Monday, April 30, 2007

Horison: `Macdonalisasi` Produk Budaya Serba Instant

-- Ahmadun Yosi Herfanda


SUATU hari, para pemuda dari 31 provinsi di Indonesia berkumpul di atas KRI Sangkurilang. Sambil berlayar mengarungi Laut Jawa, mereka mempertunjukkan berbagai atraksi seni-budaya -- dan tentu juga mempelajari masalah-masalah kelautan.

Meski bertajuk Kapal Pemuda Nusantara, acara dalam rangka Festival Internasional Pemuda dan Olahraga Bahari yang popular sebagai Festival Bahari itu penuh sentuhan seni-budaya. "Di dalam kapal, mereka juga melakukan semacam pertukaran budaya. Pemuda dari Ambon, misalnya, memakai pakaian Jawa dan memainkan tari Jawa," kata Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (Menpora) RI DR Adhyaksa Dault.

Tampaknya, Adhyaksa Dault, meski harus mengurus olahraga, tidak melupakan peran seni-budaya untuk membangun jati diri bangsa. Sebab, kebudayaan merupakan aspek penting nation and character building. "Kebudayaan menjadi jembatan pemersatu kita," ujarnya dalam 'diskusi terbatas' di Jakarta, Kamis (26/4) lalu.

DR Adhyaksa membeberkan betapa pentingnya nilai-nilai kebudayaan nasional untuk diwariskan kepada generasi muda agar tetap memiliki akar budaya yang kuat. Sebab, menurutnya, tak bisa ada kebangkitan pemuda tanpa akar budaya yang kuat. "Gimana pemuda mau bangkit kalau akar budayanya hilang," katanya.

Untuk itulah selama ini acara-acara yang digelar oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga selalu kental nuansa seni budaya. Bahkan, ada even-even khusus seni budaya yang digelar secara rutin setahun sekali, misalnya Festival Kreativitas Pemuda.

Selainkan pertunjukan berbagai kesenian oleh anak-anak muda pada puncak acara, festival dalam rangka Sumpah Pemuda ini juga menggelar berbagai lomba yang dibuka sejak awal tahun, seperti festival musik, festival nasyid dan sayembara menulis cerpen untuk pemuda. Khusus untuk lomba menulis cerpen, dilaksanakan oleh Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda bekerja sama dengan Creative Writing Institute (CWI).

"Kesenian, termasuk sastra, sangat efektif untuk memberdayakan pemuda. Karena itu, kami berkomitmen untuk mengadakan sayembara menulis cerpen ini tiap tahun," kata Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda, Drs H Syahyan Asmara MSp, pada acara terpisah.

Even-even lain, yang sebenarnya bukan acara kesenian, juga tidak pernah sepi dari acara kesenian. Festival Bahari 2006, yang berlangsung di Makassar pada Agustus-September lalu, misalnya, dimeriahkan berbagai pertunjukan budaya tradisi bahari dan kesenian-kesenian etnis lainnya, seperti upacara Appanaung Ri Jane, musik tradisional Makassar, dan tari-tari dari empat etnis lain, seperti barongsae.

Festival Bahari 2007 yang akan digelar di Padang, 29 Juli - 8 Agustus 2007, juga akan diwarnai banyak acara kesenian. ''Ini merupakan festival multieven kepemudaan, keolahragaan, dan kepariwisataan yang dikemas dalam lomba internasional olahraga bahari,'' kata Adhyaksa Dault.

Even internasional pemuda dan olahraga itu akan melibatkan empat lembaga negara, yakni Kantor Menegpora, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, serta Departemen Komunikasi dan Informatika.

Baik festival pemuda maupun olahraganya akan diwarnai banyak sentuhan budaya, sehingga mirip festival budaya. Karena, akan banyak digelar lomba olahraga tradisi, seperti lomba perahu naga, sampan, perahu pincalang, layar, layang-layang dan pencak silat. Juga lomba selancar, selam, renang pulau, jetski, gantole, voli pantai, sepak takraw, dan lari 10K.

Sedangkan untuk festival pemuda, antara lain berupa Kapal Pemuda Nusantara, kemah pemuda, Pramuka Saka Bahari, lomba foto, dan penulisan jurnalistik wisata, seni, dan olahraga, serta temu karya ilmiah iptek olahraga. Juga akan diadakan festival musik dan tari untuk lebih memberi sentuhan budaya.

Bahkan, akan ada beberapa pemecahan rekor MURI, seperti pemecahan rekor tari gelombang dengan peserta terbanyak, pemecahan rekor layang-layang raksasa, dan pemecahan rekor melamang (membuat makanan lemang) terpanjang, yakni sepanjang dua kilometre.

Saat ini, menurut Adhyaksa, upaya pewarisan nilai-nilai budaya bangsa muda makin penting untuk menguatkan akar budaya pemuda sekaligus menyelamatkan budaya bangsa dari serbuan budaya asing yang makin meminggirkan budaya-budaya tradisi yang diperlukan untuk nation and character building tadi.

Dalam situasi 'perang informasi' saat ini, menurut Adhyaksa, juga terjadi 'perang wacana budaya'. Nilai-nilai dan produk budaya asing terus menyudutkan kebudayaan nasional, terutama budaya tradisi, dalam posisi yang makin tidak berdaya. "Perang informasi juga menyudutkan kita dalam fenomena mcdonalisasi," katanya.

Mcdonalisasi, menurutnya, adalah kecenderungan yang serba cepat dan serba makmur, namun lupa pada budaya sendiri. Jadi, semua produk budaya, dan gaya hidup masyarakat, menjadi serba instan dan kehilangan akar. Dia mencontohkan sinetron-sinetron drama dan sinetron remaja di televisi, yang sama sekali tidak mendidik dan tidak memiliki wawasan budaya. Juga novel-novel chicklit serta teenlit yang mengadopsi begitu saja gaya hidup remaja Amerika.

Kecenderungan seperti itu, terutama terjadi karena kuatnya orientasi bisnis dalam 'industri budaya' kita. Orientasi bisnis, menurutnya, tetap penting agar kesenian dapat menghidupi dirinya sendiri dan tidak hanya bergantung pada subsidi pemerintah. Tetapi, tetap harus seimbang dengan orientasi nilai budaya, agar produk-produk kesenian tidak malah merusak.

Adhyaksa menyebut film Nagabonar dan November 1828 sebagai contoh produk budaya yang ideal. "Keduanya kental nilai sejarah dan punya akar budaya, tapi juga ada sentuhan orientasi bisnis, sehingga bisa laku. Kenapa sineas yang lain tidak mencontoh seperti itu?" katanya.

Guna mendorong tradisi berseni-budaya yang lebih sehat di masyarakat, Menegpora pun memberikan penghargaan seni. Misalnya, penghargaan Pelopor Kreativitas Pemuda 2006 kepada grup musik The Upstairs dan Menpora Award kepada Deddy Mizwar. Adhyaksa juga sering hadir di tengah acara-acara kesenian, seperti membaca puisi di Warung Apresiasi (Wapres) Bulungan, dan pada 19 Mei 2007 nanti akan membaca puisi serta berorasi dalam acara Kenduri Cinta-nya Emha Ainun Nadjib di Taman Ismail Marzuki.

Peradaban masyarakat kita saat ini, terutama masyarakat perkotaan, sudah sangat parah karena melupakan akar budaya. Karena itu, menurut Adhyaksa, sudah saatnya, semua unsur bangsa bersinergi untuk membangun kembali kebudayaan nasional agar tumbuh lebih sehat dan pas dengan kebutuhan zaman.

Sumber: Republika, Minggu, 29 April 2007

Sunday, April 29, 2007

Wacana: Pengajaran Sastra Berpusat pada Karya Sastra* (Bagian Kedua dari Tiga Tulisan)

-- Ahmadun Yosi Herfanda**


DENGAN merumuskan tujuan pengajaran apresiasi sastra ke TIU dan menjabarkannya ke TIK seperti di atas, target peningkatan apresiasi sastra siswa yang semula terkesan abstrak dan sulit diukur hasilnya, menjadi lebih jelas, operasional, dan terukur.

Namun, cara mengukur tingkat keberhasilannya tidak sama dengan aspek pengetahuan dan teori sastra. Dalam tes atau ujian untuk aspek pengetahuan (sejarah) sastra, pada lembar tes tinggal meminta siswa untuk menyebutkan, misalnya, tiga nama tokoh Angkatan 66.

Begitu juga lembar tes untuk teori sastra (puisi), tinggal meminta siswa untuk menyebutkan misalnya tiga fungsi tipografi dalam puisi. Lembar tes untuk aspek tersebut bahkan bisa berupa pilihan ganda (multiple choice). Jika siswa tidak dapat menjawab dengan benar, maka pengajaran aspek pengetahuan dan teori sastra itu dianggap gagal. Sementara, untuk tes atau ujian apresiasi sastra, pada lembar tes atau ujian harus dilampirkan teks karya sastra, baik puisi maupun fragmen cerpen atau novel.

Tingkat keberhasilan pengajaran aspek apresiasi sastra juga tidak cukup hanya dilihat pada hasil tes atau ujian akhir, tapi juga harus terbukti pada sikap apresiatif dan minat baca siswa setelah lulus kelak. Hasil tes atau ujian akhir hanya indikator keberhasilan pada aspek kognitif siswa, dan ini bisa bersifat sementara.

Sedangkan keberhasilan pada aspek afektif (kecintaan dan sikap apresiatif pada karya sastra) dan motorik (minat baca dan menulis karya sastra) baru dapat dilihat pada jangka panjang. Aspek-aspek terakhir inilah yang sering gagal dicapai, dengan indikator masih rendahnya rata-rata tingkat apresiasi dan minat baca lulusan SLTA terhadap karya sastra, seperti disinyalir oleh Taufiq Ismail.

Selain itu, mengajarkan apresiasi sastra pada siswa jelas lebih rumit dan membutuhkan waktu lebih panjang, dibanding mengajarkan aspek pengetahuan sastra. Dibutuhkan kesabaran dan wawasan pengetahuan yang memadai serta kecakapan khusus untuk itu, sehingga sering kurang mendapat perhatian para guru sekolah. Apalagi, kalau apresiasi terhadap novel, karena siswa memerlukan waktu khusus untuk membaca novel yang dijadikan objek apresiasi.

Untuk apresiasi puisi atau cerpen, mungkin bisa sepenuhnya dilaksanakan di kelas, karena teks-teks yang menjadi objek apresiasi sata-rata cukup pendek. Tapi, untuk apresiasi novel, siswa membutuhkan waktu untuk membaca novel yang menjadi objek apresiasi di rumah atau perpustakaan. Repotnya lagi jika jumlah eksemplar novel yang ada di perpustakaan sekolah terbatas, sehingga siswa harus membeli di toko atau memfoto-kopinya, dan biaya belajar siswa menjadi mahal. Sementara, untuk apresiasi puisi atau cerpen, rata-rata teksnya sudah tersedia di dalam buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.

Pengajaran apresiasi sastra juga mengisyaratkan agar guru mengenalkan atau menjelaskan lebih dulu teori-teori sastra secukupnya sesuai yang dibutuhkan untuk mengapresiasi suatu karya sastra. Untuk mengapresiasi puisi, misalnya, siswa perlu dikenalkan lebih dulu pada prinsip-prinsip estetika puisi atau yang juga disebut metode puisi, seperti tipografi sampai pencitraan, sehingga siswa memiliki alat yang secukupnya untuk mengapresiasi puisi tersebut. Begitu juga untuk mengapresiasi cerpen atau novel, siswa perlu dikenalkan secukupnya pada metode cerpen dan novel, sejak alur, penokohan, sampai ending.

Namun, porsi terbanyak pengajaran apresiasi sastra sebaiknya tetap pada karya sastra yang menjadi objek apresiasi. Artinya, proses belajar-mengajar di kelas tetap berpusat pada karya sastra. Karena, sambil mengapresiasi karya sastra pengetahuan tentang teori dan sejarah sastra dapat sekaligus diberikan (diperluas). Misalnya saja, ketika siswa diajak mengapresiasi puisi Tuhan, Kita Begitu Dekat karya Abdul Hadi WM, pengetahuan siswa tentang fungsi pencitraan dapat ditambah, sekaligus pengetahuan tentang nama-nama sastrawan lain dari generasi Abdul Hadi WM.

Jika diamati benar, pengajaran sastra di SLTA, khususnya di SMU, sebenarnya sudah menampakkan beberapa kemajuan. Sudah banyak sekolah maupun guru sastra yang memberikan perhatian lebih bagi peningkatan apresiasi sastra para siswanya. Mereka tidak hanya diberi pengatahuan dan sejarah sastra, juga tidak hanya diajak mengapresiasi karya-karya sastra, tapi juga diajak untuk menulis karya sastra. Setidaknya, melalui kegiatan ekstra kurikuler dan sanggar-sanggar sastra di sekolah.

Karya-karya para siswa yang dimuat di suplemen Kaki Langit Majalah Horison merupakan bukti banyaknya siswa SMU yang kini gemar dan mahir menulis karya sastra. Begitu juga sikap wellcome hampir semua SMU di Tanah Air untuk menjadi ajang kegiatan 'sastra masuk sekolah' yang dimotori Majalah Horison serta diklat-diklat pengajaran sastra yang diadakan oleh Pusat Bahasa Depdiknas.

Upaya untuk mengintensifkan pengajaran sastra sekaligus mengikuti perkembangan sastra terkini guna meningkatkan apresiasi sastra para siswa juga terlihat pada buku-buku pegangan pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang disusun berdasarkan prinsip Kurikulum Berbasis Kompetensi.

Misalnya saja, adalah buku-buku yang disusun oleh Diyan Kurniawati dkk, yakni Bahasa Indonesia (Intan Pariwara, 2003), serta yang disusun oleh Tika Hatikah dan Mulyanis, Membina Komptensi Berbahasa dan Sastra Indonesia (Grafindo Media Pratama, 2005).

Aspek kebahasaan menempati porsi yang sama dengan aspek apresiasi sastra. Aspek-aspek lainnya adalah mendengarkan, berbicara, dan menulis. Jadi, semua aspek penguasaan bahasa Indonesia mendapatkan porsi yang seimbang.

Selain itu, contoh-contoh karya sastra yang menjadi bahan pelajaran juga karya-karya sastra terkini sampai karya sastrawan generasi 1990-an, tanpa meninggalkan karya-karya sastra lama. Peristiwa-peristiwa kesenian yang diambil sebagai bahan bacaan juga peristiwa-peristiwa terkini.

Melihat nama-nama sastrawan yang karya-karyanya dikutip pada buku-buku tersebut, sebenarnya sudah tidak pas lagi tudingan sementara pengamat bahwa pengajaran sastra di SMU berhenti hanya sampai Angkatan 66. Sebab, banyak nama-nama sastrawan kontemporer, bahkan terkini, yang karya-karyanya diperkenalkan kepada siswa melalui buku-buku tersebut.

Tulisan-tulisan non-sastra yang dikutip juga diambil dari surat-surat kabar dan majalah yang berisi peristiwa-peristiwa terkini. Bahkan, mungkin karena terlalu inginnya menyesuaikan materi pengajaran sastra dengan perkembangan (sastra) terkini, ada nama-nama yang belum dikenal yang karyanya ikut dikutip.

Dengan begitu, materi (buku) yang tersedia untuk pengajaran sastra di SMU sebenarnya sudah sedemikian maju dan sesuai dengan perkembangan sastra dan zaman terkini. Guru tinggal mendorong siswa untuk membaca karya-karya lain dari pengarang-pengarang pilihan yang karya-karyanya dikutip dalam buku-buku tersebut.

Namun, beberapa upaya dan kemajuan tersebut di atas dianggap belum cukup berarti bagi upaya peningkatan apresiasi sastra dan minat baca siswa. Tujuan terpenting pengajaran sastra itu masih dianggap belum tercapai sesuai harapan, karena pengajaran sastra di sekolah belum terlaksana secara maksimal.

Dengan kata lain, meminjam istilah Taufiq Ismail, pengajaran sastra di sekolah masih gagal menanamkan sikap apresiatif dan minat baca siswa terhadap karya sastra. Dan, yang paling dituding menjadi penyebab utama kegagalan tersebut adalah masih menyatunya pelajaran sastra dengan pelajaran bahasa Indonesia.

Selain itu, ada beberapa penyebab lain, seperti kurang cakapnya guru dalam mengajar, kurangnya pemahaman dan pengetahuan sastra guru karena umumnya tidak berasal dari disiplin ilmu sastra tapi disiplin bahasa, terbatasnya buku sastra yang tersedia di perpustakaan sekolah, rendahnya rata-rata kualitas buku pelajaran bahasa dan sastra Indonesia untuk SMU, serta terbatasnya media pengajaran.

Namun, kekurangan-kekurangan tambahan tersebut sebenarnya akan dapat diminimalisir jika pelajaran sastra berdiri sendiri atau dipisahkan dari pelajaran bahasa.


* Tulisan ini merupakan makalah untuk Seminar Pengajaran Bahasa dan Sastra dalam rangka Gebyar Bahasa dan Sastra Indonesia 2007, HMBSI FPBS UPI Bandung, di gedung PKM UPI, 10 April 2007.

** Ahmadun Yosi Herfanda, sastrawan dan wartawan Republika

Sumber: Republika, Minggu, 29 April 2007

Wacana: Menuju Format Baru Pengajaran Sastra* (Bagian Pertama dari Tiga Tulisan)

-- Ahmadun Yosi Herfanda**

PENGAJARAN sastra di sekolah sampai saat ini belum berjalan secara maksimal. Indikator utama yang memperkuat sinyalemen itu adalah masih rendahnya apresiasi dan minat baca rata-rata siswa dan lulusan SMU terhadap karya sastra. Pengetahuan sastra mereka -- meskipun aspek ini lebih mendapat perhatian dibanding aspek apresiasi sastra -- umumnya juga masih sempit, tidak seluas pengetahuan mereka tentang dunia selebriti. Mereka, misalnya, umumnya lebih mengenal Britney Spears atau Westlife di negeri Paman Sam daripada Abdul Hadi WM di negeri sendiri.

Selain itu, juga tampak masih kuat kecenderungan minat baca mereka yang kurang terarah kepada karya-karya yang masuk dalam kategori sastra, tapi lebih ke fikfi-fikfi pop yang menghibur. Buku-buku chicklit, teenlit, dan fiksi seksual, misalnya, sangat laris di pasaran, tapi buku-buku sastra yang lebih serius dan mengandung nilai-nilai yang luhur, baik novel, kumpulan cerpen maupun puisi, masih kurang laku dan hanya berdebu di toko-toko buku atau menumpuk di gudang penerbit.

Secara umum, tingkat apresiasi sastra masyarakat kita -- produk dari pendidikan formal sejak tingkat SLTP sampai perguruan tinggi -- memang masih rendah. Hal ini, menurut beberapa pengamat dan akademisi sastra, juga disebabkan oleh kegagalan pengajaran sastra di sekolah, khususnya di jenjang SLTP dan SLTA.

Persoalan yang sudah dilansir oleh almarhum HB Jassin sejak 1970-an itu hingga kini agaknya belum bisa diatasi secara tuntas oleh pihak-pihak terkait, seperti penyusun kurikulum sekolah menengah dan guru sastra. Kurikulum terbaru, yang disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pun belum menjamin keberhasilan pengajaran sastra di sekolah. Begitu juga KPTS ( ) yang mulai diberlakukan tahun lalu. Sebab, pelajaran sastra masih menjadi bagian kecil (20 persen) dari pelajaran bahasa Indonesia.

Sejak zaman HB Jassin (1970-an) sampai sekarang, sebenarnya sudah tidak kurang sastrawan dan pakar pengajaran sastra yang mencoba mengusulkan perbaikan pengajaran sastra di sekolah itu. Dalam tahun 1980-an, misalnya, berkali-kali Suminto A Sayuti membahasnya dalam beberapa artikel di media cetak dan berbagai forum diskusi. Dalam tahun 1990-an dan 2000-an, penyair Taufiq Ismail juga berkali-kali mempersoalkannya.

Ketika menyampaikan orasi sastra pada Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) XIII di Surabaya, 27 September 2004, misalnya, Taufiq Ismail masih mensinyalir bahwa pengajaran sastra di sekolah miskin apresiasi dan 0 buku. Sehingga, hasilnya adalah para lulusan SMU yang rendah apresiasi sastranya dan rendah pula minat bacanya.

Akan tetapi, ibarat berteriak-teriak di tengah padang pasir, atau menyodok bukit kapur dengan tangkai sapu ijuk, usulan-usulan dan gagasan-gagasan perbaikan itu nyaris tidak berarti apa-apa, dan lenyap ditelah hiruk-pikuk isu politik yang masih malingkar-lingkar pada persoalan korupsi dan kekuasaan.

Gagasan-gagasan perbaikan yang sudah muncul sejak 30 tahun yang lalu itu sampai kini belum membuahkan perubahan yang berarti, apalagi radikal, dalam pengajaran sastra di sekolah, baik di tingkat kebijakan pemerintah maupun pada praktek pengajaran sastra di sekolah. Pengajaran sastra masih menjadi 'bagian kecil' dari pengajaran bahasa, sehingga tetap berjalan secara kurang maksimal.

Kualitas pengajaran sastra di sekolah penting untuk ditingkatkan, karena tidak hanya memiliki tujuan kurikuler yang bersifat jangka pendek untuk menyumbang nilai rapor atau NEM bagi kelulusan siswa. Tapi, juga memiliki tujuan ideal yang bersifat jangka panjang untuk ikut menyiapkan generasi penerus, manusia Indonesia, yang unggul dan berbudaya. Tujuan ideal tersebut hanya bisa dicapai jika pengajaran sastra di sekolah berhasil meningkatkan apresiasi dan minat baca siswa terhadap karya sastra.

Karena itu, aspek apresiasi dan minat baca itulah idealnya yang diberi tekanan dalam praktek pengajaran sastra di sekolah. Sebab, hanya dengan tingkat apresiasi dan minat baca yang tinggi, nilai-nilai budaya bangsa yang luhur dalam karya sastra dapat diwariskan kepada siswa, demi tercapainya tujuan ideal tersebut.

Jika hanya tujuan kurikuler yang ditekankan, sangat mungkin sebagian besar siswa tidak tertarik untuk mengikuti pelajaran sastra secara sungguh-sungguh. Sebab, nilai pelajaran sastra hanya akan menyumbang tidak lebih dari 20 persen pada nilai bahasa Indonesia. Persentase nilai lainnya disumbang oleh aspek keterampilan membaca, keterampilan menulis, keterampilan berbicara dan keterampilan mendengarkan.

Selain itu, juga aspek pengetahuan dan penguasaan ketatabahasaan. Akumulasi dari nilai tiap aspek kebahasaan itulah -- ditambah dengan nilai pelajaran sastra -- yang dimunculkan menjadi satu nilai pelajaran bahasa Indonesia pada rapor serta nilai Ebtanas (sekarang diganti namanya menjadi Ujian Akhir Nasional -- UAN) siswa.

Hasil pengajaran sastra akan lebih parah lagi, jika pelajaran sastra diberikan secara monoton, tidak menarik, dengan kecakapan serta pengetahuan guru yang terbatas dan media serta fasilitas pendukung yang terbatas pula. Misalnya, guru hanya mengandalkan materi yang ada pada buku pelajaran, merenangkan pelajaran secara ala kadarnya dengan metode yang ala kadarnya, dan buku-buku yang tersedia di perpustakaan sekolah pun terbatas.

Secara garis besar, tujuan pengajaran sastra dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, tujuan ideal yang bersifat jangka panjang untuk membentuk karakter siswa. Rincian dari tujuan ini, antara lain, (1) membentuk karaktek siswa agar memiliki rasa keindahan dan peduli pada masalah-masalah keindahan; (2) menumbuhkan sifat-sifat mulia pada diri siswa, seperti kearifan, kesantunan, kerendah-hatian, ketuhanan, keadilan dan kepedulian pada nasib sesama; (3) mewariskan nilai-nilai luruh budaya bangsa untuk membentuk jati diri siswa sekaligus jati diri bangsa; (4) menumbuhkan sikap apresiatif terhadap karya sastra, dan (5) menumbuhkan minat baca terhadap karya sastra.

Dan, kedua, tujuan praktis yang bersifat jangka pendek sesuai dengan yang tertera pada kurikulum. Berbeda dengan tujuan ideal yang lebih abstrak, berdimensi jangka panjang, dan sulit diukur hasilnya; tujuan yang bersifat praktis ini relatif dapat diukur hasilnya dan hasil akhirnya adalah nilai raport dan nilai UAN siswa.

Pada modul pelajaran yang disusun oleh guru, tujuan praktis itu biasa dijabarkan menjadi Tujuan Instruksional Umum (TIU) dan Tujuan Instruksional Khusus (TIK). Contoh TIU untuk aspek pengetahuan tentang sejarah sastra Indonesia, misalnya saja, siswa memiliki pengetahuan yang cukup tentang angkatan-angkatan dalam sastra Indonesia. TIU tersebut dapat dijabarkan menjadi beberapa TIK, misalnya (1) siswa dapat menyebutkan nama-nama sastrawan Angkatan 66, dan (2) siswa dapat menyebutkan karya-karya sastrawan Angkatan 66.

Penjabaran dari TIU ke TIK juga dapat dilakukan pada modul untuk aspek pengetahuan tentang teori dan apresiasi sastra. TIU untuk teori sastra, misalnya, siswa memiliki pengetahuan yang memadai tentang prinsip-prinsip estetika puisi. TIU ini dapat dijabarkan menjadi beberapa TIK, misalnya, (1) siswa dapat menyebutkan empat dari lima metode puisi, (2) siswa dapat menyebutkan dua fungsi tipografi, serta (3) siswa dapat menyebutkan tiga macam citraan dan contohnya.

Sedangkan TIU untuk aspek apresiasi sastra, misalnya, siswa dapat memahami dan menghargai karya sastra. TIU ini dapat dijabarkan menjadi, misalnya, (1) siswa dapat menyebutkan tokoh protagonis dan antagonis novel X, (2) siswa dapat menyebutkan jenis alur novel X, (3) siswa dapat menyebutkan tema novel X, (4) siswa dapat menyebutkan jenis ending novel X, (5) siswa dapat menyebutkan gaya-gaya bahasa dalam novel X, dan (6) siswa dapat menyebutkan pesan-pesan moral novel X.

* Tulisan ini merupakan makalah untuk Seminar Pengajaran Bahasa dan Sastra dalam rangka Gebyar Bahasa dan Sastra Indonesia 2007, HMBSI FPBS UPI Bandung, di gedung PKM UPI, 10 April 2007.

** Ahmadun Yosi Herfanda, Sastrawan dan wartawan Republika

Sumber: Republika, Minggu, 22 April 2007

Esai: Cakrawala Sastra, Tanpa Jender

-- S Prasetyo Utomo*

Agak berlebihan ketika Sapardi Djoko Damono mengatakan, masa depan novel (sastra) Indonesia terletak di tangan perempuan pengarang kita. Memang benar, Sapardi Djoko Damono cukup beralasan mengemukakan pendapat ini karena beberapa fenomena. Pertama, bermunculan perempuan pengarang Indonesia yang sangat serius melakukan eksplorasi gaya bercerita. Kedua, berkembang industrialisasi kapitalistik yang sangat bergairah memasarkan teks-teks sastra karya perempuan pengarang kita. Ketiga, terjadi kegairahan pada para pembaca untuk menikmati teks sastra. Keempat, terbuka liberalisme di kalangan masyarakat terhadap pergeseran nilai, yang memungkinkan eksplorasi seks (yang gencar ditulis beberapa perempuan pengarang kita) mendapat empati pembaca.

Dilihat dari sudut literer, kita memang menemukan keanekaragaman eksplorasi tematik teks sastra dan struktur narasi. Ketajaman faktualitas yang puitis (Ayu Utami), kosmopolitanisme yang melabrak tatanan nilai lama yang mengalami pembusukan (Djenar Maesa Ayu), pembongkaran adat, akar tradisi, dan sistem religi (Oka Rusmini), kekuatan religiusitas sebagai moralitas narasi (Helvy Tiana Rosa), dan eksplorasi iptek dalam fiksi (Dewi Lestari) menandai kegairahan yang luar biasa pada perempuan pengarang kita. Begitu banyak pilihan, kemungkinan baru, dan pembongkaran estetika lama telah mereka lakukan.

Kita mesti bersyukur karena kehadiran para perempuan pengarang Indonesia itu membuat perombakan struktur narasi dan stilistika. Dalam waktu yang relatif pendek telah terjadi pembongkaran-pembongkaran cara bertutur lama ke arah pembauran estetika yang penuh daya kejut. Semenjak kemunculan Ayu Utami, kita dikejutkan kemunculan novel dan cerpen yang penuh kegairahan merombak "patronisasi estetika" teks sastra. Bila semula kita mengagumi nama-nama seperti Umar Kayam, Kuntowijoyo, Budi Darma, dan Putu Wijaya sebagai pusat orbit penciptaan teks sastra, kini kita memiliki begitu banyak perempuan pengarang yang mencipta teks sastra dengan pembebasan estetika.

Memikat

Sudah barang tentu kita tak dapat meletakkan harapan perkembangan teks sastra Indonesia mutakhir semata-mata pada perempuan pengarang yang sedang cemerlang bintangnnya. Harapan ini hanya akan menumbuhkan persaingan daya cipta secara jender. Kemunculan para perempuan pengarang kita dan legitimasi kritikus sastra atasnya bermula dari kriteria literer, terbebas dari persaingan jender. Meski, tak menutup kemungkinan, banyak perempuan pengarang kita menampakkan kegigihan menyuarakan feminisme dalam teks-teks sastra mereka.

Kehadiran perempuan pengarang kita tak mungkin dimaknai semata-mata dengan gairah feminisme yang menyertai eksistensi teks sastra mereka. Sengaja mereka membongkar "pusat orbit" estetika teks sastra dengan cara "mencuri waktu" untuk bisa menulis di tengah-tengah kesibukan sebagai istri.

Pertama, kita menemukan kedalaman penggarapan tematik teks sastra mereka. Tak kepalang tanggung, penguasaan mereka terhadap tema-tema yang diangkat dalam teks sastra kebanyakan menukik kedalaman substansi yang rawan. Kekuatan fakta ini pada gilirannya memungkinkan mereka mengeksplorasi fiksi untuk mencapai makna baru teks sastra. Ada keseimbangan antara penggarapan fakta yang menukik kedalaman dan fiksi yang melambung menjadi narasi mutakhir yang memikat. Ada mereka referensi dan makna puitik teks sastra yang sama-sama dipertaruhkan dengan liat-kental. Semenjak teks sastra Saman (Ayu Utami) hingga Supernova (Dewi Lestari) menampakkan kekuatan tematik dan fantasi yang seimbang.

Kedua, kekuatan stilistika menjadi pertaruhan yang mengagumkan para perempuan pengarang kita. Ada pencairan idiom, frasa, dan klausa yang memperbarui cita rasa bahasa teks sastra. Pergulatan pencarian stilistika inilah yang menandai kesungguhan penciptaan teks sastra mereka karena tak mungkin dikerjakan secara buru-buru. Teks sastra dicipta dalam kontemplasi yang matang, orisinal, dan terus- menerus dalam pergulatan menemukan ekspresi bahasa yang segar.

Ketiga, kegigihan eksperimentasi yang dilakukan para perempuan pengarang kita dengan mempertimbangkan pemahaman pembaca telah mewarnai teks- teks sastra mereka. Eksperimentasi teks sastra yang dicipta para perempuan pengarang kita tak terlampau jauh meninggalkan pemahaman pembaca. Karena itu, teks sastra mereka tak ditinggalkan masyarakatnya. Teks sastra mereka dipuji-puji kritikus dan sekaligus diburu pembacanya. Pada kenyataannya, teks sastra mereka menjadi best seller, mengalami cetak ulang dalam kurun waktu yang sangat cepat. Ini pertanda, teks sastra mereka sengaja dikonstruksikan dalam struktur narasi yang baru, tetapi masih memungkinkan untuk dicerap pemahaman pembaca.

Keempat, teks-teks sastra perempuan pengarang kita lebih berani mengungkap hal-hal yang tabu, yang selama ini disembunyikan di balik norma masyarakat. Pembongkaran tata nilai masyarakat yang selama ini ditabukan, dalam bentuk karya fiksi, memang menimbulkan kontroversi. Sebagian perempuan pengarang sendiri menolak dan merasa muak dengan keterbukaan terhadap seksualitas yang selama ini mengalami "pembusukan" di bawah norma masyarakat. Akan tetapi, kritikus dan sastrawan berjenis kelamin lelaki justru memuji-muji teks sastra itu sebagai karya yang "matang" dan "sangat dewasa". Tak mengherankan bila kumpulan cerpen Djenar Maesa Ayu, Jangan Main- main (dengan Kelaminmu), perlu diberi label peringatan: "khusus dewasa".

Melapuk

Sungguh menakjubkan bila kita melihat kelarisan buku sastra yang ditulis perempuan pengarang kita. Kelarisan teks-teks sastra mereka ditandingi para penulis teks sastra religius, yang melejit tirasnya secara tak terduga. Dalam hal ini, pandangan yang memilah sastrawan secara dikotomis menurut jender sudah melapuk dan runtuh. Cakrawala teks sastra kita bisa saja mengeksplorasi hal-hal yang berkutat masalah "sekular-kosmopolitan" yang kuyup seks, bisa pula mengeksplorasi religiusitas.

Kita tak perlu mencemaskan, teks-teks sastra karya perempuan pengarang berkemungkinan menjadi "pusat orbit" baru, yang menjadi kiblat penciptaan dan sekaligus kecemburuan sastrawan lain. Tak ada patronisme estetika di tangan perempuan pengarang kita karena para sastrawan selalu ingin meruntuhkan dinding alienasi teks sastra di hadapan pembacanya. Bila kecemerlangan bintang para perempuan pengarang kita kembali bersinar pada Sayembara Menulis Novel 2003, pada gilirannya para novelis pria juga dapat mendominasi kecemerlangan Sayembara Menulis Novel pada kurun waktu berikutnya.

Diperlukan kearifan untuk memetakan perkembangan dunia sastra yang tak semata-mata bertumpu pada jender dan pada hasil sayembara mencipta teks sastra serta kelarisan buku sastra. Kelarisan buku sastra tak dengan sendirinya memancarkan mutu literer. Lagi pula, perkembangan sejarah sastra kita juga ditentukan pada laku spiritual para sastrawan, yang tiada habis-habisnya melakukan eksplorasi cara bertutur, pencarian stilistika, dan pertaruhan estetika. Di luar tradisi sayembara penulisan teks sastra, pemberian hadiah sastra, dan kelarisan buku, berkembang pula tradisi penciptaan teks sastra, yang tak gegap gempita, tetapi penuh dengan kesetiaan untuk menemukan gaya pengucapan yang baru.

* S Prasetyo Utomo, cerpenis dan pemerhati sastra, tinggal di Semarang

Sumber: Kompas, Minggu, 29 April 2007

Saturday, April 28, 2007

Kebudayaan: Jejak Akulturasi Arab-Melayu-China

Rumah almarhum Sayid Idrus Bin Hasan sudah sangat kumuh. Dinding-dindingnya dipenuhi lumut, langit- langit rumahnya pun rusak. Rumah itu sudah belasan tahun tak dihuni pemiliknya.

Inilah rumah batu pertama yang dibangun pada masa kolonial belanda. Pemerintah Provinsi Jambi telah menyatakan rumah tua bergaya campuran ini sebagai cagar budaya. Namun, jika kita menengoknya, seakan tak ada penghargaan terhadap rumah ini, selain sebuah papan bertuliskan rumah batu cagar budaya di depannya.

Rumah yang berlokasi di Kampung Olak Kemang, Pelayangan, Kota Jambi, ini dulunya milik Sayid Idrus, salah seorang penyiar agama Islam pertama yang masuk Jambi. Daerah Pelayangan atau seberang Jambi diyakini sebagai komune awal bertumbuhnya ajaran Islam. Para penyiar agama berasal dari Arab, salah satunya Sayid Idrus yang kemudian membangun sebuah rumah besar di sana. Banyak orang bilang, rumah itu dulunya istana. Pada masa penjajahan, rumah itu bisa dibilang yang termegah.

Pemiliknya mengundang seniman China untuk membentuk sejumlah ornamen naga dan ukiran barongsai di dinding rumahnya. Si seniman tampaknya juga ingin membaurkan gaya China dengan Melayu. Gayanya tampak pada bangunan di lantai dua yang berbahan kayu, dan jendela-jendelanya yang banyak pada hampir semua sisi. Ini memudahkan angin masuk, dan supaya pemilik rumah dapat mudah melihat ke luar, sambil duduk di lantai dekat jendela.

Selama masa itu, anak-anak dan menantu Sayid Idrus serta kaum keturunan Arab lainnya dididik agama secara kuat. Mereka berbaur dengan masyarakat Melayu, bahkan pendatang asal China. Penyebaran agama dipermudah dengan perkawinan. Kampung Arab Melayu bisa dibilang sebagai pusat perbauran pendatang Arab dengan Melayu. Sedangkan Kampung Tengah merupakan komunitas Arab yang kawin dengan perempuan-perempuan China. Komune ini terus berkembang hingga terbentuk kampung-kampung lain di sekitarnya yang merupakan hasil akulturasi yang damai, hingga mereka menganut agama Islam.

Tidak ada konflik pada masa itu. Malah sejumlah madrasah, pesantren, serta masjid banyak dibangun. Dari perkampungan ini jugalah banyak pendatang dari luar daerah belajar agama, dan kemudian kembali lagi ke daerah asal mereka untuk bersyiar.

Salah seorang keturunan Arab, Habib Al Musyawah, mendirikan empat madrasah, Nurul Islam, Nurul Iman, Tahtulyaman, dan Jauhareem. Sedangkan Sayid Idrus membangun Masjid Al Akhsaniyah, Olak Kemang, yang hingga kini masih tampak keagungannya. Sejumlah keturunan lainnya juga membangun masjid dan surau.

Kini, dalam ketuaannya, istana Sayid Idrus tak lagi ditempati. Mungkin kita hanya akan tinggal menunggu istana itu hancur termakan usia. (ITA)

Sumber: Kompas, Sabtu, 28 April 2007

Esai: Dibutuhkan Ruang-ruang Pengucapan "Kredo"

-- Mudji Sutrisno SJ

Untunglah masih muncul tokoh Thukul dalam "kembali ke laptop" dengan ruang canda diri, olok-olok lucu dan ungkapan-ungkapan spontan yang meluncur berfungsi katarsis dalam kepenatan dan kepengapan situasi sosial dan budaya kita yang diretak-retak gempa bencana dan gempa acuan nilai.

Untung pula masih ada mimpi dalam republik ini meski dalam wujud parodi satir "Republik Mimpi" yang membenturkan wajah-wajah kita di cerminan parodi untuk saling ditertawai dan menertawakan diri.

Minimal mimpi itu masih bernyawa untuk tetap memberi denyut bagi sebuah bangsa berpadat penduduk besar yang pasang surut dalam perjalanan menjadi beradab dalam peradabannya.

Masih beruntung, kita memilih visi kepenyairan dalam kredo puisi semisal 1973 Sutardji Calzoum Bachri yang mau mengembalikan kata pada daya sihir mantra kehidupan kembali. Kata yang mau dibebaskan dan beban-beban pengertian yang tidak menafasi hidup lagi tetapi sudah disempitkan dan direduksi oleh pengetahuan-pengetahuan rasionalisasi dan bukan daya magis mantra kehidupan.

Justru di tengah keriuhan dan hiruk-pikuk verbalisme tong kosong berbunyi nyaring kosong makna itulah sebuah keyakinan perjuangan memberi makna lagi pada kata dan daya hidupnya menjadi tetes air hujan di tengah kekeringan kemarau perpuisian kita.

Bila kredo dibaca dalam mata budaya sebagai keyakinan individu seniman untuk memperjuangkan visi berkeseniannya, sesungguhnya, ia menjadi sumbu sebuah nyala yang tidak komunal gerombolan dari makna awal credere: Mengimani keyakinan tertentu dalam hidup sehingga saya percaya (credo) merupakan posisi yang dengan sadar dan teguh dipegang untuk jadi obor perjuangan kebudayaan.

Akan tetapi, kredo para kritikus sastra atau seni yang mengulas perkembangan seni dari titik pandang tergantung pada kata, atau pada warna (untuk lukisan); pada ikon, simbol, semiotika dan bahkan nada dan abstraksi-abstraksinya mengalami bingung arah manakala pemahaman sejarah tahap-tahap peradaban dari "mitos" di mana alam sakral dan suci menyatu dengan alam nyata serta dihormati bertuah dan bermantra menuju tahap muncul berkembangnya ilmu karena rasionalitas budi dan akal penalaran logika dalam "logos"; telah membuka keterbatasan kata sendiri sebagai aksara yang hanya mengungkapkan potongan-potongan kehidupan yang bisa dihurufkan lewat simbol aksara dan yang hanya logis rasional melulu.

Dengan kata lain, hanya eksploisitasi ungkapan pengalaman logis tertulis dan teraksarakan sajalah yang dibahasakan dalam kata. Sementara peristiwa-peristiwa yang dialami dan kehidupan yang dihayati dengan rasa tetaplah berada dalam ketersiratan diam tidak terbaca, tidak tertulis apalagi bila bernaung dalam luas hening ketidaksadaran bahkan kebisuan yang istilah bahasa lain mengungkap lebih tepat dan pas yaitu silence.

Sejak bahasa tulis logis aksara dipersepsi sebagai ungkapan kesadarannya oleh psike dalam analisa Freud, terbukalah rentang ranah tak terbahasakan dari misteri ketidaksadaran yang penuh pendaman-pendaman tak berduga yang kerap muncul dalam surealisme lukisan-lukisan bahkan histeria yang tidak terungkapkan dalam bahasa tulisan sesungguhnya paling bisa dikenal dalam wacana-wacana mulai wacana sok pejabat yang menjadi wujud otoriter mau mendominasi pembicaraan sehingga orang lain dibikin diam, patuh, dan terpaksa tutup mulut. Atau wacana kampus para intelektual yang mendominasi percaturan akademik sehingga yang merasa tidak mengenyam sekolah lalu bungkam tahu diri diam terpaksa. Sementara wacana histerislah yang berada di ambang antara sadar protes unjuk rasa meledakkan emosi bersama dengan impulsi-impulsi bawah sadar yang kerap berakhir dalam anarki. Inilah penemuan murid Freud yaitu Jacques Lacan dalam bahasan tuntas mengenai "tulisan" (L’ecrits 1970, edisi baru).

Pada hal pertanyaan pokok mengenai mengapa ketertindasan dalam berbahasa tulisan dan lisan tetap berlangsung padahal subyek-subyek pembicara adalah orang-orang berkesadaran? Penyebabnya adalah jenis kalimat tidak membuka dialog dalam "genre" menjajah sebenarnya langsung menyebabkan pihak lain diam seribu basa karena tidak diberi ruang untuk "genre" kalimat dominan si pemula pembicara atau penulis. Akibatnya lagi, oleh Jacques Derrida, terjadilah pecah kalimat dan retak dialog dan lebih parah lagi, memasukkan sesama dalam kebisuan silence karena beda genre dalam différence.

Kebudayaan yang salah satu juru bicaranya atau media temu-temunya adalah bahasa maka kredo berbahasa dengan lantang diucapkan dalam traktat logika (berbahasa) atau baca tractatus logicus Wittgenstein, yaitu jangan baca dan cari makna kalimat itu dari kamusnya atau makna katanya tetapi ambil makna kalimat itu dalam konteks kepentingan apa ia diucapkan!

Jadi kepentingan berparodi untuk kritik diri dan mawas sehat menertawakan diri sendiri untuk kesehatan wacanalah yang harus diambil dalam memahami parodi apa pun.

Namun keseringan terus-menerus memperolok-olok diri akhirnya juga akan menempatkan pemaksaan diam panas telinga dan tipis telinga lantaran tidak dalam "genre" jenis diskusi terbuka saling menyumbang untuk peradaban sejahteranya bangsa bersama telah membuat anomi pemaksaan pihak lain jadi diam karena diposisikan sebagai penonton.

Di sisi lain, ketika tiba saatnya di parodikan berkesempatan membalas di sana "genre" pihak lain berada di posisi sebaliknya. Karena saling berparodi tidak dalam ruang dialog bersama maka jalan pintas tercepat dalam kondisi sosial yang distrust itu adalah somasi atau kelarang dengan bahasa hukum UU. Pada hal indikasi paling tulus bila selalu solusinya larangan dan jalan keluar dengan pembuatan undang-undang mengungkap jelas-jelas krisis distrust di antara kita.

Apa jadinya dalam keluarga berbasis saling percaya, dalam sekolahan atau pendidikan berlandaskan saling percaya dan tanggung jawab bila tiap ada krisis selalu dipecahkan dengan ribuan aturan? Hasilnya? Aturan ada, formalisme terjadi tetapi tidak pernah ditaati. Atau lagi ada aturan tetapi kompromi dan toleransi uang mengganti aturan itu.

Dari wacana histeria di atas, dan fenomena-fenomena bunuh diri stres ibu dengan anak-anak, istri atau suami pegawai kecil atau TKW yang terjerat beban-beban ekonomis, kemelaratan dan beban psikologis yang sedang terjadi saat ini sesungguhnya merupakan petunjuk hilangnya ruang-ruang katarsis tradisional atau pun lenyapnya rasa humor di antara kita.

Ke mana ruang pelepasan dunia ketidaksadaran beban psikis dalam mainan anak-anak ketika rembulan purnama? Ke mana waktu senggang di kampung-kampung dahulu ibu-ibu di pinggir sungai sambil mencuci pakaian saling tertawa ria dan bercanda pelepas dan jadi ruang katarsis-katarsis mereka?

Ruang-ruang main, bercanda, mencari kutu dan ngerumpi hati ke hati di kota-kota dengan beban berat sudah diformalkan satu-satunya dalam kotak ajaib televisi dan tayangan-tayangan yang sepihak paling luas sepentas Thukul.

Bila dunia virtual lawak, canda Srimulat, monolog antara pemirsa dan gambar ditayangkan yang minus dialog pun kalau ada lewat SMS dan telepon berhadiah lalu bisa amat dipahami, kita sedang kehilangan ruang katarsis humoris, canda dan main-main yang benar-benar real dalam menghayati hidup nyata dalam suka-dukanya.

Bukan hidup virtual sebagaimana dicitakan dikotak-kotak televisi kita. Herankah kita bila "ciri humor-less" masyarakat ini lalu menemukan jalan keluarnya dalam ruang-ruang gaib dengan dunia hantu mati lalu hidup lagi dan mati lalu memberi nasihat sebagai hantu?

Hantu-hantu yang memberi nasihat hidup baik itulah yang mengalami pecah katarsis karena di dunia nyata para guru, pejabat, dan agamawan juga pe- nuh petuah dan nasihat hingga verbalisme mencapai puncaknya.

Dibutuhkan keheningankah? Dibutuhkan ruang-ruang bermain, "dedolanan bersenandung", menari dan menyanyi; berketoprak, berkesenian termasuk bermusik-ria dalam dangdut, dalam pop rock, jazz, keroncong, atau yang para ABG menggandrunginya!

Kita yang peduli sesungguhnya mempunyai pekerjaan rumah untuk menyediakan seluas mungkin saluran energi psikis, kreatif, sadar dan tak sadar sama seperti Bang Ali dahulu lebih menyiapkan gelanggang-gelanggang remaja untuk seni, budaya, olahraga daripada strategi pasar kapital perluasan mal dan mal! Sebab, bangsa ini membutuhkan orang-orang kreatif yang mampu bermimpi untuk terus merdeka!

* Mudji Sutrisno SJ, Budayawan

Sumber: Kompas, Sabtu, 28 April 2007

Friday, April 27, 2007

Esai: Alquran, Keindahan Aural dan Puisi

-- Asarpin*

TRADISI resital (membaca) Alquran dalam Islam dinamakan tilawah. Bentuk resital yang paling populer di tanah air adalah pembacaan Alquran secara murattal, atau ritmik, yang juga sering disebut tartilan. Tradisi ini di negeri kita biasanya dilombakan dalam festival Musabaqoh Tilawatil Quran (MTQ).

Dalam MTQ, yang ditonjolkan adalah Alquran sebagai keindahan aural (keindahan yang didengarkan), bukan yang dituliskan. Bacaan Alquran yang aural dilantunkan begitu merdu, begitu indah, seperti puisi kanonis yang kaya akan semesta metafora.

Dalam Alquran memang terdapat banyak muatan puisi dan prosa. Kisah nabi Adam dan Hawa, kisah nabi Musa, Isa, Yusuf, Sulaiman, Daud, dan cerita kaum Ad dan Thamud, cerita Ashabul Kahfi, Ashabul Fil, Isra-Mikraj, merupakan kisah-kisah dalam bentuk prosa dan puisi.

Hasil penelitian Shahnon Ahmad (1977) dari Malaysia menunjukkan ada sebanyak 227 surat Alquran yang merujuk para penyair, terutama penyair jahiliyah. Dalam surat-surat Makiyah (surat yang turun di Mekah), terutama yang pendek-pendek, struktur stilistik (gaya) dan bahasa sangat bertumpu pada struktur puisi. Kata alif, lam, mim, ya, ain, shod, menunjukkan stilistik yang sama dengan puisi.

Sudah banyak riwayat diceritakan bagaimana pesona keindahan bahasa dan stilistika Alquran yang mampu menggugah orang bahkan terpengaruh olehnya. Kisah masuk Islamnya pujangga al-Walid bin al-Mughirah yang diutus oleh suku Quraisy untuk berdialog dengan nabi Muhammad, kisah terpesonanya Umar bin al-Khattab terhadap Alquran hingga ia masuk Islam, merupakan kisah tentang keindahan bahasa dan gaya Alquran.

Ketakjuban masyarakat terhadap Alquran muncul dari adanya semacam gairah akan kesusastraan. Kita masih ingat ketika Alquran diturunkan, masyarakat Arab pada waktu itu sudah memiliki tradisi sastra yang kuat. Ketika masyarakat Arab menerima Alquran pun senantiasa dikaitkan dan diuji dengan sastra, terutama keindahan bahasa, retorika, dan gayanya.

Keindahan Alquran ketika dibacakan mengandung kekuatan sastrawi yang mampu membetot pikiran dan perasaan pendengarnya. Maka tak heran bila ada yang beranggapan bahwa Alquran mengandung kekuatan magis yang mampu memengaruhi orang yang membaca atau mendengarkannya. Ini tentu tidak mengherankan karena keindahan Alquran itu sendiri berasal dari yang Mahaindah. Allah sendiri Mahaindah dan mengagumi keindahan.

Jika Allah adalah Mahaindah maka sudah tentu firmannya juga indah. Kata Alquran sendiri berarti bacaan, bacaan yang indah. Untuk mendekati Alquran yang indah disyaratkan dengan pendekatan yang mampu menguak tabir keindahannya. Dan ini sangat mungkin dilakukan dengan kajian sastra yang memang sangat apresiatif terhadap bahasa dan seni keindahan.

Dengan kata lain, "mendekati" yang Mahaindah yang telah melahirkan firman yang sangat indah (Alquran), sangat logis dengan pendekatan puisi. Manusia tak akan mampu "berjumpa" dengan yang Mahaindah dalam kondisi yang tidak indah atau kotor, karena itu untuk "menjumpai" yang Mahaindah dibutuhkan seperangkat alat yang indah atau minimal yang menghargai keindahan.

Amin al-Khuli pernah mengajukan metode pendekatan sastra dalam membangkitkan semesta metafora dalam Alquran. Seorang mufasir, kata Amin al-Khuli dan Nashr Hamid Abu Zayd dalam buku Metode Tafsir Sastra versi terjemahan bahasa Indonesia (Fakultas Adab Press IAIN (sekarang UIN) Yogyakarta, 2004) mau tak mau harus menggunakan ilmu-ilmu sastra seperti gramatika, metafora, gaya, agar mampu menghindari makna monolitik atas Alquran, dan pada saat yang sama, mampu menghadirkan keragaman makna Alquran itu sendiri.

Amin al-Khuli tidak sendirian, muridnya, Nashr Hamid Abu Zayd bahkan telah mengaplikasikan pendekatan teks dan metode tafsir sastra dalam menguak dimensi keindahan Alquran.

Jauh sebelum Amin al-Khuli, ulama tafsir yang menekankan bahasa dalam tindak penafsiran Alquran adalah Muhammad Abduh (1848--1905) dan Thaha Husayn (1889--1973). Di Indonesia, tentu kita masih ingat H.B. Jassin dalam Alquran Bacaan Mulia dan Alquran Berwajah Puisi yang sangat heboh itu.

Adakah yang salah dengan cara seperti itu? Metode tafsir sastra atas Alquran itu sendiri merupakan sebuah ijtihad. Bila kini banyak para ulama dan pemikir yang menggunakan pendekatan sosiologi, antropologi, psikologi, sejarah, filsafat, dalam menafsirkan Alquran, dan banyak yang tak lagi keberatan, maka metode tafsir sastra atas Alqutan sangat mungkin dilakukan. Mengungkap makna terhadap ayat-ayat Alquran melalui pendekatan puisi atau prosa tidak berarti menempatkan Alquran di bawah puisi.

Justru dengan cara ini, keindahan Alquran tidak semata-mata sebagai klaim sempit umat Islam, tapi akan memiliki landasan argumentasi pengetahuan yang kuat. Bila kita percaya bahwa Alquran itu indah dan penciptanya Mahaindah maka pendekatan sastra yang menekankan sisi keindahan tak akan mampu menggerogoti kemukjizatan Alquran.

Bukankah jalan menuju ke pengetahuan tentang mukjizat Alquran senantiasa terpampang bagi siapa saja yang ingin mengetahui keindahannya. Pintu untuk bisa membuka rahasia kemukjizatannya betapapun kecilnya yang bisa dilakukan oleh manusia sangat mungkin dengan kajian sastra dan puisi khususnya.

Mengapa puisi? Karena "puisi", kata 'Abd al-Qahir, akan mampu menjamin anda untuk tak terjebak pada akidah tunggal itu, seraya menganggap yang lain kafir, akan menjamin anda untuk tak melakukan kesalahan di dalam membuat klaim, menjaga anda untuk tak menjadi orang yang alim hanya secara taklid semata.

* Asarpin, Peminat Kajian Sastra

Sumber: Lampung Post, Jumat, 27 April 2007

Wednesday, April 25, 2007

Cagar Budaya Belum Terpelihara, Upaya Pemetaan Penting untuk Perlindungan

Jakarta, Kompas - Ribuan benda dan situs cagar budaya yang tersebar di darat dan dasar lautan Nusantara belum terpelihara. Tugas pemeliharaan menjadi semakin berat oleh adanya sejumlah situs yang terkena bencana. Padahal, benda cagar budaya memiliki nilai kesejarahan yang tinggi bagi bangsa ini.

Kenyataan ini diakui Hari Untoro Drajat, Dirjen Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dalam diskusi bertajuk "Peta Pelestarian Kekayaan Budaya Nasional" di Jakarta, Selasa (24/4).

"Dari 7.474 benda dan situs cagar budaya yang ada, baru 1.709 yang dipelihara. Adapun jumlah juru peliharanya hanya 2.801 orang," kata Hari seraya menambahkan, banyaknya benda dan situs cagar budaya yang tak terpelihara itu karena keterbatasan dana pemerintah.

Oleh karena itu, tambahnya, program pemeliharaan lebih didasarkan pada skala prioritas. Bahkan, untuk juru pelihara honorer saja saat ini hanya dibayar Rp 250.000 per bulan. "Mulai tahun ini pemerintah berkeinginan menaikkan honor para juru pelihara benda dan situs cagar budaya tersebut, sehingga setiap bulan mereka bisa menerima Rp 400.000-Rp 600.000," ujarnya.

Kekayaan benda dan situs cagar budaya di dasar laut—termasuk yang berasal dari kapal tenggelam—juga belum terpetakan. Dari 186 lokasi kapal tenggelam yang sudah diketahui, baru dua lokasi yang sudah dipetakan.

Kekayaan budaya

Nina Sardjunani selaku Deputi Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), menyatakan, peta kekayaan budaya nasional dibutuhkan agar dapat ditentukan prioritas upaya pelestarian.

Untuk itu, Bappenas bersama Departemen Budpar saat ini berupaya memetakan kekayaan budaya nasional tersebut, terutama terkait benda dan situs cagar budaya. "Diharapkan, upaya pemetaan tersebut final sampai akhir tahun ini," kata Nina.

Perhatian serta perlindungan terhadap benda dan kawasan cagar budaya memang masih minim. Perdagangan dan pendirian bangunan di atas kawasan atau situs cagar budaya yang bernilai ekonomis kerap dianggap hal biasa dan bukan pelanggaran. Padahal, kata Nina, jika cagar budaya itu dilindungi dan dirawat menyumbangkan nilai ekonomis lebih tinggi karena akan menjadi tujuan wisata yang maksimal.

Hari Untoro menambahkan, terdapat sejumlah permasalahan dalam pelestarian cagar budaya. Di antaranya konsep pengembangan kawasan cagar budaya belum komprehensif dan integral. Orientasi peningkatan pelestarian perlu diarahkan pada prinsip perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Pemerintah daerah sendiri dianggap masih minim perhatiannya terhadap pelestarian cagar budaya.

Persoalan lain ialah pandangan yang berorientasi pada nilai ekonomi semata. Pandangan itu perlu diarahkan pada sosial dan budaya, khususnya budaya setempat. Selain itu, perlu pemberdayaan masyarakat sekitarnya.

Anggota Dewan Pimpinan Badan Pelestarian Pusaka Indonesia Nunus Supardi dalam makalahnya menyebutkan, pelestarian budaya oleh pemerintah tidak terlepas dari penataan organisasi dan koordinasinya. Mantan Staf Ahli Menteri Kebudayaan dan Pariwisata itu berpendapat, perlu koordinasi intens antara Departemen Budpar dengan Departemen Dalam Negeri tentang pelestarian kebudayaan bangsa.

Dengan demikian, kata Nunus Supardi, masalah pengurusan kebudayaan bangsa yang dibagi kewenangannya antara pusat dan daerah tidak terlepas dari bingkai kebudayaan nasional atau kebudayaan bangsa. "Di samping itu, perlu dilakukan penataan ketenagaan, anggaran belanja, sarana dan prasarana budaya, serta peraturan perundangan untuk melindungi kekayaan bangsa tersebut," ujarnya. (INE)

Sumber: Kompas, Rabu, 25 April 2007

Tuesday, April 24, 2007

Seni Dongeng: Menghibur Sambil Tanamkan Akhlak Luhur

SENI dongeng masih hidup di tengah masyarakat. Namun, gaungnya mulai memudar. Segenap kalangan seniman pun mulai kurang berminat. Barangkali, seni bertutur ini dianggap hanya berkaitan dengan dunia anak-anak. Seni warisan nenek moyang itu dinilai tak begitu menjanjikan secara finansial.

Karena itulah, program Bahana Dunia Anak yang diselenggarakan Cinta Ananda (Cinda) perlu disambut baik. Program itu menampilkan rangkaian kegiatan seni dongeng yang dikemas dalam bentuk road show, audition show, dan top show. Para peserta yang dilibatkan adalah anak-anak yang berusia 5 tahun sampai dengan 10 tahun.

Road show yang telah dimulai sejak 17 April 2007 lalu telah dilaksanakan di taman kanak-kanak (TK) daerah Ciputat, Pamulang, dan Bintaro. Kemudian, road show akan berlanjut ke wilayah Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Barat, dan Depok hingga akhir Mei 2007.

Cinta Ananda yang dimotori Rico Toselly dan Awam Prakoso menghadirkan dongeng yang dikemas layaknya sebuah kegiatan hiburan. Karena itu, seni dongeng yang disajikan sangat mengusung kreativitas. Tujuannya bukan hanya untuk memberikan hiburan semata bagi anak-anak, melainkan untuk memberikan informasi dan edukasi bagi perkembangan emosi, wawasan, dan pengetahuan anak.

Rico dan Awam yang sudah lebih dari tujuh tahun mendongeng membawakan beberapa buah cerita yang dikemas dengan konsep musikal, bahasa tubuh, ekspresif, dan energik.

"Semua konsep mendongeng adalah baik. Yang penting bisa menghibur dan mendidik. Seorang pendongeng harus berupaya menampilkan cerita-cerita yang meminimalkan kekerasan dan memperhalus cerita," ungkap Rico.

Ia menjelaskan pendongeng sedapat mungkin mengemas cerita yang dibawakannya secara interaktif. Anak-anak sebagai pendengar dongeng harus ikut terlibat. Dengan demikian, anak-anak akan betah berjam-jam mendengar dongeng yang diceritakan.

Dongeng memang sumber inspirasi bagi anak-anak untuk bergiat. Karena tak sedikit penemuan-penemuan ilmiah yang spektakuler berawal dari khayalan. Ketika generasi masa lalu menikmati petualangan seorang tokoh khayali yang bernama Flash Gordon, mereka memang hanya menikmati kebohongan sebuah komik. Tapi di kemudian hari, umat manusia di seluruh dunia menyaksikan apa yang tadinya dikategorikan sebagai kebohongan itu bisa diwujudkan sekarang.

"Dunia dongeng adalah dunia anak-anak yang menakjubkan. Dongeng itu disukai semua orang tanpa batas umur. Lewat dongeng, anak-anak mengenal nilai-nilai luhur akhlak, mengembangkan cakrawala imajinasi, dan menumbuhkan kecerdasan emosional," kata Awam.

Tak semata itu, lewat dongeng kedekatan orang tua dan anak akan terjalin erat. Semua manfaat dongeng dapat menjadi bekal tak ternilai bagi anak-anak untuk mengarungi lautan kehidupannya kelak di masa mendatang.

Selain berisi pertunjukan dongeng, Bahana Dunia Anak juga menampilkan kompetisi pendongeng cilik disertai beberapa kompetisi pelengkap lainnya seperti kompetisi penyanyi cilik dan presenter cilik dalam kegiatan yang diberi nama audition show.

Puncak acara kegiatan Bahana Dunia Anak (Top Show) akan diselenggarakan Cinta Ananda pada 3 Juni 2007 mendatang dengan menggelar berbagai kegiatan untuk anak. Semua kegiatan itu dihadirkan dengan kemasan nuansa anak yang penuh dengan kegembiraan, keceriaan, dan imajinasi.

Menyaksikan kegigihan Rico dan Awam mendongeng di sejumlah TK sama halnya menyaksikan dua seniman muda yang tengah mengangkat seni dongeng dari ketersisihannya. Mereka telah mencoba membangkitkan seni dongeng yang mati suri di tengah masyarakat Indonesia. (Chavchay Syaifullah/H-3)

Purbakala: Tulang Buaya Purba Ditemukan di Sangiran

SOLO (Media): Museum situs purba Sangiran kembali menambah koleksinya sejak Jumat (20/4). Setelah Sri Mulyono, 38, petani asal Dukuh Dayu, Desa Pucung, Kecamatan Gondangrejo, Karanganyar, Jawa Tengah, menyerahkan tulang buaya purba yang disebutnya sebagai balung buto.

Gunawan, petugas laboratorium Sangiran menyebutkan penemuan artefak kuno di areal tebing tegalan di sebelah selatan domain purba itu sebagai temuan terlengkap abad ini.

"Ya, kalau dilihat secara fisik yang utuh bagian kepala ini dan bukan potongan fragmen-fragmen seperti yang sudah-sudah. Boleh jadi ini merupakan penemuan fosil terlengkap abad ini," ujar Gunawan di sela keasyikannya meneliti tengkorak buaya purba di Sangiran, Sragen, Jawa Tengah, kemarin.

Menurut Gunawan, temuan mengejutkan itu akan semakin membuka tabir kehidupan di masa ratusan ribu silam. Penemuan itu juga akan sangat berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan ke depan. Tengkorak buaya purba lengkap dengan taringnya itu memiliki panjang 95 cm dengan lebar 46 cm itu kemungkinan umurnya sekitar 800 ribu tahun.

Sejauh ini pihak Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah yang menjadi pengelola Museum Sangiran belum akan menindaklanjuti temuan itu dengan melakukan ekskavasi terhadap areal tegalan. Sebelumnya pada 1960-an, di Desa Pucung itu juga pernah ditemukan fosil manusia purba yang cukup lengkap.

Sementara itu, Sri Mulyono, petani yang menemukan tengkorak buaya purba itu mengakui, meskipun Dukuh Dayu, Desa Pucung disebut sebagai bagian dari kawasan situs kuno Sengiran, namun jarang ditemukan fosil. Tetapi diyakini memiliki deposit artefak kuno yang sangat banyak di daerahnya.

Setidaknya, almarhum ayah Sri Mulyono pada akhir 1960 dan awal 1970-an juga pernah menemukan fosil manusia purba yang cukup lengkap. "Almarhum ayah saya pada 1970-an juga pernah menemukan fosil, dan jelas jenis temuannya adalah tengkorak manusia purba. Kondisi yang jelas ternyata juga saya temukan pada tengkorak buaya purba ini," katanya. (WJ/H-3).

Sumber: Media Indonesia, Selasa, 24 April 2007

Buku Murah: Diperlukan Ketegasan Pemerintah

Jakarta, Kompas - Ketegasan kebijakan pemerintah tetap diperlukan agar harga buku murah dan terjangkau oleh masyarakat bisa terwujud. Kebijakan tersebut antara lain terkait pajak untuk buku, kerja sama dengan penulis untuk penerjemahan buku-buku asing yang penting, dan anggaran untuk perpustakaan.

Demikian terungkap dalam jumpa pers terkait penyelenggaraan Hari Buku Sedunia di Jakarta, Senin (23/4). Nasir Tamara selaku National Coordinator for Target Millennium Development Goals (MDGs) United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia mengatakan bahwa kemampuan membaca ikut menentukan transformasi sosial dan kesejahteraan masyarakat. Pembudayaan cinta akan buku masih terkait dengan tujuan MDGs, yang salah satunya ialah peningkatan akses terhadap pendidikan, dan buku merupakan salah satu sarananya.

Kepala Pusat Informasi dan Humas Depdiknas Bambang Wasito Adi mengakui masih perlu kebijakan pemerintah terkait kemudahan mengakses buku, yang saat ini harganya relatif masih mahal di Indonesia. "Saat ini, disebut-sebut pajak buku dan distribusi yang buruk masih menjadi penyebab," ujarnya.

Di Indonesia, perayaan Hari Buku Sedunia 2007 dilaksanakan 26-29 April 2007 di Plasa Depdiknas (Gedung A), Jakarta. Acara tersebut diselenggarakan oleh Forum Indonesia Membaca bersama Perpustakaan Depdiknas.

"Kami berharap perayaan itu dapat menyemangati masyarakat, terutama kalangan anak-anak untuk mengeksplorasi manfaat dan kesenangan yang bisa didapat dari buku," tutur Dewi Sekar Astina, Direktur Festival Hari Buku Sedunia di Indonesia. Dalam festival tersebut diselenggarakan talkshow, seminar, permainan, dan pemutaran film. (INE)

Sumber: Kompas, Selasa, 24 April 2007

Wednesday, April 11, 2007

Gelar Sajak ’Jemputan’ Karya Suryatati

KEMAMPUAN membaca puisi memang tidak hanya dimiliki penyair. Pejabat, artis, atau orang biasa di luar seni pun bisa melakukannya. Paling tidak itulah yang ingin dibuktikan dalam acara gelar sajak karya Suryatati A Manan bertajuk ’Jemputan’ pada Sabtu (14/4) mendatang di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Suryatati sendiri saat ini menjabat sebagai Wali Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Namun, sudah sejak lama dia sudah menulis dan membacakan sajak-sajak di berbagai tempat. Di kalangan seniman di daerahnya, Suryatati memang dikenal sangat peduli pada budaya. "Kita harus berupaya memagar negeri dengan marwah Melayu agar tidak terlindas oleh budaya Barat yang hilir-mudik melirik Tanjungpinang," ungkapnya. (*/ine)

Sumber: Kompas, Rabu, 11 April 2007

Saturday, April 07, 2007

Nuansa: Pepatah Basi

-- Udo Z. Karzi

GURU kencing berdiri, murid kencing berlari. Namun, pepatah ini tidak berlaku buat anggota DPRD Negarabatin. Soalnya, meski anggota DPR (mungkin) kencing berdiri, anggota Dewan Negarabatin (tetap mungkin) kencing berdiri. Soalnya, toilet yang dibangun tidak memungkinkan (mungkin) untuk duduk sewaktu kencing. Jadi, (mungkin) pepatahnya yang basi seiring dengan perkembangan teknologi perkakusan.

Sudah tahu anggota DPR menganggarkan pembelian 500 laptop dan kemudian mendapat reaksi keras dari berbagai kalangan, sehingga akhirnya dibatalkan; eh... anggota legislator Negarabatin ngikut menganggarkan pembelian 46 unit laptop. Dana diambil dari sisa APBD 2007 yang belum dimanfaatkan.

Basi... Benar-benar basi.

Masa anggota Dewan mau niru Tukul semua yang ndeso dan selalu bilang, "Kembali ke laptop!"

Eh, tahu nggak, sewaktu laptop Tukul agak crowdet, Tukul kebingungan (maklum agak gaptek alias gagap teknologi), terpaksa manggil orang IT.

"Kembali ke laptop!" Namun, di monitor laptop yang muncul malah gambar-gambar mak jelas.

Apa hayoo?

***

"Anggota Dewan kok latah begitu sih?"

"Latah apaan?"

"Ya, ikut-ikutan mau beli laptop kayak di pusat sana."

"Kali beda. Kalau pusat udah batal karena diprotes banyak orang, di sini kali nggak."

"Berarti nunggu orang protes dulu."

"Kali maunya anggota Dewan begitu."

"Kalau orang-orang pada malas protes, terus dong."

"Ya, itu yang diharap."

***

Basi... Benar-benar basi. Anggota Dewan kok nggak pernah mau berpikir makai otak sendiri. Uang APBD kok dianggap uang sendiri yang boleh diatur sekehendak sendiri.

Lihat saja bagaimana legislator itu mengatur (lebih tepatnya mengakal-akali) anggaran: Dalam pembahasan APBD 2007, Panitia Anggaran mengalokasikan Rp180 juta untuk pembelian 12 laptop. Namun, setelah revisi APBD, Panitia Anggaran menambah jumlah pembelian laptop 46 buah. Penambahan pembelian laptop memungkinkan karena masih ada dana APBD Rp4,3 miliar yang belum dimanfaatkan. Dana ini berasal dari pemangkasan sejumlah mata anggaran.

Basi... Benar-benar basi. Modus lama dipakai lagi: mata anggaran lain dipotong, tetapi hasil pemangkasan malah justru diperuntukkan hal-hal yang remeh-temeh dan sama sekali tidak penting. Sama sekali tidak penting dan meminjam istilah Jarwa Kwat, "signifikan" bagi pelaksanaan tugas-tugas anggota Dewan.

Laptop itu apa? Anggota Dewan itu siapa? Pujangga atau sastrawan besar sekalipun (mungkin) tidak memakai laptop.

Memang, apa sih yang mau ditulis anggota Dewan itu? Informasi apa sih yang hendak didapat anggota Dewan? Bukankah setiap ruangan anggota Dewan sudah dilengkapi komputer multimedia? Lagi pula, kalau mau, anggota Dewan bisa beli laptop setiap bulan. Dari uang representatif dan tunjangan-tunjangan lainnnya.

Namun, esensinya bukan di sana. Laptop hanya berguna bagi orang-orang yang kreatif seperti menulis, merancang, merencanakan, memprogram, mempresentasikan, dan berbagai olah pikir yang serba memerlukan keahlian (skill).

Basi... Benar-benar basi. Mau apa anggota Dewan dengan laptop?

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 7 April 2007

Esai: Mengenang Hidup Orang Lain

-- Ajib Rosidi*

MENGENANG hidup orang yang sudah meninggal, niscaya tergantung kepada hubungan yang dikenang dengan yang mengenang. Setiap orang niscaya punya kenangan atau anggapan yang berlainan tentang seseorang. Tulisan saya "A. S. Dharta 1923-2007" (judulnya diubah redaksi menjadi "Akhir Hidup Pengarang Lekra"/ Khazanah, “PR”, 24/2/2007) telah mendapat reaksi dari dua orang yang berlainan. Martin Aleida yang (pernah) menjadi anggota Lekra menyesali saya, karena menulis tentang Dharta berlainan dengan pandangannya, sehingga mengecewakan hatinya. Saya yang dianggapnya sebagai "sastrawan yang baik hati" dan "saya kagumi", "mendadak sontak menjadi sosok yang tidak peka, menistakan adat kebiasaan", dan menganggap tulisan saya itu merupakan "taktik kaum fasis untuk menaklukkan musuh-musuhnya".

Komunis dan Ateis

Anggapan saya itu berdasarkan kenyataan bahwa tak pernah saya dengar Dharta bertobat dari paham komunisnya. Di samping itu kenyataan bahwa Dharta menistakan dirinya mengirim surat minta ampun, karena melakukan dosa "kemesuman borjuis" dan ingin menjadi komunis kembali (meski diturunkan ke tingkat calon kader), menunjukkan betapa sungguh-sungguhnya dia ingin menjadi komunis. Dan seorang komunis niscaya berpegang kepada filsafat materialisme, yang hanya percaya akan adanya materi, dan menolak percaya akan yang bukan materi seperti Tuhan, malaikat, dan yang gaib lainnya. Dengan kata lain, orang komunis niscaya ateis, walaupun tidak semua ateis itu komunis. Bertrand Russel yang ateis itu antikomunis, bisa saja. Banyak orang ateis yang antikomunis. Yang tidak ada adalah Muslim yang yakin yang komunis, atau komunis yang percaya akan kebenaran agama-agama langit.

Barmara dan Mashudi

Setelah membaca "Selamat jalan Sastrawan Sunda" tulisan Budi Setiyono (Khazanah, “PR”, 10/3/2007) baru saya ingat bahwa ketika saya menelefon Dharta ke Cibeber meminta keterangan tentang Barmara menyusul surat yang saya kirimkan dari Jepang (ketika itu saya masih tinggal di Jepang), sebelum meminta honorarium sajaknya yang dimuat dalam Kandjutkundang, dia mengajukan sarat agar saya jangan bertengkar (Dharta mempergunakan istilah pas'a) dengan mantan Gubernur Mashudi. Jadi, bukan karena menganggap bahwa Mashudi lebih berhak memberi keterangan tentang Barmara seperti ditulis Budi Setiyono. Dharta pernah menjadi anak angkat Barmara (antara lain bersama Utuy T. Sontani dan pelukis Zaini), tetapi Mashudi tidak pernah disebut-sebut.

Saya memang beberapa waktu sebelumnya mengumumkan catatan saya tentang buku otobiografi Mashudi yang berjudul Memandu Sepanjang Masa dalam Mangl?. Rupanya catatan saya itu dibaca Mashudi dan saya mendapat surat dari Mashudi yang antara lain bertanya, "Apakah kesalahan saya terhadap Saudara Ajip atau terhadap keluarga Saudara Ajip, sehingga Saudara selalu mengeritik saya? Istri saya mengatakan bahwa Saudara menyebut saya dikentutin oleh anak buah...." Terhadap surat itu saya membalas baik-baik, bahwa tak ada kesalahan beliau terhadap diri saya atau keluarga saya. Yang saya tulis adalah catatan seorang pembaca terhadap buku yang sudah dipublikasikan. Saya katakan juga bahwa kritik saya terhadapnya dahulu selalu ditulis dalam bahasa Sunda dimuat dalam Madjalah Sunda yang saya pimpin. Dalam bahasa Sunda tidak ada padanan untuk ekspresi "dikentutin", jadi mustahil saya mempergunakan ekspresi seperti itu waktu mengeritiknya. Mashudi tidak membalas surat saya itu. Jadi, tak bisa dikatakan bahwa kami "bertengkar”. Dia bertanya, saya jawab baik-baik.

Yang membuat saya heran mengapa Dharta menganggap saya bertengkar. Menulis kritik kan tidak berarti bertengkar.

Lekra dan PKI

Budi Setiyono menulis "Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang kelak secara salah kaprah selalu dianggap sebagai organ Partai Komunis Indonesia", seakan hendak memisahkan Lekra dengan PKI. Sebagai pengurus Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah, seharusnya beliau meneliti sejarah berdasarkan data-data secara keseluruhan. Sejak didirikan tahun 1950 sampai tahun 1965, tak ada orang yang mengatakan atau menulis bahwa Lekra bukan organ PKI. Wacana bahwa "Lekra bukan organ PKI" baru muncul tahun 1970-an setelah PKI lama dibubarkan dan orang-orang Lekra dikeluarkan dari tahanan. Dalam rangka membersihkan diri, mereka melontarkan wacana demikian. Kalau tak salah yang pertama melontarkannya adalah Joebaar (bukan Djubaar) Ajoeb yang menjadi Sekjen Lekra sehabis A.S. Dharta dipecat. Pernyataan Joebaar itu ditentang oleh tokoh Lekra yang lain, ialah Basuki Resobowo yang menyebut Joebaar melakukan kooptasi dengan rezim militer Suharto.

Meskipun secara formal yang dianggap pejabat tertinggi Lekra itu sekjennya, tetapi orang semua mafhum bahwa yang menyetirnya adalah Njoto, anggota CC-PKI. Pada waktu Njoto "disidangkan" oleh pleno CC-PKI, karena hendak membentuk partai Marhaenisme seperti yang diinginkan oleh Soekarno (yang merasa tidak puas dengan dua partai Marhaenisme yang ada waktu itu yaitu PNI dan Partindo) dengan wacana bahwa Njoto akan meninggalkan istrinya untuk menikah dengan penerjemahnya orang Rusia, maka yang ditunjuk oleh CC-PKI sebagai calon pengganti Njoto untuk menyetir Lekra adalah anggota CC-PKI juga, yaitu Wisnukuntjahjo. Hanya karena pendekatan pribadi D.N. Aidit yang berbicara empat mata dengan Njoto selama berjam-jam, Njoto akhirnya memutuskan untuk "tetap bersama istri yang lama". Karena itu, sopir Lekra tidak diserahterimakan kepada Wisnukuntjahjo.

Bahwa yang dicalonkan untuk menyetir Lekra anggota CC-PKI juga, menjadi tanda yang tak bisa dibantah bahwa Lekra, seperti juga SOBSI, SARBUPRI, BTI, CGMNI, dll. merupakan organ PKI. Dan itu adalah kenyataan sejarah, bukan karena "salah kaprah". Yang salah kaprah justru mereka yang terkecoh propaganda Joebaar Ajoeb.

Setelah menulis karangan di atas, dari saudara Ading (RAF) saya mendengar bahwa beberapa bulan sebelum meninggal, A.S. Dharta beserta anak-istrinya berkunjung ke rumahnya dan istrinya memberitahukan bahwa A.S. Dharta "sekarang sudah sakit".

Di Jakarta, saya dapati surat dari A. Makmur K., kerabat A.S. Dharta, yang menyesali saya yang menyangka A.S. Dharta ateis, karena sebenarnya dia seorang beriman dan "Lima puluh tahun saya menyertainya bahkan sampai detik-detik terakhir membimbingnya dengan kalimat tauhid". Menurut Makmur, keluarga Dharta aktif dalam dakwah melalui Yayasan Al-Fatima (nama ibu Dharta).

Mendengar itu, saya bersyukur mengucap alhamdulillah. Saya juga mengucapkan istigfar merasa bersalah, karena telah salah sangka mengukur orang dari pengalaman kurang lebih 50 tahun lalu, padahal manusia itu bisa berubah setiap waktu. Saya minta maaf kepada anak-istri dan keluarganya atas salah sangka tersebut dan kepada Allah SWT-lah saya mohon ampun semoga selanjutnya dihindarkan dari pikiran yang keliru dan semoga Dia memberi tempat yang layak kepada almarhum A.S. Dharta bersama hamba-hamba-Nya yang beriman. Amin.

* Ajip Rosidi, Budayawan

Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 7 April 2007

Cerita Rakyat: Si Kabayan, dari Buku ke Buku

-- Atep Kurnia*

RASSERS (1941) menilai, Si Kabayan adalah tokoh ambivalen. Selain sebagai penghubung dan pewarta dari Sang Pencipta Semesta, ia juga dinilai sebagai tokoh yang mewakili totalitas dan kekuatan masyarakat yang bersifat membangun, tetapi juga menghambat. Ya, di dalam dirinya sifat ketuhanan dan demonis mewujud menjadi satu. Oleh karena itu, Rassers menganggap Si Kabayan adalah pahlawan budaya sekaligus tukang tipu.

SI Kabayan (SK) manusia lucu itu banyak diketahui orang. Tokoh kita ini memang dikenal suka berkelakar, humoris, lugu, tetapi juga kadang-kadang direpresentasikan sebagai orang yang pandai. Sepanjang kelahirannya, Si Kabayan selalu dihidup-hidupkan orang, tentu saja sesuai dengan keinginan dan kepentingan si pengarangnya. Sebagian bahkan memercayainya sebagai bukan tokoh fiktif. Menurut orang yang percaya, makam Si Kabayan ada di Banten.

Di dalam dongeng-dongeng lama, SK biasanya digambarkan sebagai orang kampung yang lingkungan pergaulannya terbatas di sekitar istrinya (kita kenal kini sebagai Nyi Iteung), kedua mertuanya, dan majikannya. Tetapi dalam dongeng-dongeng yang diciptakan orang sekarang, ia pun kadang-kadang hidup di kota. Tetapi walaupun begitu, tetap saja digambarkan dengan memiliki sifat-sifat orang kampung.

Dokumentasi Si Kabayan

Sejak kapan kisah-kisah SK didokumentasikan orang? Dr. Snouck Hurgronje boleh jadi adalah orang pertama yang mengumpulkan kisahnya. Sebab antara tahun 1889-1891, orientalis asal Belanda ini mengadakan penelitian mengenai kehidupan Islam dan cerita rakyat yang ada di Pulau Jawa. Untuk mengelilingi pulau ini, ia mengajak H. Hasan Mustapa yang telah ia kenal di Mekkah pada 1885.

Sebagai bukti kerja yang dilakukan Snouck, pada 1929 terbit Tijl Uilenspiegel verhalen in Indonesie in het Bizonder in de Soendalande. Buku ini berasal dari disertasi Maria-Coster Wijsman, yang pembahasannya mendasarkan pada tokoh SK yang hidup di Banten selatan. Sumber kisah-kisah dalam buku itu ia ambil dari catatan-catatan mengenai SK yang dikumpulkan oleh Dr. Snouck.

Pada 1911 terbit Pariboga: Salawe Dongeng-Dongeng Soenda. Buku ini disusun oleh Cornelis Marinus Pleyte dan diterbitkan oleh Kantor Tjitak Goepernemen. Ada yang menganggap, inilah buku pertama yang memuatkan cerita SK.

Berikutnya, 21 tahun kemudian, pada 1932, Balai Pustaka menerbitkan buku Si Kabajan. Buku ini disusun berdasarkan dongeng-dongeng yang ada dalam penelitian Maria-Coster Wijsman. Entah apa alasannya, dongeng-dongeng dalam disertasi terdahulu itu dipilih lagi. Beberapa dongeng yang berbau seks kemudian dibuang.

Pada tahun yang sama, terbit Si Kabajan Djadi Doekoen karya Moh. Ambri. Karya ini dianggap sebagai saduran dari salah satu naskah drama karya Moliere, “Le Medicin Malgre Lui”. Menginjak tahun 1941, hanya ada satu judul buku yang terbit mengenai SK. Buku berjudul Kabajan itu disusun oleh W.H. Rassers dalam bahasa Belanda.

Selanjutnya Utuy T. Sontani menulis drama “Si Kabayan” dalam bahasa Indonesia dan bukunya diterbitkan pada 1959. Naskah yang sama diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia, menjadi Si Kabaian (1960). Sembilan tahun kemudian, kisah ini diterbitkan dalam bahasa Inggris dan disatukan bersama karya pengarang lainnya dari negara luar dalam “Three SEAsian Plays”, yang merupakan suplemen dari berkala Tenggara.

Yang penting dicatat, pada tahun '60-an itu paling tidak ada lima karya Min Resmana yang berkaitan dengan kisah-kisah SK. Karya-karya yang dimaksud adalah Si Kabajan Pangantenan (1966), Si Kabajan Kasurupan (1966), Si Kabajan Ngandjang Kapageto (1966), Si Kabajan djeung Raja Manaboa (1966), dan Si Kabajan Tapa (1967). Sementara itu sastrawan senior Sunda, MA. Salmun, menerbitkan Si Kabajan Moderen (1965).

Pada era 1970-an, hanya dua judul buku yang tercatat yang kembali menghidupkan Si Kabayan. Pertama, Tales of Si Kabayan yang disusun oleh Murtagh Murphy dan diterbitkan oleh Oxford University Press, pada 1975. Yang kedua, Si Kabayan dan Beberapa Dongeng Sunda Lainnya (1977) karya Ajip Rosidi.

Era 1980-an ada sekitar lima judul yang terbit. Dua di antaranya karangan MO Koesman, yaitu Si Kabayan (1980) dan Si Kabayan Ngalalana (1982). Sementara itu Adang S. menulis Juragan Kabayan pada 1986. Lainnya, Lebe Kabayan (1986) karya Ahmad Bakri dan Si Kabayan Tapa (1986) karya Min Resmana.

Pada tahun (1990), Si Kabayan “meninggal” dunia. Karena itu terbit Jurig Kabayan karya Tini Kartini. Akan tetapi, pada 1997 Si Kabayan dihidupkan lagi lewat Si Kabayan Manusia Lucu buah tangan Achdiat K. Mihardja. Di tempat lain, tepatnya dalam buku Asian Tales and Tellers (1998) susunan Cathy Spagnoli, Si Kabayan pun muncul. Tak ketinggalan, Gerdi W.K. juga ikut menghidupkan kembali Si Kabayan (1999).

Memasuki era tahun 2000-an, buku-buku mengenai SK pun tetap bermunculan. Bisa disebutkan, Si Kabayan-Cerita dari Sunda (2000) karya Citra, Kabayan Bikin Ulah (2002) dan Si Kabayan Jadi Sufi (2003) susunan Yus R. Ismail, serta Si Kabayan (2004) karangan Mulyani S. Yeni. Kemudian, Si Kabayan Digugat (2004) karya Yuliadi Soekardi & U Usyahuddin, Si Kabayan Nongol di Zaman Jepang (2005) susunan Achdiat K. Mihardja, dan, yang terakhir, Si Kabayan Jadi Wartawan (2005) karya Muhtar Ibn Thalab.

Pendapat Mengenai Si Kabayan

Berdasarkan catatan Sutaarga (1965), ada beberapa pendapat atau penelitian yang telah dilakukan baik oleh kaum kolonialis maupun pribumi terkait dengan Si Kabayan. Pertama, tentu saja yang dilakukan oleh Ny. Maria Coster Wijsman (1929) yang memperbandingkan keberadaan SK dengan siklus tokoh cerita rakyat Eropa, Tijl Uilenspiegel.

Wijsman mengartikan Kabayan sebagai semacam pamong desa yang bertugas menyampaikan berita. Istilah tersebut masih dipakai di daerah Jawa dan Tanganan Pangringsingan. Ia juga menghubungkan istilah tersebut dengan orang yang biasa memimpin acara kenduri dalam tokoh-tokoh cerita Melayu.

Sementara itu Prof. Berg meneliti arti kabayan dari sisi etimologinya. Menurut Berg, kata kabayan berasal dari bahasa Sanskerta, bhaya yang artinya takut. Hal ini sesuai dengan gambaran Kabayan versi Tanganan Pangrisingan yang harus memiliki sifat "magis". Kedua, istilah kabayan diambil dari kata dasar bay yang berarti wanita. Hal mana sesuai dengan nama Ken Bayan dalam cerita-cerita Panji.

Rassers (1941) menilai, SK adalah tokoh ambivalen. Selain sebagai penghubung dan pewarta dari Sang Pencipta Semesta, ia juga dinilai sebagai tokoh yang mewakili totalitas dan kekuatan masyarakat yang bersifat membangun tetapi juga meghambat. Ya, di dalam dirinya sifat ketuhanan dan demonis mewujud menjadi satu. Oleh karena itu, Rassers menganggap SK sebagai pahlawan budaya sekaligus tukang tipu.

Kemudian Held (1951), yang memperbandingkan SK dengan panakawan dari lakon-lakon wayang Jawa khususnya dari segi fungsi lelucon-leluconnya.

Dari tanah air, Utuy T. Sontani (1920-1979) ikut meneliti Si Kabayan. Pengarang ini pada tahun 1957 mengungkapkan bahwa SK merupakan “manusa anu geus teu nanaon ku nanaon”. Maksudnya, SK telah menjelma menjadi manusia yang terlepas dari beragam rasa yang bisa memengaruhi manusia. Artinya, ia telah menjadi ubermensch, istilah Nietzsche. Walaupun begitu, dalam naskah dramanya Utuy menggambarkan SK sebagai dukun yang dianggap sakti, padahal ia hanya mempermainkan pasien-pasiennya.

Sementara itu, Ajip Rosidi (1964) berpendapat bahwa di balik kisah SK terkandung maksud tertentu. Menurut Ajip, SK bukanlah orang yang bodoh, sebab banyak cerita-cerita SK yang sering mempermainkan mertuanya serta kiai. Kiai tersebut bisa jadi personifikasi ulama, sedangkan SK merupakan personifikasi orang Sunda. Dan Islam masuk ke Tatar Sunda setelah runtuhnya kerajaan Sunda. Ya, dengan demikian sastrawan Sunda yang menciptakan cerita SK sebenarnya sedang menyampaikan kritik melalui jalan yang halus berupa lelucon.

Dalam seminar yang bertajuk “Seks, Teks, Konteks: Tubuh dan Seksualitas dalam Wacana Lokal dan Global” (23-24 April 2004) lewat makalahnya yang berjudul “Si Kabayan: Cawokah atau Jorang?”, Ayatrohaedi menitikberatkan perhatiannya pada cerita-cerita SK yang berbau seks.

Bisa dimengerti, Ayatrohaedi mendasarkan tulisannya pada buku Maria-Coster Wijsman, Tijl Uilenspiegel verhalen in Indonesie in het Bizonder in de Soendalande yang memang banyak memuat kisah-kisah SK yang berbau seks.

Menurut Ayat, "dari sekitar 80 kisah Si Kabayan yang dijadikan bahan disertasi Coster-Wijsman, terdapat 24 kisah yang berkenaan dengan seks. Kisah-kisah itu mengandung kata-kata "tabu", walaupun sekali lagi ternyata tidak menimbulkan kesan erotis. Jika dikaitkan dengan teks dan konteks, akan dengan mudah dipahami mengapa hal itu terjadi."

Sementara Jakob Sumardjo (2003) menilai SK dari aspek primordialisme orang Sunda. Ia menilai bahwa "Si Kabayan berwatak paradoks, pintar, dan bodoh sekaligus. Ia pintar kalau kepentingannya sendiri terganggu, tetapi ia bodoh kalau sedang dikuasai oleh nafsu-nafsunya. Ini menunjukkan kewajaran orang Sunda untuk mentertawakan dirinya sendiri, kelemahan diri, dan kelemahan manusia umumnya."

“Di orang Sunda berkumpul,” kata Jakob, “di situ ada tertawa. Rupanya humor berhubungan juga dengan masalah ‘dalam’. Sasaran humor adalah mereka yang sudah dimasukkan sebagai bagian dari lingkungan sendiri."

Sedangkan Bambang Q Anees (2002) berpendapat bahwa SK merupakan tokoh fiksi yang diciptakan sebagai penghibur atawa kurir filosofi hidup orang Sunda. SK sebagai kurir berfungsi sebagai metafor: menyampaikan sekaligus mereduksi pesan.

Kemudian menurut Bambang, "ketawalah yang menjadi inti dari sosok Si Kabayan." Kemudian ia pun mempertautkan SK dengan konsep pencerahan ala Tao. Dari sisi ini, "tertawa" dimaknai sebagai "penemuan kepahaman akan suatu lelucon secara begitu cepat. Pada saat itu kita seperti menemukan rantai kebenaran yang selama ini terlepas." Nah, pada titik inilah, menurut Bambang, "Kabayan memainkan dirinya sebagai pemancing ketawa demi pencerahan tertentu."

Apa pun gambaran dan pendapat orang mengenai sosok SK, cerita-ceritanya mencerminkan khazanah kebudayaan Sunda yang memang kaya warna.***

* Atep Kurnia, Penulis lepas, tinggal di Bandung

Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 7 April 2007

Langkan: Peluncuran Bengkel Puisi di Banten

Diskusi "Banten dalam Peta Sastra Indonesia" dengan pembicara Toto ST Radik, Wowok Hesti Prabowo, dan Wan Anwar akan digelar di markas Forum Kesenian Banten, Kompleks Ciceri Permai Blok C, Jalan Nusantara VIII, Serang, Banten, Minggu (8/4) pukul 14.00 WIB. Acara ini digelar sebagai penanda dimulainya bengkel puisi bagi penyair muda Banten. Program ini berlangsung selama empat bulan untuk setiap angkatan. Bengkel puisi ini merupakan hasil kerja sama Forum Kesenian Banten, Komunitas Indonesia, Sanggar Sastra Serang, dan Kubah Budaya Banten. Para sastrawan yang akan terlibat sebagai pengajar antara lain Iwan Gunadi, Jamal D Rahman, Wan Anwar, Zen Hae, Ahda Imran, dan Ahmadun Yosi Herfanda. (*/ine)

Sumber: Kompas, Sabtu, 7 April 2007

Esai: Laut Kepustakaan Pada, Pada Sebuah Kapal Buku

-- Muhidin M Dahlan*

Laut adalah penanda puncak peradaban Nusantara, sekaligus menabalkan negeri ini beroleh gelar unik dan satu-satunya di dunia, sebagaimana dirumuskan M Jamin dalam sefrase judul sajaknya: "Tanah Air". Dari laut lalu muncul tradisi, pengetahuan, dan juga wibawa.

Hanya di laut meritokrasi bekerja secara alamiah dan apa adanya. Sebab, di laut, resultan antara navigasi (pengetahuan), keberanian (psike), dan keterampilan (pengalaman) berbanding lurus dengan risiko yang dihadapi.

Oleh karena itu, seseorang, misalnya, tak bisa seenaknya mengaku-aku ’kapitan’ kapal andal, karena laut akan langsung segera mengujinya dengan perubahan cuaca yang cepat dan tak terduga begitu sauh dinaikkan dari bandar. Laut membuat seseorang bisa berdiri tegak dengan pengetahuan otonom yang dimilikinya. Seperti Kertanegara yang bangga dan penuh percaya diri menyerahkan perlindungan kekuasaannya pada serdadu Dipantara yang berjaga di dua ketiak samudra Nusantara.

Namun, di laut jualah maut datang silih berganti tak putus- putus. Di sana, cerita horor tentang buih gelombang yang di sekujur ujungnya terselip belati- belati kematian dituturkan dengan meringis di pelbagai halaman surat kabar. Lalu, laut bukan hanya kurir pengirim alamat buruk bagi nasib, tapi juga penyuntik trauma dan ketakutan yang panjang. Ia adalah teror yang menggodam nyali hingga rusak dan ringsek.

Tak akan pernah terlupa di ujung Banda pada purnama akhir 2004, laut menerkam daratan hingga nyaris menghapus letak kota dari peta. Ratusan ribu korban diciduk paksa, yang membuat kita dan dunia ngungun seperti tak berdaya mendapati serangan laut tiba-tiba di Ahad pagi itu. Dan, pada 25 Januari 1981, laut Masalembo membakar dan mengaramkan KMP Tampomas II. Peristiwa yang merenggut 600 manusia itu dikenal sebagai tragedi laut terbesar di Indonesia.

Rupanya peristiwa terbakarnya kapal roll on roll off atau roro KMP Lampung di Pelabuhan Merak pada 16 November 2006 silam hanya pemanasan belaka. Sebab, hanya sepurnama kemudian (29 Desember 2006), atau 76 tahun setelah Tampomas II, Masalembo kembali menjungkat KM Senopati Nusantara yang sarat penumpang dan barang. Hanya dalam hitungan menit, kapal kecil yang dilambungnya bertulis "We Love Indonesia" ini meluncur mencium dasar laut dan merenggut nyawa 450 penumpangnya.

Belum lekang media mengulas kecelakaan ini, kabar pada Kamis 22 Februari 2007 datang menyeradak. Kapal Levina I terbakar di Perairan Kepulauan Seribu dan menciduk nyawa 50-an orang. Kecelakaan ini pun antiklimaks, sebab dua hari setelah terbakar, kapal itu pun terjungkat kembali bersama para penyelidik dan wartawan peliput.

Berita-berita maut dari laut ini ditulis sempurna ketika akhir tahun silam mencuat kabar bagaimana si mantan penjaga mercusuar laut, Rokhmin Dahuri, diseret ke bui atas tuduhan menyalahgunakan rezeki bahari.

Lantas bagaimana berharap munculnya kreativitas mengelola dan hidup seirama laut jika kita senantiasa dikurung rasa takut dan sekaligus rasa muak kepada pemangku mercusuar laut yang rakus?

Pelni dan Indonesia Satu

Jika kita berbicara tentang laut yang menyatukan daratan Indonesia, BUMN bernama PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) tak bisa ditampik perannya. Kapal-kapal merekalah yang siang-malam tak kenal lelah terus melayari dan menyinggahi pelabuhan-pelabuhan kecil di pelosok-pelosok Nusantara.

Maka, agak mengherankan ketika muncul perdebatan di seminar atau di kolom-kolom koran tentang pengelolaan pulau-pulau terluar, Pelni sama sekali tak disinggung perannya. Seperti dalam diskusi buku Menata Pulau-pulau Kecil Perbatasan pada 18 November 2006 di Banda Aceh, yang antara lain menghadirkan pembicara Pemimpin Redaksi Harian Kompas Suryopratomo dan Hasjim Djalal, ahli hukum kelautan dari Universitas Padjadjaran.

Banyak hal yang menarik, informatif, dan kaya, yang mengemuka dalam diskusi itu. Namun Pelni tetap tak punya tempat. Tak adanya satu pihak pun yang menyinggung peran perusahaan negara itu mungkin lantaran ia tengah bergulat dengan kutukan dari beberapa kalangan yang menyerukan penutupan BUMN tersebut karena terus merugi. Dibandingkan dengan perusahaan pelayaran Belanda, Koninklijke Paketvaart Matschappij (KPM), yang notabene saudara tuanya, Pelni memang tak ada apa-apanya, baik dari segi armada maupun trayek. Pelni cuma jago kandang, katanya.

Namun, Pelni bukan semata soal bisnis, tapi juga soal budaya dan politik. Kompas edisi 28 April 2004 sudah menurunkan panjang lebar soal bisnis Pelni yang nyaris sekarat. Tapi apa kan terjadi bila Indonesia yang berpagar 17.000 pulau dan lebih dari 250 pelabuhan ini tak memiliki kapal-kapal penumpang? Belum lagi jika meledak kerusuhan antaretnis seperti yang terjadi di Ambon, Galela, Timor Timur, Sampit, hingga bencana besar seperti tsunami Aceh. Kapal-kapal Pelni-lah yang pertama turun langsung, dengan semangat "padamu negeri", membawa bantuan atau mengungsikan ribuan penduduk.

Pelni kini sudah menjadi pertaruhan politik dan nasionalisme pemerintah. Bagaimanapun keadaannya, pemerintah mestinya tetap memberi subsidi penuh kepada Pelni. Karena kedatangan kapal-kapal putih berbendera Pelni itulah warga di pelabuhan-pelabuhan pelosok tetap merasa bahwa mereka bagian dari Indonesia Raya.

Kapal buku

Kalau selama ini Pelni rutin memuntahkan manusia dan barang dari dalam perutnya, kenapa tidak sesekali ia berkaok memanggil-manggil anak-anak pulau terjauh untuk datang membaca buku, menonton film bermutu, atau melihat book exhibition dalam perutnya yang kembung itu. Inilah kapal Pelni yang lain. Inilah kapal buku. Sudah bisa dibayangkan sejak awal bahwa pengadaan kapal-buku adalah proyek rugi. Namun, ini adalah tabungan yang tak ternilai untuk masa depan (nalar) Indonesia.

Pikiran menghadirkan kapal-buku ini didorong dua alasan. Pertama, Pelni memiliki beberapa bahtera yang sudah uzur dan tak kuat mengelilingi seluruh Indonesia. Mungkin hanya bisa memutari satu atau dua pulau. Kedua, saat ini RUU Perpustakaan sedang digodok di parlemen. RUU ini membahas banyak hal, terutama sekali manajemen Perpustakaan Nasional, invasi penguatan perpustakaan di daerah, serta pengadaan perpustakaan terapung.

Untuk itu penting bagi pihak perpustakaan bekerja sama dengan Pelni. Apalagi kapal-kapal Pelni sudah banyak yang batuk-batuk. Biasanya kapal-kapal ini dihibahkan kepada Angkatan Laut. Langkah Pelni itu sudah benar. Sebab, serdadu laut butuh banyak kapal untuk menjagai laut Indonesia yang luas ini. Namun sesekali bolehlah memarkir sebiji-dua kapalnya untuk perpustakaan.

Atau perpustakaan bisa memakai jalan "swasta" dengan melobi 10 saja orang superkaya di Indonesia. Bayangkan bila perpustakaan nasional memiliki 10 kapal buku-mewah yang dapat dinikmati anak-anak di pelosok, lengkap dengan kafe-kafe, ruang pameran, bahkan ruang presentasi video, seperti terdapat di jantung Jakarta. Maka, kapal-kapal buku itu pun dapat dinamai: Kapal Buku Bakrie, Kapal Buku Liem, Kapal Buku Panigoro, dan sebagainya.

Di kapal-kapal buku inilah seorang bocah di Teluk Wondama, Kabupaten Monokwari, misalnya, akan dengan wajah berbinar memasuki kapal berpendingin dan betah seharian membaca buku. Atau menyaksikan bazar buku murah lengkap dengan acara diskusi buku dan temu pengarang beken dari kota-kota penting di Indonesia. Lalu, sorenya si bocah pulang menjinjing dua buku cerita dan akan dikembalikan sepekan kemudian ketika kapal putih berbendera merah-putih itu secara reguler kembali merapat di pinggir pulau mereka.

Kehadiran kapal-buku milik Pelni dan Perpustakaan Nasional ini tak hanya menyusutkan sedikit demi sedikit rasa takut akan monster yang selalu datang dari laut, tapi juga mengabarkan bahwa di atas gelombangnya, mengapung ribuan pengetahuan dan ketakjuban. Di sini, di kapal buku.

* Muhidin M Dahlan, Penulis Roman, Kerani di Indonesia Buku (i:boekoe) Jakarta

Sumber: Kompas, Sabtu, 7 April 2007

Thursday, April 05, 2007

Media Massa: Lebih Bangga Berbahasa Asing

Cianjur, Kompas - Kecenderungan media masa lebih bangga menggunakan kata dalam bahasa asing dibanding memakai kata dalam bahasa Indonesia menimbulkan keprihatinan. Padahal, jika bahasa Indonesia kian tergerus, tak ada lagi kebanggaan pada bangsa ini.

Persoalan itu mengemuka pada pembukaan Konvensi II Forum Bahasa Media Massa (FBMM) di Wisma Kompas-Gramedia, Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Selasa (3/4). Konvensi selama dua hari itu diikuti pengurus FBMM dari seluruh Indonesia, Pusat Bahasa dan Balai Bahasa, wakil media massa, serta akademisi.

Kepala Bidang Pengkajian Bahasa dan Sastra Pusat Bahasa Abdul Gaffar Ruskhan dan Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Rikard Bagun, pada pembukaan konvensi, sepakat tentang adanya kecenderungan media massa mengutamakan kata dalam bahasa asing, yang mengancam eksistensi bahasa Indonesia. "Tetapi, pengembangan bahasa Indonesia bukan berarti antibahasa asing," ingat Gaffar.

Ketua Umum FBMM TD Asmadi menuturkan, forum yang dipimpinnya itu memang berniat menyamakan pelafalan dan penulisan kata dalam bahasa Indonesia di media massa. Ini bagian dari pengembangan bahasa Indonesia.

Amanat konstitusi

Tidak banyak bangsa yang memiliki bahasa nasional dari bahasanya sendiri. Karena itu, menurut Gaffar, pemilihan kata dalam bahasa Indonesia, terutama di media massa yang memiliki pengaruh besar di masyarakat, sangat diharapkan. Jika media massa pun meninggalkan bahasa Indonesia, ini akan jadi ancaman keberadaan bahasa Indonesia. Sebab bahasa Indonesia diamanatkan dalam konstitusi, dan karenanya pengembangannya jadi keniscayaan. (tra)

Sumber: Kompas, Kamis, 5 April 2007

Wednesday, April 04, 2007

Bahasa-Sastra: Remaja Masih Sulit Memahami Karya Sastra

Samarinda, Kompas - Para remaja dan pelajar di Samarinda, Kalimantan Timur, mengaku masih sulit memahami dan mencerna bahasa dalam karya sastra seperti novel, cerita pendek, dan puisi. Akibatnya, murid enggan membaca sehingga karya sastra Indonesia kurang populer.

Gugatan para remaja yang umumnya pelajar SLTA itu mengemuka dalam acara Sastrawan Bicara Siswa Bertanya di gedung olahraga SMA Negeri 10 Melati, Samarinda, Selasa (3/4). Kegiatan itu dihadiri sastrawan Putu Wijaya, Joni Ariadinata, Cecep Syamsul Hari, dan Korrie Layun Rampan. Walau banyak yang mengaku kurang mengakrabi karya sastra, gedung pertemuan dipenuhi para pelajar.

Kepada para sastrawan, seorang murid SMA mengatakan, beberapa karya ditulis dengan gaya bahasa yang rumit dan ungkapan yang sulit dimengerti. "Mengapa pula ada puisi yang antara bait satu dengan lainnya seperti tidak nyambung," kata sang murid.

Namun, beberapa di antara pelajar mengakui ada pula karya yang ditulis dalam bahasa yang sederhana sehingga mudah dimengerti. Karya yang seperti itu umumnya disukai para pelajar.

Menanggapi hal itu, Cecep mengatakan, bahasa dalam karya sastra biasanya mencerminkan si penulis. Gaya bahasa yang rumit dalam sastra bisa jadi disengaja. Akan tetapi, ada kemungkinan pula si penulis belum matang.

Sementara Joni berharap, kendala terhadap pemahaman gaya bahasa jangan sampai membuat pelajar tak menyukai sastra. Dengan menyukai sastra, katanya, akan tumbuh kegemaran membaca sehingga banyak pengetahuan yang bisa didapat. (BRO)

Sumber: Kompas, Rabu, 4 April 2007

Pemda Perlu Berperan: Pewarisan dan Pementasan Seni Tradisi Harus Difasilitasi

Jakarta, Kompas - Pemerintah daerah perlu mendorong pewarisan dan pementasan seni tradisi yang sudah hampir punah di daerah masing-masing. Dengan begitu, upaya melestarikan seni tradisi yang berharga di daerah bersangkutan tidak terputus pada maestro seni tradisi yang jumlahnya terus menurun.

Keterlibatan pemerintah daerah dengan menyediakan beragam fasilitas untuk pewarisan seni tradisi dari maestro kepada generasi muda tersebut akan sangat bermakna bagi keberlangsungan seni warisan leluhur. Langkah tersebut bisa menjadi satu rangkaian dengan kebijakan pemerintah pusat, yang dalam waktu dekat akan memberikan penghargaan dalam bentuk tunjangan bulanan kepada maestro seni tradisi di Tanah Air.

"Upaya ini perlu dilakukan supaya seni tradisi yang sudah langka itu terus ada dan berkembang kembali," kata Mukhlis PaEni, Direktur Jenderal Nilai Budaya, Seni, dan Film, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, di Jakarta, Selasa (3/4).

Menurut dia, saat ini pewarisan seni tradisi dari berbagai daerah yang sudah mulai langka itu seakan berkejaran dengan waktu. Ini mengingat, kebanyakan di antara maestro seni yang menguasai seni tradisi yang perlu untuk dikembangkan itu sudah tua.

Oleh karena itu, mulai tahun ini pemerintah memutuskan memberi tunjangan bulanan bagi para maestro seni tradisi. Mereka pun diharapkan bisa mewariskan keahliannya, setidaknya kepada masyarakat di sekitarnya.

Antonius Budi Priadi, Direktur Pembangunan Karakter dan Budi Pekerti Bangsa, mengatakan bahwa pewarisan keahlian seni tradisi dari maestro itu tidak bisa lagi ditunda-tunda. Pemerintah daerah perlu menyiapkan fasilitas seperti sanggar atau tempat untuk menjadi wahana pengajaran keahlian dari sang maestro kepada sedikitnya lima orang. Bisa saja penampilan seni tradisi itu diwajibkan dalam perayaan di daerah atau di hotel setempat.

Banyak yang hilang

"Diharapkan dengan adanya pewarisan dari maestro itu nanti bisa seperti deret ukur. Kita usahakan agar keahlian maestro itu jangan terbawa ke dalam kubur atau hilang karena ahlinya meninggal," tutur Antonius.

Menurut Antonius, dari pendataan mengenai seni tradisi di Tanah Air memang sudah cukup banyak seni tradisi yang hilang. Perubahan zaman yang mendorong perubahan hidup masyarakat membuat mereka tidak lagi tertarik terhadap seni tradisi. Apalagi seni tradisi itu seringkali dikaitkan dengan perayaan atau upacara tertentu, yang kini juga sudah banyak yang hilang.

Jika pun masih ada, umumnya mereka yang memiliki keahlian untuk memainkan seni tradisi itu sudah uzur dan jumlahnya tinggal satu-dua orang. Oleh karena itu, dengan memberikan tunjangan bulanan, diharapkan mereka bisa terdorong untuk mengajarkan kemampuannya kepada masyarakat di sekitarnya.

Sayangnya, sampai awal April ini baru sekitar 40 calon nama maestro yang disampaikan ke Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Untuk tahap awal, pemberian tunjangan akan diprioritaskan kepada maestro yang keahlian seni tradisinya sudah langka dan usia maestro sudah uzur.

"Kami berharap masukan dari masyarakat luas supaya pemilihan maestro seni tradisi yang ditargetkan sejumlah 40 orang untuk tahun ini jatuh pada sasaran yang tepat. Masyarakat bisa mengusulkan nama calon itu ke dinas kebudayaan di daerah atau pusat," ujar Antonius.

Setiap maestro yang terpilih akan menerima tunjangan bulanan Rp 1 juta per bulan selama satu tahun. Pengirimannya lewat bank atau pos tanpa dipotong pajak. (ELN)

Sumber: Kompas, Rabu, 4 April 2007

Ditemukan Fosil Manusia 7.000 Tahun, Sebagian Besar Situs Rusak

Aceh Tamiang, Kompas - Tiga kerangka manusia yang ditemukan di Situs Bukit Kerang, Kabupaten Aceh Tamiang, Nanggroe Aceh Darussalam, diduga kuat berusia lebih dari 7.000 tahun.

Kerangka itu kemungkinan kuat umurnya lebih tua dibandingkan dengan satu fosil manusia yang ditemukan tahun 1998 di situs lain, tetapi masih di lokasi Bukit Kerang. Usia kerangka yang ditemukan terdahulu itu sekitar 5.000 sampai 7.000 tahun, kata Ketua Penggalian Fosil dari Balai Arkeologi Medan, Ketut Wiradnyana, Selasa (3/4), di lokasi eskavasi.

Lokasi eskavasi di kawasan perbukitan itu berada sekitar 15 kilometer dari jalan utama lintas timur Sumatera, di Gampong Pangkalan, Kecamatan Kejuruan Muda, Aceh Tamiang.

Sebenarnya, di sepanjang pantai timur Sumatera terdapat sepuluh titik situs arkeologi, tetapi delapan di antaranya rusak, sehingga tidak bisa dieskavasi. Selain di Bukit Kerang, situs lain yang utuh ada di Kampung Masjid, Aceh Tamiang.

Hematit

"Di lokasi eskavasi yang terakhir ini, kami menemukan batu tumpul dengan bentuk sederhana untuk memecah kerang. Batu tumpul itu terdapat hematit yang masih jelas," urai Ketut.

Dari temuan itu ia memperkirakan jumlah manusia purba yang menghuni Situs Bukit Kerang, di Gampong Pangkalan, antara 15 sampai 20 orang. Mereka itu diperkirakan dari daerah lain, salah satunya di Kecamatan Hinai, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Ketut menjelaskan, manusia Aceh purba yang hidup di situs itu mempunyai kemiripan dengan kosmologi kehidupan masyarakat Aceh Tamiang.

"Hal itu bisa dilihat dari cara manusia ini dikuburkan di tempat ini menghadap ke selatan. Sementara masyarakat Aceh Tamiang masa kini beranggapan arah Selatan merupakan arah yang kurang baik. Mereka menilai arah Timur dan Barat merupakan arah paling baik," kata dia.

Pada ketiga fosil tengkorak itu ditemukan hematit, yaitu sejenis batuan lembek berwarna kemerah-merahan. Adanya hematit di masing-masing tengkorak itu, menurut Ketut, menunjukkan masyarakat pada saat itu sudah mengenal religi.

Hematit itu, kata dia, dipakai untuk membalut tengkorak yang dibuang di Bukit Kerang. Hematit juga sering dijumpai di relief goa masyarakat pada masa lampau.

Spesifikasi


Situs Bukit Kerang mempunyai spesifikasi tersendiri. Salah satu ciri yang khas dari situs ini adalah banyaknya kerang dari air tawar. Biasanya, Situs Bukit Kerang di daerah lain yang pernah dia teliti kebanyakan dari kerang air payau, di kawasan pantai.

"Situs Bukit Kerang dari air payau hanya terdapat di Sumatera, Jawa, dan Nusa Tenggara," tambahnya.

Adanya kerang dari air tawar itu, lanjut dia, menunjukkan pengaruh keberadaan sungai yang besar pada masa lampau.

Diduga kuat, penyebaran kebudayaan Situs Bukit Kerang di Gampong Pangkalan meliputi Daerah Aliran Sungai Wampu dan Tamiang. Kedua aliran sungai itu berujung pada satu pangkal bertemu di Bahorok, Kabupaten Langkat.

Para peneliti dari Balai Arkeologi Medan dan mahasiswa Universitas Malikussaleh berencana mengangkut materi arkeologi tersebut ke Medan. "Kami perlu meneliti lebih jauh dengan melibatkan sejumlah laboratorium dari dalam dan luar negeri untuk mendapatkan kepastian data," kata Kepala Balai Arkeologi Medan Lucas P Koestoro.

Temuan fosil manusia purba di Aceh Tamiang ini menyusul temuan fosil manusia dalam Komunitas Buni yang diduga menjadi awal peradaban manusia di pantai utara Jawa Barat.

Seperti dikemukakan Sonny C Wibisono, peneliti dari Puslitbang Arkeologi Nasional, beberapa waktu lalu, hingga Juli tahun 2006 telah ditemukan 32 individu fosil manusia di bawah struktur bata di sekitar situs percandian Batujaya, Kecamatan Batujaya, Kabupaten Karawang.

Umur artefak serta fosil manusia itu diperkirakan lebih tua dari umur candi yang dibangun sekitar abad V Masehi hingga VI Masehi atau 16 abad lalu. Sejumlah barang yang ditemukan bahkan berusia sekitar 200 tahun sesudah hingga 200 tahun sebelum Masehi. (NDY)

Sumber: Kompas, Rabu, 4 April 2007