SEUTAS tali dililitkan pada benda sebesar kepalan tangan orang dewasa. Benda itu menyerupai gentong kecil. Lalu, ujung tali dihentakkan dengan tangan. Benda berbentuk bulat itu pun dilepas. Ketika jatuh di permukaan tanah, benda itu berputar dan terus berputar.
Benda bulat itu bagi anak-anak di desa tidak asing lagi. Benda yang menjadi bagian hiburan rakyat itu dikenal dengan nama gasing.
Namun tak sedikit orang tua yang turut menggandrungi permainan gasing. Karena, gasing tidak semata dapat dinikmati saat berputar seperti kincir. Gasing dapat ditandingkan dengan cara saling dibenturkan oleh para pemainnya.
Sayangnya, perkembangan teknologi telah membuat popularitas gasing redup. Gasing semakin hilang ditelan zaman. Kini, anak-anak lebih tertarik bermain game di Play Station, komputer, atau arena permainan di mal-mal. Anak-anak di kota-kota besar mulai asing dengan permainan gasing. Bahkan mereka bisa jadi tak mengenalnya sama sekali.
Alasan itu mendorong digelarnya Pameran dan Atraksi Gasing Nusantara di pusat perbelanjaan Menteng Huis, sejak November 2006 hingga akhir Januari 2007. "Pameran Gasing Nusantara adalah upaya menghargai dan melestarikan kekayaan tradisi Indonesia," ungkap Endi Aras dari Gudang Dolanan, yang mengadakan Pameran dan Atraksi Gasing Nusantara itu.
Setiap harinya, di salah satu sudut Menteng Huis dapat disaksikan gasing dengan berbagai bentuk dan ukuran. Bentuk dan ukuran gasing menunjukkan ciri khas dari daerah mana gasing itu berasal.
Secara umum gasing terbuat dari kayu keras dengan bentuk beraneka sesuai asal daerahnya. Ada yang berbentuk bulat, lonjong, pipih, kerucut, silinder, dan lainnya. Bagian-bagian gasing di setiap daerah Indonesia pun bervariasi.
Ada gasing yang mempunyai kepala dan leher seperti yang dijumpai di Ambon. Gasing itu dikenal dengan nama apiong. Sedangkan gasing Jakarta dan Jawa Barat tidak memiliki leher, tapi hanya kepala. Demikian pula ada gasing dengan paksi (taji) yang dibuat dari paku logam. Tapi ada juga gasing tanpa taji seperti gasing dari Natuna, Kepulauan Riau.
Sebutan gasing juga beragam. Ada apiong dari Maluku, gangsing (Jakarta), pukang (Lampung), begasing (Kalimantan Timur), megasing (Bali), agasing (Makasar), dan lainnya.
Di pameran, pengunjung tak hanya menyaksikan aneka ragam gasing dan cara memainkannya. Mereka juga dapat menyaksikan pembuatan gasing.
Salah seorang pembuat gasing, Kushadi menunjukkan bagaimana membuang gasing di pameran itu. Ditemani anaknya, Idi, ia sibuk mengukir sebuah kayu untuk membentuk sebuah gasing.
"Dulu saya sering bikin gasing untuk dijual pada anak-anak. Tapi sekarang jarang lagi yang beli. Jadi bikinnya juga jarang," ungkap Kushadi yang ternyata anak seniman topeng Betawi Haji Bokir itu.
Bentuk gasing tidak kaku. Bahkan Kushadi kerap mengandalkan kreativitasnya agar bentuk gasing menarik dan tidak membosankan. Saat Media Indonesia menyapanya, ia tampak sibuk membentuk gasing yang diberi nama cimonas yang bentuknya menyerupai Monas.
Gasing yang dibentuk Kushadi sudah beraneka ragam. "Saya juga pernah bikin gasing berbentuk ondel-ondel," ungkap Kushadi yang pernah diundang memainkan gasing di Jepang.
Bahan baku membuat gasing juga beraneka, ada yang dari pohon asam jawa, asem, mahoni, nangka, cemara kipas, jambu biji, dan pohon lainnya. Begitu pun tali pemutar gasing yang terbuat dari kulit pohon sukak, pohon pandan, dan kain.
Permainan gasing biasanya dimainkan berkelompok. Ada yang bertanding ketahanan gasing berputar. Yang menarik perhatian, ada kekuatan gasing yang berputar dengan saling bentur. Tak jarang, gasing yang kalah akan terbelah atau terpelanting jauh. (Eri Anugerah/H-2).
Sumber: Media Indonesia, Senin, 08 Januari 2007
No comments:
Post a Comment