Monday, July 31, 2006

Buku Puisi: Anthology Empati Jogja


Category:
Books

Genre:
Arts & Photography

Author:
Komunitas Puisi FLP

Buku Kumpulan Puisi yang diniatkan sebagai proyek amal para penulis puisi untuk membantu para korban gempa di Jogjakarta ini, selain memancing kita untuk menilik karya para penulis yang 'tergerak' seiring musbiah yang menelan 6000 lebih korban jiwa meninggal itu, tentu juga untuk berempati dengan cara yang berbeda.

Komunitas Puisi FLP (Forum Lingkar Pena) juga mengajak para penyair lainnya seperti Abdurrahman Faiz (Penyair cilik yang memenangkan lomba menulis surat untuk Presiden RI), Ahmadun Yosi Herfanda, Udo. Z. Karzi, dan banyak penulis muda berbakat lainnya.

Kumpulan karya ini layak anda koleksi, selain bagus harganya juga sangat terjangkau (hanya Rp 15.000). Seluruh keuntungan bersihnya akan disumbangkan untuk saudara-saudara kita korban gempa di Jogjakarta.

Acara Launching Buku ini Insya Allah akan dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 12 Agusutus 2006, waktu dan tempat akan diinformasikan segera.

Pemesanan sementara bisa menghubungi Portalinfaq : (021) 7278-6073 di Jl. Radio IV No. 8A Kebayoran Baru Jakarta Selatan

Tags:


Sumber: Epri's Site Blog, 26 Juli 2006

Kutipan: Kebudayaan


Kebudayaan dapat diartikan sebagai suatu sikap dan orientasi nilai yang mempengaruhi pemikiran dan mendorong ke suatu tindakan; serta seni budaya sebagai wujud material kebudayaan yang dapat menghasilkan interaksi secara dinamis dan reflektif antara jati diri bangsa dan modernitas. Wujud konkretnya, antara lain mendorong tumbuhnya rasa percaya diantara sesama warga bangsa, disiplin, meletakkan pendidikan dalam pusat kehidupan, dan tidak hidup konsumtif.

Kebudayaan bisa diteropong dari berbagai sudut pandang. Tetapi, setidaknya ada tiga dimensi yang dicakup kebudayaan. Ketiga dimensi itu adalah dimensi ide, dimensi material, dan dimensi perilaku.

Dimensi ide menyangkut nilai-nilai kehidupan, tujuan-tujuan, dan cita-cita yang kadang-kadang bersifat utopis dan dikemukakan sebagai sesuatu arahan untuk bergerak maju. Budaya material berwujud ke dalam, antara lain seni dan bentuk-bentuk peninggalan masa lalu seperti karya arsitektur, prasasti, dan bangunan candi. Dimensi perilaku adalah wujud yang hadir sehari-hari, termassuk di dalamnya bahasa.

* * *
Saat ini ada kecenderungan kebudayaan diasingkan dari fakta sosial, ekonomi, dan politik. Tetapi, pada saat yang sama kebudayaan menemukan perannya sebagai pentas untuk merayakan gaya hidup yang menakutkan dan juga membius.
-- Ninuk Mardiana Pambudy, "Mencari Identitas Indonesia",
Kompas, Senin, 31 Juli 2006

Saturday, July 29, 2006

Esai: Kesenian yang Kurang Perhatian

-- Anton Kurniawan*


Cahaya remang-remang dari lighting yang cukup sederhana, kursi, dan layar berwarna hitam tampak di ruangan berukuran sedang yang dipenuhi sekitar 50-an orang. Asap yang berasal dari rokok para penonton perlahan merayap memenuhi ruangan, menjelma kabut.

Di antara para penonton tampak beberapa penyair yang sudah amat dikenal dalam dunia kepenyairan di Lampung, bahkan di tingkat nasional, di antaranya Iswadi Pratama, Budi Hutasuhut, Ari Pahala Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria Marga, dan Eddy Samudera.

Di bawah pijar cahaya lampu, Paus Sastra Lampung, penyair yang sangat produktif dan tetap konsisten bersetubuh dengan imajinasinya untuk melahirkan karya-karya; puisi maupun cerpen, dengan bergairah membacakan sajak-sajaknya.

***

Itulah secuil deskripsi suasana acara yang digelar Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni Universitas Lampung yang memasuki bulan kedua, dari 12 bulan yang direncanakan. Pada bulan pertama setelah digagasnya kegiatan tersebut, UKMBS Unila memfasilitasi pementasan teater dengan lakon "Petang di Taman" yang dipentaskan UPT KSS FKIP Unila dan pembacaan puisi yang menampilkan Udo Z. Karzi.

Sebagai awam yang berusaha mengenal sastra, saya menganggap ini sebuah peristiwa yang cukup luar biasa; para seniman berkumpul membincangkan kesenian di sebuah "bilik"--menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ini didefinisikan sebagai "sebuah ruangan kecil yang bersekat".

Sebuah ruangan kecil.... Pengertian ini yang sesungguhnya sangat menarik. Sebab, meskipun hanya sebuah ruangan kecil (yang bisa jadi salah satu ruangan dari sebuah rumah/bangunan), ia seperti memiliki daya magis penuh pesona. Sebuah ruangan yang sederhana tanpa hiasan, tanpa air conditioner, tapi mampu "memaksa" seniman datang, berkumpul membincangkan karya-karya dari seorang penyair atau menyaksikan sebuah pementasan teater.

Namun, memori otak saya mencatat sebuah pertanyaan, benarkah daya magis ruangan tersebut yang mampu "memaksa" para pencinta karya sastra untuk hadir, meskipun di malam-malam? Setelah tercenung sesaat, saya berkesimpulan bukan daya magis ruangan kecil bersekat itu yang mampu "memaksa" mereka datang, melainkan mereka yang mengikhlaskan waktu dan dan hatinya untuk memfasilitasi pergelaran tersebut.

Selain itu, mereka yang menggagas kegiatan tersebut demi menjaga silaturahmi antarseniman, sehingga di rumah ini (Lampung) gairah para penyair untuk tetap berkarya terus terjaga. Saya sangat yakin gagasan cerdas yang dituangkan dalam kegiatan tersebut penyebab mengapa para seniman dapat berkumpul di bilik itu.

Malam menanjak naik, meskipun belum larut. Di bawah remah-remah cahaya, Sang Paus Sastra baru saja usai membacakan sajak-sajaknya: "Bunga Hujan, Maret...", "Sebaris Bulu di Pelipis Ibu", "Ranting Menjadikan Aku Tetap Ada," dan "Kenangan Pada Juni". Selanjutnya acara beralih pada sesi diskusi membahas puisi-puisi yang telah dibacakan. Pada sesi ini, Jimmy Maruli tampil sebagai moderator dan Panji Utama sebagai pembahas. Di sini perbincangan seputar Isbedy dan puisinya membuat suasana benar-benar hangat, sehingga waktu seperti berjalan terlalu cepat. Malam terus bergerak. Bahkan, nyaris sampai di ujung larut, sehingga diskusi tersebut mesti ditutup.

***

Dalam perjalanan pulang, saya tak henti-henti mengagumi kecerdasan dan keikhlasan mereka yang bersusah-susah menggagas dan menggelar acara itu, tanpa bantuan dana dari mana pun (itulah yang saya ketahui setelah berbincang-bincang dengan beberapa kawan yang ikut terlibat kegiatan tersebut). Suatu hal yang mulai langka ditemui dalam era sekarang--menggelar acara tanpa meminta bantuan dana. Hanya mereka yang benar-benar langka yang mampu melaksanakannya.

Menurut saya (paling tidak hingga bulan kedua ini), penyelenggara melaksanakan acara tersebut dengan sukses; menggelar pertunjukan teater dan pembacaan puisi--yang katanya--akan digelar rutin setiap bulan selama satu tahun. Saya sempat berpikir bagaimana mungkin kegiatan semacam itu bisa digelar tanpa meminta bantuan dana? Namun, segala tanya itu segera pergi ketika saya teringat pada sejarah silam; bagaimana keberanian nenek moyang dengan peralatan seadanya menaklukkan ganasnya samudera, dengan keberanian dan strategi yang hebat Sultan Trenggono akhirnya memukul mundur pasukan Portugis, serta bagaimana dengan keberanian dan kekuatannya Ken Arok mampu mengubah sejarah setelah mengalahkan Tunggul Ametung.

Yang pasti, sebagai masyarakat Lampung yang mencoba mengenal karya sastra, saya bersyukur masih ada penghuni negeri atas angin yang benar-benar bersetia dengan kedudukannya dan bersedia menyediakan tempat bagi para seniman (dan mereka yang mencoba mencintai seni) untuk melepaskan kerisauannya; melalui pementasan teater dan pembacaan puisi.

Bukanlah hal yang mengagetkan jika di tanah ini untuk menggelar sebuah pertunjukan teater di sebuah tempat yang layak (Taman Budaya Lampung misalnya) kita harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit (mencapai ratusan ribu rupiah).

Yang lebih merisaukan, dewan/badan/lembaga yang mengatur tentang hal tersebut, yang jelas-jelas menerima anggaran dari pemerintah daerah untuk membantu mengembangkan dan memfasilitasi kegiatan kesenian tak mampu memberikan perhatian lebih kepada kantong-kantong kesenian/penggiat seni.

Terkait hal tersebut, dalam bukunya Mempertimbangkan Tradisi, Rendra menjelaskan peranan roh adalah yang memberi hidup, menghirup zat pembakar, dan mengedarkan kesegaran baru ke seluruh organisme badan. Peranan badan adalah suatu organisasi untuk mewujudkan suatu nilai atau aspirasi dan sekaligus memnatapkannya dalam suatu lembaga.

Personalisasi badan adalah raja, sedangkan personalisasi roh adalah empu. Yang satu berumah di keraton, sedangkan yang lain berumah di angin. Dalam bahasa modern, badan adalah semua institusi yang ada dalam masyarakat, sementara roh mencari jalan-jalan baru untuk terus memperluas daerah kesadaran dan wilayah spritual manusia melalui seni, agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Institusi dipimpin orang-orang yang mempunyai otoritas dan kekuasaan, sedangkan peranan roh dijalankan para agamawan, ilmuawan, cendekiawan, para seniman, dan literati. Sebagai penghubung kedua peran tersebut, muncul kemudian berbagai dewan/paguyuban/lembaga yang mengoordinasi kerja sama di antara para petugas badan dan para pemimpin angin, sehingga semua dapat berjalan seimbang.

Namun, sekali lagi mungkin kini zaman sudah berubah. Namun, saya masih berharap para "anggota dewan" masih menyimpan kekuatan dan keberanian untuk berkorban demi kemajuan seni di daerah ini tanpa harus menengadahkan tangan meminta bantuan kepada pemerintah.

Semoga dari bilik ini aroma kesenian menyebarkan wanginya hingga seberang lautan, melintasi gunung-gunung, bahkan menembus batas langit.

* Anton Kurniawan, Bergiat di UPT KSS Unila

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 29 Juli 2006

Tuesday, July 25, 2006

Sajak: Kemiling, Suatu Senja

-- Udo Z. Karzi

siapa membakar matahari
langit merah membara
angin menghembus sunyi
nyeri berpagut mara
sendiri

2006

Sumber: puitika.net, 12 Juli 2006

Monday, July 24, 2006

Nuansa: Kekuasaan sebagai ...

-- Udo Z. Karzi

KEKUASAAN dalam arti hubungan yang mengandung otoritas, menurut Maurice Duverger (The Study Of Politics, 1979), memengaruhi kehidupan politik, baik dalam bentuk negara maupun komunitas-komunitas yang lebih kecil. Ada dua corak pengaruh yang ditimbulkan kekuasaan. Pertama, jika kita melihat politik pada dasarnya sebagai arena pertarungan atau medan pertempuran.

Kekuasaan memungkinkan mereka yang berhasil merebut dan mengontrolnya untuk berkuasa dan mempertahankan kekuasaannya dalam masyarakat. Di samping itu, ada pihak lain yang menentang dan ingin merebut kekuasaan itu untuk tujuan yang sama. Di sini, kita melihat kekuasaan memainkan peran sebagai biang konflik dan alat untuk menindas. Sejalan dengan itu, Duverger menyebut ini sebagai aspek antagonisme atau konflik dari kekuasaan atau politik.

Aspek kedua muncul jika kita menganggap politik adalah sebuah upaya menegakkan ketertiban dan keadilan. Dalam hal ini, kekuasaan dilihat sebagai pelindung kepentingan dan kesejahteraan umum melawan tekanan dan tuntutan berbagai kelompok kepentingan. Di sini, kekuasaan memainkan peranan integratif, memihak dan melindungi kepentingan bersama vis-à-vis kepentingan golongan atau kelompok.

Cinta akan kekuasaan, dalam arti yang seluas-luasnya, adalah keinginan memiliki kemampuan guna menimbulkan pengaruh yang diinginkan atas dunia di luar diri seseorang. Keinginan berkuasa merupakan bagian kodrat manusia sebagai manusia. Namun, ada perbedaan mendasar antara kekuasaan yang diinginkan sebagai alat dan kekuasaan yang diinginkan sebagai tujuan.

Orang yang menginginkan kekuasaan sebagai alat lebih dulu memiliki keinginan lain, kemudian ia berangan-angan memiliki kekuasaan sebagai alat untuk mencapainya. Orang yang menginginkan kekuasaan sebagai tujuan akan memilih sasarannya berdasarkan kemungkinan mencapainya.

Dalam politik, misalnya, seseorang ingin melihat hukum atau aturan tertentu diberlakukan. Dengan begitu, ia terdorong mengambil bagian dalam urusan publik, sementara orang lain yang hanya menginginkan keuntungan bagi diri sendiri, akan menerima program apa pun yang tampaknya memberi kemungkinan paling besar untuk mencapai kekuasaan tersebut.

Agar kekuasaan bisa menjadi alat yang efektif mendatangkan kemaslahatan bagi orang lain, Bertrand Russel (Power: A New Social Analysis) menyarankan semacam etika kekuasaan menyangkut empat hal. Pertama, kekuasaan harus dikaitkan dengan tujuan selain kekuasaan itu sendiri. Kedua, cara-cara mencapai tujuan itu tidak boleh menimbulkan akibat yang mengalahkan kebaikan tujuan.

Ketiga, etika yang akan menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang paling baik adalah etika yang membenci cinta akan kekuasaan lebih daripada yang dapat dibenarkan akal budi dan nurani kemanusiaan kita. Keempat, tujuan mereka yang memiliki kekuasaan dalam segala bentuk dan implementasinya hendaknya untuk memajukan kerja sama sosial, bukan kerja sama dalam satu kelompok untuk menghadapi kelompok lain, tetapi kerja sama di kalangan umat manusia secara keseluruhan.

Sumber: Lampung Post, Senin, 24 Juli 2006

Friday, July 07, 2006

Nuansa: Rasa Pisang Goreng...

-- Udo Z. Karzi


MAMAK Kenut dan lain-lain sedang ngumpul-ngumpul. Ngobrol ke sana kemari. Sebebalak awak. Asyik juga. Ada kopi. Kalau tak suka, ada teh. Tetapi, sori untuk drug. Dan...yang penting ada goreng-gorengan hasil urunan peserta himpun.

Namanya juga cawa munggak-medoh, jelas aja yang diomongin siapa pun dan hal apa saja. Gempa berminggu-minggu jelas menarik, tetapi sudah mulai kehilangan isu. Rencana pembangunan lintasan kereta api dari Lampung hingga Aceh juga jadi angin surga. Berita paling seru pekan ini adalah soal tempat pemungutan retribusi (TPR).

Bermula dari TPR, bisa merambat ke mana-mana. Di sinilah sebenarnya gudang masalah itu. Dari TPR merembet ke masalah pungutan liar, korupsi, penyelewengan, dana taktis pejabat, pendapatan asli daerah, target, dan ekonomi biaya tinggi.

Udien: Menteri Perhubungan Hatta Radjasa minta TPR ditutup.

Minan Tunja: Saya setuju. TPR itu buat susah pengguna jalan saja. Bayangin aja di Lampung data resmi menyebutkan ada 46 pos TPR tersebar di hampir semua jalan raya. Itu yang resmi ada peraturan daerahnya. Belum lagi pungutan liar lain yang dilakukan pihak-pihak yang kelewat kreatif untuk mengeduk pitis dengan cara mudah. Boleh di bilang nyaris tak ada jalan yang bersih dari "orang yang minta-minta".

Mat Puhit: Tapi yang paling keras menentang penghapusan TPR jelas bupati-bupati. Ada daerah yang PAD terbesarnya justru dari ngerampok di jalan begitu.

Pithagiras: Ya, jelaslah. Emang dari mana mereka dapat duit kalau tidak dari sana.

Minan Tunja: Pemerintah kota/kabupaten itu kan seharusnya kreatif dalam menciptakan peluang bagi pengembangan perekenomian di daerahnya. Dunia usaha yang kondusif jelas membuat pengusaha merasa nyaman berinvestasi. Perekonomian sehat kalau biaya produksi barang dan jasa itu rasional. Tapi, dengan banyaknya pungutan yang tak jelas itu, biaya produksi menjadi membubung karena terjadi high cost. Terlalu banyak biaya-biaya siluman yang benar-benar mak jelas.

Radin Mak Iwoh: Ah, teori...pemda terdesak situasi yang mengharuskan mereka mengejar target PAD tinggi. Yang paling mudah ya menarik pajak dan retribusi. Dan yang paling menggiurkan justru retribusi jalan.

Pithagiras: Itulah pemerintah daerah. Mau cari gampang aja....

Radin Mak Iwoh: Kalau nggak begitu, emang pemda dapat doku dari mana.

Mat Puhit: Kreatif dong. Kreatif.

Minan Tunja: Ya...pemda harus mikir.

Pithagiras: Pemda harus punya terobosan.

Radin Mak Iwoh: Eh, kalian ini bisa ngomong doang. Uang yang saya kasih tadi itu berasal dari TPR. Itu sudah campur dengan uang kalian. Sekarang, saya mau tanya, bagaimana rasa pisang goreng yang kita makan bersama? Sama kan?

Pithagiras: Hueek.... Apa?

Mat Puhit: Pisang ini dibeli hasil ngerampok di jalan?

Minan Tunja: Haram...haram....

Semua: Hahahaaa.....

Sumber: Lampung Post, Jumat, 7 Juli 2006

Wednesday, July 05, 2006

Nuansa: Lampung

-- Budi P. Hatees

MALAM itu, Sabtu (24 Juni 2006), saya berada di tengah-tengah orang-orang yang terbiasa berbicara dalam metafora, para sastrawan Lampung, orang-orang yang secara nasional banyak menghasilkan puisi dengan kualitas mencengangkan. Tetapi, di dalam acara Bilik Jumpa Sastra yang digelar Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Universitas Lampung, para penyair yang terbiasa bekerja dengan kata sebagai alat operasionalnya, bagai kehilangan kemampuan berbahasanya. Saya juga kehilangan kemampuan berbahasa, karena tidak mengerti dengan makna yang hendak dikomunikasikan oleh sajak-sajak berbahasa daerah itu.

Adalah Udo Z. Karzi--satu-satunya penyair di Provinsi Lampung yang memilih bahasa Lampung sebagai alat ekspresi sastranya--baru saja membacakan puisi-puisinya dalam acara tersebut. Khalayak (sebagian besar penyair), menyaksikan kata-kata dari bahasa Lampung dalam puisi-puisi yang dibacakan Udo Z. Karzi, bagai gumaman yang tak memberi makna apa pun. Selaksa burung, puisi-puisi berbahasa Lampung itu membangun sarang dalam kepala setiap hadirin, entah apa yang akan menetas dari telur-telur yang dititipkan dalam sarang itu.

Namun, bisa dipastikan puisi-puisi Udo Z. Karzi itu seperti juga riwayat bahasa Lampung itu sendiri, segera dilupakan begitu acara pembacaan puisi selesai. Sebab, bagi masyarakat Lampung, bahasa Lampung bukan bahasa yang dapat dipergunakan dalam pergaulan sehari-hari. Tak seperti masyarakat Sunda, Batak, Padang, Palembang, Jawa, dan lain sebagainya, yang masih sering mengunakan bahasa daerah sebagai alat komunikasi, yang diterima secara luas di lingkungan masyarakatnya. Orang Tionghoa tidak akan menggunakan bahasa Cina ketika belanja di pasar-pasar di Kota Palembang, tidak seperti orang Lampung yang justru akan menggunakan bahasa Jawa saat belanja di pasar-pasar di Kota Metro.

Realitas ini sangat mungkin terjadi, karena jumlah penduduk asli Lampung (ulun Lappung) yang menetap di Provinsi Lampung, seperti data di Bappeda Lampung, lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah masyarakat pendatang, cuma 32,25% dari tujuh juta jiwa penduduk. Berdasarkan data hasil penelitian yang dilakukan Pusat Kajian Budaya dan Agama (Pusaka) Lampung pada 2005, dari 32,25% ulun Lappung, sekitar 10% berkomunikasi dalam bahasa Lampung, terutama dalam acara-acara berbau tradisi. Bahasa Lampung lebih banyak dipergunakan sebagai bahasa pengantar dalam acara adat (gawi adat), karena ada keyakinan acara adat hanya dianggap sah jika dikerjakan semirip mungkin seperti apa yang dilakukan leluhur budaya, dan dilaksanakan dalam bahasa asli (bahasa Lampung). Meskipun demikian, tidak semua bahasa Lampung yang dipergunakan dalam gawi adat dapat dimengerti semua ulun Lappung, karena struktur bahasa Lampung sangat beragam sesuai struktur budaya yang mengayomi marga-marganya. Artinya, tak akan banyak pembaca puisi-puisi berbahasa Lampung itu, yang akhirnya membuat sastra makin berjarak dengan publik pembacanya yang ada di Provinsi Lampung. Sebab, puisi dalam bahasa Indonesia saja, menurut Goenawan Mohamad, merupakan dunia sebagian kecil masyarakat Indonesia, konon lagi puisi yang ditulis dalam bahasa lokal. Apa yang diuraikan di atas menjadi bukti terjadi alienasi bahasa Lampung oleh ulun Lappung sendiri.

Sumber: Lampung Post, Rabu, 5 Juli 2006

Rampai: Mencoba Bangkit Lewat Radio


-- Helena F. Nababan

Semuanya berawal pada tahun 2000 ketika setiap malam Radio Republik Indonesia Bandar Lampung menyiarkan acara Manjau Debingi, acara yang memutar lagu- lagu daerah berbahasa Lampung. Para penggemar acara itu dapat berbalas-balasan mengirim lagu dengan disertai kiriman pantun berbahasa Lampung.

"Kami merasa saat itu sudah terbentuk komunitas kecil penggemar bahasa Lampung. Dari situ, para penggemar mengadakan kumpul-kumpul dan membentuk komunitas kecil penggemar budaya Lampung," kata Riagus Ria, pemerhati seni tradisi Lampung, di Bandar Lampung, Kamis (22/6).

Dari komunitas itulah pada tahun 2001 muncul acara di RRI Bandar Lampung dengan nama Ragam Budaya Lampung setiap Sabtu malam. Riagus menuturkan, betapa sulitnya mengembangkan acara budaya itu. Hanya sedikit masyarakat yang mau terlibat dalam acara sastra tutur.

Kesulitan timbul karena kurangnya pemahaman dan penguasaan masyarakat terhadap bahasa Lampung, sebagai bahasa pengantar acara. Padahal, penguasaan bahasa Lampung menjadi kunci utama mengapresiasi sastra tutur.

"Sayang, masyarakat Lampung kurang menghargai dan tidak memiliki rasa bangga terhadap bahasa Lampung. Sementara pemerintah sepertinya tidak mau dipusingkan dengan hal-hal demikian," ucap Riagus.

Akibatnya, kendati sastra tutur yang disiarkan masih dalam tingkat sederhana, masyarakat tetap kesulitan mencerna maksud dan isi syair yang disiarkan.

Pada perkembangannya, berbagai upaya mengenalkan sastra tutur melalui forum-forum diskusi ataupun acara dokumentasi sastra tutur, penggemar mulai bertambah. Jenis sastra tutur yang ditampilkan mulai bervariasi, mulai yang biasa dipakai masyarakat pedalaman atau yang biasa disebut pepadun hingga daerah pesisir atau sai batin.

Pendengar bisa mengenal sastra tutur mulai dari pepanco atau nasihat, kepisaan atau syair doa yang biasanya berisi bait-bait doa yang panjang, warahan atau ajaran, hingga dadi atau sastra tutur tingkat tinggi.

Kendati demikian, penggagas acara selalu kesulitan menghadirkan pemateri yang tepat. Penyebabnya, penutur asli bahasa Lampung yang memiliki kemampuan sastra tutur hanya segelintir. "Itu pun ada di daerah pedalaman. Di kota tidak ada. Kami kesulitan menghadirkan mereka atau kadang jadwal mereka tidak sesuai dengan kebutuhan kami," papar Riagus.

Solusinya, setiap penggagas lantas menjadi pengisi acara RBL tersebut. Melalui acara itu, lantas muncul nama-nama seperti Amir Mardani, Sutan Purnama, Sutan Way Kuning, Ratu Angguan, dan Riagus Ria sendiri sebagai penggerak dan pelaku sastra tutur Lampung.

Sampai sekarang, kendati masih tertatih-tatih, penggagas RBL menilai keberadaan acara itu secara terus-menerus hampir lima tahun, sebuah prestasi.

Sumber: Kompas, Jumat, 23 Juni 2006

Rampai: Sastra Tutur Terancam, Bahasa Lampung Terpinggirkan


-- Helena F. Nababan

Bandar Lampung, Kompas - Gara-gara generasi muda Lampung enggan dan sulit mempelajari bahasa daerahnya sendiri, jumlah penutur asli semakin sedikit. Akibatnya, perkembangan sastra tutur Lampung saat ini semakin terancam.

Riagus Ria, pemerhati seni tradisi Lampung, Kamis (22/6) di Bandar Lampung mengatakan, bagi masyarakat yang tinggal di perkotaan, mempelajari bahasa asli Lampung dinilai sebagai kemunduran, bahkan sebagai hal kuno. "Padahal untuk bisa menampilkan dan mengapresiasi karya sastra seperti sastra tutur, pendengar atau penyimak setidaknya harus bisa berbahasa Lampung," katanya.

Setelah bisa berbahasa Lampung, seseorang bisa memahami apa yang dituturkan sastrawan melalui tuturan atau warahan-nya. Riagus menyadari, dari aspek ragam bahasa, bahasa Lampung memiliki variasi bunyi, logat, kosakata, dan dialek sangat beragam. Setiap daerah di Lampung memiliki bahasa sendiri. Sementara dalam pelajaran bahasa daerah di sekolah, dinas pendidikan nasional tidak menentukan ragam bahasa Lampung daerah mana yang dipelajari.

"Karena sulitnya bahasa Lampung dari tinjauan ragam kebahasaan, siswa atau generasi muda yang belajar menjadi malas. Mereka lebih suka berbahasa Indonesia," ujar Riagus.

Kemalasan itu mengakibatkan mereka malas mempelajari atau setidaknya mengenal seni tradisi tutur. Sementara di sisi lain, sastrawan tutur sebagai pelaku langsung ragam seni tersebut enggan memberikan arahan dan didikan kepada generasi muda.

"Kondisi demikian semakin memojokkan sastra tutur. Orang yang datang kepada saya untuk belajar selalu menyerah sambil mengeluhkan materi sastra yang sulit," kata Nurdin Darsan, pelaku seni tradisi sastra tutur Lampung.

Nurdin mencontohkan, dia pernah menghabiskan waktu 10 jam untuk bisa membuat seorang muridnya mampu melafalkan dan membunyikan syair-syair dari sastra tutur jenis warahan, yang isinya berupa pesan atau nasihat. Karena tidak bisa berbahasa Lampung, dia tidak paham bagaimana cara membunyikan kosakata Lampung. Padahal, warahan sudah dibatasi pada sastra tutur yang biasa dipakai masyarakat pesisir atau Sai Batin.

Kendala lain, warahan dari setiap daerah biasanya memiliki cara atau lagu tersendiri dalam pengucapannya. "Tanpa penguasaan yang baik terhadap bahasa asli, siswa tidak akan pernah bisa menghayati dan menampilkan warahan yang dia pelajari dengan maksimal," kata Nurdin.

Nurdin dan Riagus meyakini, jika pemerintah tidak bersikap tegas terhadap pelestarian sastra tutur, dalam waktu tidak lama sastra tersebut semakin mendekati kepunahan. "Pemerintah belum pernah berbuat maksimal untuk melestarikan sastra tutur yang dimulai dari bahasa Lampung itu sendiri," ujar Riagus.

Seniman, kata Nurdin, tidak bisa berbuat banyak kecuali mengadakan festival sastra lisan atau lomba menulis bahasa Lampung. (hln)

Sumber: Kompas, Jumat, 23 Juni 2006