Sunday, December 15, 2013

Temu Penyair se-Sumatera Dewan Kesenian Riau: Bermula dari Kesenyapan

-- Fedli Azis

PUISI lahir dari sebuah “kesenyapan” yang sengaja di’bela’ oleh penyair.  Setelah melalui proses tapisan kata-kata dan pengendapan pemikiran makna maka lahirlah kata-kata. Kemudian ianya menjadi isyarat, menjadi bahasa, menjadi tanda dari peristiwa demi peristiwa yang dipotret oleh sang penyair di dalam kehidupan.

Puisi juga diibaratkan sebuah entitas masyarakat yang lahir dari kepala yang beragam. Setiap darinya tentu saja melahirkan kebebasan dan keberagaman identitas. Maka Temu Penyair se-Sumatera menjadi saksi sekaligus tanda dari semua itu.

Panggung Anjung Seni Idrus Tintin didekor dengan setumpuk dekorasi abstrak yang disirami remang lampu aneka warna. Puluhan penyair kemudian membacakan puisi secara bergiliran yang ditelurkan dari pengamatan dan pemikiran mereka sendiri. Kata-kata yang diteriakkan, diucapkan, dilantunkan ibaratkan berlari menuju ke destinasi makna puisi itu sendiri. Kata-kata itu juga menjadi seolah-olah hidup ketika dibacakan dengan berbagai bentuk pilihan tampilan.

“Sepertinya puisi yang dibacakan oleh penyair di Temu Penyair seSumatera memerdekakan diri di atas panggung. Saya mengamini hal itu. Tentu saja ini akan sangat bermanfaat bagi perkembangan khazanah kesusastraan di Sumatera,” ujar salah seorang penyair asal Sumatera Utara, Sartika Sari.

Pembacaan puisi dalam kegiatan Temu Penyair tersebut memberikan corak-ragam yang unik karena menggabungkan beberapa generasi penyair Riau dan Sumatera. Hal ini diakui penyair asal Bengkalis, Musa Ismail. Katanya acara pembacaan puisi tajaan Dewan Kesenian Riau (DKR) tersebut perlu diapresiasi positif. Kegiatan itu baginya membekas secara empiris dan kegiatan serupa ini juga selayaknya mendapat sambutan dari berbagai lapisan masyarakat sebab menurut Musa, seni (sastra) bukanlah sesuatu yang eksklusif. Masyarakat patut peduli dan memiliki resa dan rasa memiliki atau menikmati.

”Kegiatan ini juga akan menjadi ajang pengasah kemampuan dalam seni kepenyairan di Sumatera. Semoga kegiatan seperti ini menjadi suatu momentum yang rutin sehingga Sumatera, khususnya Riau bisa menjadi acuan dalam tradisi kepenyairan atau kesusastraan di Indonesia,” ujar Musa Ismail yang juga guru di SMA Negeri 3 Bengkalis.

Tampil sebagai pembuka malam itu, Ketua Umum DKR, Kazzaini Ks. Penampilan yang juga sekaligus sebagai penanda bahwa acara dengan resmi dibuka. Ia membawakan dua puisi pendek dengan tampilan yang santai dan bersahaja. Sebelumnya, Kazzaini menyebutkan acara temu penyair yang ditaja DKR tahun ini adalah untuk sama-sama bisa bertatap muka antara sesama penyair, bersilaturahmi dan barangkali bersembang tentang apa saja yang mungkin selama ini disibukkan dengan aktivitas masing-masing.

“Saya kira para  penyair identik dengan kesenyapan dan kami berharap dengan acara yang ditaja ini dapat pula memberi ruang atau kesempatan untuk menampilkan karya-karya yang lahir dari kesenyapan tersebut. Membagi pengalaman, pemikiran lewat untaian kata pilihan yang bernama puisi,” ujar Kazzaini.

Selaku Ketua Umum DKR, Kazzaini juga berharap, helat yang ditaja bisa memberikan ruang kepada para penyair muda yang masih energik untuk bersama-sama berada di atas  panggung mengekspresikan karya-karya dengan penyair-penyair lama atau tua dalam konteks umur. “Penyair muda di Riau khususnya, meski tampak tidak ramai tapi dari hasil pengamatan dewan juri dari lomba Laman Cipta Sastra DKR tahun ini, ternyata banyak penulis-penulis muda yang dinilai memiliki potensi untuk diberi ruang dalam proses kreatifnya,” jelas Kazzaini lagi.

Pada penampilan berikutnya, untuk menunjukkan rasa kebersamaan, GP Ade Dharmawi bersama Temul Amsal naik ke atas panggung. Keduanya membacakan puisi secara bergiliran dan bersama-sama. Semangat membacakan sajak-sajak dapat pula terlihat dari penampilan itu. Larik demi larik sajak dibacakan dengan lantang dan ekspresi yang beragam pula.

