Monday, January 29, 2007

Cagar Budaya: Sejumlah Koleksi Museum Riau Mulai Rusak

Pekanbaru, Kompas - Sejumlah koleksi Museum Daerah Riau mulai rusak. Penyebab kerusakan itu antara lain keterbatasan dana dan tenaga untuk mengerjakan perawatan dan perbaikan.

Bulu-bulu hewan yang diawetkan, seperti macan dahan dan harimau, mulai rontok. Selain itu, Al Quran dari Kabupaten Kampar yang ditulis tangan juga mulai terlihat kusam dan sobek di sana-sini.

Kepala Museum Daerah Riau Asmawaty Abza, pekan lalu menjelaskan, pemeliharaan koleksi museum dilakukan dengan dana seadanya sesuai dengan alokasi Dinas Kebudayaan, Kesenian, dan Pariwisata Provinsi Riau. "Yang kami rawat ini barang-barang tua sehingga butuh perlakuan khusus. Bahan kimia untuk merawat benda koleksi juga tidak sembarangan," tuturnya.

Untuk benda-benda dari logam, misalnya, perawatan satu koleksi bisa memakan waktu lebih dari satu bulan. Cairan kimia untuk perawatan benda museum disesuaikan dengan jenis benda tersebut. Setiap jenis benda, seperti aluminium, tembaga, besi, atau kertas, diperlukan cairan kimia yang berlainan. Karena itu, untuk perawatan benda koleksi museum diperlukan dana yang tidak sedikit.

Pada tahun 2006 museum ini mendapatkan dana perawatan benda koleksi sebesar Rp 200 juta. Jumlah benda koleksi museum sekitar 4.000 buah. Karena keterbatasan dana dan tenaga, perawatan dan perbaikan benda-benda koleksi museum dilakukan secara bertahap. Bila perawatan dilakukan secara menyeluruh, Asmawaty memperkirakan kebutuhan dana mencapai miliaran rupiah.

Betty Inara, salah seorang petugas konservasi di Museum Daerah Riau mengatakan, letak museum yang diapit dua sungai menyebabkan kelembaban di museum ini tinggi. Kondisi ini sangat berpengaruh pada potensi kerusakan benda-benda koleksi. Selain kelembaban udara, debu juga menjadi penyebab kerusakan pada benda-benda koleksi.

"Jamur dan karat adalah musuh utama benda koleksi yang terbuat dari logam. Sering kali benda yang baru selesai dirawat sudah terkena jamur dan karat lagi. Karena itu, perawatan benda koleksi sangat diperlukan secara teratur dan terus-menerus. Cairan kimia yang diperlukan untuk perawatan ini juga semakin banyak," tuturnya.

Betty menambahkan, perawatan sekitar 4.000 koleksi di museum ini diperlukan waktu sekitar tiga sampai empat tahun.

Sementara itu, kerusakan pada bulu hewan disebabkan oleh cara pengawetan kurang baik dan salah. Akibatnya, bulu hewan jadi sarang kutu dan sarang hewan kecil perusak lain. (ART)

Sumber: Kompas, Senin, 29 Januari 2007

Saturday, January 13, 2007

Esai: Syair, Songket, dan Sungai

-- Acep Zamzam Noor*


INDONESIA International Poetry Festival 2006 yang berlangsung di Palembang beberapa waktu yang lalu, selain menghadirkan para penyair terkemuka dari sejumlah negara, juga menghadirkan seniman-seniman lokal yang menampilkan sastra tutur. Di wilayah Sumatra Selatan (termasuk Lampung dan Bengkulu) tradisi sastra tutur atau yang lebih kita kenal dengan sebutan sastra lisan terdapat hampir di setiap kabupaten meskipun yang masih benar-benar hidup hanya tinggal di beberapa tempat. Penampilan sastra tutur di arena festival menjadi menarik karena bahasa lokal bersanding dengan bahasa-bahasa internasional seperti Finlandia, Rumania, Italia, Belanda, Jerman, Arab, Turki, Cina, Inggris, yang tentu saja bagi pendengaran saya sama-sama asingnya.

Di panggung, setiap penyair asing tampil membawakan puisi dalam bahasanya masing-masing. Mendengarkan puisi-puisi yang mereka bacakan, bagi saya dan mungkin juga sebagian besar penonton, seperti mendengarkan dukun yang sedang membacakan mantra. Memang untuk puisi-puisi berbahasa asing dibacakan juga terjemahannya dalam bahasa Indonesia, namun yang menarik dari festival semacam ini justru ketika kita mendengar langsung bahasa aslinya dituturkan oleh penyairnya sendiri. Seperti halnya mendengar mantra, kita bisa menikmati apa yang mereka bacakan meski tidak mengerti apa maknanya.

Meskipun gaya membaca penyair-penyair asing ini seperti para pembaca puisi umumnya, pengucapan mereka punya irama dan aksen yang khas. Mendengar puisi-puisi Anni Sumari (Finlandia), Peter Zilahy (Rumania), Martin Jankowski (Jerman) atau Tseud Bruinja (yang menulis dalam bahasa Frisian, salah satu bahasa lokal di Belanda) seperti mendengar rangkaian bunyi tanpa makna. Begitu juga ketika Ahmad Abdul Mu'thi Hijazi (Mesir) membacakan puisi-puisinya, saya seperti mendengar seorang kiai yang sedang berkhotbah atau berdoa, dengan kemerduan bunyi bahasa Arab yang luar biasa. Atau ketika Duoduo tampil, penyair pelarian asal Cina itu seperti sedang membacakan narasi dalam sebuah film kungfu. Ya, begitulah puisi. Kekuatannya bukan hanya terdapat pada makna, namun juga bunyi kata-katanya itu sendiri.

