Monday, June 26, 2006

Udo Z. Karzi Baca Sajak: Saat Puisi Lampung Digugat Publik

-- Budi P. Hatees dan Dwi Wahyu Handayani*


Lokalitas dalam karya sastra acap dimaknai secara artifisial, sekadar mengutip idiom-idiom lokal ke dalam ekspresi bahasa sastra, sama-sekali tidak memberi substansial atas kelokalan tersebut.

Fakta inilah yang terungkap dalam diskusi yang membicarakan puisi-puisi karya Udo Z. Karzi di Lantai 1 Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM), Sabtu malam (24-6). Dalam acara Jumpa Bilik Sastra yang digelar UKMBS Unila itu, penyair yang biasa menulis puisi dalam bahasa Lampung ini, mengawali acara dengan membacakan karya-karyanya.

Ada enam buah puisi dari ratusan puisi karya Udo Zul yang dibacakan, semua ditulis dalam bahasa Lampung, meskipun ada juga terjemahan ke dalam bahasa Indonesia. Terhadap terjemahan puisi ke dalam bahasa Indonesia, Ahmad Yunus Kedaton yang tampil sebagai pembahas, menilai Udo Zul kurang percaya diri.

"Mestinya Udo Zul membiarkan puisinya tetap dalam bahasa Lampung. Tidak perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia," kata Ahmad Yunus dalam diskusi yang dipandu penyair Jimmy Maruli Alfian.

Terlepas soal itu, Ahmad Yunus melihat ada pemberontakan dalam puisi-puisi Udo Zul, mirip seperti yang dilakukan sastrawan dari Kepulauan Karibia. Menulis puisi dalam bahasa Lampung adalah sebuah counter terhadap kultur yang imperial. "Saya berharap Udo Zul menulis puisi seperti ini sebagai suatu bentuk perlawanan kultural," katanya.

Harapan serupa juga diungkapkan para undangan di antaranya Panji Utama, Ari Pahala Hutabarat, Aris Hadiyanto, Anton Kurniawan, Y. Wibowo, Galih Pribadi S.S., Edy Samudra Kertagama, dan lain-lain. Mereka berharap ada konsep yang diperjuangkan Udo Zul dengan pilihan ekspresi bahasa puisinya. "Saya pikir pilihan Udo Zul ini tepat. Ketika bahasa Lampung mulai tersisih dari bahasa pergaulan, ia malah memilih bahasa yang tersisih itu dalam ekspresi karya sastranya," kata Panji Utama.

Ari Pahala Hutabarat menilai, lokalitas dalam puisi Udo Zul ini hanya pada bahasa Lampung, tak ada substansi kultural Lampung di dalamnya. "Idealnya, lokalitas itu menjadi substansi puisi-puisi berbahasa Lampung itu."

Di kalangan sastrawan Lampung, Udo Z. Karzi dikenal sebagai "pelopor" penulisan puisi moderen dalam bahasa Lampung. Sebuah buku puisinya dalam dwibahasa Lampung-Indonesia, diterbitkan pemerintah daerah dalam rangka mensosialisasikan puisi-puisi tersebut. Namun, Udo Zul mengakui tidak berpretensi untuk menulis tradisi atau budaya Lampung dalam sajak-sajaknya.

"Selama ini saya menulis puisi berbahasa Lampung karena ada nilai yang ingin saya sampaikan. Nilai pertama adalah bahasa Lampung itu sendiri, nilai lain adalah makna puisi saya itu. Soal apakah itu mengandung unsur lokal, tradisi Lampung, nilai budaya Lampung atau apa pun, saya tak ambil pusing, " kata dia.

Menurut Udo Zul, begitu puisi selesai ia tulis, ia tidak membayangkan apakah orang akan mengerti saat membacanya atau tidak. Sebab, seorang penyair sejatinya hanya berpikir tentang berkarya. Mengenai makna puisi, sejatinya menjadi urusan pembaca.

"Setiap teks sastra mengandung banyak tafsir, dan setiap pembaca memilik tafsir yang berbeda-beda. Silakan saja menafsirkan puisi saya seperti keinginan masing-masing pembaca," katanya.

* Budi P. Hatees dan Dwi Wahyu Handayani, keduanya wartawan Lampung Post

Sumber: Lampung Post, Senin, 26 Juni 2006


Komentar

... Seorang penyair Lampung yang memiliki memori tentang kelampungan. Dan, itu akan menjadi sesuatu yang unik jika ia ekspesikan ke dalam karyanya. Dengan potensi dimilikinya itu ia bisa hadir sebagai salah seorang penyair Indonesia dengan ciri tersendiri.
(Iswadi Pratama, penyair)

Kepenyairan Udo Z. Karzi di mata saya seperti sebuah ranjang tempat pergumulan budaya tradisi dan modern berlangsung. Karya-karyanya mengangkat fenomena sosial modern dengan tetap mengusung tatanan filosofis tradisi (Lampung).
(Syaiful Irba Tanpaka, penyair)

Mengapresiasi sajak-sajak Udo Z. Karzi menggunakan bahasa Lampung, ternyata bukan hanya sastra yang hadir dalam medium bahasa Lampung saja. Udo hanya menulis. Memberi makna pada teksnya dan meminjam idiom rasa bahasa Lampung untuk sajaknya.
(Yudi Nopriansyah, jurnalis)

Nuansa: Peradaban

-- Udo Z. Karzi


LOGIS saja. Di Negarabatin ini memang berhimpun berbagai etnis, antara lain Jawa, Sunda, Minangkabau, Batak, Bugis, dan Lampung. Jawa aja macam-macam. Sunda macam-macam. Minang macam-macam. Artinya, satu etnis bisa memiliki adat yang berbeda. Begitu juga Lampung, adat-istiadatnya juga berbeda-beda.

Kita memang sangat heterogen. Tetapi, seharusnya perbedaan itu membuat kita satu sama lain saling menghormati. Seharusnya, tidak ada pihak yang mengatakan orang lain tidak tahu adat.

Sebab, bukan tidak tahu adat sebenarnya. Tetapi adatnya memang begitu. Justru karena ia berpegang teguh pada adatnya sendiri, dia menjadi begitu. Kalau begitu, ya hormati saja. Jangan pula dibilang, dia tak tahu adat.

Yang paling sering dibilang tak tahu adat oleh orang-orang tua itu ya Mamak Kenut. Biasanya, Mamak Kenut cuma bilang, "Habis kalau saya pakai adat sendirian kan aneh!"

Di kota apa iya orang bicara adat? Di sini kalau kita ngotot dengan segala tetek-bengek adat malah ditertawakan. Di sini jualan adat nggak laku.

Adat itu memang aneh. Di kota kalau orang memegang teguh adat-istiadat ya wagu. Bisa jadi tontonan orang rame. O, begitu ya adat Lampung itu. O, ternyata Lampung itu begitu. Ooo...begitu. Kota sudah membuat adatnya sendiri, itu soalnya. Kemajuan. Modern. Modernitas. Atau, apalah namanya.

Okelah, adat (tradisi) itu memang feodal, paternalistik, dan segala jenis kekolotan yang mengingkari modernisasi dan demokratisasi. Tetapi, di alam yang disebut modern dan demokratis kini, apa yang dilakukan pemerintah jauh lebih jelek. Mamak Kenut bersabda, "Janganlah marah dibilang tak tahu adat. Sedihlah kalau dibilang biadab alias tidak punya peradaban."

Lah, Mamak Kenut...bersabda? Wajar saja kalau Pithagiras ngeyel. "Mana bisa. Saya jelas nggak terima dibilang nggak tahu adat."

"La, kau orang Lampung. Tahunya kan adat Lampung. Itu pun bergantung kau Lampung mana. Orang dari etnis lain tentu saja boleh mengatakan kau tidak tahu adat (sesuai dengan mereka punya adat). Sebaliknya, kau boleh bilang orang lain tak tahu adat (seperti adat yang engkau yakini)."

Ah, sudahlah. Mat Puhit hanya ingin memaki-maki (benar-benar tak tahu adat!) pemerintah Negarabatin. "Ini pemerintahan biadab. Pemerintahan yang sekarang ini tak punya per-adab-an."

"Lo?"

"Kalau dia beradab atau memiliki peradaban. Dia tentu tak abai kesenian. Kesenian itu bukan cuma tari sembah, begawi, pemberian gelar kepada pejabat tertentu atau apa-apa yang sifatnya simbol-simbol saja. Itu kan sebagian kecil saja dari wujud kesenian. Sedang kesenian saja setitik dari apa yang disebut dengan kebudayaan."

Sementara itu, kebudayaan (yang di dalamnya ada kesenian)-lah yang membentuk peradaban. Jadi, kalau pemerintah tidak mau dibilang "biadab", muliakanlah seni-budaya. Tentu saja seni-budaya dalam arti yang sebenarnya. Bukan seni versi si anu, versi B, dll. Ini bukan menggurui: Belajarlah lagi tentang kebudayaan!

Sumber: Lampung Post, Senin, 26 Juni 2006

Saturday, June 10, 2006

Nuansa: Biar Miskin...

-- Udo Z. Karzi

Mamak Kenut dulu -- sampai sekarang -- punya prinsip begini: biar miskin asal sombong. Dia hampir sama sekali tak peduli dengan ejekan-ejekan teman.

Tidak tanggung-tanggung, kyai sejuta umat Zainuddin M.Z. yang sekarang jadi ketua Partai Bintang Reformasi, dulu menyindir-nyindir. Begini kata: Tuhan itu paling benci dengan orang yang miskin, tetapi sombong. Kaya sombong, wajar. Ganteng sombong, biasa. Pinter sombong, lazim. Iyalah. Memang ada yang bisa disombongin. Miskin, sombong, itu seburuk-buruk orang.

Ceramah ini diteruskan Minan Tunja untuk meledek Mamak Kenut, "Sudah miskin, jelek, beloon... mau jadi apa?"

Tapi tetap Mamak Kenut cuek.

Biar miskin asal kaya hati, kata lagu dangdut. Mat Puhit lain lagi, prinsip dia, biar miskin asal banyak duit, hidup enak, apa yang dimauin ya ada. Pithagoras juga prinsip. "Biar miskin asal bahagia," katanya.

Cuma Paman Takur yang langsung marah-marah begitu ada yang menghadap mau pinjam uang. "Makanya, siapa suruh jadi orang miskin. BBM naik saja kalian pusing. Harga barang naik kalian mengeluh. Onkos angkot naik kalian ngedumel. Emang enak jadi orang kaya. Kalian tahu nggak. Sekarang ini, segalanya akan beres dengan yang namanya duit. Uang. Doku. Segalanya beres dengan dana. Semuanya hanya bisa dibeli dengan uang. Tanpa uang ya mau apa?"

Kalau Paman Takur sudah ngomong begitu, siapa yang berani membantah. Tinggal bilang saja, "Ya Paman. Ya Paman." Iyo iyoin saja asal Paman Takur senang. Kalau Paman Takur senang, paling tidak Paman Takur bersedia memberikan pinjaman. Syukur-syukur tanpa bunga. Lebih syukur lagi kalau dikasih cuma-cuma. Tanpa embel-embel. Tanpa pamrih. Tanpa harus mengingat balas budi.

Tapi mungkin nggak ya?

Ah, orang pelit kayak gitu kok mau berderma.

"Nah, orang kaya kayak Paman Takur mamang cocok untuk sombong, angkuh, nggak pedulian, nggak punya rasa kasihan, nggak punya perikemanusian. La, Mamak Kenut miskin, jelek, bloon, kok sombong," kata Udien.

Wah, bahaya nih. Mamak Kenut dibilang sombong, miskin, jelek, dan ... bloon. Siapa nih yang buat isu itu. Mamak Kenut perlu klarifikasi. Siapa bilang Mamak miskin, siapa bilang Mamak jelek, siapa bilang Mamak begok, siapa bilang Mamak sombong, siapa bilang... Nggak. Mamak nggak miskin cuma nggak punya duit. Nggak. Mamak nggak jelek cuma nggak ganteng. Nggak. Mamak nggak bodoh cuma nggak pinter. Nggak. Mamak nggak sombong cuma (kadang-kadang) nggak tahu diri.

"Iya sih, Mamak itu rendah hati. Hehehee...," kata Minan Tunja.

"Tapi bukan rendah diri kan?" ledek Mat Puhit.

"Sembarangan...," sahut Mamak Kenut.

Biar miskin asal sombong. Iya soalnya kalau nggak gitu, kita-kita minder terus. Nggak pede terus. Mau ngapa-ngapain rikuh, ragu-ragu, takut nggak ada biaya. Nanti kayak "seniman" yang nggak bisa berkarya gara-gara anggarannya nggak cair-cair. Padahal sih dana itu mesti ada kalau orang itu kreatif. Nggak perlu korupsi. Nggak perlu buat proposal pengajuan dana terus-terusan. Nggak perlu berharap pada pemerintah terus. Nggak perlu merengek-rengek minta bagian dari proyek pemerintah terus. Nggak perlu menadahkan tangan terus.

Jadi, sudah benarlah: biar miskin asal sombong. Habis kalau kita pikir kita ini miskin, kita nggak bakal bisa ngapa-ngapain seperti kata Paman Takur. Padahal miskin itu modal. Dengan kemiskinan, bisa menjadi kreatif. Kalau "orang pinter" sih jelas, dia bisa menjual kemiskinan orang lain untuk kemaslahatan diri sendiri. Ah, biar miskin asal ...

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 10 Juni 2006

Thursday, June 08, 2006

Nuansa: Wis... Dom

-- Udo Z. Karzi

MAMAK Kenut bukannya tidak mau menghormati bahasa Indonesia kalau pakai istilah keren model "wisdom" segala. Sebenarnya, kamus (politik) orang Indonesia sudah mencantumkan, antara lain apa yang disebut dengan "arif" atau "kearifan", "bijaksana" atau "kebijaksanaan", dan "adil" atau "keadilan".

Mamak Kenut hanya ingin merangkum semua istilah itu dalam kata "wisdom". Soalnya, dalam realitas politik di Negarabatin, dia sama sekali tak melihat kata ini dipakai. Kebanyakan pemimpin di Negarabatin lebih menonjolkan "kuasa" ketimbang "wisdom" dalam mengambil keputusan atau bertindak.

Beberapa lagi lebih mengutamakan unsur balas dendam politik ketimbang benar-benar memikirkan segi-segi yang lebih substantif, misalnya, asas manfaat, kemaslahatan, dan yang lebih penting, dampak dalam jangka panjang, dari sebuah keputusan.

Sedang asyik-asyiknya Mamak Kenut membolak-balik Kitab Kearifan (karya Bahaudin Walad terjemahan Ahmad Yulden Erwin), Mat Puhit datang menyodorkan koran. "Apa yang menjadi rasionalitas dari tindakan Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. menganulir Surat Wakil Gubernur-NYA (NYA huruf besar!), Syamsurya Ryacudu kepada Mendagri mengenai Usulan Pembentukan Kabupaten Pesawaran?"

Mamak Kenut yang lagi benci dengan kelakuan buruk para politisi dan pemimpin di Negarabatin yang suka seago-ago (semau-mau, tetapi bukan--sori nih kepada--Sutan Seago-ago), malah nyahut seago-ago, "Sudahlah yang begituan sih urusan kaum elite. Jangan tanya padaku."

"Waduh Mamak, jangan apatis begitu dong!"

"Lo, saya bukan apatis. Sebagai rakyat sah di Negarabatin, saya justru sedang protes berat nih."

"Protes kok diam aza?"

"Protes diam namanya!"

"Diam artinya setuju."

"Itu dulu. Diam berarti mau."

"La, protes kok diam, mana ada yang tahu."

"Pemimpin itu harusnya pinter mengartikan diamnya masyarakat. Dia harus proaktif mencari tahu mengapa masyarakat pada umumnya diam aza."

"Ah, sudah. Sekarang, bagaimana pendapat Mamak soal yang tadi?"

"Tanyakan pada Yang Mahatahu...."

"Matek nyak...."

Untung ada Udien. Dia menjelaskan Sjachroedin menolak surat Syamsurya karena substansi surat Wagub itu menyangkut kebijakan yang bersifat teknis dan khusus yang memerlukan pembahasan komprehensif bersama instansi terkait. Selain itu, usulan pembentukan kabupaten Pesawaran tersebut juga belum dikoordinasikan Wagub bersama instansi terkait.

"Api muneh?" tanya Minan Tunja tiba-tiba.

"Ah, sudahlah. Tunggu saza episode apalagi yang bakal terjadi setelah ini. Soal rasionalitas, kearifan, kebijaksanaan, dll. dari keputusan itu, nyang buat keputusan yang paling bertanggung jawab. Tanno, ram ngupi pai," kata Pitghagiras yang menyajikan minuman. Inilah enaknya jadi rakyat!

Wis... Dom. Sudah wis, ya pedom. n

Sumber: Lampung Post, Kamis, 8 Juni 2006

Sajak: Kukejar Bayangmu

-- Udo Z. Karzi

kukejar bayangmu
di ketinggian bukit-bukit
di kedalaman laut-laut
di kehijauan hutan-hutan
di kejejauhan utara-selatan
di mana-mana

tanah merah kubangan
hujan gempa banjir
tak kurasa tak kupeduli

kalaupun harimau
setan iblis sekalipun
kutinju kuterjang

tapi
aku takut
kau sudah
menjelma batu

Sumber: Lampung Post, 15 Mei 2005; fordisastra.com, 21 Maret 2006

Wednesday, June 07, 2006

Sajak: Tak Siang Tak Malam

-- Udo Z. Karzi

tak siang tak malam
koran masih saja menuturkan
banjir gempa topan
bencana di segala pelosok

-- musim tambah panas, tetapi kadang hujan

seorang lelaki berteriak-teriak
belati hampir menembus usus
aku terkesima
terduduk
ah, ternyata kejahatan menyebar
dalam setiap detak kehidupan

menelusuri negarabatin suatu malam
malam tak sesunyi yang terpikirkan
malam menyembunyikan rahasia
tapi malam jujur mengaku sering resah
sedikit gelisah menyembul dari sisi malam
lampu terlampau remang menelusuri gelap

tak siang tak malam
aku gelisah
kita masih menunggu
kelanjutan fragmen hidup
kita ternyata hanya menjalani
entah. apa bakal terjadi

membelah kesunyian negarabatin
radio masih mendendangkan
: tak siang tak malam

2004

Sumber: fordisastra.com, 2 Maret 2006; puitika.net, 18 Mei 2006