-- Umar Fauzi Ballah
APABILA kita sudah terbiasa membaca puisi, barangkali bunyi adalah faktor yang paling kita maklumi. Tradisi ini adalah kondisi lahir batin kesusasteran Indonesia. Barangkali, kita bisa membayangkan bahwa musikalitas bunyi dalam puisi Indonesia adalah bagian dari khasanah puisi lama sebagaimana diajarkan di sekolah-sekolah, yaitu puisi yang terikat oleh bentuk dan rima. Namun, bunyi dalam puisi terus berkelanjutan sampai saat ini.
Jika kita menyimak puisi Indonesia modern, belum sepenuhnya lepas dari tradisi tersebut. Katakanlah puisi-puisi Chairil Anwar, sang pendobrak tradisi puisi lama, unsur bunyi masih terasa sebagai tipikal puisi lama karena puisi Chairil pada beberapa bagian masih menggunakan corak pembaitan puisi lama.
Lain lagi dengan Sutardji Calzoum Bachri, bunyi begitu dikultuskan dan menjadi kredo puisinya. Walaupun begitu, tidak sedikit puisi Indonesia yang berupaya lepas dari hegemoni bunyi dalam puisinya, katakanlah puisi-puisi Afrizal Malna, sekadar menyebut contoh.
Bunyi bagaimanapun tidak dapat dipisahkan dari puisi Indonesia bahkan sampai saat ini. Ia terus berdiaspora dalam tubuh puisi. Karena khasanah dunia saat ini hampir-hampir tidak ditemukan penemuan baru, penyair sebenarnya hanya mengolah yang sudah ada dengan upaya untuk tidak menjadi klise.
Salah satu penyair muda yang begitu gemar dengan bunyi saat ini di antaranya adalah A Muttaqin. Secara umum, perkembangan puisi (di) Jawa Timur saat ini menemukan arah menggembirakan melalui kelahiran penyair berbakat A Muttaqin. Puisinya begitu khusyuk dengan olah bunyi dan dalam beberapa puisinya begitu rindang oleh aneka tanaman dan hewan, rimbun oleh berbagai simbol, dan tenang dengan permenungan.
Barangkali inilah yang membuat ia menjadi begitu fenomenal. Berusaha berbeda dengan puisi-puisi pendahulunya di Jatim yang terkenal dengan puisi gelap. Selain itu, keperajinan mengolah tata bunyi dalam puisinya telah menjadi karakternya.
Beberapa puisinya adalah puisi dengan rapatan bunyi. Bunyi yang hadir dalam puisi-puisi Muttaqin, bukan hanya dalam ketukan suku kata misal 812 suku kata sebagaimana puisi lama tetapi Muttaqin begitu rajin menyandingkan dua kata atau lebih dalam satu frasa yang berima sama. Bacalah beberapa petikan frasa dalam puisi Muttaqin berikut: Kepada gerimis yang meniris pelipis. Aku tak ingin menangis dan mengiris kupingku tipis-tipis. Anggur-anggur tak lagi manis. Dan gadis-gadis mencopot mawar dari tempiknya tanpa tangis. (‘’Surat Katak’’); Senangnya hati melihat tikus mampus. Tak sudi kuuluk innalillahi dan tak pantas belas bagi ras culas ini. (‘’Pengotor’’); dan serangkai kaki halus merangkak tak putus-putus mengantarmu ke arah lurus lalu dengan penciuman cukup bagus jalan-jalan kuendus-teramat tulus hingga tak tertembus sebangsa anjing lebus dan marga tikus yang kerap menghalangimu ke jalan kudus beserta dua kaki gatalmu ke gronjal batu atau malah kugelincirkan ke jalur kabut paling ribut mirip pincuk mulut: kitaran kecut yang becus cas cis cus bila satu dari satunya diringkus. (‘’Pertimbangan’’)
Cara Muttaqin menghadirkan diksi berima tersebut, bukan semata mengejar efek musikalitas (kosongan) semata, bukan pula sekadar keriangan yang tidak mendukung kesatuan energi puitiknya, tetapi susunan itu telah sedemikian rupa disusun untuk memperlihatkan bagaimana puisi memiliki gagasan cemerlang.
