-- Jodhi Yudono
DEPOK, KOMPAS.com — Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) Bambang Wibawarta mengatakan, undang-undang kebudayaan sangat penting untuk melindungi keragaman budaya yang ada di Tanah Air.
"UU kebudayaan bukan untuk menyamakan budaya yang ada, tetapi untuk saling memahami satu dengan yang lainnya," kata Bambang di sela-sela acara Festival Kebudayaan Rusia di Kampus UI Depok, Rabu.
Menurut dia, dalam era globalisasi saat ini sangat diperlukan mindset atau pola pikir yang berbeda dengan sebelumnya sehingga kebudayaan Indonesia tidak akan hilang dengan adanya globalisasi. "Globalisasi merupakan keniscayaan dan kita harus siap menghadapinya," ujarnya.
Untuk itu, dia mengharapkan RUU Kebudayaan yang masih di DPR untuk segera dibahas dan disahkan menjadi undang-undang. "Ini penting melindungi budaya di Tanah Air," katanya.
Ia mengatakan, saat ini ada sekitar 32 artefak Indonesia dari berbagai daerah berada di luar negeri. Artefak ini mempunyai nilai budaya yang sangat tinggi jadi seharusnya dilindungi dan dimiliki daerah.
Kebudayaan, kata dia, banyak mempunyai kearifan lokal yang dapat menjadi kearifan nasional.
Dia mengatakan bahwa kebudayaan bukan sekadar kesenian dan tari-tarian, melainkan memiliki makna yang lebih jauh yang dapat mengubah pola pikir seseorang.
"Kebudayaan mempunyai ’soft power’ tanpa disadari dapat memengaruhi masyarakat," katanya.
Dikatakannya, inventarisasi budaya itu penting karena selama ini banyak kebudayaan di Indonesia yang sebenarnya ada, tetapi hilang seiring perjalanan waktu. Hal tersebut perlu diantisipasi agar tidak meluas. "Kebudayaan yang beragam di Indonesia merupakan aset bangsa dan negara," katanya.
Ia berharap UU kebudayaan dapat menjadi kekuatan bagi negara untuk melindungi kebudayaan agar tidak diklaim oleh negara lain.
Bambang juga mengatakan, perlu dilakukan inventarisasi atau pencatatan kebudayaan di Indonesia dalam sebuah basis data agar budaya-budaya di Tanah Air dapat diketahui.
Bambang menjelaskan, banyak kebudayaan yang ditinggalkan, seperti budaya musyawarah untuk mencapai mufakat. Yang terjadi saat ini adalah selalu menggunakan voting untuk mengambil suatu keputusan. (ANT)
Sumber: Oase, Kompas.com, Rabu, 15 Februari 2012
No comments:
Post a Comment