangun kesetaraan gender Nabi tetap menggunakan etika dan estetika bahasa. Ini menjadi tuntutan profesionalitas sebagai Nabi karena estetika bahasa ketika itu sudah menjadi gaya hidup. Status kehormatan seseorang di masyarakat sukuisme Arab ditentukan sejauh mana ia mampu menciptakan karya estetik dalam bentuk puisi syair dan pantun.
Ketika menyebut alat kelamin (baik perempuan maupun laki-laki), Nabi menggunakan eufemisme bahasa. Ukuran sekarang, mungkin lebih halus daripada eufemisme normatif. Bukan alat vital (Arab: dzakar/farji) yang dipilih untuk mengungkapkan jenis kelamin. Lebih eufimis Nabi menyebutnya dengan ma wara al izar: yang dibalik sarung/rok/jarik.
Bagi saya, ini lebih etis, estetis dan mengena. Menjelaskan fungsionalitas alat fital, orang tak perlu diterangkan secara gamblang. Hanya dengan simbol, kerja pikir setiap orang akan serta merta secara naluriah memiliki pemahaman sendiri. Ini hanya sebagai tamsil saja. Bahwa membebaskan bahasa untuk dikembalikan kepada fitrah makna asalnya agaknya memang perlu estetika. Komunikan juga punya hak menerima pesan seksis yang etis. Itu saja.
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 12 Januari 2013
1 comment:
saya juga melihat komentar ini dan menggunakannya sebagai salah satu reverensi dalam menyelesaikan tugas. terima kasih :D
Post a Comment