-- Riki Utomi
SEBUAH hal yang mampu membangun sikap manusia untuk dapat berbuat—dalam hal ini memperbaiki diri setelah jatuh dari keterpurukannya-- tentu banyak pengaruh baik dari diri pribadinya dan juga ada dorongan dari luar, apakah secara langsung dan tidak langsung sehingga manusia akan merasa utuh kembali sebagai manusia.
Kata teror, seperti kita ketahui memiliki pengertian yang menakutkan, karena teror secara harfiah lebih menekankan pada bentuk tindak- tanduk yang mengguncangkan hati, sehingga kita mendapatkan sebuah ancaman yang meruntuhkan kepribadian kita apakah fisik, psikis, batin, dan lain-lain. Berbicara karya sastra dalam hal ini, teror bukan lebih berarti hal-hal yang telah di sebut itu, tetapi teror dalam sastra, menjadikan sebuah hal yang dapat melibatkan berbagai unsur yang ada dalam tubuh kita senantiasa ikut merasa untuk “menggauli” segala kalimat yang mampu mengajak kita berbuat dan memikirkan sesuatu sehingga ada sebuah pencerahan untuk pembaca.
Banyak karya sastra yang manaruh “teror” dalam ceritanya. Menurut hemat saya, sastra memang mesti dibangun atas dasar teror. Karena dari sudut itu, karya sastra akan memiliki roh selain unsur-unsur pembangunnya yang mapan itu (intrinsik dan ekstrinsik). Juga untuk lebih jauh, dengan teror, karya sastra akan mampu berbicara lebih banyak dan lebih jauh kepada sidang pembaca untuk dapat lebih disikapi dan dihayati, mengingat, karya sastra tentu memiliki nilai kualitasnya yang berbeda-beda. Maka kehadiran sebuah teror dalam karya sastra, memiliki peran yang membangun karya sastra itu sendiri, bukan peran yang sebagai perusak.
Teror dalam ulasan tulisan singkat ini saya maksudkan adalah sebuah hal yang bersifat membangun dari apa-apa yang terdapat dalam cerita karya sastra. Kita dapat melihat pada banyak karya Putu Wijaya. Karya-karya Putu dibangun oleh banyak kesan yang menusuk ke hati pembaca, mengajak, merongrong jiwa pembaca untuk dapat menyikapi hal yang dipermasalahkan itu.
Artinya, teror yang diciptakan oleh Putu mampu memberi andil untuk melihat sesuatu dengan sudut pandang masing-masing bahwa kita harus memiliki sikap jeli untuk membangun hidup kita sendiri. Juga berderet karya sastrawan lain, setidaknya mereka menaruh teror yang berbeda-beda. Danarto, lewat cerpen-cerpennya yang sufistis itu, memberi pandangan dengan teror-terornya untuk manusia agar memiliki sikap kemanusiaan sebagai dasar hidup di dunia.
Hal ini tentu tidak lepas dari imajinasi sang sastrawan untuk menciptakan daya gugah dalam karya-karyanya, karena seperti yang dikatakan kritikus HB Jassin (dalam Kleden, 2004) bahwa: imajinasi berbeda daripada gagasan; ia adalah keseluruhan kombinasi dari gagasan, perasaan-perasaan, kenangan pengalaman, dan intuisi manusia. Imajinasi adalah sesuatu yang hidup, suatu proses, suatu kegiatan jiwa.
Dalam hal ini, Musa Ismail, salah seorang sastrawan Riau, hadir kembali dengan kumpulan cerpennya bertajuk Hikayat Kampung Asap banyak memberikan gambaran imajinasi tentang segala bentuk permasalahan dalam kehidupan. Dalam cerpen-cerpen Musa, gambaran kehidupan tidak pernah lepas dari imajinasinya yang jauh, membentuk alur kehidupan tersendiri, dengan bahasa Melayu yang kuat sebagai identitas khasnya, juga kadang berliuk-liar dan nakal dengan nada-nada mengejek, sinis, dan sesekali mampu menjungkirbalikkan logika pikiran kita tentang sesuatu yang tak disangka-sangka. Musa, memang memiliki kelancaran dalam menuangkan ide kreatifnya dengan kalimat yang mengalir bagai air dan seolah tanpa sadar mengajak kepada sebuah kesadaran yang tak kita sangka untuk direnungkan.
Setiap awal cerita dalam cerpennya, Musa mampu memberikan kesan kuat pada teror batin dan psikis pembaca. Dengan bahasa sederhana, tapi kaya akan makna konotatif yang kuat. Awal cerita dalam banyak cerpen Musa merupakan bentuk yang khas sebagai daya sentuh batin dan psikis. Hal tersebut dapat kita baca dari awal cerpen-cerpennya berikut ini:
-”Dia Bernama Tonto”
Dia bernama Tonto. Lelaki itu seorang samseng. Seorang bromoncorah kelas kakap. Melewati kehidupannya dengan gelimangan lumpur, melayari darah, dan air mata. (hlm. 1).
-“Negeri Wah”
Sebelum kapal merapat, penglihatan Cikgu Bahar, Cikgu Sulaiman, dan Cikgu Ilyas sempat terpelongo. (hlm. 9).
-”Luka Negeri Pasir”
Puncak Gunung Jantan terus mendongak langit. Vertikal laksana memanah kekuasaan angkasa. Karena menunjam, bentuknya sungguh mengerikan! (hlm. 22).
-”Hikayat Kampung Asap”
Meskipun namaku Jebat, tapi selama ini kesetiaanku melebihi Hang Tuah. Tidak, Pak. Kali ini biarlah aku menjadi Hang Jebat seperti dalam hikayat. Aku tak nak marwah kita dilanyak. (hlm. 34).
-”Manusia Gelombang”
Bakau, api-api, dan betak di tepi pantai tampak gontai. Tak ada lagi siput-siput memanjat batang-batang mangrove. Ketam-ketam dan ikan-ikan di keramba lari lintang-pukang. (hlm. 45).
-”Rahasia Senja”
Warga Desa Dompas lebam. Pepohonan karet, nyiur, barisan ilalang, deretan rumput, dan bunga-bungaan tak bergeming ditikam senja. (hlm. 52).
“Dia Bernama Tonto” menceritakan seorang pemuda yang dikenal samseng (preman). Hidupnya penuh gemerlapan dunia dan kemewahan harta. Tonto tidak mengindahkan lagi segala bentuk peraturan di masyarakat dan tidak pernah menjalankan ibadah. Sehingga ia merasa mampu menggenggam dunia. Untuk itu dia banyak mendirikan diskotik, hotel-hotel yang bergelimangan bisnis birahi dengan tak lepas merekrut perempuan sebagai pemuas nafsu. Ada seorang kyai, yang dulunya juga seorang samseng. Tapi kyai ini sudah bertaubat dan berniat untuk menyadarkan Tonto. Namun gagal karena Tonto membunuhnya.
Cerpen ini bersifat surealis. Mengalir dengan bentuk naratif tanpa melihat lebih rinci latar belakang Tonto sehingga ia menjadi samseng terkenal di kota itu. Namun banyak yang menjadi teror batin dan psikis dalam cerpen ini. Teror batin yang dapat kita cermati dalam cerpen ini: Tapi apakah daya. Mereka senantiasa dicekam ketakutan akan kekuasaan gank berdarah dingin itu. Membuka mulut berarti terjun bebas dari gedung berlantai tiga belas. Celaka! (hlm. 7)
Ada nuansa imajinatif yang membentangkan masalah dengan landasan yang mencekam. Kata-kata: ketakutan, cekam, kekuasaan, berdarah dingin memberi dan membawa daya imajinasi kita untuk merasa gejolak batin yang terteror.
Sedang gejolak psikis, dapat ditelusuri dari: Begitulah judul berita di media massa sehari setelah kejadian. Namun dalam uraian kejadian tersebut, dikatakan hingga kini belum diketahui siapa pelakunya. Motif pembunuhan itupun tidak dapat cungkil keterangannya. Dengan kematian kiai muda tersebut, suara kebenaran seumpama ikut terkubur. (hlm. 7).