Puisi bagi GP Ade Dharmawi adalah sebuah warisan bahasa yang mau tidak mau sebagai anak watan Riau harus mempertahankan dan memegang warisan tersebut. Pembacaan puisi  dari penyair-penyair yang tampil malam itu semoleknya juga diapresiasi oleh generasi muda terutama siswa-siswi yang ada di Pekanbaru. Karena menurutnya itu penting, ketika para siswa menyaksikan dan mengapresiasi pembacaan puisi yang beragam dari penyair yang tampil setidaknya akan menjadi pemicu dan pemacu untuk mereka mencintai dan mendekati sastra atau puisi. “ Kalau kita, ya sudah selesai artinya dengan membaca dan mengekspresikan karya kita, tak ada hal lain lagi. Tetapi bagi generasi muda akan menghasilkan dampak yang positif ke depannya. Dan kita memang harus memulainya dari hal-hal yang kecil agar kesusastraan di Riau ini semakin maju dan berkembang,” jelasnya.

Di samping itu, GP Ade Dharmawi juga mengakui, ada aspek silaturahmi dan perjumpaan atas kerinduan dengan kawan-kawan penyair dari acara yang telah ditaja. Menurutnya acara ini perlu dipertahankan bahkan dikembangkan kalau perlu ke tingkat nasional. “Ada keindahan dari perjumpaan bersama kawan-kawan penyair. Kita tidak bertanding, sekedar menonton dan mengapresiasi pembacaan puisi. Syarat dengan bual-bual dan sembang bahkan juga terjadi perbualan yang mendalam terkait dengan penciptaan karya dan apa-apa saja yang telah dihasilkan sepanjang tahun ini,” ucap GP Ade Dharmawi yang juga pelaku teater Riau.

Sementara itu, penyair perempuan dari Sumatera Barat, Fitra Yanti mengatakan undangan yang diterimanya ketika dia masih dirundung pertanyaan untuk apa sesungguhnya puisi ditulis. Karena selama ini, dia melihat banyak sekali puisi setelah ditulis kemudian  hanya tersimpan dan menjadi teks yang mati, tersimpan dalam file komputer, di rak-rak buku yang tidak berbunyi. Padahal menurutnya peristiwa yang membuat puisi ada lahir dari suara manusia demi manusia. Lalu katanya, pantaskah kemudian, setelah ditulis, puisi tidak lagi berbunyi?

Tapi kemudian ketika mendapat undangan membacakan puisi oleh DKR itulah dia menemukan satu jawaban. “Puisi-puisi yang saya tulis harus di’bunyi’kan. Momentum baca puisi yang disediakan DKR adalah salah satu wadahnya,” ucap Yanti panggilan akrabnya.

Fitra Yanti membacakan sebuah puisi yang berjudul “Igau Perempuan Siak. Sebuah puisi yang pernah memenangkan lomba Laman Cipta Sastra DKR 2007. Keinginan membacakan puisi tersebut di Riau diakuinya sudah merupakan sebuah keinginan yang sejak lama terpendam. “Mungkin jika tak sampai tentu saya akan mati penasaran. Tapi untunglah Panitia Temu Sastrawan Se-Sumatera mengundang saya untuk membaca puisi pada acara tersebut. Tentu saja kesempatan ini tidak saya sia-siakan. Sejak dari Padang saya telah mempersiapkan diri untuk membacakan puisi ini, dengan jantung penuh debar. Terimaksih DKR. Boleh dikatakan, puisi yang saya bacakan itu adalah buah apresiasi DKR untuk proses kreatif saya dalam menulis dan membacakan puisi,” jelasnya kemudian.

Tampil juga malam itu, Penyair asal Tanjung Pinang Hoesnizar Hood, Musthamir Thalib, Syaukani al Karim, Tien Marni, Husnu Abadi, Marhalim Zaini, TM Sum, Alvi Puspita, Kunni Masrohanti, Herlela Ningsih, Jefri al Malay, Syafruddin Saleh Sai Gergaji, Fakhrunnas MA Jabbar. Sementara itu, Yoserizal Zen yang semula mengaku tidak bisa ikut membaca karena kondisi stamina tidak fit akhirnya ikut membaca juga karena setelah menyaksikan pembacaan puisi dari para penyair sebelumnya membuat semangatnya bangkit. ”Naik pula emosi ni, melihat kawan-kawan membaca puisi,” katanya singkat.

Salah seorang penyair senior Riau, Fakhrunnas MA Jabbar menyebutkan pertemuan malam itu adalah pertemuan antara penyair dulu dan kini sehingga banyak ragam yang dapat disaksikan. Terkait dengan tema dan isi puisi penyair Riau, sejauh yang diperhatikan selama ini bertemakan jeritan, kesakitan dan keperihan. “Dan puisi yang saya baca malam ini merangkum semua dari yang dulu hingga kini,” ujar Fakhrunnas tersenyum dan langsung membacakan puisinya.

Teater Matan turut pula mewarnai malam Temu Penyair se-Sumatera tersebut. Mereka menggelar sebuah kolaborasi puisi yang diangkat dari sajak Ediruslan Pe Amanriza berjudul “Reformasi”. Dan tak ketinggalan, Matrock feat Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR) yang mementaskan musikalisasi puisi berjudul “Nibung 1”, sebuah sajak karya Rida K Liamsi.(*6) n

Sumber: Riau Pos, Minggu, 15 Desember 2013

No comments: