Sunday, December 01, 2013

[Kolom] Lapar

-- Arie MP Tamba

SIDES Sudyarto adalah penyair fenomenal pada masanya. Dalam catatan Goenawan Mohamad, sebagai buah ”eksperimentasi” Taman Ismail Marzuki (pada 1970-an) selain majalah Horison yang untuk pertama kalinya memperkenalkan puisi-puisi ”membebaskan kata” Sutardji Calzoum Bachri, adalah adanya perkembangan kolaboratif antara sastra, seni rupa, dan seni pertunjukan, di antaranya lewat pembacaan puisi akrobatik Sides Sudyarto yang membawakan puisi ”Lapar” dengan merangkak-rangkak di lantai Teater Arena.

Sides Sudyarto DS lahir di Tegal, Jawa Tengah pada 14 Juli 1942. Sempat kuliah di Fakultas Sastra UI dan Akademi Bahasa Asing di Jakarta. Pernah bekerja sebagai wartawan di Kompas, Media Indonesia, dan beberapa media lainnya. Aktif di berbagai penerbitan dan melakukan pelatihan penulisan dan apresiasi karya sastra ke banyak sekolah di berbagai kota di Indonesia. Sides meninggal di Jakarta pada 9 Oktober 2012.

Sides menghasilkan beberapa kumpulan puisi, di antaranya: Kebatinan (1975), Lapar (1977), Tiang Gantungan (1985); lalu kumpulan cerpen: Salat Lebaran Kawanan Tahanan Politik di Kamp Konsentrasi (2006). Ia juga menulis buku anak-anak dan kumpulan esai tentang filsafat dan pendidikan. Untuk tulisan ini, saya akan membahas beberapa cerpennya.

Cerpen bagi Sides adalah untaian biografis tokoh cerita, dalam periode tertentu, dengan latar belakang sosial-politik yang menyeret bahkan mengorbankannya. Maka, setiap kali para tokoh mengalami petumbuhan karakter atau penegasan sikap secara eksistensial, pastilah berkaitan dengan peristiwa sosial-politik. Sebab, para tokoh memang hidup dekat dengan situasi sosial-politik. Dan bisa diperkirakan, si pengarang sengaja menjadikan cerpennya sebagai media reflektif menyoroti kecenderungan sosial-politik tersebut. Bagaimana tokoh-tokoh (baca: manusia kecil) ternyata jadi ”permainan” nasib karena perubahan politik.

Inilah sebagian gambaran dari pembacaan atas kumpulan cerpen Salat Lebaran di Kamp Konsentrasi... Memuat cerpen-cerpen: Bulan Kian Hitam Matahari Kian Hitam, Surat untuk Orang Mati, Ziarah Maya Kepada Dia, Pelarian, Poliandri, Terdakwa, Salat Lebaran Kawanan Tahanan Politik dalam Sebuah Kamp Konsentrasi, Sang Pemberontak.

Saya akan memperbincangkan cerpen Ziarah Maya Kepada Dia, yang menurut saya paling kuat memperlihatkan tendensi reflektif atas peristiwa sosial politik yang tersimpan di dalam kenangan naratornya. Dan sebagian besar cerpen dalam kumpulan ini, memang lalu-lalang di seputar kenangan narator, entah itu si pengarang langsung atau tidak.

Artinya, ada tendensi membangun kesadaran sejarah dari teks fiksi yang dioperasikan dengan perangkat artistik tertentu. Meski Terdakwa dan Bulan Kian Hitam Matahari Kian Hitam bisa dikatakan menempuh jalur penceritaan berbeda, yang memiliki peluang dibahas sebagai jenis cerita simbolik.

Tersebutlah Ciwa, dalam Ziarah Maya Kepada Dia, seorang pemuda yang kuliah pada 1960-an di Yogyakarta. Pada 1962 ia bertemu dengan Tatiek Hardiningsih, tahun 1964 mereka berpisah. Ciwa, nama yang diambil dari ”kecewa”, terkesan sedang menceritakan masa lalunya. Bagaimana ia dan Tatiek jadi kekasih, dan sama-sama aktivis kiri di kampus yang terbagi-bagi dalam kelompok politik: agama, nasionalis, dan Marxis.

Lalu hubungan mereka berakhir karena alasan sepele, Tatiek memiripkan model rambutnya seperti perempuan Jepang, yang ternyata persoalan serius bagi Ciwa. Ciwa tidak setuju Tatiek memotong rambutnya, karena Ciwa mencintai rambut panjang Tatiek. Akibatnya: Ciwa dan Tatiek putus cinta. Dilanjutkan dengan tindakan Ciwa pulang kampung.

Geger peristiwa 1965 melanda kampus-kampus Yogyakarta. Para mahasiswa kiri ditangkapi termasuk Ciwa yang diadukan Lurah. Ia diinterogasi, ditahan, dan kemudian dilepas setelah 9 bulan menjalani hukuman yang tidak begitu jelas benar-salahnya. Kemudian tergambarlah chaos 1965, ketika orang-orang yang dituduh kiri tiba-tiba diperlakukan sebagai orang asing di lingkungan sendiri, ditolak dalam pergaulan, bahkan dihindari sesama eks tapol.

Yang unik, meski dipaparkan secara tak langsung para simpatisan kiri yang semestinya atheis itu ternyata rajin sholat. Lalu, peristiwa interogasi pun berlangsung antara teman-teman sepermainan yang jadi lawan karena pilihan politik. Ini memperlihatkan bagaimana arah politik mengikat sampai ke tingkat praksis (sosial); namun cair di tingkat individu (rohani, psikologis); sebab seorang kiri toh menunaikan sholat.

Cerpen melanjutkan benang-merah biografi Ciwa. Ditolak di kampung, tak menemukan Tatiek di Yogyakarta karena sudah meninggal dunia, lalu memendam kecewa, ia berangkat ke Jakarta. Hidup sebagai tukang becak dan nyaris mengawini seorang janda tauke kaya. Namun kemudian memilih pergi ke kota lain, masih di Jawa Tengah, kali ini menjumpai Palupi, teman sesama aktivis kiri yang kini melanjutkan hidup sebagai pelacur. Ketika Ciwa melamar, Palupi menolak. Ciwa pun melanjutkan perjalanan. Kita tak pernah tahu ke mana lagi Ciwa menziarahi Tatiek yang dicintainya, namun sudah meninggal dunia itu. Sebab, cerpen berakhir pula.

Sebuah cerpen yang menurut saya digarap penuh perhitungan artistik dan matang secara emosional adalah Salat Lebaran Kawanan Tahanan Politik dalam Sebuah Kamp Konsentrasi. Seorang hukuman yang rajin menulis catatan harian merekam detail berbagai kejadian di kamp tempatnya ditawan. Mulai dari cara bergaul sesama tahanan, para penjaga, dan juga kegiatan seperti menerima kunjungan pembesuk dan saat sholat Idul Fitri yang mengharukan.

Semua dipaparkan jelas. Diselingi dialog dan afirmasi filosofis yang muncul wajar, seperti mempertanyakan dari mana asal manusia dan akan ke mana. Apa makna sejarah dan bagaimana sejarah jadi revolusi. Yang ternyata tak selalu menghasilkan apa yang dicita-citakan dan diperjuangkan bersama. Akibatnya, manusia selalu "lapar". Lapar pertanyaan, lapar jawaban. Lapar Tuhan, lapar kehidupan! n

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 1 Desember 2013

No comments: