-- Bisman Nababan
DUA bulan terakhir, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional, mengeluarkan kebijakan kontroversial menyangkut nasib mahasiswa dan dosen. Kebijakan yang dituangkan dalam surat edaran ini mustahil dilaksanakan dalam kondisi sekarang.
Surat edaran pertama bertanggal 30 Desember 2011 (Nomor 250/E/T/2011) perihal kebijakan unggah karya ilmiah untuk kenaikan pangkat dosen. Edaran kedua bertanggal 27 Januari 2012 (Nomor 152/E/T/2012) perihal publikasi karya ilmiah untuk mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 berlaku mulai kelulusan Agustus 2012.
Isi edaran pertama adalah Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) hanya menilai suatu karya ilmiah jika artikel dan identitas penulisnya bisa ditelusuri secara online. Perguruan tinggi dan pengelola jurnal juga wajib mengunggah karya ilmiah mahasiswa dan dosen pada portal Garuda, perguruan tinggi, dan seterusnya. Hal ini efektif untuk usulan kenaikan pangkat 2012.
Isi edaran kedua tentang syarat kelulusan. Untuk lulus program S-1, seseorang harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah, S-2 menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional terakreditasi Dikti, dan S-3 menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal internasional.
Kedua surat yang tampaknya tanpa kajian mendalam ini berpotensi merugikan dosen dan mahasiswa serta merusak sistem pendidikan tinggi.
Kelulusan S-1
Kebijakan mensyaratkan mahasiswa program S-1 untuk menerbitkan paper-nya dalam jurnal ilmiah sangatlah berlebihan. Yang wajib menerbitkan paper di jurnal ilmiah adalah peneliti.
Seorang sarjana belum bisa disebut peneliti karena mahasiswa S-1 baru siap dikembangkan menjadi peneliti. Banyak jurusan yang tidak mensyaratkan mahasiswanya untuk membuat skripsi, tetapi dengan tugas akhir berupa studi lapangan, studi perbandingan, atau studi kasus.
Pendidikan S-1, S-2, dan S-3 di negeri maju, seperti Amerika Serikat, tak pernah mensyaratkan mahasiswa menulis makalah di jurnal agar dapat lulus. Umumnya, program S-1 dan S-2 di negara maju dilakukan dengan jalur non-skripsi dan non-tesis. Mahasiswa S-3 di negara maju otomatis akan menuliskan hasil risetnya di jurnal ilmiah internasional karena disertasinya pasti bernilai ilmiah. Biasanya mereka menulis makalah setelah lulus.
Fakta lain: dana penelitian relatif besar. Maka, banyak dosen mengikutkan mahasiswa dalam penelitiannya. Kalau penelitian tersebut berasal dari dana swasta dan ada perjanjian bahwa hanya pihak pemberi dana yang boleh menerbitkan hasil penelitian, kebijakan Dirjen Dikti akan menghapus peluang mahasiswa melakukan penelitian murah.
Ada berbagai persyaratan untuk menerbitkan tulisan ilmiah dalam sebuah jurnal, di antaranya ada nilai ilmiah, mengikuti kaidah penulisan ilmiah, tidak diajukan ke jurnal lain, temuan baru, dan orisinal. Andai semua ini terpenuhi (dan ini sulit), bagaimana mengatur waktunya?
Panduan pengelolaan pendidikan tinggi dari Dirjen Dikti menyebutkan, penyelenggaraan pendidikan S-1 berlangsung empat tahun. Lebih dari itu berarti negatif terhadap nilai akreditasi jurusan dan perguruan tinggi.
Mahasiswa yang excellent bisa lulus dalam empat tahun dan mahasiswa S-1 umumnya lulus dalam 4,5-5 tahun. Adanya kebijakan Dirjen Dikti membuat kelulusan mahasiswa molor, bertambah 11-29 bulan atau 1-2,5 tahun, sehingga mahasiswa S-1 baru lulus setelah 5-7,5 tahun.
Tambahan waktu itu untuk membuat draf paper ilmiah, mengirim ke jurnal, menunggu hasil review, memperbaiki paper, mengirim kembali, dan menunggu penerbitan. Itu kalau lancar. Bila ditolak pengelola jurnal, mahasiswa harus menulis ulang atau bahkan mengulang penelitian.
Mampukah jurnal di Indonesia menampung makalah mahasiswa S-1? Bayangkan berapa ratus ribu paper yang harus diterbitkan setiap tahun jika kebijakan ini diimplementasikan.
Bisa saja setiap jurusan membuat jurnal ilmiah sendiri untuk menampung paper dari mahasiswa dan semua dosen bertindak sebagai pereview. Berapa banyak waktu bagi dosen yang tersita untuk melakukan review?
Untuk diketahui, menerbitkan sebuah jurnal ilmiah bukan perkara mudah. Selain butuh dana besar, jurnal juga melibatkan tim pereview dan staf pengelola. Tak semua orang bisa jadi pereview karena biasanya
sudah bergelar doktor dan menerbitkan banyak karya ilmiah. Jika setiap jurusan memiliki jurnal ilmiah dan setiap mahasiswa baru bisa lulus dengan menerbitkan paper dalam jurnal, kualitas jurnal menjadi pertanyaan berikutnya.
Kalau tidak berkualitas, siapa yang mau baca? Padahal, salah satu ukuran mutu suatu jurnal adalah jumlah orang yang membaca dan merujuknya.
Program S-2 dan S-3
Keharusan menerbitkan paper di jurnal nasional terakreditasi membuat mahasiswa S-2 tidak mungkin lulus Agustus 2012. Mereka harus menunggu 1-2 tahun lagi karena proses pengiriman, review, perbaikan, dan penerbitan sebuah paper dalam jurnal nasional terakreditasi membutuhkan waktu 1-2 tahun.
Ditjen Dikti memberi waktu dua tahun untuk penyelenggaraan program S-2 di Indonesia. Waktu ini sebenarnya hanya relevan bagi program S-2 tanpa tesis. Jika wajib tesis, umumnya mahasiswa S-2 dapat menyelesaikan studi dalam tiga tahun. Dengan kebijakan penerbitan paper di jurnal nasional terakreditasi, kelulusan mahasiswa S-2 akan molor 4-5 tahun.
Umumnya program magister tidak mensyaratkan penulisan tesis, demikian pula halnya pada beberapa universitas terkemuka di luar negeri. Masyarakat juga lebih banyak memilih jalur non-tesis dibandingkan jalur tesis. Maka, kebijakan Dirjen Dikti ini akan mengacaukan sistem pendidikan S-2 di Indonesia sehingga sistem perlu ditata ulang, termasuk semua kurikulumnya.
Pada penyelenggaraan program S-3, menghasilkan paper yang diterima di jurnal internasional bukan perkara mudah. Umumnya, pengiriman draf sampai memperoleh acceptance letter untuk diterbitkan butuh waktu 1-3 tahun. Pada kasus kenaikan pangkat dosen, masalahnya juga sama: tidak semua jurnal sudah online dan lamanya prosedur pemuatan paper di jurnal ilmiah.
Dalam panduan Ditjen Dikti, penyelesaian program studi S-3 adalah tiga tahun. Namun, rata-rata penyelesaiannya 4-5 tahun karena minimnya fasilitas laboratorium. Dengan kebijakan Dirjen Dikti, penyelesaian program doktor bisa 6-7 tahun.
Biaya penyelenggaraan program S-2 dan S-3 termasuk mahal sehingga penambahan waktu penyelesaian studi akan menambah beban mental dan finansial.
Upaya peningkatan
Pemerintah seyogianya mengkaji, mengapa produktivitas paper peneliti—termasuk dosen di Indonesia—di jurnal nasional dan internasional sangat rendah. Pemerintah juga harus menyelidiki kenapa di negara lain, termasuk Malaysia, tingkat produktivitasnya lebih tinggi.
Salah satu alasannya adalah karena para peneliti dan dosen di Indonesia tidak dapat fokus pada pekerjaan akibat gaji tidak mencukupi, bahkan untuk hidup sederhana. Belum lagi minimnya peralatan laboratorium.
Dirjen Dikti dalam surat edarannya merujuk produktivitas paper di Malaysia yang tinggi, tetapi lupa merujuk sistem penggajian di Malaysia yang sudah mengikuti negara maju. Fasilitas dan dana penelitian juga sangat besar di Malaysia sehingga mereka dapat fokus meneliti.
Hal lain yang dapat dipertimbangkan adalah pemberian insentif bagi peneliti untuk setiap paper yang terbit di jurnal nasional terakreditasi dan internasional, seperti yang dilakukan UI.
Kalau pemerintah mampu meningkatkan pendapatan peneliti dan dosen pada tingkat cukup untuk hidup layak—menghidupi keluarga dengan dua anak, membeli rumah sederhana, transportasi, asuransi kesehatan, dan menyekolahkan anak sampai sarjana—serta menyediakan kebutuhan penelitian secara lengkap, peneliti dan dosen di Indonesia dijamin lebih produktif.
Bisman Nababan, Dosen IPB; Tim Pereview Jurnal Nasional dan Internasional
Sumber: Kompas, Rabu, 8 Februari 2012
No comments:
Post a Comment