Ahmad Bastari Suan, penutur tradisional dari Lahat, membuka festival ini dengan membawakan syair dari Guritan dan Tadut, dua jenis sastra tutur dalam bahasa Basemah. Bastari Suan bersenandung dengan suara baritonnya yang berat. Ia duduk di atas tikar sambil menundukkan kepala dengan dagu yang disangga sebilah bambu. Entah apa fungsi yang sebenarnya dari bambu ini, apakah semacam alat bantu untuk memperkeras suara atau hanya penyangga dagu agar tidak pegal jika menunduk dalam waktu yang cukup lama. Tak banyak gerak yang dilakukan oleh seniman ini selain tangan yang kadang membuka lembaran naskah atau membetulkan posisi bambu. Ia membawakan sejumlah syair dengan khidmat dan khusyuk. Ia seperti seorang dukun yang sedang membacakan mantra.

Bagi saya yang tidak mengerti bahasa Basemah, menikmati syair dari Guritan dan Tadut ini seperti halnya mendengarkan puisi-puisi Finlandia, Rumania, Jerman, Belanda atau Cina. Cerita apa di balik syair yang Bastari Suan senandungkan, jelas saya tidak mengerti. Ketika hal ini saya tanyakan kepada T. Wijaya, seorang penyair Palembang, menurutnya syair tersebut bercerita tentang kepahlawanan. Namun ia sendiri tidak paham betul karena Basemah adalah salah satu bahasa lokal yang terdapat di Sumatra Selatan. "Di sekitar Palembang banyak sekali bahasa yang tidak semuanya saya dipahami, memang mirip dengan bahasa Palembang namun sebenarnya merupakan bahasa tersendiri," katanya sambil menjelaskan bahwa bahasa atau budaya yang berbeda-beda itu hampir semuanya berkaitan dengan Sungai Musi, baik langsung maupun tidak. Dengan kata lain bahasa dan budaya yang berbeda-beda itu seperti disatukan oleh aliran Sungai Musi, yang merupakan sumber utama kehidupan dan kebudayaan mereka.

Palembang terkenal dengan kain songketnya yang indah, yakni tenunan tradisional yang biasa dikerjakan oleh kaum perempuan sejak zaman Kesultanan Palembang Darussalam. Palembang juga terkenal dengan sastra tuturnya yang sangat kaya, mulai dari legenda, cerita rakyat sampai syair-syair yang berkisah tentang perang atau kepahlawanan. Syair-syair patriotik ini biasanya dituturkan oleh dan untuk kalangan bangsawan, sementara legenda dan cerita rakyat populer di kalangan masyarakat kebanyakan. Selain itu, Palembang juga dikenal dengan sungai-sungainya yang lebar dan panjang. Kota yang bersejarah ini konon dialiri oleh sembilan sungai yang semuanya bermuara ke Sungai Musi. Sembilan sungai ini melambangkan beragam suku dan bahasa yang terdapat di wilayah Palembang dan sekitarnya, yang dikenal sebagai kawasan Batanghari Sembilan.

Tiga ikon Palembang ini, yakni syair, songket dan sungai, diangkat oleh Lingkar Studi Teater Palembang (LSTP) menjadi sebuah pergelaran sastra tutur kreasi baru dengan judul “Tenunan Syair Batanghari Sembilan”. Tidak seperti Bastari Suan yang membawakan syair-syairnya secara tradisional, LSTP memadukan banyak unsur menjadi sebuah kolaborasi sastra tutur yang cukup menghibur. Syair yang menjadi materi pergelaran bukan hanya dituturkan atau disenandungkan, namun pada bagian-bagian tertentu juga dibawakan secara teatrikal. Jika Bastari Suan hanya bertutur sendirian tanpa pengiring, LSTP membawakannya dalam sebuah ensambel. Ada gitar, ada bass, ada jimbe, dan terebang. Tentu saja ada juga alat-alat tradisional dari bambu semacam celempung serta bambu berisi pasir yang digerak-gerakkan. Selain itu tampil pula seorang perempuan tua yang sedang menenun songket. Perempuan ini bukan hanya dipajang sebagai hiasan, namun bagian penting dari pergelaran. Bunyi-bunyian yang dikeluarkan dari alat tenunnya menjadikan musik lebih kaya. Pergelaran menjadi semakin meriah karena di samping para pemain yang memakai pakaian tradisional dari songket, setting panggungnya pun menggunakan lembaran-lembaran kain songket yang gemerlapan.

"Songket tidak hanya terdapat di Palembang tapi juga di Medan, Padang, Jambi, dan Lampung. Songket itu milik kebudayaan Melayu, jadi terdapat juga di beberapa tempat di Malaysia. Hanya songket Palembang memang lebih dikenal orang, mungkin karena kehalusannya atau entah karena apanya," kata Anwar Putera Bayu, penyair Palembang yang lain. Di Palembang kerajinan songket ini masih hidup dan berkembang, sejumlah pengrajin bahkan mencoba mengangkatnya menjadi kain yang bergengsi dan mahal. Anna Kumari misalnya, dengan kreatif memadukan motif-motif songket dengan tenun ikat, tenun tajung (seperti tenunan untuk kain sarung), batik jumputan, dan batik prada sehingga menghasilkan corak dan warna yang indah. Fungsinya pun bukan hanya untuk pakaian tradisional, tapi untuk keperluan-keperluan yang lebih luas seperti jas, kemeja, gaun wanita, busana Muslim bahkan jilbab. "Songket juga cocok untuk gordin jendela, bed cover, taplak meja, tas tangan, kipas, bantal, hiasan dinding atau dekorasi panggung seperti ini," ujar seorang pegawainya dengan bangga.

Pergelaran LSTP pada penutupan festival puisi internasional ini membawakan salah satu bagian dari Syair Perang Menteng yang sangat panjang. "Pergelaran ini mencoba mengangkat 22 bait bagian awal. Secara keseluruhan syair ini berisi 260 bait yang menceritakan peperangan antara Kesultanan Palembang Darussalam melawan penjajah Belanda," kata Vebri Al-Litani yang menjadi vokalis dari kelompok ini. Menteng berasal dari kebiasaan orang-orang Palembang ketika mengucapkan nama Mutinghe, seorang komisaris yang diangkat pemerintahan kolonial untuk memimpin wilayah Palembang dan Bangka pada tahun 1817. Jadi kata Menteng diambil dari nama seorang komisaris Belanda.

Syair Perang Menteng sendiri ditulis sekitar tahun 1819-1821, ketika peperangan tengah berlangsung. Syair ini menceritakan bagaimana peperangan dimulai, yakni sewaktu Belanda dan Ambon yang dipimpin Ideler Mutinghe alias Menteng bersama-sama menyerang Kesultanan Palembang. Namun rakyat Palembang yang dipimpin oleh Haji Zein bahu-membahu mempertahankan diri sekuat tenaga. Dalam syair ini diceritakan pula bagaimana kegigihan rakyat Palembang dengan senjata apa adanya yang berjuang tanpa rasa takut berhasil memukul mundur pasukan kolonial meskipun Haji Zein, sang komandan, harus gugur sebagai syuhada.

Vebri Al-Litani juga menjelaskan, dalam pergelarannya ditampilkan berbagai gaya bertutur dari tradisi-tradisi yang ada di Sumatra Selatan, seperti Bekisoh yang merupakan gaya bertutur untuk kalangan bangsawan, Guritan dan Tadut gaya bertutur dari Basemah, Senjang gaya bertutur dari Sekayu serta Irama Batanghari Sembilan, sejenis pantun yang biasa dinyanyikan dengan iringan gitar tunggal. "Kami mencoba menampilkan kekayaan tradisi yang dimiliki Sumatra Selatan ini dalam sebuah paket pergelaran, tentu dengan upaya-upaya untuk bisa menemukan pengucapan baru yang segar," katanya seusai pertunjukan.

Bagi saya, yang menjadi salah seorang peserta dalam festival ini, pergelaran Tenunan Syair Batanghari Sembilan merupakan sebuah terobasan yang perlu dicatat dari seniman-seniman muda Palembang, khususnya dalam mengangkat berbagai kekayaan lokal. Terobosan yang memberikan semacam aksentuasi bagi sebuah festival puisi internasional yang berlangsung di daerahnya. Yang mereka pergelarkan bukan sekadar sastra tutur, musik dengan alat-alat tradisional atau kain songket dengan beragam corak yang membalut pementasan, namun semacam instalasi yang menenun unsur-unsur budaya dengan meriah, semacam bunga rampai yang merajut tradisi-tradisi yang masih ada. Tradisi-tradisi yang tentu masih dan akan terus hidup dan dihidupi oleh masyarakat pendukungnya.

* Acep Zamzam Noor, Penulis, Penyair dan pelukis.

Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 13 Januari 2007

Identitas Bangsa: Penafsiran tentang Indonesia Perlu Terus-menerus

Jakarta, Kompas - Indonesia sebagai sebuah identitas sebenarnya bukan sesuatu yang mati, tetapi memerlukan proses membudaya dan penafsiran yang terus-menerus. Jika dilihat dari segi praktik seni, para seniman selalu menafsirkan suatu kehidupan yang dinamis. Apalagi seniman dalam setting Indonesia berada di dalam lingkungan budaya yang berbeda-beda.

"Jadi respons seniman ketika menanggapi persoalan bernegara, otomatis referensinya adalah apa yang dia lihat di dalam lingkungannya. Setiap orang memunculkan penafsiran yang berbeda-beda. Justru di sinilah Indonesia terbentuk dari penafsiran yang berbeda terus-menerus itu," kata Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Sardono W Kusumo di Jakarta, Jumat (12/1).

Kalau dari segi seni, itu adalah sebuah proses penciptaan yang terus-menerus, yang dilandasi oleh berbagai macam perbedaan setting, bukan hanya setting budaya, tetapi setting ekologi yang begitu beragam karena Indonesia adalah negara beribu pulau. Selain itu, karakter ekosistemnya pun sangat kontras.

IKJ menyumbang pembentukan dan pengertian tentang identitas Indonesia. Pengertian identitas bukan sesuatu yang tetap (fixed), tetapi sebuah proses yang beragam yang membentuk sebuah mozaik Indonesia.

Yang paling menarik dari IKJ adalah setting-nya. Lembaga ini didirikan tahun 1970 oleh Asrul Sani (film) yang merupakan generasi Chairil Anwar, Oesman Effendi (seni lukis), Jaduk Jayakusuma (teater), Syumandjaja (orang pertama yang sekolah film di Moskwa, Rusia). Mereka merupakan sebuah generasi yang mengalami pergulatan yang intens sebelum, selama, dan sesudah revolusi.

"Selain itu IKJ berada di ibu kota Jakarta. Jadi IKJ jangan dilihat sebagai sebuah lembaga, tapi sebagai kampung besar bagi mahasiswa dari seluruh Indonesia," kata Sardono.

Karakter kuat

IKJ pun secara kontinu terus menelurkan para seniman berkarakter kuat karena memiliki landasan sikap hidup yang mewakili keindonesiaan.

Seni juga dilihat sebagai sebuah totalitas dengan seni film, seni tari, seni musik, dan bidang lainnya dilihat dalam satu atap. "Ini mewakili pendekatan yang komprehensif dan total. Pada pendekatan Barat, sekolah justru bersifat spesialisasi, seperti akademi musik dan tari. Sedangkan kita tumbuh dari naluri budaya yang tidak terpisah. Ini karakter IKJ," kata Sardono.

Hal ini kemudian menginspirasi berbagai akademi seni di daerah lain, misalnya di Yogyakarta ada akademi tari, akademi musik, akademi seni lukis yang terpisah-pisah. IKJ kemudian menjadi model yang mendorong pemerintah menyatukan beberapa akademi menjadi institut seni.

IKJ juga menjadi muara dari kesenian tradisional daerah lain yang dibawa oleh para mahasiswanya yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, sehingga terjadi interaksi dan saling memperkaya tiap individu.

Langkah ke depan

Mahasiswa di jurusan seni tari sejak awal perkuliahan sudah dikenalkan tarian dari berbagai daerah di Indonesia dan juga tari kontemporer. Mereka dapat mengikuti program bersama keluar daerah seperti ke Papua, Bali, Nias, dan Kalimantan selama minimal satu bulan.

"Jadi tidak heran kalau lulusan IKJ seperti Garin Nugroho dan John de Rantau dengan film Denias-nya, sangat kental keindonesiaan mereka," kata Sardono.

Ke depan IKJ akan melakukan terobosan dengan membuka program internasional seperti pertukaran dosen, mahasiswa, dan aktivitas. Makin banyak seniman berelasi dengan seniman asing, menurut Sardono, maka akan terjadi pemahaman tentang manusia yang menembus, melewati, batas prasangka tentang ras, suku, dan agama.

"Jadi sumbangan sebuah kesenian sangat dalam. Manusia yang memiliki persepsi kehidupan yang dalam, memiliki kualitas kemanusiaan yang baik," papar Sardono. (LOK)

Sumber: Kompas, Sabtu, 13 Januari 2007

Thursday, January 11, 2007

Peluncuran Cerpen Berbahasa Bali

SEMINAR dwimingguan Seri Sastra Sosial Budaya Fakultas Sastra, Universitas Udayana (Unud), Sabtu (13/1), akan diisi dengan peluncuran dan diskusi buku cerita pendek berbahasa Bali, Gedè Ombak Gedè Angin, karya I Made Suarsa. Buku kumpulan cerpen karya dosen Fakultas Sastra Unud dan peraih Hadiah Sastra Rancage tahun 2004 ini akan dibahas oleh I Nyoman Suwija. Pembahas adalah dosen IKIP PGRI Bali dan kandidat doktor Program S-3 Linguistik (Konsentrasi Wacana Sastra) Universitas Udayana.

Menurut koordinator seminar, I Nyoman Darma Putra, peluncuran buku cerpen berbahasa Bali ini ikut menyemarakkan kehidupan sastra modern berbahasa Bali. "Di tengah-tengah suburnya kehidupan sastra tradisional, kehadiran sastra modern berbahasa Bali pantas disambut," kata Darma Putra. Acara peluncuran dan diskusi yang berlangsung di Kampus Fakultas Sastra Unud, Jalan Nias, Denpasar, ini dimulai pukul 09.00 waktu setempat, terbuka untuk umum. (*/ine)

Sumber: Kompas, Kamis, 11 Januari 2007

Monday, January 08, 2007

Tradisi: Gasing, Permainan yang Mulai Punah

SEUTAS tali dililitkan pada benda sebesar kepalan tangan orang dewasa. Benda itu menyerupai gentong kecil. Lalu, ujung tali dihentakkan dengan tangan. Benda berbentuk bulat itu pun dilepas. Ketika jatuh di permukaan tanah, benda itu berputar dan terus berputar.

Benda bulat itu bagi anak-anak di desa tidak asing lagi. Benda yang menjadi bagian hiburan rakyat itu dikenal dengan nama gasing.

Namun tak sedikit orang tua yang turut menggandrungi permainan gasing. Karena, gasing tidak semata dapat dinikmati saat berputar seperti kincir. Gasing dapat ditandingkan dengan cara saling dibenturkan oleh para pemainnya.


Sayangnya, perkembangan teknologi telah membuat popularitas gasing redup. Gasing semakin hilang ditelan zaman. Kini, anak-anak lebih tertarik bermain game di Play Station, komputer, atau arena permainan di mal-mal. Anak-anak di kota-kota besar mulai asing dengan permainan gasing. Bahkan mereka bisa jadi tak mengenalnya sama sekali.

Alasan itu mendorong digelarnya Pameran dan Atraksi Gasing Nusantara di pusat perbelanjaan Menteng Huis, sejak November 2006 hingga akhir Januari 2007. "Pameran Gasing Nusantara adalah upaya menghargai dan melestarikan kekayaan tradisi Indonesia," ungkap Endi Aras dari Gudang Dolanan, yang mengadakan Pameran dan Atraksi Gasing Nusantara itu.

Setiap harinya, di salah satu sudut Menteng Huis dapat disaksikan gasing dengan berbagai bentuk dan ukuran. Bentuk dan ukuran gasing menunjukkan ciri khas dari daerah mana gasing itu berasal.

Secara umum gasing terbuat dari kayu keras dengan bentuk beraneka sesuai asal daerahnya. Ada yang berbentuk bulat, lonjong, pipih, kerucut, silinder, dan lainnya. Bagian-bagian gasing di setiap daerah Indonesia pun bervariasi.

Ada gasing yang mempunyai kepala dan leher seperti yang dijumpai di Ambon. Gasing itu dikenal dengan nama apiong. Sedangkan gasing Jakarta dan Jawa Barat tidak memiliki leher, tapi hanya kepala. Demikian pula ada gasing dengan paksi (taji) yang dibuat dari paku logam. Tapi ada juga gasing tanpa taji seperti gasing dari Natuna, Kepulauan Riau.

Sebutan gasing juga beragam. Ada apiong dari Maluku, gangsing (Jakarta), pukang (Lampung), begasing (Kalimantan Timur), megasing (Bali), agasing (Makasar), dan lainnya.

Di pameran, pengunjung tak hanya menyaksikan aneka ragam gasing dan cara memainkannya. Mereka juga dapat menyaksikan pembuatan gasing.

Salah seorang pembuat gasing, Kushadi menunjukkan bagaimana membuang gasing di pameran itu. Ditemani anaknya, Idi, ia sibuk mengukir sebuah kayu untuk membentuk sebuah gasing.

"Dulu saya sering bikin gasing untuk dijual pada anak-anak. Tapi sekarang jarang lagi yang beli. Jadi bikinnya juga jarang," ungkap Kushadi yang ternyata anak seniman topeng Betawi Haji Bokir itu.

Bentuk gasing tidak kaku. Bahkan Kushadi kerap mengandalkan kreativitasnya agar bentuk gasing menarik dan tidak membosankan. Saat Media Indonesia menyapanya, ia tampak sibuk membentuk gasing yang diberi nama cimonas yang bentuknya menyerupai Monas.

Gasing yang dibentuk Kushadi sudah beraneka ragam. "Saya juga pernah bikin gasing berbentuk ondel-ondel," ungkap Kushadi yang pernah diundang memainkan gasing di Jepang.

Bahan baku membuat gasing juga beraneka, ada yang dari pohon asam jawa, asem, mahoni, nangka, cemara kipas, jambu biji, dan pohon lainnya. Begitu pun tali pemutar gasing yang terbuat dari kulit pohon sukak, pohon pandan, dan kain.

Permainan gasing biasanya dimainkan berkelompok. Ada yang bertanding ketahanan gasing berputar. Yang menarik perhatian, ada kekuatan gasing yang berputar dengan saling bentur. Tak jarang, gasing yang kalah akan terbelah atau terpelanting jauh. (Eri Anugerah/H-2).

Sumber: Media Indonesia, Senin, 08 Januari 2007

Saturday, January 06, 2007

Evaluasi Buku Sunda 2006

-- Atep Kurnia*

ORANG Sunda boleh sedikit berbangga hati bila menengok kehidupan sastranya. Buku-buku berbahasa Sunda selalu terbit setiap tahun. Hadiah-hadiah sastra, seperti Rancage, LBSS, dan hadiah lainnya rutin dihidupkan. Media massa, juga ikut menyemarakkan kehidupan sastra. Ya, kehidupan sastra Sunda bisa dibilang lebih beruntung dibanding dengan sastra daerah lainnya.

Khusus mengenai buku-buku Sunda yang terbit sepanjang tahun 2006, sedikitnya tercatat ada 26 judul buku. Buku-bukunya tentu beraneka-ragam. Ada karya sastra, kumpulan lelucon, kamus, kumpulan esai, buku agama, dan buku pengajaran.

Karya sastra


Dari rumpun sastra, tercatat ada 14 buku berbahasa Sunda yang terbit. Tahun 2006, terbit empat judul kumpulan cerita pendek Sunda. Aan Merdeka Permana menerbitkan dua judul: Keroncong ti Kutoarjo (cetak-ulang) dan Album Carpon. Kiblat Buku Utama menerbitkan Oleh-Oleh Pertempuran buah tangan Rukmana HS. Satu lagi cetak-ulang Nu Tareuneung karya Ki Umbara. Sementara, kumpulan sajaknya terbit dua judul. Tetapi keduanya bukan karya tunggal, melainkan karya bersama. Pertama, Neangan Bulan, karya Chye Retty Isnendes dkk yang diterbitkan oleh Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat. Sedangkan yang kedua, adalah Surat keur Bandung buah karya Acep Zamzam Noor dkk yang diterbitkan oleh Kiblat.

Untuk bacaan anak-anak Sunda, yang tercatat sampai bulan Desember 2006 ada dua karya. Nu Ngageugeuh Legok Kiara, karya Dadan Sutisna, dan Jatining Sobat, keduanya berupa cetak-ulang.

Begitu pula dengan roman Sunda, pada tahun 2006 tak terbit karya baru. Yang ada hanyalah cetak-ulang Buron, karya Aam Amilia (dulu diterbitkan Dasentra, kini diterbitkan Pustaka Amaldi). Lainnya, Bentang Pasantren karya H. Usep Romli HM terbitan Kiblat. Karya lainnya berupa kumpulan dangding dan sawer karya Apung S. Wiratmadja, Lagu Liwung Urang Bandung yang juga diterbitkan oleh Kiblat.

Beruntung, tahun 2006 diperkaya terbitnya beberapa buku karya Aan Merdeka Permana. Selain yang telah disebutkan di atas, Aan menerbitkan tiga judul cerita sejarah: Rambut Kasih (baru terbit 9 jilid dari rencana 12 jilid), Pasukan Siluman Haji Prawatasari, dan Silalatu Gunung Salak (cetak ulang).

Kamus

Tahun ini, kamus Sunda yang ditunggu-tunggu akhirnya terbit juga. Itulah Kamus Sunda R.A. Danadibrata yang memiliki 40 ribu entri. Walaupun tahun ini kamus Sunda hanya terbit satu, tapi bisa dibilang fenomenal. Sebab kamus yang diterbitkan oleh Panitia Penerbitan Kamus Basa Sunda (PPKBS) ini, termasuk paling lengkap bila dibandingkan dengan kamus-kamus bahasa Sunda yang terbit sebelumnya.

Buku lainnya

Buku-buku pengetahuan umum yang bisa dipakai untuk pembelajaran, terbit tiga judul. Pertama, Tatarucingan Urang Sunda susunan Rachmat Taufiq Hidayat dan Darpan. Kedua, Sambel Jaer karya Asep Ruhimat yang diterbitkan oleh Puspawarna Pustaka Nusantara, dan Nu Sarimbag & Unak-Anik dina Tembang Sunda, karangan Apung S. Wirtatmadja.

Sementara kumpulan lelucon ada dua judul: Dulag Nalaktak (H. Usep Romli HM) dan Keom Sakedap (Syam Ridwan). Nama terakhir ini aktif pada Komunitas Urang Sunda di Internet (KUSnet). Tulisan-tulisan dalam buku itu pun, sebelumnya pernah di-posting ke dunia maya (internet).

Buku agama, tahun 2006 lalu terbit dua judul. Surah Yasin yang diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda disertai terjemahannya dalam bentuk dangding oleh R.H. Hidayat Suryalaga dan Nadoman Nurul Hikmah karya R.H. Hidayat Suryalaga yang diterbitkan oleh Yayasan Nurul Hidayah.

Satu-satunya buku kumpulan esai yang terbit tahun 2006, adalah buah karya mendiang Edi S. Ekadjati. Buku berjudul Nu Maranggung dina Sajarah Sunda itu diterbitkan Yayasan Pusat Studi Sunda.

Karya yang lainnya terdiri dari kumpulan surat cinta Mangsi Asih Kalam Tresna karya Aam Amilia dkk;. Lalu, kartun Sunda Si Mamih 2 karya Edyana Latief dan terjemahan UUD 1945, Undang-Undang Dasar Nagara Republik Indonesia Taun 1945 (Tarjamahan teu Resmi) yang diterjemahkan oleh Drs. Karna Yudibrata dkk.

Evaluasi

Jika dibandingkan dengan buku-buku yang terbit tahun 2005, buku-buku yang terbit tahun 2006 mengalami peningkatan. Pada tahun 2005, jumlah buku Sunda yang terbit hanya 18 judul, tetapi sekarang mencapai 26 judul. Jadi ada penambahan sebanyak delapan judul.

Salah satu sebabnya, penerbit yang mengeluarkan buku Sunda tahun 2006 bertambah. Ada 10 penerbit yang tahun ini menerbitkan buku Sunda. Padahal pada tahun sebelumnya, menurut catatan, hanya ada tiga penerbit yang mengeluarkan buku Sunda.

Penerbitnya sendiri, ada yang sudah langganan menerbitkan buku-buku Sunda seperti Kiblat Buku Utama. Dari 26 judul buku yang terbit, Kiblat menerbitkan 13 judul buku. Kemudian, lima judul diterbitkan atas prakarsa pribadi Aan Merdeka Permana. Sisanya diterbitkan oleh beberapa penerbit yang turut menerbitkan buku Sunda. Di antaranya ada penerbit Puspawarna Pustaka Nusantara dan Pustaka Amaldi.

Selain itu, ada juga lembaga-lembaga baik yayasan, paguyuban, maupun lembaga pemerintah yang ikut serta mengeluarkan buku Sunda. Yayasan Pusat Studi Sunda menerbitkan Nu Maranggung dina Sajarah Sunda, sementara Yayasan Nurul Hidayah menerbitkan Nadoman Nurul Hikmah.

Dari Paguyuban Seniman Tembang Sunda/Cianjuran Tatar Sunda ada Nu Sarimbag & Unak-Anik dina Tembang Sunda. Sementara dari Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat ada Neangan Bulan. Dan dari Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia terbit Undang-Undang Dasar Nagara Republik Indonesia Taun 1945 (Tarjamahan teu Resmi). Satu lagi, dari Panitia Penerbitan Kamus Basa Sunda, hasil kerjasama antara penerbit Kiblat Buku Utama dan Universitas Padjadjaran (Unpad), terbit kamus monumental Kamus Sunda R.A. Danadibrata.

Oleh karena itu, bila dipandang baik dari jumlah buku maupun penerbitnya, keadaan buku Sunda tahun 2006 cukup menggembirakan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.***

* Atep Kurnia, Pembaca dan peminat buku-buku Sunda, tinggal di Bandung.

Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 6 Januari 2007

Esai: Bukan Pembaca, Tekslah yang Penting

-- Agus S Malma*

Untuk mengikuti mazhab Frankfurt dalam soal teori ilmu sosial dan pandangan-pandangan kritis terhadap ideologi, kita di Indonesia perlu menyertakan satu kesadaran historis menyangkut rezim Orde Baru (1965-1998), yang mengonsolidasikan diri melalui lima paket UU politik dan Dwifungsi ABRI, sepanjang kekuasaannya.

Tanpa kesadaran historis tersebut, dikhawatirkan terjadi campur aduk pengertian atas ideologi dengan pencitraan atas ideologi, atau saya hendak menyebutnya sebagai imagologi. Selama paling tidak 30 tahun, umumnya dari kita hanya bisa membaca bayang-bayang yang diciptakan rezim tentang ideologi.

Dalam bayang-bayang itu, ideologi mengalami distorsi makna, di mana ideologi dinarasikan sebagai bakuan tertentu dari sistem yang anti-diri, anti-identitas individual, atau hal-hal semacam itu, sehingga seorang Gus tf Sakai harus mengulminasi pandangan tentang perlunya sastra nir-ideologi (Kompas, ”Humaniora-Teroka”, 9 Desember 2006).

Barangkali Gus tf Sakai hendak membicarakan mazhab atau aliran sastra dan bukannya diri-kreatif sastrawannya. Bukankah sebagai fenomena sosial, sastra pada dirinya sendiri memang meng-”ada”-kan identitas yang saling berbeda, menurut aliran juga mazhab, tanpa perlu memunculkan sentimen yang dengan serta-merta melibatkan ideologi? Apalagi kalau pengertian aliran atau mazhab itu menyertakan pula keberadaan fisik atau geografis para sastrawan, sehingga mungkin melahirkan istilah, kategori, dan identitas mulai dari ”sastra lokal”, ”sastra urban”, ”sastra pedalaman”, ”sastra pesisiran”, dan semacamnya. Bahkan mungkin termasuk pembedaan antara sastra tulis dan sastra lisan.

Penting kemudian bagi kita untuk mengusahakan suatu penjernihan makna ideologi, dalam kaitannya dengan proses kreatif di dunia sastra, juga seni pada umumnya. Barangkali tidak terbantahkan bahwa dalam hal tertentu, ideologi berlaku secara given. Tapi, nanti dulu, kita dapat membicarakan ideologi, tidak dalam bingkai struktur politik kekuasaan, melainkan sebagai pandangan diri-individual yang bersifat filosofis, dalam arti rasional.

Identitas sastra

Berharap sastra bekerja dalam usaha ”membangkitkan”, sepertinya Gus tf Sakai sudah berdiri sebarisan dengan novelis yang kritikus sastra, Umberto Eco, yang membicarakan kematian pengarang, the death of author. Istilah ”hilang” dan ”menjadi tak ada” diandaikan sebagai tindakan aktif pengarang ketika hendak meneguhkan teks-teks yang dikreasikannya. Akan tetapi, ”hilang” dan ”menjadi tak ada” yang dikemukakan Gus tf dalam tulisannya adalah hilang dan menjadi tak ada sebagai makhluk ideologis. Sementara ”matinya pengarang” dan gagasan umumnya kritikus sastra tentang itu adalah matinya sastrawan sebagai karakter, sehingga karya sastra yang dihasilkannya bersifat dan berlaku otonom.

Artinya, ”matinya pengarang” terjadi dalam pencarian makna, sementara ”menjadi tak ada” berlaku dalam pencairan identitas yang terbedakan antara penulis atau sastrawan di satu sisi dan pembaca atau penikmat sastra di sisi lain. Dalam hal pencarian makna, identitas tidak lagi menyangkut penulis dan pembaca, tapi juga menyangkut teks dan ragam karakter yang terdapat di dalam teks. Dengan demikian, ”menjadi tak ada” secara ideologis bukan pintu yang benar untuk memasuki ranah kreatif yang sekadar ”memberi” narasi sekalipun, apalagi kreativitas yang ”membangkitkan”.

Dalam hal ini, paham estetika yang berlaku universal dan lintas batas tidak bisa begitu saja mengabaikan prinsip di mana seniman punya keharusan mempertanggungjawabkan kreativitas orisinal, yang pada gilirannya kemudian meniscayakan haluan ideologi kesenian yang dianutnya. Pada lingkup estetika postmodern, orisinalitas adalah persoalan yang dipandang dengan nyinyir. Akan tetapi, hal tersebut hanyalah berlaku pada orisinalitas bentuk dan sama sekali tidak atau belum berlaku pada orisinal proses (kreatifnya).

Pada orisinalitas bentuk, teks- teks sastra hari ini tak kurang mengambil bentuk seperti lembar iklan, walau penciptaannya tentu tidak dimaksudkan untuk itu. Sementara pada orisinalitas proses (kreatif) tentu saja tidak mengandaikan sebuah iklan yang tiba-tiba dibaca sebagai sebuah karya sastra. Paling tidak sampai hari ini.

Pendapat Gus tf yang menyimpulkan sejarah sastra di Indonesia adalah sejarah ideologi, menurut saya, terlalu menyederhanakan masalah. Apa itu ideologi? Apakah ia adalah naik turunnya organisasi kekuasaan?

Kalau sikap—baik kooperatif maupun konfrontatif—terhadap Belanda, di mana salah satu periodenya melahirkan Sumpah Pemuda 1928, juga dipandang sebagai periode sejarah perkembangan sastra Indonesia, apa kemudian yang bisa kita kemukakan perihal teks yang terkandung dalam butir-butir Pancasila? Adakah Pancasila sebagai teks merupakan satu produk politik belaka, atau ia telah menjadi sastra?

Bagi rasa bahasa kita, ada benarnya memang kalau Salah Asuhan atau Siti Nurbaya itu kuno. Begitupun Layar Terkembang itu introvert. Namun, sebagai teks yang dalam pendekatan sejarah, mereka bukan lagi merupakan naskah sastra semata. Ia berdiri sendiri, yang otonom, bahkan dari penulisnya.

Otonomi teks dari penulis ini memungkinkan teks merepresentasikan bukan saja sastrawan penciptanya, tetapi juga relasinya dengan teks-teks lain, yang bukan sastra dan bahkan yang bukan teks sama sekali. Otonomi ini pula yang memungkinkan (teks) sastra menjadi sumber rujukan sejarah.

Sastra itu satu fenomena sosial. Mengandaikan sebuah teks sastra tiba-tiba muncul—baik dengan tendensi ”memberi” atau ”membangkitkan”—seakan membatasi kerja kritis terhadap teks menjadi sebatas post-text. Sementara yang kita butuhkan adalah juga pendekatan menyangkut beyond the creation and creativity-nya sastrawan, yang meliputi baik gaya dan cara hidup, pola pikir, juga keberadaannya sebagai homo socious, yang membuat sastra dan sastrawan tidak kehilangan elan vitalnya.

Ajakan Gus tf Sakai untuk tidak lagi menggunakan Darwinisme sosial dalam membaca sejarah, terutama sejarah sastra, memunculkan pertanyaan: persenyawaan atau interaksi semacam apa sesungguhnya yang kita harapkan dapat lahir dari situasi di mana berlangsung ketidakadilan wacana?

Tukar-menukar (trade) yang berlangsung dalam interaksi tentu mensyaratkan kesederajatan, baik dalam tindakan maupun gagasan. Dengan demikian, dalam setiap transaksinya tercipta keadaan yang saling menguntungkan. Menyangkut keaslian, bukankah di dalam adagium ”baju gunting cina, celana batik jawa, sarung sandang bugis” juga termuat identifikasi: Minangkabau yang asli adalah bukan itu, baik secara fisik maupun metafisik.

Ketentuan akhirnya, ternyata bergantung kepada teks sastra, baik sebagai dokumen kesenian maupun fenomena sosial. Kalau di akhir tulisannya, Gus tf menyatakan tidak ada yang lebih penting kecuali subyek pembaca, menurut saya justru teks yang ditulis dan dibaca itulah yang terpenting. Mengapa? Tentu karena teks itu adalah jembatan. Baik subyek penulis maupun pembaca hanyalah pelintas yang sekali waktu. Yang tidak hanya butuh jembatan, tetapi juga tempat untuk singgah.

* Agus S Malma, Cerpenis, Menetap di Tangerang

Sumber: Kompas, Sabtu, 6 Januari 2007

Tuesday, January 02, 2007

Menanti Punahnya Seni Tradisional

ALUNAN suara gamelan sayup-sayup terdengar ketika memasuki kompleks Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Yogyakarta. Suara gamelan itu tidak asing bagi para siswa di sekolah tersebut. Di tengah maraknya budaya Barat masuk ke Indonesia, para siswa berseragam putih abu-abu ini tetap bertekad mempertahankan kesenian tradisional. Mereka memiliki tekad untuk terus menghadirkan kesenian tradisional Jawa yang kian tergusur budaya pop.

Sekolah yang berlokasi di Jalan Bugisan Yogyakarta itu merupakan sekolah khusus yang menghadirkan pelajaran kesenian tradisional khususnya Jawa. Tujuannya agar kesenian tradisional Jawa seperti musik gamelan, seni karawitan, mendalang, ketoprak, bisa terus terjaga sampai kapan pun.

Butuh sebuah tekad kuat bagi para siswa yang masuk ke SMKI ini. Sebab sekolah itu memang dirancang khusus untuk kesenian tradisional Jawa, dan nyaris tidak bisa menghasilkan uang seperti layaknya kesenian pop modern.

Panji, 16, dan teman-temannya yang menjadi murid di SMKI tidak menyesal masuk ke SMKI, sebuah pilihan yang berbeda dengan teman-teman seusianya. Ketika kesenian tradisional mulai terpinggirkan, dan anak-anak muda keranjingan dengan musik pop, mereka tetap mematri budaya Jawa dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan.

''Kalau mau jujur, apa yang diakui dunia internasional terhadap Indonesia. Pasti kesenian tradisional yang sampai sekarang masih ada,'' kata Panji, siswa SMKI jurusan pedalangan ini dalam perbincangannya dengan Media Indonesia, beberapa waktu lalu.

Kegiatan belajar mengajar di SMKI ini nyaris seluruhnya berupa praktik. Itu pun sering dianggap para siswa belum cukup. Untuk mengasah insting seni, siswa disarankan untuk ikut kegiatan-kegiatan seni di luar sekolah. Bahkan jika harus membolos atau terlambat sekolah karena ikut pentas karawitan, pihak sekolah bisa memaklumi.

''Bagaimana siswa bisa berinteraksi dengan baik di hadapan publik jika tidak pernah ikut ndhalang, noprak (main ketoprak) atau pentas seni lain yang biasanya berlangsung malam hari. Kami bisa memaklumi apabila berangkat ke sekolah sering terlambat, karena malamnya ikut pentas,'' kata Kepala Sekolah SMKI Yogyakarta Samsuri Nugroho.

Menurutnya, menempuh pendidikan di SMKI mempunyai beban yang sangat berat, khususnya dalam menjaga kesadaran tentang jalur telah ditempuh para siswa. Sedikit saja siswa kehilangan keyakinannya, maka bisa berakibat fatal. "Maklum saja, di sekolah ini bukan lapangan kerja yang menjadi indikasi keberhasilan alumninya. Tapi siswa harus mampu menguasai dan mengaplikasikan ilmu yang diterimanya dengan baik," tambah Samsuri lagi.

Namun melihat kenyataan, SMKI sepertinya sedang menghitung mundur kematiannya. Indikasinya, minat siswa yang masuk ke sekolah ini semakin hari semakin sedikit. Tengok saja, di kelas pedalangan kelas I memiliki tiga siswa, kelas II hanya satu siswa dan kelas III terdapat dua siswa. Sedangkan jumlah gurunya jauh lebih banyak dibandingkan muridnya. Saat ini guru pedalangan di SMKI sebanyak enam orang.

''Bisa dibayangkan bahwa pemerintah mengeluarkan biaya yang besar untuk mempertahankan keberadaan sekolah ini,'' lanjut Samsuri lagi.

Bila generasi muda tidak tertarik lagi pada kesenian tradisional, kesenian warisan leluhur itu bisa punah dimakan zaman. Kita tidak memiliki sebuah identitas lokal yang bisa dibanggakan.

SMKI Yogyakarta memang menjadi sekolah yang mempunyai nilai kekhususan tersendiri. Bahkan di Indonesia hanya ada enam sekolah sejenis ini yakni di Solo, Bali, Bandung, dan Padang. Pemerintah menilai keenam daerah ini masih memiliki kehidupan seni lokal yang kuat. Oleh sebab itu keberadaan sekolah semacam ini masih dipertahankan. (Amiruddin Zuhri/H-3)

Sumber: Media Indonesia, Selasa, 2 Januari 2006