-- Teguh Setiawan
Secara politik, gagasan Melayu Raya telah musnah ketika Soekarno mendengungkan Ganyang Malaysia.
KETIKA 1879 Parlemen Hawaii di Honolulu membahas kemungkinan penyatuan Dunia Melayu-Polinesia, penduduk Melayu di Semenanjung Malaya hanya terbengong-bengong mendengar kata politik. Sepuluh tahun kemudian, ketika Apolinaro Mabini mendeklarasi kan Federation Malaya, orang Malaysia sama sekali belum menyadari hak-hak politiknya.
Mabini bukan orang pertama yang mendeklarasikan penyatuan Melayu. Sebelumnya, Jose Rizal—pahlawan kemerdekaan Filipina—mengemukakan gagasan Melayu Raya. Ia mencetuskan Revolusi Filipina dalam novel Noli Me Tangere dan mengidamkan masyarakat Melayu di Asia Tenggara bersatu mengusir penjajah Spanyol, Inggris, dan Belanda.
Seruan Rizal menerpa dinding tebal kolonialisme; tidak didengar orang Melayu di Semenanjung Malaysia atau di wilayah lain di Asia Tenggara, sampai dia menemui ajalnya di depan regu tembak Spanyol. Ketidakpedulian masyarakat Melayu terhadap seruan Rizal kerap menjadi subjek bahasan menarik.
Salah satunya, Rizal bukan Melayu. Ia lahir dari keluarga Tionghoa-Mestizo. Nama keluarganya adalah Lam-co, yang diubah menjadi Mercado (pasar)—untuk mengidentifikasi leluhur mereka yang pedagang. Rizal penganut Katolik meski aktif menyerang para rahib Ordo Dominikan di Filipina yang menguasai Hacienda.
Di sisi lain, Melayu—di semenanjung atau kawasan lain di Asia Tenggara, termasuk di Filipina—mengidentifikasi diri dengan Islam. Rizal dianggap tidak bisa mengidentifikasi diri dengan Melayu karena bukan Islam. Penghargaan orang Melayu terhadap Rizal relatif baru muncul belakangan dengan pemberian sejumlah gelar; Kebanggaan Ras Melayu, Tokoh Besar Malaya, dan masih banyak lagi.
Gagasan Rizal tentang Melayu Raya tetap hidup sampai dekade ketiga abad ke-20. Wenceslao Q Vinsons, seorang mahasiswa Filipina, mendengungkan kembali Melayu Raya pada 1932. Pada saat yang sama, di Hindia-Belanda, Mohamad Yamin juga mengemukakan obsesi Melayu Raya atau Indonesia Raya.
Dunia Melayu
Yang dimaksud Dunia Melayu bukanlah wilayah di kedua sisi Selat Malaka, Sarawak, Brunei, dan Sabah. Dunia Me la yu, secara etnografis dan historiografis, men cakup Indonesia minus NTT, Maluku, dan Pa pua, Malaysia keseluruhan, Pattani di Thailand bagian selatan, Filipina, ba gi an selatan Vietnam, dan Kamboja—atau bekas Kerajaan Champa, dan Sri Lanka. Secara etnografis, Melayu terbagi menjadi dua: proto (tua) dan deutro (muda). Di Indonesia, proto Melayu mencakup suku-suku Dayak, Minahasa, Toraja, Nias, dan Batak. Di Malaysia terdapat Orang Asli atau Semai.
Di Filipina, kristenisasi oleh Spanyol membuat orang Melayu di Luzon—salah satu pulau terbesar di Filipina—mele paskan diri dari identifikasi masyarakat besarnya. Di Mindanao, penolakan terhadap kris tenisasi melahirkan masyarakat—yang oleh Spanyol disebut Moro dengan beragam subetnisnya, salah satunya Tausug, serta sejumlah penduduk asli Mindanao non-Muslim yang disebut Lumad.
Irwan Setiawan, dalam Dunia Melayu dalam Dialektika Kebudayaan Nusantara, membagi Melayu yang terikat kepada adat dan Islam ke dalam dua kelompok besar: Melayu sinkretis dan sintetis. Orang Jawa, Madura, dan Sunda adalah Melayu sinkretis. Mereka merasa seolah bukan bagian Melayu, kendati secara etnografik dekat dengan Melayu.
Di luar Jawa dan Madura, terdapat Melayu sintetis. Mereka tidak hanya terdapat di Sumatra dan Kalimantan, tetapi juga sampai ke Semenanjung Malaya atau Malaysia. Meski polarisasi ini tidak selamanya benar, fakta memperlihatkan itulah yang memisahkan dunia Melayu saat ini.
Malaysia seolah representasi Melayu sintetis. Indonesia, akibat dominasi Jawa di dalam pemerintahan, memperlihatkan sosoknya sebagai Melayu sinkretis. Malay sia menggunakan nilai-nilai Islam dalam pembangunan sistem politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Indonesia mengikuti kehendak budaya sinkretisme, pluralistis, inklusif, dan liberal.
Sebagai Melayu sinkretis, Jawa relatif sendirian, sedangkan Melayu sintetis tersebar mulai ujung Pulau Sumatra, Semenanjung Malaysia, Kalimantan, Sulawesi, dan sebagian Pulau Mindanao di Filipina, serta dari Cochin China—domain Kerajaan Champa—sampai Pattani, wilayah buffer bagi Siam.
Melayu Raya
Perbedaan budaya melahirkan orientasi politik yang berbeda pula. Lebih dari 40 tahun setelah Mabini dan Rizal mendengungkan Federasi Melayu, Abdul Ha di Hassan—seorang guru sejarah dari Sultan Idris Training College for Malay Teachers—mengemukakan gagasan serupa. Seperti Rizal dan Mabini, Hassan menggunakan pendekatan etnografi dan historiografi, serta peran kolonial memecah belah dunia Melayu.
Menurut Hassan, Hindia-Belanda yang dimaksud adalah Pulau Jawa dan sebagian Suamtra—Borneo, Malaya jajahan Inggris, plus Singapura di dalamnya, serta Kalimantan Utara adalah tanahtanah yang dipersatukan oleh kerajaan besar, Sriwijaya dan Majapahit. Belanda dan Inggris memisahkan wilayah ini, menurut kepentingan masing-masing, melalui Traktat London 1824.
Dalam traktat disebutkan, Belanda me nye rahkan semua yang dimilikinya di wi layah India, benteng di Malaka, tidak mem buka kantor di Semenanjung Melayu, me narik diri dari Singapura. Inggris meminta akses perdagangan ke Kepulauan Ma luku, terutama Ambon, Banda, dan Ternate.
Inggris juga menyerahkan pariknya di Bengkulu dan seluruh kepemilikan atas Pulau Sumatra kepada Belanda, serta tidak mendirikan perwakilan atau membuat perjanjian dengan penguasa lokal.
Inggris juga tidak mendirikan kantorkantor perwakilan di Karimun, Batam, Bintan, Lingin, dan pulau-pulau yang di sebelah selatan Singapura atau membuat perjanjian dengan penguasa lokal. Intinya, Traktat London membagi Tanah Melayu menjadi dua dengan batas ala mi nya Selat Malaka. Sedangkan, di Ka limantan, Inggris relatif mempertahankan penguasaannya di Serawak, Sabah yang disewa dari Kesultanan Sulu.
Inggris relatif tidak tertarik menjarah tanah-tanah kesultanan Melayu di sepanjang pantai utara Kalimantan, yang membuat Kesultanan Sambas, Mempawah, dan Pontianak, relatif menikmati kemerdekaannya pada awal abad ke-19. Namun, setelah orang Hakka masuk ke Sam bas, Mempawah, dan Pontianak untuk menambang emas, Belanda menginvasi ketiganya dan mendirikan pos-pos dagang.
Pada saat bersamaan, di Pulau Jawa, Syarikat Islam menebar benih nasionalisme di kalangan anggotanya. Sebagai akibat politik etis Belanda, kalangan terdidik juga mulai menyuarakan nasionalisme. Bentuk yang paling nyata adalah Sumpah Pemuda 1928.
Di Semenanjung Malaya, Melayu Raya yang disuarakan Abdul Hadi Hassan relatif diterima hanya sebagai gagasan, tidak menjadi semangat yang menggerakkan masyarakatnya untuk membentuk gerakan politik terorganisasi sampai sebelum Perang Dunia II.
Tidak sulit memahami semua ini. Konsep Ketuanan Melayu atau hegemoni Melayu sama sekali tidak relevan karena saat itu etnis Melayu bukan mayoritas. Cina dan India, yang berjumlah lebih dari setengah penduduk Semenanjung Malaya, mengidentifikasi diri sebagai non-Melayu.
Namun, fakta lain menunjukkan, gagasan kebangsaan Melayu telah ada di Malaysia sejak 1900, yaitu ketika sekelompok sarjana Islam asal Malaysia mempublikasikan artikel-artikel yang menyuarakan nasionalisme. Sedangkan, gerakan terorganisasi kebangsaan Melayu sebenarnya telah ada sejak 1938 atau ketika Ibrahim Yaacob mendirikan Kesatuan Melayu Muda tahun 1938.
Ketika Jepang menginvasi Asia, pewaris gagasan Melayu Raya—di Indonesia atau di Malaysia—menyambut Saudara Tua, demikian Jepang menyebut dirinya, sebagai kekuatan yang akan mempersatukan tanah-tanah Melayu. Pemimpinpemimpin Melayu, mulai dari Buya Hamka, Soekarno, sampai yang berada di Semenanjung Malaya, mendukung Jepang.
Asumsi para pemimpin tidak keliru. Jepang mendepak Belanda dari Jawa dan wilayah-wilayah jajahannya di Indonesia, mengusir Inggris dari Semenanjung Melayu, dan mempersatukan semua wilayah. Jepang menjadikan pembentukan Melayu Raya menjadi sangat mungkin.
Sepanjang pendudukan Jepang, Ibrahim Yaacob dan Dr Burhanuddin Al-Hemy aktif menjalin kerja sama dengan Jepang. Soekarno dan Hatta juga melakukan hal serupa. Dalam perjalanan pulang dari Dalat, Vietnam—usai bertemu Marsekal Terauchi—Soekarno dan Hatta singgah di Bandara Taiping. Kedua nya bertemu Ibrahim Yaakob dan terlibat pembicaraan soal penyatuan Semenanjung Melayu dengan Indonesia yang akan diberi kemerdekaan oleh Jepang.
Keduanya bersalaman dan seolah telah tercapai kesepakatan. Padahal, keduanya menyimpan perbedaan. Yaacob tetap pada gagasan Melayu Raya karena menganggap semua suku di Nusantara—kecuali Papua, NTT, dan Ambon—rumpun Melayu. Soekarno lebih menyukai Indonesia Raya karena Melayu di Indonesia adalah salah satu etnis kecil, sama dengan Bugis, Batak, atau lainnya.
Sebagai konsep geopolitik, Indonesia Raya dan Melayu Raya relatif berbeda. In do nesia Raya versi Soekarno lebih merupakan Hindia-Belanda versi Van Heutz, plus Ambon dan Papua. Melayu Raya adalah wilayah jajahan Inggris di Asia Tenggara, Hindia-Belanda, dan Pattani.
Akhir Melayu Raya
Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, pemimpin Indonesia menggunakan situasi vaccum power untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Di Malaysia, Ibrahim Yaacob tidak sempat melakukannya. Ia bahkan harus lari ke Jakarta ketika Inggris kembali ke Malaysia untuk berkuasa kembali. Yaacob menjadi buronan karena kerja samanya dengan Jepang.
Cita-citanya mati. Yaacob sepenuhnya bekerja untuk kemerdekaan Indonesia sampai akhir hayatnya. Ia melewati masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Di Malaysia, Melayu terlibat masalah nya sendiri. Mereka harus menghadapi Partai Komunis Cina yang keluar hutan untuk mengambil alih kekuasaan setelah kekalahan Jepang.
Alih-alih berniat memerdekakan diri dari Inggris, Melayu justru dimanfaatkan sang penjajah untuk menghadapi Partai Komunis Malaysia. Padahal, Inggris meng gunakan Partai Komunis Malaysia sebagai kelompok perlawanan untuk meng ganggu Jepang di Semenanjung Malaya dan Singapura.
Sebagai gagasan, Melayu Raya tam paknya belum mati. Ini terlihat ketika Malaysia, Filipina, dan Indonesia mendi ri kan Mafilindo tahun 1963. Pemimpin ketiga negara meneken Deklarasi Manila dengan tekad menyatukan Filipina, Indonesia, dan Malaysia ke dalam satu negara Melayu.