Bait terakhir puisi ‘’Pertimbangan’’, misalnya, memilih diksi dari bahasa Jawa, pincuk (wadah dari daun) dan apelativa gronjal (jalan rusak dan berlubang) yang dilengkapi dengan cas cis cus untuk menimbulkan efek kecerewetan yang terkandung dari diksi ribut dan mulut.
Wawasan penyusunan diksi dan bunyi ini begitu dikhidmati oleh Muttaqin. Hasilnya, puisinya menjadi pawai bahasa. Sesekali kita dibuat geli olehnya. Sesuatu yang seolah dihadirkan sebagai atribut belaka ternyata menjadi kesatuan yang menarik. Simak juga puisi berjudul ‘’Kuda Cahaya’’: Kau, yang lebih tinggi dari mimpi, lebih senyap dari sepi, lebih rinai dari bunyi. Dan dengan semua yang berakhir /i/ yang tak kunjung sampai di watas wiru ini.
Kalau kita mau menebak, apakah maksud vokal /i/ dalam puisi tersebut? Barangkali itu nabi atau sufi, mungkin juga ilahi rabbi. Dalam bahasa Arab, akhiran /i/ adalah pembentuk kata sifat yang digunakan juga dalam banyak imbuhan bahasa Indonesia. Kita juga bisa bertanya siapakah yang lebih tinggi dari mimpi?
Puisi ‘’Kuda Cahaya’’ secara keseluruhan menceritakan tentang perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad. Muttaqin telah berhasil menangkap itu dengan metafor yang indah dalam puisi tersebut.
Beberapa kutipan puisi tersebut terdapat dalam buku puisi Pembuangan Phoenix. Buku ini termasuk lima besar dalam penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2011. Secara khusus, tema yang dihadirkan adalah kelahiran, kematian, kefanaan hidup, dan kepasrahan pada Tuhan. Muttaqin mengambil banyak khasanah, bukan hanya pada adopsi bahasa, tetapi juga kisah para nabi yang menjadi bahan dasar penciptaan ulang puisi-puisi dalam buku ini.
Lahir di Gresik, penyair ini sesungguhnya tercerabut dari tradisi lokalitasnya, kecuali khasanah keislaman Gresik sebagai kota santri. Pilihan simbol, seperti Munajat Apel Merah, Makrifat Mawar, Gerimis di Kulit Manggis dan rimbun tumbuhan sungguh asing dengan Gresik sebagai kota industri.
Phoenix, misalnya yang menjadi judul buku ini, adalah mitologi Mesir sebagaimana dapat kita baca dalam kata pengantar buku puisinya. Begitu juga puisi ‘’Perjamuan’’ yang tak lain adalah sosok Yesus yang dalam puisi itu dipanggil bindere: Di meja ini kita bersembilan, Bindere. Anda tahu, bindere adalah bahasa Madura yang artinya adalah anak kiai atau di Jawa disebut Gus.
Persilangan budaya, campur kode/alih kode yang banyak terjumpai dalam buku puisi ini tidak lain adalah sebuah karnaval puitik. Sebagai karnaval, ia menjadi parodi dari sekian lanturan bunyi. Sebagai penutup tulisan ini, alangkah indahnya saya hadirkan sebuah pantulan estetik yang mungkin sering kita jumpai, tetapi abai kita renungi. Akan tetapi, bagi Muttaqin itu adalah bahan yang indah:
Dan dengan senapan Canon kurus, akan kuhapus mereka dari malam kudus. Di aspal halus, kudapati usus dan dalamannya terburai, daging dan tulangnya remuk menanti, tapi hanya lalat yang melayati. Tikus dan lalat memang sahabat. Konon dari tai sepasang anak surga mereka dahulunya sama terbuat. (‘’Pengotor’’)
Umar Fauzi Ballah, penyair dan tinggal di Sampang
Sumber: Riau Pos, 5 Februari 2012
No comments:
Post a Comment