Sunday, February 19, 2012

Jejak: BM Syamsuddin, Pejuang Seni Tradisi

BM Syamsuddin yang memiliki nama asli Bujang Mat Syamsudin, lahir di Sedanau, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau (sebelum pemekaran termasuk ke dalam wilayah Provinsi Riau) pada 10 Mei 1935. Ia menamatkan Sekolah Rakyat (SR) dan Sekolah Guru Bantu (SGB) di kampung kelahirannya itu. BM Syam melanjutkan pendidikan di Sekolah Guru Atas (SGA) di Tanjungpinang pada pertengahan tahun 1950-an dan di sekolah inilah bakat kesastraan laki-laki bernama asli Bujang Mat Syamsuddin ini mulai terlihat.

BM Syamsuddin

Setamat SGA, BM Syam mengajar SD dan SMP di beberapa tempat di Tanjungpinang dan Sedanau, sebelum akhirnya memilih hijrah ke ibu kota provinsi, Pekanbaru, pada pertengahan tahun 1970-an. Di kota ini kemampuan kesastraaan BM Syam semakin terasah. Karya-karyanya berupa puisi dan cerpen pun dimuat di bebagai media massa, di antaranya di Kompas dan Suara Karya Minggu, Suara Pembaruan, Lembaran Budaya Sagang, Riau Pos, Haluan, Mingguan Genta, majalah Amanah dan lain sebagainya.

BM Syam terbilang salah sedikit pengarang produktif Riau pada masanya. Di awal-awal karier kepengarangannya, ia tidak dikenal sebagai penulis cerpen —ia memulai karier kepenulisannya melalui puisi — namun sebenarnya cerpen sulungnya sudah dimuat di majalah Merah Putih pada 1956 dengan nama pena Dinas Syam.

Selain menulis sajak dan karya-karya fiksi (roman), BM Syam juga banyak menulis esei, kritik dan artikel kebudayaan di berbagai media massa di Indonesia. Ia juga pernah terjun ke dunia jurnalistik dengan menjadi wartawan di majalah Topik (Jakarta), menulis laporan-laporan daerah dari Riau di harian Haluan dan beberapa tahun sebelum akhir hayatnya sempat bergabung dengan harian Riau Pos di Pekanbaru.

Setamat SGA BM Syam menjadi guru di sekolah rendah dan menengah di Pekanbaru pada 1955-1981, di samping bertugas di Subseksi Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kotamadya Pekanbaru selama 10 tahun (1981-1991. BM Syam juga menjadi dosen luar biasa di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Riau (FKIP UIR) (1988-1995).

Di antara buku-bukunya yang sudah terbit adalah lima cerita anak-anak Si Kelincing (1983), Batu Belah Batu Bertangkup (1982), Harimau Kuala (1983), Ligon (1984), Dua Beradik Tiga Sekawan (1982). Roman sejarahnya ialah Damak dan Jalak (1982), Tun Biajid I dan Tun Biajid II (1983), Braim Panglima Kasu Barat (1984), Cerita Rakyat Daerah Riau (1993). BM Syam juga menulis buku ilmiah popular untuk tingkat sekolah dasar, antara lain Seni Lakon Mendu Tradisi Pemanggungan dan Nilai Lestari (1995) dan Seni Teater Tradisional Mak Yong (1982), Mendu Kesenian Rakyat Natuna (1981).

Cerpen fenomenalnya, ‘’Cengkeh pun Berbunga di Natuna’’, mendapat perhatian khalayak sastra Riau ketika terbit di harian Kompas pada tahun 1991. Cerpen ini kemudian terpilih sebagai salah satu cerpen pilihan Kompas dan terbit dalam antologi Kado Istimewa (1992). Cerpen-cerpen penting lainnya antara lain ‘’Perempuan Sampan’’ (1990), ‘’Toako’’ (1991), ‘’Kembali ke Bintan’’ (1991), ‘’Bintan Sore-sore’’ (1991), ‘’Gadis Berpalis’’ (1992), ‘’Pemburu Pipa Sepanjang Pipa’’, ‘’Nang Nora’’, dan ‘’Jiro San, Tak Elok Menangis’’ (1992). Perjuangan BM Syam untuk kehidupan teater tradisional Melayu seperti makyong, mendu, bangsawan dan lainnya, juga dilakukan di berbagai helat kebudayaan, seperti di Taman Ismail Mazuki (TIM) 1970-an, hingga keterlibatannya dalam Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) dan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Nusantara pada 1990-an. Setelah BM Syam meninggal pada Jumat, 21 Februari 1997 di Rumah Sakit (RS) Ahmad Muchtar, Bukittinggi, karena penyakitnya, tak banyak lagi seniman yang mampu seperti dirinya. BM Syam menunjukkan keprihatinannya bukan hanya dengan ucapan, kajian, wacana dan pemaparan, tapi juga mengajarkan dan memberi teladan bagaimana menghidupkan bentuk-bentuk seni warisan itu.

Meski banyak dikritik orang karena dianggap sebagai ’perusak tradisi’ tersebab telah menafsirkan sendiri teater tradisional, namun BM Syam tetap kukuh dengan apa yang dilakukannya. Dia kemudian mengimbuhkan kata ‘’muda’’ pada nama-nama teater tradisional itu, misalnya bangsawan muda, mendu muda dan sebagainya. BM Syam tak ingin wacana tradisional dan modern diadu yang kemudian menimbulkan konflik kebudayaan. BM Syam seperti ingin mendamaikan dua kutub yang dalam wacana kebudayaan beradu pantat tersebut. Harus akui, BM Syam adalah seorang pejuang dan pendobrak teater tradisi.(fed)

Sumber: Riau Pos, Minggu, 19 Februari 2012

No comments: