Sunday, December 01, 2013

[Tradisi] World Culture Forum (WCF); Peradaban Baru yang Modern

-- Vien Dimyati

Forum ini berharap bisa seperti World Economic Forum di Davos, Swiss dan World Environment Forum di Rio de Janeiro, Brasil.

PAGI itu, Tari Saman Gayo, memecah keheningan ballroom yang diberi nama Mangapura. Tarian tradisional asal Aceh ini sempat membuat takjub para delegasi yang datang dari berbagai negara. Kecepatan tangan, gerakan kepala dan lantunan nyanyian dari wilayah yang disebut “Serambi Mekkah” ini disambut tepuk tangan meriah.

Tidak heran para delegasi terpukau dengan tarian ini, pasalnya tarian ini juga sudah dinobatkan sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO, sebuah organisasi di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengurusi kebudayaan. Tepukan inilah yang menandakan perhelatan international World Culture Forum (WCF) atau Forum Budaya Dunia dimulai. Pembukaan WCF tersebut ditandai dengan pemukulan Kul-Kul diikuti dengan tabuhan Bali oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono.

Bertemakan “Kekuatan Budaya dalam Pembangunan yang Berkelanjutan”, Forum Budaya Dunia yang berlangsung dari 24-27 November 2013, di Bali International Convention Center (BIC), Nusa Dua, Bali ini dihadiri oleh 800 peserta dari 65 negara, termasuk kepala negara, peraih penghargaan Nobel, para menteri kebudayaan, ahli-ahli terkemuka, pembuat kebijakan senior, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), praktisi budaya, dan pemangku kepentingan lainnya.

Dalam sambutannya, Presiden RI menekankan pentingnya untuk menciptakan pengertian akan keberagaman budaya. Dengan keragaman budaya di Indonesia, maka sudah selayaknya bagi Indonesia untuk menjadi penggagas sebuah forum dunia terkait dengan kebudayaan.

Seperti diketahui, saat ini sudah ada ajang World Economic Forum di Davos, Swiss dan World Environment Forum di Rio de Janeiro, Brasil. Presiden yakin ini menjadi momen untuk Indonesia membuat platform saling pengertian dan menghargai keragaman budaya.

"Budaya merupakan komponen penting dalam pembangunan manusia. Forum ini memberikan kesempatan bagaimana budaya membantu pembangunan berkelanjutan," kata SBY.

Pembicara utama WCF dan juga peraih Nobel Ekonomi tahun 1998, Prof. Dr. Amartya Sen sependapat dengan SBY. Menurut Amartya dalam pidatonya, forum internasional tentang dialog budaya seperti Forum Budaya Dunia, sangat penting guna memperoleh wawasan dalam pemahaman satu budaya dibanding lainnya. Menurutnya, memahami perbedaan budaya adalah salah satu cara untuk memperkuat kemampuan mengerti perbedaan agar hidup damai satu sama lain, dibandingkan dengan penggunaan kekerasan.

Ia menambahkan bahwa forum ini sangat penting untuk memfasilitasi apresiasi semua orang terhadap keragaman budaya. Seperti forum WCF juga sangat efektif untuk menggantikan konfrontasi dengan dialog dan pembicaraan.

Juga hadir sebagai pembicara utama, Dr. Fareed Zakaria, jurnalis dan komentator ternama dunia, penulis banyak buku, pembawa acara andalan stasiun televisi CNN tentang masalah luar negeri, menambahkan budaya adalah pilar yang sangat penting yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi.

“Budaya itu sangat cepat, sangat besar dan sangat kompleks. Tapi anda bisa menemukan elemen kunci sukses dalam budaya. Kalau anda mencari etos kerja, anda dapat menemukannya, dan jika kamu menemukan sumber-sumber keberhasilan ekonomi, anda dapat menemukan elemen budaya juga,” katanya.

Tentu saja, budaya berbeda tertentu merefleksikan performa ekonomi tertentu. Fareed menyebutkan bahwa kesalahpahaman tentang budaya dapat menimbulkan halangan dalam perkembangan ekonomi. “Meskipun begitu, dengan pemahaman satu sama lain yang kuat, budaya dapat memainkan peran penting dalam pembangunan yang berkelanjutan.”

Wakil Menteri Kebudayaan, Wiendu Nuryanti mengatakan Indonesia menjadi laboratorium kebudayaan. Indonesia sebagai tuan rumah WCF sangat tepat untuk untuk melakukan diversifikasi budaya. Indonesia menunjukan laboratorium hidup yang eksis. Sebagai negara yang berkembang, sehingga perkembangan yang terjadi di Indonesia mempengaruhi banyak negara di dunia.

"Otomatis kita akan menjadi pengaruh kuat dari dunia yang mengalami perubahan paradigma. Karena saat ini paradigma ekonomi dan politik berkonsentrasi pada lokal," kata Wiendu.

Menurutnya, WCF menawarkan perubahan pembangunan yang mengedepankan budaya modern tapi tidak western, kebarat-baratan. Seperti diketahui, tampaknya berbagai belahan dunia saat ini tak lepas dari proses maupun ekses modernisasi. Modernisasi telah membuat wajah dunia dan kehidupan manusia benar-benar berbeda dari abad-abad sebelumnya. Melalui WCF, budaya akan dibangkitkan kembali.

Dalam penutupan WCF, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, M. Nuh, menyatakan, WCF sepakat menjadikan Budaya sebagai penggerak pembangunan. WCF menghasilkan 10 butir janji Bali yang menempatkan budaya sebagai penggerak, faktor pencipta kemampuan, dan pemerkaya keberlanjutan pembangunan. Janji itu menyerukan setiap negara berkomitmen mengintegrasikan budaya dalam agenda pembangunan berkelanjutan selepas 2015.

"Komitmen ini akan segera nyata dalam perubahan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan yang menjadi prioritas utama mengingat posisinya strategis dan sistematis. Melalui pendidikan, budaya diharapkan mampu memanusiakan manusia Indonesia," kata M. Nuh.

Adapun janji Bali tersebut menyerukan negara peserta perlu mengintegrasikan budaya dalam agenda tujuan pembangunan milenium (MDGs) pasca 2015. "Budaya menjadi pemandu, membuat segala sesuatu menjadi mungkin dan memperkaya pembangunan berkelanjutan," kata Shireen Mohammad Aziz dari Irak saat membacakan janji tersebut.

Selain itu, janji Bali juga memuat agar dimensi budaya diintegrasikan dalam semua tujuan pembangunan berkelanjutan dengan mengedepankan beberapa aspek. Aspek itu antara lain, mengembangkan kerangka kerja yang etis dengan melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan, serta mendukung berbagai model partisipasi untuk menyebarluaskan demokrasi kebudayaan dan inklusi sosial.

Negara peserta sepakat memperkuat kepemilikan komunitas dan masyarakat madani dalam menyelesaikan proyek pembangunan berkelanjutan, membangun kapasitas dalam urusan pengarustamaan gender, serta mewujudkan stabilitas dalam pembangunan sosial, politik, dan ekonomi untuk memelihara budaya damai di tingkat lokal ataupun international.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 1 Desember 2013

No comments: