Sunday, June 19, 2005

Esai: K.H. Arief Mahya, Intelektual Muslim dari Pesisir Lampung

-- Budi P. Hatees dan Udo Z. Karzi*


K.H. Arief Mahya, tokoh dari pesisir Lampung Barat, menyimpan banyak fakta sejarah dalam pengalaman hidupnya. Ia bukan cuma mubalig yang melulu melakukan syiar agama Islam, tetapi seorang intelektual muslim yang mempertemukan semangat peradaban humanisme-teosentris dalam nilai-nilai warisan leluhur budaya masyarakat Lampung.

SULIT menemukan sosok seperti K.H. Arief Mahya dalam realitas kehidupan masyarakat Lampung kini. Bambang Eka Wijaya, seseorang yang selalu mencoba memahami realitas kultural masyarakat Lampung, mengagumi K.H. Arief Mahya sebagai "manusia paling konsisten" dengan karakter dasar yang membentuknya sejak belia. Konsistensi yang terjaga dengan bersih, meskipun peradaban mengalami evolusi yang sangat tajam dan manusia di sekitarnya berubah menjadi entitas yang kurang menghargai keaslian nilai-nilai warisan leluhur budayanya.

Sekitar Juni 2004 lalu, kami bertandang ke rumah K.H. Arief Mahya yang yang sederhana di Bandar Lampung. Di ruang tamunya, dengan tiga cangkir teh hangat, kami berbincang-bincang tentang sejarah penyebaran Islam di provinsi ini. Sebuah perjalanan sejarah yang dilihat dari kacamata K.H. Arief Mahya sendiri selaku pelaku dan ia bercerita seolah-olah di hadapannya ada slide yang menampilkan setiap detail sejarah itu. Atau, seperti sebuah buku tebal, ia menyimpan dalam dirinya perjalanan seorang mubalig, intelektual, tokoh Nahdlatul Ulama, guru, dan budayawan, mulai Desa Talangparis sampai Metro, lalu ke Bandar Lampung.

Sebagai guru agama, mubalig, dan tokoh Nahdlatul Ulama, dia mendatangi hampir seluruh pelosok Provinsi Lampung untuk menyebarluaskan syiar Islam, meningkatkan kualitas keimanan masyarakat Lampung, dan memperkokoh nilai-nilai sosial masyarakat dengan rumusan amar makruf nahi mungkar, lewat ceramah-ceramah agama. Sebagai intelektual muslim dan budayawan, K.H. Arief Mahya mampu menjelaskan bagaimana humanisme-teosentris sebagai nilai inti (core value) dari seluruh ajaran Islam memunculkan sistem simbol yang dipakai dalam tradisi kultural masyarakat Lampung akibat terjadinya dialektika antara nilai dan kebudayaan.

Sebelum kami berpamitan, K.H. Arief Mahya menyodorkan sebuah bundelan yang diketik dengan mesin ketik manual. Bundelan itu menyimpan sebagian besar fakta sejarah yang diceritakan K.H. Arief Mahya. Terakhir kami dengar, bundelan tebal itu diterbitkan menjadi buku biografi K.H. Arief Mahya yang akan diluncurkan bertepatan perayaan hari ulang tahunnya yang ke-79.

Upaya penerbitan ini adalah terobosan yang pantas diacungi jempol. Bukan cuma buku itu nantinya memaparkan sepotong riwayat dari K.H. Arief Mahya, tetapi ia menjadi semacam analisis yang menarik mengenai sejarah umat Islam di Lampung dalam proses transformasi kultural yang panjang sejak dekade 1930-an sampai sekarang, dilihat dari kacamata seorang mubalig, pejuang revolusi, pemimpin publik, pemimpin agama, dan orangtua. Bisa dibayangkan, betapa kaya riwayat hidup yang dapat diteladani dari membaca buku itu.

***

Ketika banyak orang tidak memiliki kesempatan menyatakan eksistensi diri akibat kondisi sosial politik di zaman kolonialisme tak memungkinkan bagi siapa pun berkreativitas, K.H. Arief Mahya membuat pilihan yang sangat tepat; berjuang untuk kepentingan rakyat dengan cara meningkatkan kualitas nilai-nilai agama Islam mereka di lingkungannya.

Dengan menjadi mubalik, yang sangat meyakini risalah Islam adalah hidayah Allah swt. untuk segenap manusia dan rahmat-Nya untuk semua hamba-Nya, K.H. Arief Mahya memainkan peran penting sebagai penyebar risalah Islam lewat gerakan-gerakan pendidikan dan dakwah, sehingga memperkuat fondasi agama Islam dalam kehidupan sosial-religius masyarakat Lampung.

Pilihan hidup ini telah menyejajarkan K.H. Arief Mahya dengan para intelektual muslim di Indonesia. Namun, yang terpenting dari semua itu adalah sosok K.H. Arief Mahya itu sendiri. Keintelektualannya mampu menjabarkan gamblang betapa antara nilai-nilai agama Islam dan budaya warisan luluhur masyarakat Lampung memiliki keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan.

Dalam banyak karya tulisnya, ada semacam benang merah yang hendak disampaikan, nilai-nilai budaya masyarakat Lampung karena sejalan dengan nilai-nilai agama Islam, memiliki sifat dan karakter yang tidak menutup diri terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Secara epistemologi, K.H. Arief Mahya menegaskan sesungguhnya masyarakat Lampung tidak punya alasan untuk cemas pada pemikiran rasionalisme, pada pemikiran empirisme. Hanya mereka yang tidak paham Islam dan kebudayaan Lampung yang perlu cemas karena ketidakpahaman itu membuat mereka tidak tahu bahwa Islam dan kebudayaan Lampung mampu mengintegrasikan semuanya.

Nilai-nilai Islam dan nilai-nilai kebudayaan Lampung sangat inheren. K.H. Arief Mahya membuktikannya dengan analisis yang komprehensif tentang lima filsafat hidup masyarakat Lampung, yang seluruh nilainya mengadopsi risalah Islam. Tulisan-tulisan K.H. Arief Mahya yang menyebar di sejumlah media cetak, juga yang sering disampaikan dalam menjalankan tugas kemubaligannya, menegaskan bahwa memahami nilai-nilai agama Islam berarti juga telah menguasai nilai-nilai kebudayaan Lampung. Sebuah penegasan bahwa nenek moyang kebudayaan Lampung memiliki fondasi agama Islam yang kuat dan mengakar, dan merekalah yang mewariskan nilai-nilai budaya Lampung yang kini mulai tergerus dari realitas kehidupan masyarakatnya.

Penegasan semacam ini menjadi sangat mungkin apabila kita menggunakan cara pandang K.H. Arief Mahya, yang mempertanyakan apa sesungguhnya sistem nilai dalam Islam terutama kaitannya dengan pembentukan sistem simbol yang meliputi sistem bahasa, seni, kesusastraan, mitos, ilmu pengetahuan, sejarah, dan lain sebagainya. Dari pertanyaan itu, K.H. Arief Mahya menyimpulkan sistem nilai piil pesinggiri merupakan kesadaraan umat Islam atas hak asasi manusianya, dan hal itu merupakan manifestasi terbaik dalam ajaran-ajaran Islam.

Sebagai penjelasan, kita bisa mengutip Alquran, di mana ada perintah bagi umat manusia menyeru kepada kebajikan dan mencegah kemungkaran (amar makruf nahi mungkar). Dari perintah itu, kita menangkap adanya dua proses yang berlawanan tetapi sekaligus merupakan satu kesatuan; emansipasi dan pembebasan.

Nahi mungkar secara sosiologis bisa disebut sebagai perintah bahwa manusia harus membebaskan diri dari segala bentuk kegelapan, dan termasuk membebaskan diri dari kebodohan, keterkekangan, ketertindasan, dan kemiskinan. Sedangkan amar makruf diarahkan untuk mengemansipasi manusia kepada nur, cahaya petunjuk Ilahi, untuk mencapai keadaan fitrah.

Piil pesinggiri adalah sebuah nilai dalam kehidupan, di mana masyarakat Lampung menemukan emansipasi diri dan membebaskan diri dari segala bentuk kegelapan, termasuk ketertindasan, kebodohan, dan kemiskinan. Piil pesinggiri selalu akan membuat masyarakat Lampung mencapai keadaan fitrah, sebuah keadaan di mana manusia mendapatkan posisinya sebagai makhluk yang mulia.

Kemuliaan itu hanya didapat dengan mengikuti rumusan amar makruf nahi mungkar, tetapi dalam perkembangan terakhir banyak masyarakat Lampung yang mempertahankan piil pesinggiri berdasarkan tanpa berpatokan pada rumusan tersebut. Akibatnya, konsep nilai piil pesinggiri mengalami pergeseran makna.

Begitu juga dengan nilai nengah nyampur, yang memosisikan masyarakat Lampung sebagai manusia yang tidak soliter di lingkungan apa pun, jelas didapat dari ajaran agama Islam yang mengharuskan pentingnya konsep hablun minannas. Ajaran-ajaran Islam yang mencakup aspek akidah, syariah, dan akhlak menampakkan perhatiannya yang sangat besar terhadap persoalan utama kemanusiaan, termasuk dalam nilai-nilai kebudayaan Lampung.

Hal ini dapat dilihat dari enam tujuan umum syariah, yaitu menjamin keselamatan agama, badan, akal, keturunan, harta, dan kehormatan. Selain itu risalah Islam juga menampilkan nilai-nilai kemasyarakatan (social values) yang luhur, yang bisa dikatakan sebagai tujuan dasar syariah, yaitu keadilan, ukhuwah, takaful, kebebasan, dan kehormatan.

Semua ini akhirnya bermuara pada keadilan sosial dalam arti sebenarnya. Dan seperti kita tahu, pandangan hidup (world view) yang paling jelas adalah pandangan keadilan sosial.