Diosdado Macapagal, presiden Filipina saat itu, mengajak pemimpin ketiga negara mengenang para pemimpin yang memperjuangkan gagasan Melayu Raya, mulai dari Jose Rizal, Manuel Quezon, Wenceslao Vinzons, sampai Elpidio Quirino.
Seperti Ibrahim Yaacob, Macapagal juga harus mengakhiri mimpinya melihat Melayu Raya. Mafilindo gagal total setelah Soekarno menyebut Malaysia negeri bentukan imperialis Inggris. Tahun-tahun setelah Soekarno mengobarkan Dwikora, justru diwarnai slogan Ganyang Malaysia. Melayu Raya sebagai gagasan geo poli tik Melayu kembali sirna.
Namun, apakah gagasan Melayu Raya benar-benar musnah? Bergantung dari mana kita melihatnya. Melayu Raya sebagai gagasan penyatuan budaya bisa saja, tapi tidak sebagai penyatuan politik.
Namun, segalanya menjadi lebih sulit lagi karena Melayu di Semenanjung—berkat kegigihan mengatasi dominasi ekonomi Cina—relatif lebih maju dibanding saudara mereka di seberang (maksudnya Indonesia). Tidak ada lagi kesamaan sebangsa saudara serumpun yang terjajah. Yang ada adalah saudara serumpun yang dipisahkan oleh ketimpangan ekonomi.
Sumber: Republika, Rabu, 02 November 2011
Wednesday, November 02, 2011
[Teraju] Rivalitas Melayu dan Kehendak Penjajah
-- Teguh Setiawan
Masyarakat Melayu cenderung menyempal, bukan menyatu.
DALAM salah satu makalahnya, Maman S Mahayana menulis dunia Melayu adalah wilayah budaya yang dihuni kelompok etnik pengusung budaya Melayu. Wilayah itu tersebar di lima negra Asia Tenggara, Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Brunei Darussalam.
Di Malaysia, Melayu menyebut diri sebagai bangsa. Di Indonesia, Melayu diartikan dengan sempit, yaitu salah satu etnis. Pengertian lebih sempit lagi adalah etnis yang menggunakan Bahasa Melayu. Hal serupa juga terjadi di Filipina, Singapura, dan Thailand.
Sebagai etnis, Melayu mengidentifikasi diri sesuai wilayah tinggal; Melayu Deli, Melayu Pontianak, Melayu Sambas, Melayu Bugis, dan lainnya. Ketika Republika melakukan perjalanan ke Mindanao, orang Basilan mengidentifikasi diri sebagai Tausug. Di Jolo (baca: holo), penduduk setempat menyebut diri Melayu Jolo. Begitu pula di Maguindanao dan pulau-pulau lain di sekitar Mindanao.
Identifikasi ini menjadi penting untuk menarik garis jelas antara pendu -duk Melayu dan pendatang Katolik da ri Luzon, serta komunitas asli non-Mus lim atau orang Igorot. Melayu, di mana pun, mengidentifikasi diri dengan Islam.
Di Indonesia, pengertian Melayu yang sempit digunakan Belanda untuk menarik garis etnis yang tegas. Bahkan, di Sumatra relatif tidak lagi digunakan dalam penyebutan orang Aceh, Padang, Palembang. Di Sumatra, Melayu seolah hanya mereka yang berada di Jambi, Riau, serta sedikit di Deli (baca Melayu Deli). Di Kalimantan, Melayu terkonsentrasi di Sambas, Pontianak, Mempawah, dan Banjarmasin.
Sejarah memperlihatkan wilayah yang saat ini diidentifikasi sebagai Dunia Melayu pernah dipersatukan oleh Sriwijaya tahun 600-an sampai 1100-an. Namun, dalam peta yang dilansir Wikipedia.org, wilayah Sriwijaya hanya mencakup sepanjang pantai utara Sumatra, Semenanjung Malaya, dan sebagian besar Pulau Jawa.
Lebih seratus tahun setelah Sriwijaya hancur, Majapahit mempersatukan wilayah di luar Pulau Jawa, yang disebut Nusantara, yang meliputi seluruh Sumatra, Jawa (kecuali Jawa Barat), hampir sekujur pantai Kalimantan, sebagian Sulawesi, Ambon, sedikit Papua, dan hampir seluruh Semenanjung Malaya saat ini. Setelah Majapahit runtuh dan Islam masuk ke Asia Tenggara, tidak ada lagi penyatuan tanah-tanah Melayu.
