Sunday, July 25, 2010

W. Christiawan (Dosen Jurusan Teater STSI Bandung): "Mempertemukan Hal Pribadi dan Publik"

PERTEMUAN Teater Bandung (PTB) tampaknya tak berangkat dari suatu tema tertentu, seperti disebut oleh sejumlah pembicara (Benjon dan Afrizal), sehingga penonton diajak ke sebuah target tanpa ada bingkainya. Bagaimana Anda melihat hal ini?

Bingkainya pertemuan itu sendirian. Dalam teater, manusia bertemu dengan manusia dalam sebuah medan sosial seni. Lebih lanjut dia akan melakukan pertemuan dengan kelompok manusia. Begitu sifat teater yang harus dikerjakan secara ensambel (berkelompok) dan ephemeral, ketika pertunjukan melakukan pertemuannya dengan penonton. Secara performa, teater melakukan pengucapan aksi yang signifikan sehingga dalam pertemuan itu sendiri pemain yang memainkan peran dapat berbagi pada penonton, terutama dalam pemahaman makna kehidupan. Inspirasi itu bisa semanis anggur atau sepahit jamu utuh. Keduanya bermanfaat bagi manusia. Pertunjukan yang berhasil akan mempertemukan penonton dengan dirinya sendiri. Dengan demikian, ada kegiatan membaca atau reading dalam aktivitas berteater. Rujukan yang diharapkan adalah bagaimana publik dan pemerhati teater dapat membaca teater Bandung.

Gagasan dasarnya, saya melihat aktor atau sutradara berada dalam wilayah pribadi, di mana dalam ruang domestik hadir kelompok teater atau pertunjukan teater yang mempertemukan hal yang pribadi dengan publik yang terdiri atas penonton dan pemerhati teater. Hasil pertemuannya ada pada seminar, ketika mengagas saya juga tak tahu apa yang hendak terjadi. Saya lebih memantau garapan kelompok teater, terutama dari hal teknis. Sejak bertemu mereka aku kan sudah bilang bahwa tugas mereka nonton dan memberikan refleksi pada seminar kecil. Tugas saya bersama teman-teman di jurusan teater adalah mendekatkan hasil bacaan tadi dengan publik serta penggarap teater.

Sebenarnya (jika ada), kurasi sejenis apa yang dipakai dalam PTB?

Kurasi yang saya pakai untuk memilih kelompok teater bertumpu pada kelompok teater yang telah bertahan sekurangnya lima tahun. Memiliki indepedensi dengan tetap berpentas baik membawakan karya orang lain atau karya sendiri. Adanya keragaman estetik dalam tiap kelompok. Studiklub Teater Bandung aku pilih, selain sebagai kelompok teater yang tertua di Bandung, juga dedikasinya yang patut kita hormati terhadap bentuk realisme pada akting pada perkembangan teater modern Indonesia. Atau Kelompok teater Payung Hitam yang cenderung membawakan teater tubuh dengan garis tegas dan gambar-gambar bermetafora keras. CCL kelompok yang memiliki kecenderungan berakar pada masyarakat sekitarnya. Laskar Panggung yang mengalir dengan karya-karya milik sendiri. Teater Cassanova yang memiliki semangat dan energi tinggi terhadap kemungkinan baru dalam mementaskan teater. Rujukan teks tentang proses kreatif dan sejarah teater dan apresiasi langsung terhadap pertunjukan yang mereka pentaskan.

Dengan hanya lima kelompok teater yang mengikuti PTB, bisakah kita menyebut kelima kelompok teater tersebut sebagai representasi dari perkembangan teater di Bandung?

Sedianya lebih dari lima kelompok, tetapi dua kelompok berhalangan pentas karena masalah internal. Jenis kelompok untuk dikategorikan sangat luas, ada teater SMU, teater kampus seni dan nonseni, teater yang menggunakan bahasa daerah, longser mungkin teater jalanan. Namun, pada saat ini aku lebih menekankan pada kelompok teater yang masih eksis dan giat berkreativitas selama kurang lebih lima tahun. Jika untuk merepresentasikan kelompok teater di Bandung, kelima kelompok teater seperti STB, TPH, CCL, Laskar Panggung Bandung, dan Teater Cassanova kayaknya cukup sahih dan saya jamin bahwa mereka adalah kelompok yang signifikan bagi masa depan teater Bandung.

Lalu sebagai penyelenggara, demi jauh ke depan, apa yang diharap lembaga Jurusan Teater STSI Bandung dengan kegiatan ini?

Saya tengah menyunting kegiatan ini, semoga kegiatan semacam ini bisa tetap dipertahankan karena orang dapat melakukan one stop showing untuk melihat teater Bandung. Aku berterima kasih pada STSI Bandung yang memberikan keleluasaan bekerja kepada saya, juga pada rekan-rekan di jurusan teater Herman Effendi dan Nandi Rifandi , kelompok-kelompok teater di Bandung, para pemerhati teater, publik teater, seniman, dan mahasiswa-mahasiswa yang telah menyumbangkan energi mereka tanpa pamrih karena tanpa mereka saya bukanlah apa-apa. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 25 Juli 2010

Lima Teater Bandung

-- Silvester Petara Hurit

STUDIO Teater STSI Bandung menggelar Pertemuan Teater Bandung, Kamis-Jumat, 15-17 Juli 2010 di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung. Lima kelompok hasil kurasi tampil membawakan karya pentasnya.

SEBUAH adegan dalam lakon "Genjer-genjer" produksi Teater Payung Hitam dengan sutradara Rachman Sabur yang dipentaskan dalam "Pertemuan Teater Bandung", di Gedung Kesenian Sunan Ambu STSI Bandung, 15-17 Juli 2010.* AGUS BEBENG

Studi klub Teater Bandung (STB) membawakan Yang Tersisa karya Sergei Mercier yang disutradarai Ria Ellysa Mifelsa. Pentas Yang Tersisa mengetengahkan kisah pasangan suami- istri lanjut usia, dengan segala problem psikologis yang khas orang tua. Tubuh yang uzur, kesepian hari tua dan kenangan-kenangan masa lalu.

Suami-istri diperankan Sugyati Anirun dan Gatot W.D. yang juga siap menjemput usia senjanya. Keduanya seperti tengah memainkan dirinya sendiri berikut kenangan dan pergulatannya. Ada intensitas emosi dan kejernihan permainan di sana. Akan tetapi, teks yang punya historisitas, konteks sosiokultural yang berbeda, menciptakan jarak dan dunianya sendiri. Aktor dan teks ibarat tubuh dan baju pinjaman. Indah memang, tetapi tak sepenuhnya mempribadi, bertahan sampai koyak di badan sendiri.

Kecenderungan mementaskan khazanah lakon dunia merupakan usaha STB untuk menjamah yang lain. Interaksi dengan yang lain yang ditempuh STB selama ini, menjadi salah satu jalan untuk menemukan siapa dirinya. Lakon, tubuh, dan sejarahnya termasuk kecenderungan dan gaya interaksinya.

Pentas Yang Tersisa kali ini, mudah-mudahan tidak merepresentasikan wajah tua STB dengan isyarat kerentaannya. Di tangan para sutradara mudanya, kiranya STB seperti semakin menemukan gairah kemudaan dan otentisitas aktual dari kehadirannya.

Teater Payung Hitam membawakan Genjer-genjer karya sutradara Rahman Sabur. Pertunjukan adalah gugatan terhadap wajah manipulatif sejarah. Guratan rik-rak wiper genjer pada papan metal, menyerupai robeknya daging tersayat , lagu yang dinyanyikan berupa ratapan, tulang belulang yang berderak diseret ke sana ke mari oleh tubuh gigantik tanpa kepala. Gambar beku manusia yang pekat di latar panggung. Tubuh menjunjung sepatu prajurit, mulut tanpa henti memasukkan dan memamah daun genjer, tubuh botak yang mematung bisu, aktor bertelanjang dada bergulat dengan bingkai. Jatuh tergeletak. Bangkit sekuat usaha, terburai keringat, lelah, mengepalkan tangannya.

Sejarah kita adalah kekuasaan yang penuh belulang. Tubuh besar tanpa kepala, terus meneror dan menebar ancaman. Sepatu serdadu siap menginjak kepala yang mau tegak. Melalap genjer-genjer seakan menjadi nasib abadi rakyat. Tubuh yang mencoba membingkai dirinya, senantiasa jatuh dan terdepak. Sejarah memperhitamkan wajah yang kalah, yang lemah, dan tak berdaya. Memberi pelabelan dan stigma negatif, merampas hak-haknya, termasuk hak untuk mempertanyakan ketidakadilan yang menimpa dirinya.

Teater Cassanova mempersembahkan Dalam Museum Tubuh Mati karya Aad Akbar yang disutadarai oleh M. Wail Irsyad. Pertunjukannya eksplosif. Blocking yang bergerak menyerupai pawai atau karnaval kecil dengan distorsi kostum dan make up. Panggungnya bertumbuh, memecah, menabrak, dan memasuki ruang ramai penonton. Unjuk kebolehan, ketangkasan, kecepatan, dan akrobatik tubuh dari sejumlah aktornya. Sirine, life band, motor, mobil serta deru-raungnya hadir menjadi bagian dari pertunjukan. Riuh, hidup, dan bergejolak.

Aksi kejar-kejaran, saling serang antara perampok dan polisi, pertaruhan merebut satu kopor dan sebuntal benda rampokan, uang barangkali. Aksi sigap, saling mewaspadai, menyerang, terkam-terkaman lantas kabur memperlihatkan agresivitas di satu pihak, dan hura-hura pesta musik di lain pihak.

Bersatu memperkuat diri, menghantam, dan mengagresi pihak lawan. Kesetiaan, pengkhianatan, dan perceraian hadir di dalamnya. Pada akhirnya Joker merebut kopor dan benda rampokan. Polisi dan perampok diseret oleh hasratnya, digiring bak kerbau dicocok hidung mengikuti benda rampasan mereka. Yang berjuang, yang bertempur, dan berlelah-lelah tidak pernah menang. Mereka cuma jadi permainan. Joker pengendali kisah tetap menjadi pemenang dan penikmat hasilnya.

Pertarungan hidup, saling mengagresi, adu licik dan muslihat, hura-hura dan keriuhan pesta memperlihatkan gaya dan kerasnya kehidupan kota. Semuanya bergerak tanpa ruang jeda. Tanpa jarak dan batas. Yang licik, si tukang muslihat, pemegang, dan pengendali kisahlah yang berhak atas hidup. Yang utama adalah menang, menuai hasil tanpa harus berdarah-darah. Ilmu menguasai jauh lebih unggul daripada martabat kerja dan proses. Semua hadir, tumpah-ruah.

Celah-Celah Langit (CCL) Ledeng mepersembahkan dua monolog karya sutradara Iman Soleh. Monolog pertama berjudul Dibayar Kontan yang dimainkan Rizky Riskika dan yang kedua berjudul For The Good Of The Game yang dimainkan aktor Dedi Warsana.

Kedua monolog tersebut memiliki interaksi yang kuat, dengan para pemusik berjumlah sekitar 20 orang. Pemusik sesungguhnya adalah "pemain" dan penonton itu sendiri. Kedua garapan tersebut mencerminkan watak sosial CCL. Tubuh tradisi di belakang aktor dan tubuh modern audiens yang berada di depannya.

Secara tematik misalnya, For The Good Of The Game adalah kisah yang akrab dan bahkan sangat lekat dengan keseharian masyarakat. Lewat sesuatu yang dikenal, renungan kehidupan yang diusung oleh karya seni berawal. Permainan bola adalah refleksi dan miniatur dari kehidupan. Wasit adalah h

Wajah sepak bola kita adalah wajah negara dan kehidupan kita atau barangkali juga sebaliknya. Bisa saling menjelaskan. Aktor, seorang pemain sepak bola, mempersoalkan sejumlah aturan sepak bola, teknik, keanehan, dan sangsi yang dijatuhkan wasit atas dirinya. Panggung menjelma lapangan sepak bola. Dan, Dedi Warsana sebagai aktornya bermain dengan tempo tinggi. Berlintas, berdialog bolak-balik dengan pemusik, dan audiens. Aktor sebagai pemain sepak bola memainkan bola di permainan sandiwara untuk menyoal kehidupan aktual di dunia obyektif kita.

Laskar Panggung membawakan Dari Wak Menuju Tu karya sutradara Yusef Muldiyana. Pertunjukan yang berdurasi 142 menit merupakan ruahan hasrat bermain seorang Yusef Muldiyana. Yusef mengelola permainan. Mempermainkan kata-kata, membelokkan peristiwa. Menghamburkan segalanya di atas panggung. Panggung menjadi medan komposisi. Sajian koreografi gerak, lagu, musik. Panggung menghidupkan potensi bawaan, aktualisasi dari biografi personal, dan kultural para pemainnya.

Panggung mengeksplorasi kata. Serangkaian kalimat yang sama diperkatakan dengan pelbagai bahasa. Ada bahasa Indonesia, Inggris, dan bahasa ceracau yang rusak. Maknanya pada aksentuasi dan irama bunyinya. Jahit-menjahit. Para aktor mencopot perannya dan menggantinya dengan yang lain di atas panggung. Aktor berperan sebagai pintu, kulkas, dan lain sebagainya. Aktor-aktor cilik menyanyi, berakrobat, meroda di atas panggung. Bahkan, di tengah-tengah pertunjukan, pentas berubah menjadi sajian longser berbahasa Sunda. Panggung adalah permainan multiversi peristiwa yang dibiarkan berbelok, melompat ke depan ke belakang. Mengambang di level permukaan. Pertunjukan tidak tergoda menyentuh ke kedalaman. Mencomot pelbagai soal, menyinggung apa saja.

Panggung Dari Wak Menuju Tu adalah panggung campur aduk. Panggung yang membaurkan segala sesuatu tanpa ada pretensi untuk mewujudkannya menjadi sesuatu. Panggung adalah realitas keberbagaian, realitas yang paling plural, dan barangkali juga otentik. Panggung adalah aktualisasi hasrat bermain yang dimiliki anak-anak. Keingintahuan yang senantiasa bertanya. Imagi yang bebas melompat ke sana ke mari. Di sanalah realitas dipandang sebagaimana ia adanya. Menyimpan sejuta keheranan dan ketakjuban.

Silvester Petara Hurit, esais, pemerhati seni pertunjukan

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 25 Juli 2010

Membangun Kembali Tradisi Kritik Sastra

-- Tjahjono Widarmanto

Untuk menumbuhkan tradisi kritik sastra diperlukan masyarakat luas yang apresiatif terhadap karya sastra karena kritik sastra tak hanya untuk sastrawan, tapi juga bagi masyarakat. Persoalannya, masyarakat kita belum menjadi masyarakat pembaca (reading society).

/1/

Studi sastra mencakup tiga ranah, yaitu ranah teori sastra, ranah sejarah sastra, dan ranah kritik sastra. Dalam ranah teori sastra, kesusastraan dilihat sebagai sebuah sistem yang berstruktur dan memiliki logika sendiri. Teori sastra membicarakan sistem, logika, dan struktur yang harus ada dalam teks sastra. Oleh sebab itu, teori sastra merupakan studi prinsip, kategori, dan kriteria yang menentukan sebuah teks bisa digolongkan sebagai sastra atau tidak.

Kritik sastra merupakan wilayah studi sastra yang berusaha memberikan penilaian dan penghakiman terhadap sebuah teks sastra berdasarkan sebuah analisis dengan menggunakan seperangkat teori. Kritik sastra merupakan tahapan memahami, penghayatan, apresiatif, dan berakhir pada penilaian. Sebuah kritik sastra pada hakikatnya akan menunjukkan sisi-sisi keunggulan karya sastra sekaligus menunjukkan pula kelemahan dari karya sastra tersebut.

Ketiga ranah studi sastra tersebut di atas dalam terapannya tak dapat dipisah-pisahkan satu sama lain. Tak mungkin disusun sebuah teori sastra tanpa melibatkan kritik sastra dan sejarah sastra. Demikian juga dalam kajian sejarah sastra, dalam mengindentifikasikan style, aliran, dan estetika dalam periode sastra tertentu akan mkengfgunakan keranka teori sastra. Sedangkan teori sastra jelas hanya dapat disusun berdasarkan studi langsung terhadap karya sastra. Kriteria, kategori, dan penemuan teori-teori baru dalam kesastraan tidak mungkin diciptakan secara in vacuo (tanpa pijakan). Mustahil pula, ada kritik sastra tanpa sistem pemikiran teori, acuan, atau generalisasi tertentu. Dengan kata lain, pisau bedah kritik sastra untuk mencapai penilaian dan penghakiman yang objektif adalah teori sastra dan sejarah sastra.

/2/

Kesusastraan Indonesia mustahil bisa berkembang jika mengabaikan ketiga studi sastra tersebut.Dari segi produktivitas karya sastra, jelas bahwa kesusastraan Indonesia terus tumbuh dan berkembang. Apalagi kalau kita merujuk tumbuhnya cerpenis-cerpenis dan penyair-penyair yang terus bermunculan dalam dasawarsa terakhir. Boleh dikatakan dalam dasawarsa terakhir ini, sejak tahun 1980-an hingga 2004 saat ini telah terjadi booming puisi dan cerpen. Tak hanya bisa dilacak dalam majalah sastra saja namun bisa diamati pula dalam koran dan surat kabar.

Sayang sekali, pertumbuhan produktivitas sastra Indonesia itu tak diikuti dengan pertumbuhan dan perkembangan krtitik sastra. Sepeninggal “Paus Sastra Indonesia”, H.B. Yassin, kritik sastra Indonesia seakan-akan mandek. Sebetulnya sepeninggalnya Yassin, masih tercatat nama-nama beberapa kritikus, yang paling menonjol adalah Corrie Layun Rampan. Dengan sangat teliti, ia mengikuti berbagai perkembangan dan kemunculan generasi-generasi terbaru kesusastraan Indonesia. Namun, memasuki tahun 2002, ia seakan-akan menghilang dan hanya satu dua tulisannya yang masih muncul di Horizon sedang di media lain nyaris tulisannya tak bisa dijumpai lagi.

Boleh dikatakan, tumbuhnya sastra Indonesia seperti bayi tanpa pengasuh. Banyak sekali karya sastra Indonesia terkini yang sebenarnya berkilauan. Namun, karena kritik sastra yang tak berjalan, sisi-sisi cemerlang itu tak bisa tampak. Memang masih ada beberapa artikel atau esai yang menyoroti dan mengulas beberapa karya sastra di media massa, tapi tulisan-tulisan tersebut hanya “sentuhan-sentuhan” ringan yang hanya sampai permukaannya saja. Barangkali ini disebabkan karena media massa memiliki kolom yang terbatasnya. Celakanya, penerbit-penerbit yang ada jarang bahkan nyaris tak ada yang berani menerbitkan telaah-telaah, kritik-kritik, dan kajian-kajian ilmiah yang mengkritisi sebuah karya sastra.

