-- Muhidin M Dahlan*
Laut adalah penanda puncak peradaban Nusantara, sekaligus menabalkan negeri ini beroleh gelar unik dan satu-satunya di dunia, sebagaimana dirumuskan M Jamin dalam sefrase judul sajaknya: "Tanah Air". Dari laut lalu muncul tradisi, pengetahuan, dan juga wibawa.
Hanya di laut meritokrasi bekerja secara alamiah dan apa adanya. Sebab, di laut, resultan antara navigasi (pengetahuan), keberanian (psike), dan keterampilan (pengalaman) berbanding lurus dengan risiko yang dihadapi.
Oleh karena itu, seseorang, misalnya, tak bisa seenaknya mengaku-aku ’kapitan’ kapal andal, karena laut akan langsung segera mengujinya dengan perubahan cuaca yang cepat dan tak terduga begitu sauh dinaikkan dari bandar. Laut membuat seseorang bisa berdiri tegak dengan pengetahuan otonom yang dimilikinya. Seperti Kertanegara yang bangga dan penuh percaya diri menyerahkan perlindungan kekuasaannya pada serdadu Dipantara yang berjaga di dua ketiak samudra Nusantara.
Namun, di laut jualah maut datang silih berganti tak putus- putus. Di sana, cerita horor tentang buih gelombang yang di sekujur ujungnya terselip belati- belati kematian dituturkan dengan meringis di pelbagai halaman surat kabar. Lalu, laut bukan hanya kurir pengirim alamat buruk bagi nasib, tapi juga penyuntik trauma dan ketakutan yang panjang. Ia adalah teror yang menggodam nyali hingga rusak dan ringsek.
Tak akan pernah terlupa di ujung Banda pada purnama akhir 2004, laut menerkam daratan hingga nyaris menghapus letak kota dari peta. Ratusan ribu korban diciduk paksa, yang membuat kita dan dunia ngungun seperti tak berdaya mendapati serangan laut tiba-tiba di Ahad pagi itu. Dan, pada 25 Januari 1981, laut Masalembo membakar dan mengaramkan KMP Tampomas II. Peristiwa yang merenggut 600 manusia itu dikenal sebagai tragedi laut terbesar di Indonesia.
Rupanya peristiwa terbakarnya kapal roll on roll off atau roro KMP Lampung di Pelabuhan Merak pada 16 November 2006 silam hanya pemanasan belaka. Sebab, hanya sepurnama kemudian (29 Desember 2006), atau 76 tahun setelah Tampomas II, Masalembo kembali menjungkat KM Senopati Nusantara yang sarat penumpang dan barang. Hanya dalam hitungan menit, kapal kecil yang dilambungnya bertulis "We Love Indonesia" ini meluncur mencium dasar laut dan merenggut nyawa 450 penumpangnya.
Belum lekang media mengulas kecelakaan ini, kabar pada Kamis 22 Februari 2007 datang menyeradak. Kapal Levina I terbakar di Perairan Kepulauan Seribu dan menciduk nyawa 50-an orang. Kecelakaan ini pun antiklimaks, sebab dua hari setelah terbakar, kapal itu pun terjungkat kembali bersama para penyelidik dan wartawan peliput.
Berita-berita maut dari laut ini ditulis sempurna ketika akhir tahun silam mencuat kabar bagaimana si mantan penjaga mercusuar laut, Rokhmin Dahuri, diseret ke bui atas tuduhan menyalahgunakan rezeki bahari.
Lantas bagaimana berharap munculnya kreativitas mengelola dan hidup seirama laut jika kita senantiasa dikurung rasa takut dan sekaligus rasa muak kepada pemangku mercusuar laut yang rakus?
Pelni dan Indonesia Satu
Jika kita berbicara tentang laut yang menyatukan daratan Indonesia, BUMN bernama PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) tak bisa ditampik perannya. Kapal-kapal merekalah yang siang-malam tak kenal lelah terus melayari dan menyinggahi pelabuhan-pelabuhan kecil di pelosok-pelosok Nusantara.
Maka, agak mengherankan ketika muncul perdebatan di seminar atau di kolom-kolom koran tentang pengelolaan pulau-pulau terluar, Pelni sama sekali tak disinggung perannya. Seperti dalam diskusi buku Menata Pulau-pulau Kecil Perbatasan pada 18 November 2006 di Banda Aceh, yang antara lain menghadirkan pembicara Pemimpin Redaksi Harian Kompas Suryopratomo dan Hasjim Djalal, ahli hukum kelautan dari Universitas Padjadjaran.
Banyak hal yang menarik, informatif, dan kaya, yang mengemuka dalam diskusi itu. Namun Pelni tetap tak punya tempat. Tak adanya satu pihak pun yang menyinggung peran perusahaan negara itu mungkin lantaran ia tengah bergulat dengan kutukan dari beberapa kalangan yang menyerukan penutupan BUMN tersebut karena terus merugi. Dibandingkan dengan perusahaan pelayaran Belanda, Koninklijke Paketvaart Matschappij (KPM), yang notabene saudara tuanya, Pelni memang tak ada apa-apanya, baik dari segi armada maupun trayek. Pelni cuma jago kandang, katanya.
Namun, Pelni bukan semata soal bisnis, tapi juga soal budaya dan politik. Kompas edisi 28 April 2004 sudah menurunkan panjang lebar soal bisnis Pelni yang nyaris sekarat. Tapi apa kan terjadi bila Indonesia yang berpagar 17.000 pulau dan lebih dari 250 pelabuhan ini tak memiliki kapal-kapal penumpang? Belum lagi jika meledak kerusuhan antaretnis seperti yang terjadi di Ambon, Galela, Timor Timur, Sampit, hingga bencana besar seperti tsunami Aceh. Kapal-kapal Pelni-lah yang pertama turun langsung, dengan semangat "padamu negeri", membawa bantuan atau mengungsikan ribuan penduduk.
Pelni kini sudah menjadi pertaruhan politik dan nasionalisme pemerintah. Bagaimanapun keadaannya, pemerintah mestinya tetap memberi subsidi penuh kepada Pelni. Karena kedatangan kapal-kapal putih berbendera Pelni itulah warga di pelabuhan-pelabuhan pelosok tetap merasa bahwa mereka bagian dari Indonesia Raya.
Kapal buku
Kalau selama ini Pelni rutin memuntahkan manusia dan barang dari dalam perutnya, kenapa tidak sesekali ia berkaok memanggil-manggil anak-anak pulau terjauh untuk datang membaca buku, menonton film bermutu, atau melihat book exhibition dalam perutnya yang kembung itu. Inilah kapal Pelni yang lain. Inilah kapal buku. Sudah bisa dibayangkan sejak awal bahwa pengadaan kapal-buku adalah proyek rugi. Namun, ini adalah tabungan yang tak ternilai untuk masa depan (nalar) Indonesia.
Pikiran menghadirkan kapal-buku ini didorong dua alasan. Pertama, Pelni memiliki beberapa bahtera yang sudah uzur dan tak kuat mengelilingi seluruh Indonesia. Mungkin hanya bisa memutari satu atau dua pulau. Kedua, saat ini RUU Perpustakaan sedang digodok di parlemen. RUU ini membahas banyak hal, terutama sekali manajemen Perpustakaan Nasional, invasi penguatan perpustakaan di daerah, serta pengadaan perpustakaan terapung.
Untuk itu penting bagi pihak perpustakaan bekerja sama dengan Pelni. Apalagi kapal-kapal Pelni sudah banyak yang batuk-batuk. Biasanya kapal-kapal ini dihibahkan kepada Angkatan Laut. Langkah Pelni itu sudah benar. Sebab, serdadu laut butuh banyak kapal untuk menjagai laut Indonesia yang luas ini. Namun sesekali bolehlah memarkir sebiji-dua kapalnya untuk perpustakaan.
Atau perpustakaan bisa memakai jalan "swasta" dengan melobi 10 saja orang superkaya di Indonesia. Bayangkan bila perpustakaan nasional memiliki 10 kapal buku-mewah yang dapat dinikmati anak-anak di pelosok, lengkap dengan kafe-kafe, ruang pameran, bahkan ruang presentasi video, seperti terdapat di jantung Jakarta. Maka, kapal-kapal buku itu pun dapat dinamai: Kapal Buku Bakrie, Kapal Buku Liem, Kapal Buku Panigoro, dan sebagainya.
Di kapal-kapal buku inilah seorang bocah di Teluk Wondama, Kabupaten Monokwari, misalnya, akan dengan wajah berbinar memasuki kapal berpendingin dan betah seharian membaca buku. Atau menyaksikan bazar buku murah lengkap dengan acara diskusi buku dan temu pengarang beken dari kota-kota penting di Indonesia. Lalu, sorenya si bocah pulang menjinjing dua buku cerita dan akan dikembalikan sepekan kemudian ketika kapal putih berbendera merah-putih itu secara reguler kembali merapat di pinggir pulau mereka.
Kehadiran kapal-buku milik Pelni dan Perpustakaan Nasional ini tak hanya menyusutkan sedikit demi sedikit rasa takut akan monster yang selalu datang dari laut, tapi juga mengabarkan bahwa di atas gelombangnya, mengapung ribuan pengetahuan dan ketakjuban. Di sini, di kapal buku.
* Muhidin M Dahlan, Penulis Roman, Kerani di Indonesia Buku (i:boekoe) Jakarta
Sumber: Kompas, Sabtu, 7 April 2007
No comments:
Post a Comment