Jakarta, Kompas - Ribuan benda dan situs cagar budaya yang tersebar di darat dan dasar lautan Nusantara belum terpelihara. Tugas pemeliharaan menjadi semakin berat oleh adanya sejumlah situs yang terkena bencana. Padahal, benda cagar budaya memiliki nilai kesejarahan yang tinggi bagi bangsa ini.
Kenyataan ini diakui Hari Untoro Drajat, Dirjen Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dalam diskusi bertajuk "Peta Pelestarian Kekayaan Budaya Nasional" di Jakarta, Selasa (24/4).
"Dari 7.474 benda dan situs cagar budaya yang ada, baru 1.709 yang dipelihara. Adapun jumlah juru peliharanya hanya 2.801 orang," kata Hari seraya menambahkan, banyaknya benda dan situs cagar budaya yang tak terpelihara itu karena keterbatasan dana pemerintah.
Oleh karena itu, tambahnya, program pemeliharaan lebih didasarkan pada skala prioritas. Bahkan, untuk juru pelihara honorer saja saat ini hanya dibayar Rp 250.000 per bulan. "Mulai tahun ini pemerintah berkeinginan menaikkan honor para juru pelihara benda dan situs cagar budaya tersebut, sehingga setiap bulan mereka bisa menerima Rp 400.000-Rp 600.000," ujarnya.
Kekayaan benda dan situs cagar budaya di dasar laut—termasuk yang berasal dari kapal tenggelam—juga belum terpetakan. Dari 186 lokasi kapal tenggelam yang sudah diketahui, baru dua lokasi yang sudah dipetakan.
Kekayaan budaya
Nina Sardjunani selaku Deputi Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), menyatakan, peta kekayaan budaya nasional dibutuhkan agar dapat ditentukan prioritas upaya pelestarian.
Untuk itu, Bappenas bersama Departemen Budpar saat ini berupaya memetakan kekayaan budaya nasional tersebut, terutama terkait benda dan situs cagar budaya. "Diharapkan, upaya pemetaan tersebut final sampai akhir tahun ini," kata Nina.
Perhatian serta perlindungan terhadap benda dan kawasan cagar budaya memang masih minim. Perdagangan dan pendirian bangunan di atas kawasan atau situs cagar budaya yang bernilai ekonomis kerap dianggap hal biasa dan bukan pelanggaran. Padahal, kata Nina, jika cagar budaya itu dilindungi dan dirawat menyumbangkan nilai ekonomis lebih tinggi karena akan menjadi tujuan wisata yang maksimal.
Hari Untoro menambahkan, terdapat sejumlah permasalahan dalam pelestarian cagar budaya. Di antaranya konsep pengembangan kawasan cagar budaya belum komprehensif dan integral. Orientasi peningkatan pelestarian perlu diarahkan pada prinsip perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Pemerintah daerah sendiri dianggap masih minim perhatiannya terhadap pelestarian cagar budaya.
Persoalan lain ialah pandangan yang berorientasi pada nilai ekonomi semata. Pandangan itu perlu diarahkan pada sosial dan budaya, khususnya budaya setempat. Selain itu, perlu pemberdayaan masyarakat sekitarnya.
Anggota Dewan Pimpinan Badan Pelestarian Pusaka Indonesia Nunus Supardi dalam makalahnya menyebutkan, pelestarian budaya oleh pemerintah tidak terlepas dari penataan organisasi dan koordinasinya. Mantan Staf Ahli Menteri Kebudayaan dan Pariwisata itu berpendapat, perlu koordinasi intens antara Departemen Budpar dengan Departemen Dalam Negeri tentang pelestarian kebudayaan bangsa.
Dengan demikian, kata Nunus Supardi, masalah pengurusan kebudayaan bangsa yang dibagi kewenangannya antara pusat dan daerah tidak terlepas dari bingkai kebudayaan nasional atau kebudayaan bangsa. "Di samping itu, perlu dilakukan penataan ketenagaan, anggaran belanja, sarana dan prasarana budaya, serta peraturan perundangan untuk melindungi kekayaan bangsa tersebut," ujarnya. (INE)
Sumber: Kompas, Rabu, 25 April 2007
No comments:
Post a Comment