-- Bandung Mawardi*
DUNIA suntuk dengan kata. Lakon-lakon hidup mendapati dalil dan legitimasi dengan kata. Orang pun mafhum dengan ungkapan klasik: Pada mulanya adalah kata.
Kesibukan mengurusi kata membuat manusia merasa memiliki dilema untuk memberi iman dan amin.Kata bisa menghidupkan dan mematikan. Kata jadi dalil untuk tatanan hidup harmonis, tapi mungkin menjadi dalil untuk kerusakan dan perang. Orang lalu bosan dengan kata dalam penciptaan makna melalui ranah politik, ekonomi, filsafat, etika, atau agama.Kebosanan itu tak sanggup membuat manusia lari dari kata. Mungkinkah manusia menengok kembali pada angka? Kata mungkin telah membuat manusia trauma atau sekarat. Ikhtiar mengurusi angka jadi taktik lain untuk memerkarakan hidup biar tak gemuk oleh kata.
Dunia pun terbentuk dari angka. Pemahaman ini muncul dalam jejak historis peradaban dan agama: Yunani, India,Arab, Cina, Islam, Kristen, dan Yahudi.Kultur angka menjadi lembaran dari alur dan arus kehidupan.Angka memiliki posisi penting sebagai representasi dan realisasi dari kemungkinan- kemungkinan kehadiran dan kehilangan. Angka pun jadi konstruksi teologis, filosofis, politis, estetis, dan etis.Kesanggupan mengurusi kata adalah bukti manusia sanggup menjadi manusia.
Biografi Angka
Annemarie Schimmel dalam The Mistery of Numbers (2006) dengan reflektif mengajukan khazanah pengetahuan dan tradisi angka dalam lakon peradaban manusia. Angka menjadi ruh dan spirit dalam jejaring kehidupan mulai dari yang sakral ke yang profan. Simbolisme angka menjelma sebagai pengetahuan esoterik untuk melakukan pengingatan atau pembayangan terhadap masa depan nasib manusia.
A n g k a a d a l a h pertaruhan nasib d e n g a n kerimbunan rasionalitas dan misteri. Rasionalitas terhadap angka memunculkan ilmu matematika. Phytagoras menjadi pokok dan tokoh pemula. Misteri angka menjadi pengetahuan dengan sebutan numerologi dengan selubung-selubung simbolisme untuk ditafsirkan tanpa usai. Tradisi pengetahuan simbolisme angka pada abad pertengahan memunculkan sekte-sekte teologis. Otoritas untuk menafsirkan angka jadi alasan ketegangan atas nama klaim-klaim kesahihan, kebenaran, dan keselamatan.
Pengetahuan angka pun memunculkan tradisi astrologi dengan pembenaran- pembenaran antara rasionalitas dan magis.Peran penting angka pada masa itu membuat Isidore membuat ungkapan konklutif: Tolle numerum omnibus rebus et omnia pereunt (Ambillah segala sesuatu angka-angkanya dan semua bakal binasa). Ungkapan ini jadi tanda kompleksitas tafsir angka dalam lakon kehidupan manusia.
Angka dalam tafsir teologis memiliki pengaruh kuat dalam keimanan orang untuk melakukan sakralisasi angka dengan ritual atau absorpsi secara lahir dan batin. Penafsiran teologis pun dalam peradaban dan doktrin agama berbeda bisa mem u n - culkan kerent a n a n u n t u k konflik. A n g k a dengan tafsir suci bisa menjelma dalil untuk menciptakan tuduhan-tuduhan dengan tendensi agama dan p e r a n g . Angka adalah acuan dari keharmonisan dan kekacauan. Unsur konstruktif dan destruktif mengalami dialektika dalam tafsir dan realisasi manusia dalam konteks agama sampai politik.
Angka Nol
Pengetahuan angka adalah permainan tafsir dan otoritas. Charless Seife dalam Biografi Angka Nol(2008) mendedahkan kemungkinan- kemungkinan mengejutkan dari pengetahuan angka untuk membaca kritis sejarah peradaban manusia. Seife percaya bahwa angka nol adalah kisah kuno sejak awal kemunculan matematika sebelum manusia sanggup dan suntuk dengan laku membaca dan menulis.
Sejarah angka nol jadi penentu kehidupan manusia meski pada zaman-zaman lanjutan ada tendensi untuk memusuhi, membenci, menolak, membantah, atau mengabaikan angka nol. Inilah ungkapan provokatif dari sejarah angka: “Nol berada tepat di jantung perselisihan antara Barat dan Timur. Nol adalah pusat pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan.” Nol? Schimmel menjelaskan bahwa dalam sumber-sumber sejarah India pada abad 6 SM menyebut nol sebagai shunya: kekosongan yang mengisi jarak di antara angka-angka.
Sejarah itu menemukan lanjutan oleh studi para sarjana Arab untuk penciptaan sistem angka dan memperkenalkan pada dunia Barat. Angka nol lalu diterima dalam pelbagai peradaban meski tak sepi dari konflik. Nol dalam tradisi Arab disebut sifr menjadi ziffer dalam bahasa Jerman lalu menjadi zero dalam bahasa Inggris. Angka nol dalam sejarah Jerman abad XV dikatakan sebagai umbre et encombre: gelap dan terhalang. Angka nol sanggup membuat manusia kerepotan.
Kesanggupan mengurusi angka nol jadi cara manusia untuk mengimani hidup dengan kemunculan ilmu matematika dan fisika. Ilmu itu dibarengi dengan keimanan teologis terhadap angka dengan misteri,mistisisme, magis, dan sakralisasi. Benturan ilmu dan agama pun susah dihindari dengan mengusung klaimklaim kebenaran secara absolut dan relatif. Sejarah angka nol itu jadi bukti bahwa keimanan dan pemaknaan terhadap angka menjadi penentu nasib manusia.
Angka itu penting dan tak mungkin diabaikan selama manusia sadar atas ilmu pengetahuan dan tradisi teologis. Peran penting angka juga tampak dari sejarah angka-angka dalam konteks agama dan ilmu.Angka-angka tertentu dalam agama (Islam,Kristen, Yahudi) menjadi simbol dari iman. Makna dari angka-angka adalah makna untuk mengimani Tuhan,sadar diri,dan sadar kosmis. Angka memiliki tuah dalam prosesi agama meski kadang berseberangan dengan rasionalitas.
Tuah Angka
Dan Brown dalam The Da Vinci Code memberikan ilustrasi menarik tentang tuah angka dalam sejarah teologi dan proses pertumbuhan peradaban di Barat. Novel ini jadi pengingat terhadap sejarah angka dan pembuka misterimisteri dalam agama dan ilmu pengetahuan. Fragmen kematian Jacques Sauniere meninggalkan pesan angka-angka misterius pada Robert Langdon: 13-3-2-21-1-1-1-8- 5.
Deretan angka ini jadi misteri untuk dipecahkan dalam konflikkonflik dengan pertaruhan nyawa. Misteri angka adalah misteri manusia. Misteri itu membuat pembaca khusyuk merampungkan The Da Vinci Codedengan ketegangan dan kejutan-kejutan. Hal itu membuat pembaca mafhum dengan maksud penerbit untuk terjemahan ke bahasa Indonesia melalui ungkapan: “Memukau nalar.Mengguncang iman!” Misteri angka dalam novel itu berbeda jauh dengan misteri angka dalam lakon Indonesia hari ini.
Tuah angka menjadi dalil ampuh untuk lakon kekuasaan dan ekonomi.Publik repot dan linglung oleh pemaknaan angka secara politis dan manipulasi-manipulasi angka untuk pamrih ekonomi kapitalisme. Angka telah jadi momok untuk menundukkan orang dalam jerat-jerat politik dan ekonomi global.(*)
* Bandung Mawardi, Peneliti Kabut Institut dan Koordinator Ngudarasa Sastra di Balai Soedjatmoko Solo
Sumber: Seputar Indonesia, Sabtu, 27 June 2009
Sunday, June 28, 2009
Filosofis Kekuasaan dalam Fiksi Epik yang Eksotik

Penulis : Sinta Yudisia
Penerbit : PT Lingkar Pena Kreativa
Cetakan : I/Desember 2008
Tebal : 586 hlm.
DALAM kata pengantar buku Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern, Maman S. Mahayana mengungkapkan bahwa dalam konteks kehidupan berbangsa, selayaknya jika para novelis atau sastrawan pada umumnya ditempatkan sebagai "pejuang moral". Dengan keluasan wawasan, mereka--para novelis tersebut--berjuang terus demi mengangkat moral bangsa dan harkat manusia. Aspek pesan moral yang ingin disampaikan novelis lewat karyanya adalah kontribusi yang dimaksudkan tersebut.
Pada khazanah kesusastraan Indonesia, cukup banyak karya novel yang begitu sarat pesan moral khususnya pada periode awal perkembangan sastra. Sebut saja novel Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar yang ditempatkan sebagai novel pertama kesusastraan Indonesia modern. Meski pada perkembangan selanjutnya, muncul pula novel yang hanya mementingkan sisi estetika tanpa atau sedikit sekali unsur etika. Atau bahkan cenderung "seronok".
Padahal, sebagaimana diakui umum, novel (sastra) sebagai bahan bacaan cukup memengaruhi pemikiraan, sikap dan pola hidup pembaca secara masif. Nah, pada peran pejuang moral inilah novel epik Sinta Yudisia berjudul The Road to The Empire: Kisah Takudar Khan, Pengeran Muslim Pewaris Mongol, patut diletakkan. Meski secara setting tersurat sang pengarang mengambil wilayah Mongolia untuk menghidupkan tokoh-tokohnya tapi refleksinya dapat diangkat pada latar ke-Indonesia-an. Terlebih dengan situasi kekinian menjelang pesta demokrasi di republik ini.
Sebuah perjalanan panjang sekaligus alur memikat yang dirangkai sang pengarang harus dilalui Takudar, sang tokoh utama. Ia adalah pangeran kesatu dari 3 putra Tuqluq Timur Khan, penguasa imperium Mongolia, keturunan Jenghiz Khan. Menurut aturan kerajaan dan keinginan sang ayah, Takudar lah yang menjadi pewaris takhta berikutnya. Akan tetapi, sebagaimana kekuasaan dengan semua kenikmatannya tentu mengundang keinginan banyak pihak menguasainya. Dengan strategi politik yang berorientasi tujuan, mengenyampingkan cara mencapainya, mengalir berbagai konflik fisik dan batin para tokoh.
Orang-orang yang sebelumnya menjadi keluarga, sahabat, teman, nyatanya menjadi orang asing dan berada pada posisi melawannya. Takhta kerajaan dikuasai Arghun, adik keduanya, setelah kedua orang tua mereka dibunuh oleh pihak yang tak pernah jelas terungkap kasusnya.
Sesungguhnya, bukan karena tak memperoleh kedudukan sebagai raja yang menjadikan Takudar menjadi pengasingan dan memulai hidup berbeda. Tetapi bayangan kehancuran negeri leluhurnya adalah hal tersulit yang harus diperbaikinya. Penguasa ternyata tidak lagi mengayomi rakyat. Upeti ditarik begitu tinggi, sementara kesejahteraan hidup penduduk tidak diperhatikan. Pejabat terus berpesta pora dan menghabiskan kas negara. Kerusakan moral hampir merambah seluruh pejabat kerajaan. Dan puncaknya, penderitaan rakyat yang kian menyedihkan justru ditanggapi dengan rencana besar untuk terus melakukan ekspansi. Dengan alasan mengangkat kejayaan dan kebesaran imperium Mongol, penyerbuan ke semua penjuru mata angin dilakukan.
Tidak ada pilihan lain bagi Takudar selain melakukan perlawanan. Sebentuk jiwa kesatria diungkap pengarang pada perjuangan merebut kembali takhta kerajaan. Dan pada bagian inilah kekuatan novel The Road to The Empire hingga menjadikannya peraih IKAPI-IBF Award 2009 kategori fiksi dewasa terbaik.
Kemampuan Sinta untuk menyentak emosi pembaca sangat terbantu dengan diksi yang sangat indah tetapi tegas. Juga pemaparan detail perasaan masing-masing tokoh dalam tiap konflik. Kendati demikian, kehadiran cukup banyak tokoh pendamping menjadi sedikit kelemahan novel sejarah ini karena menyebabkan kesulitan pembaca mengingat semua tokoh. Belum lagi nama masing-masing tokoh sulit diingat. Juga pada ending, pengarang terlewat untuk menjelaskan kelanjutan nasib mereka. Sebagai sebuah karya sastra, The Road to The Empire telah berhasil menjadi media bercermin bagi setiap pembacanya. Merenungi kembali dan berupaya memperbaiki diri atas nilai filosofis kehidupan. Kekuasaan yang seolah menjadi kue mahal yang diperebutkan sejatinya hanyalah amanah yang begitu berat dijalankan. Saya pikir akan sangat baik novel The Road to The Empire direkomendasikan bagi para elite politik dan penguasa negeri ini.
Umi Laila Sari, pembaca sastra
Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 Juni 2009
Esai: Menjadi Penyair dari Catatan Harian
-- Dahta Gautama
KARENA keintensitasan menulis puisi, kemudian memublikasikan puisi-puisinya di sejumlah media massa atau kemudian membukukan puisi-puisinya, seseorang yang sebelumnya bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa tiba-tiba dipredikati sebagai penyair.
Apakah semudah itu untuk menjadi penyair? Tentu tidak. Menjadi penyair, mengambil istilah sastrawan Isbedy Stiawan Z.S., melalui proses panjang yang berdarah-darah.
Kepada saya, Isbedy Stiawan Z.S. pernah mengatakan awalnya ia hobi membaca cerita-cerita silat Kho Ping Ho, ketika menunggu warung rokok milik ibunya. Kemudian ia tertarik dengan permainan kata-kata yang dicipta sedemikian dahsyat dalam novel silat itu. Di lain waktu, ketika ia duduk di bangku SMA, ia mulai menulis beberapa kalimat sederhana.
Hal itu hampir setiap hari ia lakukan, kalau mau dikata, mungkin, semua unek-unek yang ada di hatinya ia tulis. Kemudian jadilah bait-bait puisi. Beberapa tahun kemudian puisi-puisi itu menghantarkannya menjadi penyair.
Hal yang sama juga saya alami. Saya bingung juga menjawab pertanyaan-pertanyaan, peneliti dari Kantor Bahasa Lampung (tiga tahun lalu). Peneliti ini menanyakan bagaimana, kok saya memilih untuk menjadi penyair (sastrawan) dan bagaimana memulai proses kreatif saya sebagai penyair?
Saya bingung harus menjelaskan dengan memulai dari peristiwa yang mana. Yang saya ingat, kali pertama saya tertarik pada puisi ketika saya duduk di bangku kelas dua SMP. Ketika itu, Senin pagi, saya enggan ikut upacara bendera, yang memang rutin dilakukan di setiap sekolah. Saya takut ditunjuk oleh wali kelas menjadi petugas pengerek bendera atau membacakan teks Pancasila.
Perasaan enggan saya pun berasalan, karena saya malu. Sebab sepatu milik saya sudah robek dan butut. Di luar pagar sekolah, di lembar buku tulis agak tebal (buku catatan harian), saya menulis: Seandainya ayah bisa membelikan aku sepatu. Hari ini aku pasti bisa ikut upacara. Tapi, kata ibu, ayah tak punya uang. Oh, matahari.. sampaikan kepada Tuhan, beri ayahku uang.
Baiklah, apa yang saya sampaikan tentang proses kreatif Isbedy Stiawan Z.S. dan saya hanya sebagai instrumentalia saja. Saya menegaskan, bahwa berpuisi (menulis puisi) bisa dimulai dari membuat catatan harian.
Sunyi, kegelisahan, perasaan tertarik dengan teman satu sekolah atau bahkan guru yang galak. Biasanya kerab ditulis para remaja dalam catatan buku hariannya. Saya pernah mencuri membaca buku harian keponakan yang masih duduk di bangku kelas dua SMA. Bila saya kutip, begini bunyinya: Pagi ini gerimis. Entahlah, langit tiba-tiba bocor. Aku ingin berenang bersama embus angin. Dingin. Tapi hatiku sunyi. Hari ini aku tak ke mana-mana. Karena rasa manusiaku seperti terkurung di ruang gelap tak berlampu.
Saya dibuat terkejut-kejut oleh buku harian remaja terkini, yang saya kira cuma kenal popcorn dan mal-mal. Yang ditulis keponakan saya dalam buku hariannya itu mengingatkan saya pada penyair perempuan Jerman, Else Lasker-Schuler. Else lahir pada 1869, keturunan Yahudi. Ia tertarik pada sastra ketika duduk di sekolah menengah pertama. Tetapi yang perlu diketahui, ia pun memulai karier kepenyairannya dari menulis catatan-catatan ringan di buku hariannya yang selalu ia bawa di dalam tas kecilnya.
Salah satu catatan hariannya, yang kemudian menjadi puisi yang membawa namanya menjadi penyair perempuan terkemuka adalah puisi Kiamat. Mari kita simak: Terdengar rintihan di dunia. Seolah tuhan sudah mati. Dan bayangan kelam yang jatuh itu. Menjadi beban berat bagaikan kuburan. Mari, kita bersembunyi rapat. Kehidupan bersandar dalam jiwa kita. Bagaikan dalam peti mati.
Else Lasker menulis catatan harian ini (kemudian menjadi puisi) ketika Hitler merebut kekuasaan di Jerman berikut dengan perangkat kekejamannya. Ia menggambarkan bagaimana suasana hatinya ketika itu, saat Hitler membunuh lawan-lawan politiknya. Ia mengibaratkan hidup di bawah pemerintahan Hitler, bagaikan berada dalam peti mati.
Penyair-penyair terkemuka dari Indonesia memulai kariernya dari catatan harian antara lain Diah Hadaning, Subagio Sastrowardoyo, Sitor Situmorang dan masih banyak lagi. Kita juga mengenal sastrawan dunia Anton Chekhov, Ernest Hemingway, T.S. Eliot, Henrich Boll, Guenter Grass juga sastrawan Karibia peraih nobel sastra Derek Walcott.
Pergulatan dan Ketekunan
Totalitas dalam bersastra semacam meniti jalan panjang yang meletihkan. Seorang penyair terkemuka, tak pernah bisa ujug-ujug menulis puisi kemudian puisinya bisa langsung dimuat di majalah sastra atau koran-koran yang ada lembar budayanya. Pertimbangan seorang redaktur sastra tentunya sangat objektif. Diperlukan ketekunan dan kesabaran. Bakat saja tidak cukup. Karena tentunya, seorang sastrawan (penyair) harus memiliki wawasan yang luas cakupannya. Oleh karena itu harus banyak membaca sebagai referensi yang diperlukan sebagai sarana perbandingan.
Bersastra bukan membuka lahan, melainkan menciptakan dan menggarap dunia baru. Saya kira bagi penulis pemula yang ingin menceburkan diri ke dalam dunia sastra, tidak menjadikan sastra sebagai sarana untuk populer. Kepopuleran adalah imbas dari ketekukan kita. Ketenaran adalah imbas dari pergulatan yang panjang dalam bersastra. Dan ingat kepopuleran dan nama besar tidak pernah bisa diraih, ketika seorang merasa bahwa ia sudah menulis karya sastra bagus. Karena puisi "bagus" sesungguhnya sulit di definisikan. Ketika dihadapkan kepada khalayak sastra terkini, saya kira puisi Kiamat Else Lasker, yang begitu populer di zamannya, menjadi puisi yang sangat sederhana ketika kini kita membacanya kembali.
Dalam tulisan ini saya kembali ingin menegaskan, bahwa berpuisi (menjadi penyair) bisa dimulai dari hal-hal ringan, yakni dari menulis catatan di buku harian. Namun ada hal lain yang saya kira, sama-sama kita setujui, bahwa untuk menjadi penyair (sastrawan terkemuka) tidak mungkin cuma berasyik masyuk dengan tidak melakukan inovasi. Sebab, inovasi dan pembaruan juga berlaku dalam sastra, bukan hanya di dunia iptek. Semisal, karena yang dibaca cuma puisi-puisi Subagio Sastrowardoyo dan kebetulan karena mengidolakannya.
Maka konstruksi bahasa dalam puisi yang ditulis, ya diupayakan dibuat menyerupai puisi Subagio. Tentu teori referensi berlaku bagi semua sastrawan. Bahkan sekelas Chairil Anwar dan Sitor Situmorang. Bahkan kita dibuat bingung ketika membaca puisi-puisi W.S. Rendra, kita serasa membaca puisi-puisi Lorca.
Namun kita pun harus mengakui, dalam puisi-puisi W.S. Rendra memiliki ruh. Berkonstruksi bahasa yang kuat meski kesannya menyerupai puisi-puisi Lorca. Itu karena W.S. Rendra melakukan pembaruan dan inovasi dalam puisi-puisinya.
Pada suatu kesempatan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta dalam perhelatan Cakrawala Sastra Indonesia (2005), saya sempat berbincang-bincang dengan cerpenis Ahmad Tohari. Pembicaraan kami, seputar puisi yang ditulis para siswa di lembar Kaki Langit majalah sastra Horison, ketika saya bilang puisi-puisi para siswa sepertinya dimulai dari catatan buku harian. Konstruksi bahasanya sederhana, ngalir dan kadang mengejutkan juga terkesan tiba-tiba meradang.
Ahmad Tohari berkomentar, "Mereka menulis puisi karena gelisah. Dan itu ciri catatan harian. Ungkapan-ungkapan yang ingin mengadu dan berpasrah diri tetapi juga memberontak."
* Dahta Gautama, penyair, tinggal di Bandar Lampung.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 Juni 2009
KARENA keintensitasan menulis puisi, kemudian memublikasikan puisi-puisinya di sejumlah media massa atau kemudian membukukan puisi-puisinya, seseorang yang sebelumnya bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa tiba-tiba dipredikati sebagai penyair.
Apakah semudah itu untuk menjadi penyair? Tentu tidak. Menjadi penyair, mengambil istilah sastrawan Isbedy Stiawan Z.S., melalui proses panjang yang berdarah-darah.
Kepada saya, Isbedy Stiawan Z.S. pernah mengatakan awalnya ia hobi membaca cerita-cerita silat Kho Ping Ho, ketika menunggu warung rokok milik ibunya. Kemudian ia tertarik dengan permainan kata-kata yang dicipta sedemikian dahsyat dalam novel silat itu. Di lain waktu, ketika ia duduk di bangku SMA, ia mulai menulis beberapa kalimat sederhana.
Hal itu hampir setiap hari ia lakukan, kalau mau dikata, mungkin, semua unek-unek yang ada di hatinya ia tulis. Kemudian jadilah bait-bait puisi. Beberapa tahun kemudian puisi-puisi itu menghantarkannya menjadi penyair.
Hal yang sama juga saya alami. Saya bingung juga menjawab pertanyaan-pertanyaan, peneliti dari Kantor Bahasa Lampung (tiga tahun lalu). Peneliti ini menanyakan bagaimana, kok saya memilih untuk menjadi penyair (sastrawan) dan bagaimana memulai proses kreatif saya sebagai penyair?
Saya bingung harus menjelaskan dengan memulai dari peristiwa yang mana. Yang saya ingat, kali pertama saya tertarik pada puisi ketika saya duduk di bangku kelas dua SMP. Ketika itu, Senin pagi, saya enggan ikut upacara bendera, yang memang rutin dilakukan di setiap sekolah. Saya takut ditunjuk oleh wali kelas menjadi petugas pengerek bendera atau membacakan teks Pancasila.
Perasaan enggan saya pun berasalan, karena saya malu. Sebab sepatu milik saya sudah robek dan butut. Di luar pagar sekolah, di lembar buku tulis agak tebal (buku catatan harian), saya menulis: Seandainya ayah bisa membelikan aku sepatu. Hari ini aku pasti bisa ikut upacara. Tapi, kata ibu, ayah tak punya uang. Oh, matahari.. sampaikan kepada Tuhan, beri ayahku uang.
Baiklah, apa yang saya sampaikan tentang proses kreatif Isbedy Stiawan Z.S. dan saya hanya sebagai instrumentalia saja. Saya menegaskan, bahwa berpuisi (menulis puisi) bisa dimulai dari membuat catatan harian.
Sunyi, kegelisahan, perasaan tertarik dengan teman satu sekolah atau bahkan guru yang galak. Biasanya kerab ditulis para remaja dalam catatan buku hariannya. Saya pernah mencuri membaca buku harian keponakan yang masih duduk di bangku kelas dua SMA. Bila saya kutip, begini bunyinya: Pagi ini gerimis. Entahlah, langit tiba-tiba bocor. Aku ingin berenang bersama embus angin. Dingin. Tapi hatiku sunyi. Hari ini aku tak ke mana-mana. Karena rasa manusiaku seperti terkurung di ruang gelap tak berlampu.
Saya dibuat terkejut-kejut oleh buku harian remaja terkini, yang saya kira cuma kenal popcorn dan mal-mal. Yang ditulis keponakan saya dalam buku hariannya itu mengingatkan saya pada penyair perempuan Jerman, Else Lasker-Schuler. Else lahir pada 1869, keturunan Yahudi. Ia tertarik pada sastra ketika duduk di sekolah menengah pertama. Tetapi yang perlu diketahui, ia pun memulai karier kepenyairannya dari menulis catatan-catatan ringan di buku hariannya yang selalu ia bawa di dalam tas kecilnya.
Salah satu catatan hariannya, yang kemudian menjadi puisi yang membawa namanya menjadi penyair perempuan terkemuka adalah puisi Kiamat. Mari kita simak: Terdengar rintihan di dunia. Seolah tuhan sudah mati. Dan bayangan kelam yang jatuh itu. Menjadi beban berat bagaikan kuburan. Mari, kita bersembunyi rapat. Kehidupan bersandar dalam jiwa kita. Bagaikan dalam peti mati.
Else Lasker menulis catatan harian ini (kemudian menjadi puisi) ketika Hitler merebut kekuasaan di Jerman berikut dengan perangkat kekejamannya. Ia menggambarkan bagaimana suasana hatinya ketika itu, saat Hitler membunuh lawan-lawan politiknya. Ia mengibaratkan hidup di bawah pemerintahan Hitler, bagaikan berada dalam peti mati.
Penyair-penyair terkemuka dari Indonesia memulai kariernya dari catatan harian antara lain Diah Hadaning, Subagio Sastrowardoyo, Sitor Situmorang dan masih banyak lagi. Kita juga mengenal sastrawan dunia Anton Chekhov, Ernest Hemingway, T.S. Eliot, Henrich Boll, Guenter Grass juga sastrawan Karibia peraih nobel sastra Derek Walcott.
Pergulatan dan Ketekunan
Totalitas dalam bersastra semacam meniti jalan panjang yang meletihkan. Seorang penyair terkemuka, tak pernah bisa ujug-ujug menulis puisi kemudian puisinya bisa langsung dimuat di majalah sastra atau koran-koran yang ada lembar budayanya. Pertimbangan seorang redaktur sastra tentunya sangat objektif. Diperlukan ketekunan dan kesabaran. Bakat saja tidak cukup. Karena tentunya, seorang sastrawan (penyair) harus memiliki wawasan yang luas cakupannya. Oleh karena itu harus banyak membaca sebagai referensi yang diperlukan sebagai sarana perbandingan.
Bersastra bukan membuka lahan, melainkan menciptakan dan menggarap dunia baru. Saya kira bagi penulis pemula yang ingin menceburkan diri ke dalam dunia sastra, tidak menjadikan sastra sebagai sarana untuk populer. Kepopuleran adalah imbas dari ketekukan kita. Ketenaran adalah imbas dari pergulatan yang panjang dalam bersastra. Dan ingat kepopuleran dan nama besar tidak pernah bisa diraih, ketika seorang merasa bahwa ia sudah menulis karya sastra bagus. Karena puisi "bagus" sesungguhnya sulit di definisikan. Ketika dihadapkan kepada khalayak sastra terkini, saya kira puisi Kiamat Else Lasker, yang begitu populer di zamannya, menjadi puisi yang sangat sederhana ketika kini kita membacanya kembali.
Dalam tulisan ini saya kembali ingin menegaskan, bahwa berpuisi (menjadi penyair) bisa dimulai dari hal-hal ringan, yakni dari menulis catatan di buku harian. Namun ada hal lain yang saya kira, sama-sama kita setujui, bahwa untuk menjadi penyair (sastrawan terkemuka) tidak mungkin cuma berasyik masyuk dengan tidak melakukan inovasi. Sebab, inovasi dan pembaruan juga berlaku dalam sastra, bukan hanya di dunia iptek. Semisal, karena yang dibaca cuma puisi-puisi Subagio Sastrowardoyo dan kebetulan karena mengidolakannya.
Maka konstruksi bahasa dalam puisi yang ditulis, ya diupayakan dibuat menyerupai puisi Subagio. Tentu teori referensi berlaku bagi semua sastrawan. Bahkan sekelas Chairil Anwar dan Sitor Situmorang. Bahkan kita dibuat bingung ketika membaca puisi-puisi W.S. Rendra, kita serasa membaca puisi-puisi Lorca.
Namun kita pun harus mengakui, dalam puisi-puisi W.S. Rendra memiliki ruh. Berkonstruksi bahasa yang kuat meski kesannya menyerupai puisi-puisi Lorca. Itu karena W.S. Rendra melakukan pembaruan dan inovasi dalam puisi-puisinya.
Pada suatu kesempatan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta dalam perhelatan Cakrawala Sastra Indonesia (2005), saya sempat berbincang-bincang dengan cerpenis Ahmad Tohari. Pembicaraan kami, seputar puisi yang ditulis para siswa di lembar Kaki Langit majalah sastra Horison, ketika saya bilang puisi-puisi para siswa sepertinya dimulai dari catatan buku harian. Konstruksi bahasanya sederhana, ngalir dan kadang mengejutkan juga terkesan tiba-tiba meradang.
Ahmad Tohari berkomentar, "Mereka menulis puisi karena gelisah. Dan itu ciri catatan harian. Ungkapan-ungkapan yang ingin mengadu dan berpasrah diri tetapi juga memberontak."
* Dahta Gautama, penyair, tinggal di Bandar Lampung.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 Juni 2009
Subscribe to:
Posts (Atom)