-- Agus S Malma*
Untuk mengikuti mazhab Frankfurt dalam soal teori ilmu sosial dan pandangan-pandangan kritis terhadap ideologi, kita di Indonesia perlu menyertakan satu kesadaran historis menyangkut rezim Orde Baru (1965-1998), yang mengonsolidasikan diri melalui lima paket UU politik dan Dwifungsi ABRI, sepanjang kekuasaannya.
Tanpa kesadaran historis tersebut, dikhawatirkan terjadi campur aduk pengertian atas ideologi dengan pencitraan atas ideologi, atau saya hendak menyebutnya sebagai imagologi. Selama paling tidak 30 tahun, umumnya dari kita hanya bisa membaca bayang-bayang yang diciptakan rezim tentang ideologi.
Dalam bayang-bayang itu, ideologi mengalami distorsi makna, di mana ideologi dinarasikan sebagai bakuan tertentu dari sistem yang anti-diri, anti-identitas individual, atau hal-hal semacam itu, sehingga seorang Gus tf Sakai harus mengulminasi pandangan tentang perlunya sastra nir-ideologi (Kompas, ”Humaniora-Teroka”, 9 Desember 2006).
Barangkali Gus tf Sakai hendak membicarakan mazhab atau aliran sastra dan bukannya diri-kreatif sastrawannya. Bukankah sebagai fenomena sosial, sastra pada dirinya sendiri memang meng-”ada”-kan identitas yang saling berbeda, menurut aliran juga mazhab, tanpa perlu memunculkan sentimen yang dengan serta-merta melibatkan ideologi? Apalagi kalau pengertian aliran atau mazhab itu menyertakan pula keberadaan fisik atau geografis para sastrawan, sehingga mungkin melahirkan istilah, kategori, dan identitas mulai dari ”sastra lokal”, ”sastra urban”, ”sastra pedalaman”, ”sastra pesisiran”, dan semacamnya. Bahkan mungkin termasuk pembedaan antara sastra tulis dan sastra lisan.
Penting kemudian bagi kita untuk mengusahakan suatu penjernihan makna ideologi, dalam kaitannya dengan proses kreatif di dunia sastra, juga seni pada umumnya. Barangkali tidak terbantahkan bahwa dalam hal tertentu, ideologi berlaku secara given. Tapi, nanti dulu, kita dapat membicarakan ideologi, tidak dalam bingkai struktur politik kekuasaan, melainkan sebagai pandangan diri-individual yang bersifat filosofis, dalam arti rasional.
Identitas sastra
Berharap sastra bekerja dalam usaha ”membangkitkan”, sepertinya Gus tf Sakai sudah berdiri sebarisan dengan novelis yang kritikus sastra, Umberto Eco, yang membicarakan kematian pengarang, the death of author. Istilah ”hilang” dan ”menjadi tak ada” diandaikan sebagai tindakan aktif pengarang ketika hendak meneguhkan teks-teks yang dikreasikannya. Akan tetapi, ”hilang” dan ”menjadi tak ada” yang dikemukakan Gus tf dalam tulisannya adalah hilang dan menjadi tak ada sebagai makhluk ideologis. Sementara ”matinya pengarang” dan gagasan umumnya kritikus sastra tentang itu adalah matinya sastrawan sebagai karakter, sehingga karya sastra yang dihasilkannya bersifat dan berlaku otonom.
Artinya, ”matinya pengarang” terjadi dalam pencarian makna, sementara ”menjadi tak ada” berlaku dalam pencairan identitas yang terbedakan antara penulis atau sastrawan di satu sisi dan pembaca atau penikmat sastra di sisi lain. Dalam hal pencarian makna, identitas tidak lagi menyangkut penulis dan pembaca, tapi juga menyangkut teks dan ragam karakter yang terdapat di dalam teks. Dengan demikian, ”menjadi tak ada” secara ideologis bukan pintu yang benar untuk memasuki ranah kreatif yang sekadar ”memberi” narasi sekalipun, apalagi kreativitas yang ”membangkitkan”.
Dalam hal ini, paham estetika yang berlaku universal dan lintas batas tidak bisa begitu saja mengabaikan prinsip di mana seniman punya keharusan mempertanggungjawabkan kreativitas orisinal, yang pada gilirannya kemudian meniscayakan haluan ideologi kesenian yang dianutnya. Pada lingkup estetika postmodern, orisinalitas adalah persoalan yang dipandang dengan nyinyir. Akan tetapi, hal tersebut hanyalah berlaku pada orisinalitas bentuk dan sama sekali tidak atau belum berlaku pada orisinal proses (kreatifnya).
Pada orisinalitas bentuk, teks- teks sastra hari ini tak kurang mengambil bentuk seperti lembar iklan, walau penciptaannya tentu tidak dimaksudkan untuk itu. Sementara pada orisinalitas proses (kreatif) tentu saja tidak mengandaikan sebuah iklan yang tiba-tiba dibaca sebagai sebuah karya sastra. Paling tidak sampai hari ini.
Pendapat Gus tf yang menyimpulkan sejarah sastra di Indonesia adalah sejarah ideologi, menurut saya, terlalu menyederhanakan masalah. Apa itu ideologi? Apakah ia adalah naik turunnya organisasi kekuasaan?
Kalau sikap—baik kooperatif maupun konfrontatif—terhadap Belanda, di mana salah satu periodenya melahirkan Sumpah Pemuda 1928, juga dipandang sebagai periode sejarah perkembangan sastra Indonesia, apa kemudian yang bisa kita kemukakan perihal teks yang terkandung dalam butir-butir Pancasila? Adakah Pancasila sebagai teks merupakan satu produk politik belaka, atau ia telah menjadi sastra?
Bagi rasa bahasa kita, ada benarnya memang kalau Salah Asuhan atau Siti Nurbaya itu kuno. Begitupun Layar Terkembang itu introvert. Namun, sebagai teks yang dalam pendekatan sejarah, mereka bukan lagi merupakan naskah sastra semata. Ia berdiri sendiri, yang otonom, bahkan dari penulisnya.
Otonomi teks dari penulis ini memungkinkan teks merepresentasikan bukan saja sastrawan penciptanya, tetapi juga relasinya dengan teks-teks lain, yang bukan sastra dan bahkan yang bukan teks sama sekali. Otonomi ini pula yang memungkinkan (teks) sastra menjadi sumber rujukan sejarah.
Sastra itu satu fenomena sosial. Mengandaikan sebuah teks sastra tiba-tiba muncul—baik dengan tendensi ”memberi” atau ”membangkitkan”—seakan membatasi kerja kritis terhadap teks menjadi sebatas post-text. Sementara yang kita butuhkan adalah juga pendekatan menyangkut beyond the creation and creativity-nya sastrawan, yang meliputi baik gaya dan cara hidup, pola pikir, juga keberadaannya sebagai homo socious, yang membuat sastra dan sastrawan tidak kehilangan elan vitalnya.
Ajakan Gus tf Sakai untuk tidak lagi menggunakan Darwinisme sosial dalam membaca sejarah, terutama sejarah sastra, memunculkan pertanyaan: persenyawaan atau interaksi semacam apa sesungguhnya yang kita harapkan dapat lahir dari situasi di mana berlangsung ketidakadilan wacana?
Tukar-menukar (trade) yang berlangsung dalam interaksi tentu mensyaratkan kesederajatan, baik dalam tindakan maupun gagasan. Dengan demikian, dalam setiap transaksinya tercipta keadaan yang saling menguntungkan. Menyangkut keaslian, bukankah di dalam adagium ”baju gunting cina, celana batik jawa, sarung sandang bugis” juga termuat identifikasi: Minangkabau yang asli adalah bukan itu, baik secara fisik maupun metafisik.
Ketentuan akhirnya, ternyata bergantung kepada teks sastra, baik sebagai dokumen kesenian maupun fenomena sosial. Kalau di akhir tulisannya, Gus tf menyatakan tidak ada yang lebih penting kecuali subyek pembaca, menurut saya justru teks yang ditulis dan dibaca itulah yang terpenting. Mengapa? Tentu karena teks itu adalah jembatan. Baik subyek penulis maupun pembaca hanyalah pelintas yang sekali waktu. Yang tidak hanya butuh jembatan, tetapi juga tempat untuk singgah.
* Agus S Malma, Cerpenis, Menetap di Tangerang
Sumber: Kompas, Sabtu, 6 Januari 2007
No comments:
Post a Comment