Melayu tidak memiliki kerjaan Islam yang kuat dan memiliki potensi untuk menyatukan. Bahkan, tanah Melayu yang telah menjadi Islam terpecah-pecah ke dalam banyak kesultanan. Kesultanan Melaka, yang merupakan penerus Sriwijaya, hanya menguasai setengah Semenanjung Malaya, Riau, Batam, Bintan, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Setelah diserang Portugis, Melaka terpecah menjadi beberapa kesultanan.
Orang-orang Melayu lainnya mendirikan kesultanan di Kalimantan; Sambas dan Pontianak. Orang Bugis-Melayu merebut Mempawah dari tangan orang Dayak dan menjadikannya Kerajaan Islam.Tidak ada yang tahu berapa jumlah kesultanan yang didirikan orang Melayu di Sumatra, Semenanjung Malaya, dan Kalimantan. Pengamat sejarah Melayu akan selalu dibuat tertegun oleh adanya bukti sejarah bahwa di daerah tertentu pernah berdiri kerajaan.
Di Belitung, misalnya, pernah berdiri Kerajaan Balok. Ian Sancin, novelis asal Belitung, memaparkan fakta ini sebagai setting novel Yin Galema. Kerajaan Balok tak tercatat dalam buku-buku sejarah. Peninggalan kesultanan itu tidak terlalu banyak sehingga sulit dipelajari.
Di Sumatra Timur terdapat sejumlah kesultanan yang didirikan orang Melayu; Langkat Darul Aman, Deli Darul Maimon, Serdang Darul Arif, dan Asahan. Mereka adalah negara berdaulat, sistem kenegaraan yang mapan dengan masyarakat yang menjadi tuan di tanahnya.
Meski sesama Melayu, tidak ada upa ya kesultanan di Sumatera Timur untuk membentuk perserikatan. Tidak ada tokoh pemersatu. Tidak pula salah satu kesultanan memiliki keunggulan militer sehingga mampu mengobarkan perang penyatuan. Yang terjadi adalah para sultan saling bersaing.
Kesultanan-kesultanan itu, di mana pun di tanah Melayu, muncul sebagai akibat gerakan separatisme. Ketika dipercaya Sultan Aceh menjadi wakil di bekas Kesultanan Haru—yang baru saja ditaklukan—di daerah Sungai Lalang Percut, Muhammad Dalik mendirikan Kesultanan Deli pada 1630. Ia meninggal pada 1653 dan digantikan putranya, Tuanku Panglima Perunggit.
Pada 1669, Perunggit mengumum kan Kesultanan Deli melepaskan diri da ri Kesultanan Aceh. Pada 1720 terjadi pertentangan di dalam istana, yang ke mudian melahirkan Kesultanan Serdang. Hal yang sama juga terjadi pada pembentukan kesultanan-kesultanan Melayu di Semenanjung Malaya dan Kalimantan. Pertentangan di dalam istana dan pembangkanan kerap melahirkan kerajaan-kerajaan baru yang relatif kecil. Begitu seterusnya sampai orang Melayu menjadi punya banyak kesultanan.
Tanah yang kaya
Setelah Traktat London 1824, Belanda leluasa menjalankan politik kolonialnya di Sumatra Timur. Mereka tahu Sumatra Timur adalah tanah subur untuk produk pertanian bernilai ekspor dan mereka berupaya menguasainya. Situasi politik—persaingan antara Kesultanan Deli dan Aceh—dimanfaatkan Belanda dengan baik. Sepanjang kurun waktu 1820 sampai 1860-an, Deli beberapa kali dianeksasi Aceh. Beberapa kali Deli menyatakan melepaskan diri.
Kehadiran Belanda di Sumatra Timur di penghujung 1850-an dimanfaatkan Kesultanan Deli untuk benarbenar lepas dari Aceh. Politik diplomasi Melayu Deli dimulai. Sultan Deli membujuk Belanda agar menyerahkan tanah Deli. Sharif Ismail, Sultan Siak Indrapura, menyerahkan Tanah Deli ke Belanda pada 1858. Belanda mengembalikannya ke Sultan Deli. Tiga tahun kemudian, Kesultanan Deli—sekali lagi dalam kurun waktu 50 tahun—lepas dari pengaruh Aceh. Bahkan, Kesultanan Deli menjadi negara merdeka.
Sebagai negara merdeka, Kesultanan Deli memiliki hak melakukan apa saja terhadap wilayahnya, termasuk menyewakan kepada pekebun Belanda. Jacobus Nienhuys adalah pekebun yang kali pertama datang.
Ia diberi tanah 4.000 bau dengan sewa 20 tahun. Di atas tanah sewa itu, Nienhuys memperkenalkan budi daya tembakau. Sukses Nienhuys menyita perhatian pengusaha mancanegara. Pengusaha Tionghoa dari Penang berdatangan dan mem buka perkebunan, bukan hanya tembakau, tapi juga kopi serta produk eksport lainnya. Kesultanan Deli menjadi kaya dari sewa tanah dan berbagai pajak.
Tjong A Fie kelak menjadi kapten Tionghoa Medan, membangun impe -rium bisnisnya dengan membuka 21 perkebunan. Ia melampaui pencapaian orang-orang Belanda hanya dalam waktu beberapa tahun dan dikenang sebagai pendiri kota Medan.
Perkebunan adalah usaha padat karya. Pemilik kebun membutuhkan banyak tenaga kerja yang tidak mungkin bisa diperoleh dari Kesultanan Deli. Untuk mengatasi semua ini, pekebun mendatangkan tenaga kerja dari luar Sumatra. Nienhuys mendatangkan tenaga kerja Tionghoa dari Singapura, orang-orang India bagian selatan, atau langsung dari Swatow, daratan Cina. Ia juga mengapalkan tenaga kerja dari kota-kota di Jawa; Surabaya, Semarang, dan Bagelan.
Menurut Anthony Reid, pada 1884 terdapat 21 ribu buruh Tionghoa dan 1.771 orang Jawa. Pada 1900, sehu -bung an pembukaan perkebunan karet dan kopi, jumlah buruk membengkak menjadi 58 ribu Tionghoa dan 25 ribu Jawa. Enam belas tahun kemudian, populasi buruh Jawa dan Tionghoa berubah. Jawa mendominasi dengan jumlah 150 ribu, Tionghoa hanya 43 ribu. Pada tahun-tahun berikutnya, buruh dari Jawa terus bertambah dan Tionghoa menyusut. Sedangkan buruh India relatif tidak mengalami pertumbuhan signifikan sejak 1884. Jumlah terbanyak buruh India hanya terjadi pada 1900, yaitu mencapai 2.400 orang. Pada 1929, orang India di perkebunan tinggal seribu orang saja.
Tidak ada yang tahu berapa populasi Melayu di Kesultanan Deli, Serdang, Langkat, dan Asahan saat itu. Yang pasti, Jawa telah mendominasi secara jumlah dan Tionghoa mendominasi secara ekonomi sejak kedatangan Tjong A Fie dan pembentukan kota Medan. Alih-alih berusaha menjadi tuan di negeri sendiri, Melayu terus terasing. Puncaknya adalah ketika Indonesia merdeka dan Kesultanan Deli tidak punya pilihan selain menjadi bagian Republik Indonesia.
Rivalitas di Kalimantan
Rivalitas antarsultan Melayu juga terjadi di Kalimantan sepanjang abad ke-18 sampai abad akhir abad ke-19. Persaingan dimulai ketika ditemukan cadangan emas. Opu Daeng Manambung, sultan Mempawah saat itu, memutuskan mendatangkan penambang Hakka dari Cina daratan pada 1740. Sultan Mempawah menikmati kekayaan dari pajak konsesi yang dibayarkang kongsi-kongsi pertambangan orang Hakka. Kesultanan Sambas tergiur. Sepuluh tahun kemudian, Sultan Abubakar Kamaluddin ikutan mendatangkan orang-orang Hakka untuk mengelola pertambahan di Saminis, Montrado, dan Lara.
Awalnya tidak terjadi apa-apa. Kesultanan Mempawah dan Sambas menerima bagi hasil pertambangan. Namun, ketika penambang Hakka terus berdatangan dan melebihi populasi penduduk lokal, persoalan terjadi. Kong sikongsi pertambangan yang dibangun menuruh garis asal atau pemujaan saling berperang memperebutkan daerah konsesi.
Perang menghasilkan kongsi terkuat yang membangkang terhadap sultan dengan menolak memberikan hasil pertambangan. Kesultanan Landak relatif tidak menikmati rezeki dari emas dan gagal melihat potensi wilayahnya. Adalah Syarif Abdurrahman al-Qadri, pendatang dari Arab, yang mengetahuinya. Ia mendirikan Pontianak dan mengangkat diri sebagai sultan pertama. Padahal, Pontianak masuk wilayah Kesultanan Landak. Pada saat sama, dua kongsi pertambangan masyarakat Hakka telah berubah menjadi negara dalam negara.
Kongsi Lan Fang diberi otonomi khusus seluas-luasnya. Mereka memiliki sistem pemerintahan sendiri, dengan bendera, pasukan, kepolisian, sistem pemilu, dan sistem peradilan. Kongsi lainnya, Thai Kong, juga menikmati status sama. Tak heran jika seorang peneliti Belanda menyebut Lan Fang da Thai Kong sebagai negara berbentuk republik. Kongsi-kongsi ini berada di tengah persaingan antarsultan. Mereka netral dan—sesuai sifat asli orang Tionghoa— hanya menunggu pemenang persaing -an. Namun, semua ini berubah ketika Belanda datang.
Kesultanan Pontianak meminta bantuan Belanda untuk menganeksasi. Mereka sukses. Tatkala Belanda meminta konsesi yang kelola orang Hakka, Sultan Pontianak tidak bisa berbuat apa-apa. Belanda menyerang kedua kongsi itu dan mengusir orang Hakka. Sampai 1945, Pontianak adalah sekutu Belanda. Sultan Hamid II, penguasa Kesultanan Pontianak sampai 1978, adalah Mayjen KNIL.
Ironisnya, penyatuan tanah-tanah Melayu meski hanya di Semenanjung Malaya, Serawak, dan Sabah dilakukan oleh Inggris, bukan oleh orang Melayu. Itu membuktikan orang Melayu tidak pernah memiliki pemimpin yang melingkupi dan mampu menjadi pemersatu. Sebagian dari mereka melihat sosok itu pada diri Soekarno, tapi sebagian lainnya tidak. Kuasa kolonial tidak menghendaki hal itu. Rivalitas antar-Melayu juga tidak memungkinkan terjadinya penyatuan, meski mungkin hanya bersifat budaya.
Sumber: Republika, Rabu, 02 November 2011
Masyarakat Melayu cenderung menyempal, bukan menyatu.
DALAM salah satu makalahnya, Maman S Mahayana menulis dunia Melayu adalah wilayah budaya yang dihuni kelompok etnik pengusung budaya Melayu. Wilayah itu tersebar di lima negra Asia Tenggara, Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Brunei Darussalam.
Di Malaysia, Melayu menyebut diri sebagai bangsa. Di Indonesia, Melayu diartikan dengan sempit, yaitu salah satu etnis. Pengertian lebih sempit lagi adalah etnis yang menggunakan Bahasa Melayu. Hal serupa juga terjadi di Filipina, Singapura, dan Thailand.
Sebagai etnis, Melayu mengidentifikasi diri sesuai wilayah tinggal; Melayu Deli, Melayu Pontianak, Melayu Sambas, Melayu Bugis, dan lainnya. Ketika Republika melakukan perjalanan ke Mindanao, orang Basilan mengidentifikasi diri sebagai Tausug. Di Jolo (baca: holo), penduduk setempat menyebut diri Melayu Jolo. Begitu pula di Maguindanao dan pulau-pulau lain di sekitar Mindanao.
Identifikasi ini menjadi penting untuk menarik garis jelas antara pendu -duk Melayu dan pendatang Katolik da ri Luzon, serta komunitas asli non-Mus lim atau orang Igorot. Melayu, di mana pun, mengidentifikasi diri dengan Islam.
Di Indonesia, pengertian Melayu yang sempit digunakan Belanda untuk menarik garis etnis yang tegas. Bahkan, di Sumatra relatif tidak lagi digunakan dalam penyebutan orang Aceh, Padang, Palembang. Di Sumatra, Melayu seolah hanya mereka yang berada di Jambi, Riau, serta sedikit di Deli (baca Melayu Deli). Di Kalimantan, Melayu terkonsentrasi di Sambas, Pontianak, Mempawah, dan Banjarmasin.
