-- Toni Aprito*
SASTRA dan dinamika politik, bagaikan kumparan gasing dan talinya; siapa mengendalikan siapa. Apakah tali yang mengendalikan gasing atau justru gasing yang tanpa tali tak mungkin berputar.
Demikian pula kesustraan di Indonesia, ia berkait erat dengan proses politik yang terjadi. Kisi-kisinya mengembangkan nuansa politik. Ini mungkin pengaruh masyarakat dan tradisi politik Indonesia.
Kalau sastra dunia, cenderung mengapresiasi rakyat dengan suatu kebudayaan visualitatif, seperti visualisasi kesusastraan yang direkam dalam film Herry Potter, karya sastra populer miliknya J.K. Rowling.
Maka, sastra Indonesia, justru setiap tahapan selalu bergumul dengan dinamika sistem. Secara sistemik alur sejarah sastra Indonesia dilihat sebagai bagian dari sistem itu sediri. Apa yang diungkap oleh Prisma 1988, agaknya membenarkan asumsi ini.
Pada paro pertama 1960-an, dunia kesusastraan Indonesia diguncang oleh pertarungan antara kelompok sastrawan pendukung Manifes Kebudayaan (sebuah pernyataan seniman Indonesia yang menegaskan hak seniman untuk terbebas dari tekanan politik).
Di satu pihak kelompok sastrawan pendukung Lembaga Kebudayaan Rakyat (yang menekankan komitmen sosial dalam kesenian Indonesia), di pihak lain. Tetapi, dengan perkembangan politik setelah 1965, dan afiliasi politiknya, pengaruh kecenderungan Lekra dalam kesusastraan Indonesia secara otomatis terhapuskan, dan pertarungan ini pun selesai.
Tetapi bagaimanakah perkembangan kesusastraan Indonesia sejak itu? Untuk beberapa waktu, kebebasan dari "komitmen sosial" yang tegas dimanfaatkan oleh sastrawan Indonesia untuk menghasilkan karya-karya sastra yang imajinatif, kaya dengan eksperimen, untuk menjelajahi bagian-bagian terdalam dari kehidupan sebagai manusia.
Sementara hal ini sempat memperkaya kesusastraan Indonesia modern, tidak jarang pula karya-karya yang ditampilkan terjerumus untuk lebih mementingkan style dari pada substance. Sehingga, di akhir 1970-an, banyak orang melihat bahwa sastra dan sastrawan Indonesia telah begitu terisolasikan dari masyarakatnya, dalam keasyikan melakukan eksperimentasi.
Kerinduan akan karya sastra Indonesia yang kembali mengangkat persoalan-persoalan dalam masyarakat, dan yang dapat menjangkau audiens yang tidak sekadar eksklusif, menjadi pendorong perdebatan tentang sastra Indonesia pada 1980-an.
Sampai sekarang, perdebatan ini sekadar terputus, namun tak sampai (atau tak mungkin?) terselesaikan. Sebab, perdebatan ini menyangkut hal-hal yang sangat esensial tentang makna kehadiran karya sastra dan sastrawan dalam masyarakat: Adakah sastrawan memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat? Kalau tanggung jawab ini ada, bagaimanakah ia memengaruhi kebebasan seorang sastrawan dalam berekspresi? Apakah sastra Indonesia modern memang harus terisolasi dari masyarakat luas? Dengan isolasi ini sampai manakah kecenderungan pada eksperimentasi subjektif dalam kesusatraan Indonesia masih bisa berkembang?
Bila ditinjau dari uraian di atas, alternatif jaring-jaring kesusastraan Indonesia di era reformasi, tentu berbeda dengan era sebelumnya. Di era reformasi meski sastra Indonesia, semakin lebih bebas, namun tidak menampakkan greget universalismenya. Proses penulisan sastra lebih berbingkai pada ambivalensi kultur penulisan.
Sastra di era reformasi, bagaikan dipaksa untuk menjadi sastra dikotomik. Di tengah ambivalensi prilaku eforia politik kesusastraan. Sastra dengan para penyair mudanya, di satu sisi menjual ide cemerlang tanpa uang, di sisi lain membungkus kesusastraan Indonesia ke dalam jaring refleksi politik reformasi.
Dalam kerangka dikotomi itu, dunia kesusastraan Indonesia, pun melahirkan ide-ide baru, dan bersamaan dengan itu kesusastraan Indonesia melupakan kelembagaan dalam pengertian yang sebenarnya. Indikator ini dapat dilihat rendahnya minat siswa terhadap kesusastraan Indonesia.
Harapan kita di era reformasi yang riuh rendah dengan kata, para penyair harus mengapresiasikan sastra dalam bentuknya yang lebih renyah dan edukatif. Renyah dan edukatif dalam arti, renyah untuk dibaca agar diminati, dan edukatif yang bermakna siswa sekolah tidak harus dipaksa dengan kesusastraan yang berat.
Mengentalnya kesusastraan dikotomik, mungkin saja bisa dicairkan lewat sastra biografik. Semisal, buku berjudul Emak karya Daoed Yoesuf, atau katakanlah seperti karya alm. Ramadhan K.H. dan berbagai biografi tokoh-tokoh lainnya.
Mengapa kekentalan sastra dikotomik yang cenderung bermain pada dinamika sistem dapat dicairkan dengan sastera biografik, karena cerpen, novel, dan berbagai bentuk tulisan lainnya tidak terlalu diminati oleh generasi muda. Selain itu, sastra biografik diharapkan mampu mentransformasikan tokoh-tokoh bangsa ini ke dalam wacana berpikir orang orang muda.
Kalaulah kemudian sastra biografik menjadi terobosan, maka harapan kita terhadap kemajuan sastra Indonesia (dalam hal ini dapat dimininati para orang muda), sekaligus pula meretas orientasi onaninya para sastrawan kita. n
* Toni Aprito, penikmat sastra, tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 Juli 2007
1 comment:
Perlu direkosntruksi ulang tentang polemik sastra yakni, bukan pada perkara Menifes dan Lekra, tapi juga dilihat perkembangan sejarah sastra pra balai puataka. Untuk sastra biografik, asal tidak terlalu narsis, ok juga tuh.
Post a Comment