***

Dalam diri K.H. Arief Mahya ada interpretasi yang menggairahkan tentang sejarah Islam di Provinsi Lampung. Sebuah interprestasi yang yang riang dan belum pernah kita temukan dalam literatur mana pun, bahkan dalam hasil penelitian-penelitian antropologi terhadap realitas sosio-kultural masyarakat Lampung yang pernah dilakukan para ahli.

Barangkali, baru pada Fauzi Nurdin, kandidat doktor filsafat dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang sedang meneliti kaitan antara nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai warisan budaya Lampung yang disebut angkon muakhri (pengangkatan saudara), kita bisa menemukan penguatan fakta sejarah tentang kandungan universalisme nilai-nilai Islam dalam kebudayaan Lampung.

Universalisme (al-'Alamiyah) Islam adalah salah satu karakteristik Islam yang agung. Islam sebagai agama yang besar berkarakteristik (1) rabbaniyyah, (2) insaniyyah (humanistik), (3) syumul (totalitas) yang mencakup unsur keabadian, universalisme, dan menyentuh semua aspek manusia (ruh, akal, hati dan badan), (4) wasathiyah (moderat dan seimbang), (5) waqi'iyah (realitas), (6) jelas dan gamblang, (7) integrasi antara al-Tsabat wa al-Murunah (permanen dan elastis).

Universalisme Islam yang dimaksud adalah risalah Islam ditujukan untuk semua umat, segenap ras, dan bangsa serta untuk semua lapisan masyarakat. Ia bukan risalah untuk bangsa tertentu yang beranggapan dia-lah bangsa yang terpilih, dan karena itu semua manusia harus tunduk kepadanya.

Dalam Islam, kami mengenal adanyanya konsep tauhid, sebuah konsep sentral yang berisi ajaran bahwa Tuhan adalah pusat segala sesuatu, bahwa manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada-Nya. Konsep ini mengandung implikasi doktrinal bahwa kehidupan manusia tidak lain hanya untuk menyembah kepada-Nya. Jadi, konsep mengenai kehidupan manusia dalam Islam adalah konsep yang teosentris, yaitu seluruh kehidupan berpusat kepada Tuhan.

Dalam kebudayaan Lampung, konsep semacam ini bisa kita temukan jejak-jejaknya. K.H. Arief Mahya secara dramatik menggambarkan betapa Islam di Provinsi Lampung menjelma menjadi sebuah gelombang kekuatan sejarah, yang kemudian berakulturisasi perlahan-lahan dengan nilai-nilai kultural warisan leluhur budaya masyarakat Lampung.

Akulturisasi yang lahir dari proses dialog sejajar antara nilai-nilai kehidupan dan filosofi hidup warisan leluhur budaya masyarakat Lampung dengan nilai-nilai agama Islam, lalu menghasilkan pandangan yang bergeser begitu tajam dari sebelumnya berorientasi kepada kejayaan Kerajaan Sriwijaya di Palembang yang kental dengan peradaban Hindu atau pra-Hindu, menjadi kebudayaan yang memiliki karakteristik sendiri yang kuat mempertahankan nilai-nilai sebagai filsafat hidup masyarakatnya.

Kebudayaan Lampung inilah yang menolak segala bentuk penindasan manusia oleh kolonialisme Belanda maupun Jepang di Provinsi Lampung dengan gerakan-gerakan jihad fi sabilillah yang puncaknya terjadi perang besar-besaran antara laskar jihad Hisbullah-Sabilillah dengan kolonialisme di perbatasan Sumatera Selatan dengan Lampung. K.H. Arief Mahya, pemimpin laskar Hisbullah-Sabilillah sekaligus tokoh Masyumi, sebuah pergerakan Islam yang paling kuat pengaruhnya saat itu di Indonesia, punya andil sangat besar dalam pengiriman laskar-laskar jihad ke medan pertempuran tersebut.

Tulisan ini cuma sebuah pengantar singkat untuk melihat sepotong riwayat K.H. Arief Mahya dan kaitannya kebudayaan Lampung. Sebuah simpul bisa dibuat bahwa untuk mengetahui realitas kultural masyarakat Lampung, kita bisa melakukannya dengan menelusuri jejak masuknya agama Islam ke provinsi ini. Penelusuran bisa dilakukan dari memahami bagaimana ekspresi-ekspresi kultural masyarakat Lampung dalam kehidupan kesehariannya, dalam bahasa, kesusastraan, dan seni. Semua memperlihatkan pola yang dekat dengan kebudayaan Melayu. Kita paham betul Melayu adalah Islam. Dan jejak Melayu di Lampung bisa kita telusuri dari buku Radja Ali Hadji, Tuhfat al-Nafis. n

* Budi Hatees dan Udo Z. Karzi, keduanya peneliti pada Pusat Studi Kebudayaan Lampung.


Sumber: Lampung Post, Minggu, 19 Juni 2005