/3/

Tatkala banyak pihak meneriakkan stagnasi kritik sastra, fakultas-fakultas sastra yang ada di berbagai universitas terkemuka masih menelurkan berbagai skripsi, tesis, dan disertasi yang berisi kajian terhadap karya sastra. Pun, setiap tahun puluhan sarjana-sarjana sastra diluluskan. Akan tetapi dalam perjalanan selanjutnya, sarjana sastra tersebut tak pernah lagi memunculkan telaahan sastra. Telaahan sastra yang ditulisnya agaknya hanya skripsinya yang kini tinggal menjadi onggokan berdebu di perpustakaan kampus yang paling-paling dijadikan ajang mengutip oleh mahasiswa lain yang sedang menyelesaikan skripsinya.

Di sisi lain ada anggapan bahwa telaah-telaah sastra akademis tersebut tidak sesuai dengan konsusmsi media massa dan surat kabar umum, sedangkan di sisi lain majalah-majalah kebudayaan dan majalah-majalah sastra terbatas keberadaannya. Kritik sastra akademis tersebut sering kali dinilai terlalu teknis karena sangat terikat oleh aturan-aturan penulisan ilmiah, cenderung menitikberatkan pada hal-hal yang formal, dan lebih mengedepankan logika dibanding menghadapi sastra sebagai seni sehingga hasilnya dianggap mencabut sastra dari ruhnya.

Di samping kritik sastra akademis, ada kritik sastra nonakademis. Para penulisnya kebanyakan otodidak, tidak secara formal mempelajari teori-teori sastra, pendekatan yang dilakukan lebih bersifaf ekspresif, dan tidak mementingkan metode. Kehadirannya seringkali dikonfrontasikan dengan kritik akademik dengan dianggap subjektif, perkoncoan, bahkan psudo ilmiah yang menyesatkan.

Dengan adanya konfrontasi dua jenis kritik tersebut jelas semakin menghambat perkembangan kritik sastra. Harus disadari bahwa dua macam kritik sastra tersebut memiliki habitat tersendiri yang semestinya bisa saling melengkapi. Yang satu bermain di wilayah jurnal dan majalah-majalah sastra sedang satu yang lain berkembang di wilayah surat kabar dan majalah umum.

/4/

Untuk menumbuhkan tradisi kritik sastra diperlukan masyarakat luas yang apresiatif terhadap karya sastra karena kritik sastra tak hanya untuk bagi sastrawan, tapi juga bagi masyarakat. Persoalannya, masyarakat kita belum menjadi masyarakat pembaca (reading society).

Untuk membangun masyarakat pembaca ini mau tidak mau harus melibatkan dunia pendidikan. Kritik sastra harus diupayakan untuk dikomsumsi oleh para pelajar. Sudah saatnya lembaga-lembaga negara yang mengurus kebudayaan dan bahasa semacam Balai Bahasa, Pusat Pembinaan Bahasa, dinas perbukuaan memikirkan bagaimana buku-buku tentang telaah sastra sampai ke tangan siswa. Sudah saatnya penerbit-penerbit swasta dan negara mulai meluncurkan berbagai telaah sastra. Mereka bisa bekerja sama dengan pihak akademis, kampus misalnya, untuk memburu skripsi, tesis, ataupun disertasi yang dianggap layak diterbitkan sebagai buku. Berbagai telaah sastra nonakademis yang muncul di berbagai media bisa pula diterbitkan sebagai sebuah bunga rampai telaah sastra. Kedua jenis kritik dan telaah ini akan hadir sebagai buku yang saling melengkapi.

Dengan berbagai upaya itu diharapkan kehadiran kritik sastra akan marak. Maraknya kritik sastra pasti akan diikuti dengan maraknya produksi karya sastra yang bermutu sekaligus membuka peluang terciptanya teori-teori baru kesusastraan sehingga tidak menutup peluang di suatu saat kelak kita mempunyai teori sastra yang khas Indonesia. Dan yang lebih penting lagi, dengan kehadiran kritik sastra akan membantu masyarakat luas untuk mengkonsumsi karya sastra sehingga kebutuhan akan sastra semakin meningkat.

* Tjahjono Widarmanto, penyair, tinggal di Ngawi, sedang menyelesaikan studi pascasarjana

Sumber: Lampung Post, Minggu, 25 Juli 2010