Penggalan kalimat tersebut dapat memberi kesan psikis yang membawa imajinasi pembaca untuk mengambil gambaran-gambaran seluruh kejahatan yang merajalela, begitu laknat, dan gentayangan untuk dapat diburu. Pikiran pembaca akan dapat menghadirkan semacam gejolak resah yang terasa.
Cerpen kedua, “Negeri Wah” berkisah tentang kehidupan guru. tiga orang guru yang telah lama tidak kembali ke Bengkalis karena ditugaskan mengajar di daerah terpencil dan terisolasi. Mereka Cikgu Bahar, Cikgu Sulaiman, dan Cikgu Ilyas. Sekelebat perasaan yang membuncah menyemai dalam hati mereka dan mereka tumpahkan bersama-sama ketika telah tiba kembali ke Bengkalis, karena mereka terpelengo (terheran-heran) lebih jauh (terpana) melihat Bengkalis yang telah berubah dari segi pembangunan. Ada nada ironis yang menyentuh kita ketika mereka melihat rumah bupati yang megah. Hati mereka teriris sambil berkata “rupanya Bengkalis kaya”. Tapi ironisnya mereka tetap merasa miskin karena mereka tak pernah merasakan hakikat “kaya” itu untuk kemajuan ruang lingkup mereka sebagai guru. Mereka tetap berada dalam sekolah-sekolah yang terisolasi, dan masih banyak kekurangan fasilitas belajar, dan gaji guru-gurunya pun masih menyedihkan. Jadi, di mana letak kekayaan itu?
Bukan hanya Bahar, Sulaiman, dan Ilyas yang merasa mual dengan persoalan yang mereka alami. Masih berjibun (banyak) yang intinya merasa kurang bergairah. Apalagi jika mereka berpikir tentang kejahatan yang tidak seberapa dibandingkan dengan wakil rakyat atau pegawai negeri lainnya yang duduk di kursi basah. (hlm. 12).
Kesan gejolak batin yang membuncah dalam tokoh-tokoh cerita yang menyiratkan lebam hidup dan rasa ketidakadilan dalam batin mereka. Dalam realitas, hal itu memang masih dirasakan oleh kaum guru, apalagi yang masih berstatus honorer. Kemudian teror psikis dirasa pada: Ketika tiba di Bengkalis, matanya bagai hendak terjojol (keluar) disaat memandang bangunan rumah bupati dan rumah ketua dewan. ‘Bengkalis memang kaya’ seru hatinya lirih. (hlm. 12).
Imajinasi pembaca mengalir kepada pikiran yang membuncah ke segala arah. Tentu lebih berujung kepada rasa pikir yang sinis karena suatu hal yang dirasa tidak seimbang. Terasa nyata perbedaan diskriminasi dan terasa tampak sekat yang menandai bahwa pejabat tetap kaya dan masyarkat tetap miskin. Memang, sesuatu tidak semata-mata dapat diukur dengan hal fisik seperti bangunan, tapi dalam cerpen ini, gejolak-gejolak psikis kita sebagai pembaca akan menangkap sesuatu yang lazim pada umumnya.
Cerpen “Luka Negeri Pasir” masih membicarakan kemaslahatan ketertindasan. Harga diri yang tertindas, marwah, dan tempat kediaman yang semakin terasa disewenang-wenangkan oleh pemerintah sendiri dan pihak asing.(Bersambung)
Riki Utomi, Penikmat sastra. Alumnus FKIP UIR Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Menulis puisi, cerpen, esai di sejumlah media dan terangkum dalam beberapa antologi bersama. Bekerja sebagai guru. Tinggal di Selatpanjang.
Sumber: Riau Pos, 11 September 2011
1 comment:
Salam,
Admin..
saya minta tolong boleh?
saya sangat berharap mendapatkan sinopsis 'hikayat kampung asap' secara keseluruhan. Jika admin tidak keberatan, tolong bagikan kepada saya sinopsisnya. Alamat email saya firdus.fauzy@ymail.com
Bantuan dr admin sangat saya harapkan. Terima kasih.
Post a Comment