Jakarta, Kompas - Indonesia sebagai sebuah identitas sebenarnya bukan sesuatu yang mati, tetapi memerlukan proses membudaya dan penafsiran yang terus-menerus. Jika dilihat dari segi praktik seni, para seniman selalu menafsirkan suatu kehidupan yang dinamis. Apalagi seniman dalam setting Indonesia berada di dalam lingkungan budaya yang berbeda-beda.
"Jadi respons seniman ketika menanggapi persoalan bernegara, otomatis referensinya adalah apa yang dia lihat di dalam lingkungannya. Setiap orang memunculkan penafsiran yang berbeda-beda. Justru di sinilah Indonesia terbentuk dari penafsiran yang berbeda terus-menerus itu," kata Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Sardono W Kusumo di Jakarta, Jumat (12/1).
Kalau dari segi seni, itu adalah sebuah proses penciptaan yang terus-menerus, yang dilandasi oleh berbagai macam perbedaan setting, bukan hanya setting budaya, tetapi setting ekologi yang begitu beragam karena Indonesia adalah negara beribu pulau. Selain itu, karakter ekosistemnya pun sangat kontras.
IKJ menyumbang pembentukan dan pengertian tentang identitas Indonesia. Pengertian identitas bukan sesuatu yang tetap (fixed), tetapi sebuah proses yang beragam yang membentuk sebuah mozaik Indonesia.
Yang paling menarik dari IKJ adalah setting-nya. Lembaga ini didirikan tahun 1970 oleh Asrul Sani (film) yang merupakan generasi Chairil Anwar, Oesman Effendi (seni lukis), Jaduk Jayakusuma (teater), Syumandjaja (orang pertama yang sekolah film di Moskwa, Rusia). Mereka merupakan sebuah generasi yang mengalami pergulatan yang intens sebelum, selama, dan sesudah revolusi.
"Selain itu IKJ berada di ibu kota Jakarta. Jadi IKJ jangan dilihat sebagai sebuah lembaga, tapi sebagai kampung besar bagi mahasiswa dari seluruh Indonesia," kata Sardono.
Karakter kuat
IKJ pun secara kontinu terus menelurkan para seniman berkarakter kuat karena memiliki landasan sikap hidup yang mewakili keindonesiaan.
Seni juga dilihat sebagai sebuah totalitas dengan seni film, seni tari, seni musik, dan bidang lainnya dilihat dalam satu atap. "Ini mewakili pendekatan yang komprehensif dan total. Pada pendekatan Barat, sekolah justru bersifat spesialisasi, seperti akademi musik dan tari. Sedangkan kita tumbuh dari naluri budaya yang tidak terpisah. Ini karakter IKJ," kata Sardono.
Hal ini kemudian menginspirasi berbagai akademi seni di daerah lain, misalnya di Yogyakarta ada akademi tari, akademi musik, akademi seni lukis yang terpisah-pisah. IKJ kemudian menjadi model yang mendorong pemerintah menyatukan beberapa akademi menjadi institut seni.
IKJ juga menjadi muara dari kesenian tradisional daerah lain yang dibawa oleh para mahasiswanya yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, sehingga terjadi interaksi dan saling memperkaya tiap individu.
Langkah ke depan
Mahasiswa di jurusan seni tari sejak awal perkuliahan sudah dikenalkan tarian dari berbagai daerah di Indonesia dan juga tari kontemporer. Mereka dapat mengikuti program bersama keluar daerah seperti ke Papua, Bali, Nias, dan Kalimantan selama minimal satu bulan.
"Jadi tidak heran kalau lulusan IKJ seperti Garin Nugroho dan John de Rantau dengan film Denias-nya, sangat kental keindonesiaan mereka," kata Sardono.
Ke depan IKJ akan melakukan terobosan dengan membuka program internasional seperti pertukaran dosen, mahasiswa, dan aktivitas. Makin banyak seniman berelasi dengan seniman asing, menurut Sardono, maka akan terjadi pemahaman tentang manusia yang menembus, melewati, batas prasangka tentang ras, suku, dan agama.
"Jadi sumbangan sebuah kesenian sangat dalam. Manusia yang memiliki persepsi kehidupan yang dalam, memiliki kualitas kemanusiaan yang baik," papar Sardono. (LOK)
Sumber: Kompas, Sabtu, 13 Januari 2007
No comments:
Post a Comment