Sejarah memperlihatkan wilayah yang saat ini diidentifikasi sebagai Dunia Melayu pernah dipersatukan oleh Sriwijaya tahun 600-an sampai 1100-an. Namun, dalam peta yang dilansir Wikipedia.org, wilayah Sriwijaya hanya mencakup sepanjang pantai utara Sumatra, Semenanjung Malaya, dan sebagian besar Pulau Jawa.
Lebih seratus tahun setelah Sriwijaya hancur, Majapahit mempersatukan wilayah di luar Pulau Jawa, yang disebut Nusantara, yang meliputi seluruh Sumatra, Jawa (kecuali Jawa Barat), hampir sekujur pantai Kalimantan, sebagian Sulawesi, Ambon, sedikit Papua, dan hampir seluruh Semenanjung Malaya saat ini. Setelah Majapahit runtuh dan Islam masuk ke Asia Tenggara, tidak ada lagi penyatuan tanah-tanah Melayu.
Melayu tidak memiliki kerjaan Islam yang kuat dan memiliki potensi untuk menyatukan. Bahkan, tanah Melayu yang telah menjadi Islam terpecah-pecah ke dalam banyak kesultanan. Kesultanan Melaka, yang merupakan penerus Sriwijaya, hanya menguasai setengah Semenanjung Malaya, Riau, Batam, Bintan, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Setelah diserang Portugis, Melaka terpecah menjadi beberapa kesultanan.
Orang-orang Melayu lainnya mendirikan kesultanan di Kalimantan; Sambas dan Pontianak. Orang Bugis-Melayu merebut Mempawah dari tangan orang Dayak dan menjadikannya Kerajaan Islam.Tidak ada yang tahu berapa jumlah kesultanan yang didirikan orang Melayu di Sumatra, Semenanjung Malaya, dan Kalimantan. Pengamat sejarah Melayu akan selalu dibuat tertegun oleh adanya bukti sejarah bahwa di daerah tertentu pernah berdiri kerajaan.
Di Belitung, misalnya, pernah berdiri Kerajaan Balok. Ian Sancin, novelis asal Belitung, memaparkan fakta ini sebagai setting novel Yin Galema. Kerajaan Balok tak tercatat dalam buku-buku sejarah. Peninggalan kesultanan itu tidak terlalu banyak sehingga sulit dipelajari.
Di Sumatra Timur terdapat sejumlah kesultanan yang didirikan orang Melayu; Langkat Darul Aman, Deli Darul Maimon, Serdang Darul Arif, dan Asahan. Mereka adalah negara berdaulat, sistem kenegaraan yang mapan dengan masyarakat yang menjadi tuan di tanahnya.
Meski sesama Melayu, tidak ada upa ya kesultanan di Sumatera Timur untuk membentuk perserikatan. Tidak ada tokoh pemersatu. Tidak pula salah satu kesultanan memiliki keunggulan militer sehingga mampu mengobarkan perang penyatuan. Yang terjadi adalah para sultan saling bersaing.
Kesultanan-kesultanan itu, di mana pun di tanah Melayu, muncul sebagai akibat gerakan separatisme. Ketika dipercaya Sultan Aceh menjadi wakil di bekas Kesultanan Haru—yang baru saja ditaklukan—di daerah Sungai Lalang Percut, Muhammad Dalik mendirikan Kesultanan Deli pada 1630. Ia meninggal pada 1653 dan digantikan putranya, Tuanku Panglima Perunggit.
Pada 1669, Perunggit mengumum kan Kesultanan Deli melepaskan diri da ri Kesultanan Aceh. Pada 1720 terjadi pertentangan di dalam istana, yang ke mudian melahirkan Kesultanan Serdang. Hal yang sama juga terjadi pada pembentukan kesultanan-kesultanan Melayu di Semenanjung Malaya dan Kalimantan. Pertentangan di dalam istana dan pembangkanan kerap melahirkan kerajaan-kerajaan baru yang relatif kecil. Begitu seterusnya sampai orang Melayu menjadi punya banyak kesultanan.
Tanah yang kaya
Setelah Traktat London 1824, Belanda leluasa menjalankan politik kolonialnya di Sumatra Timur. Mereka tahu Sumatra Timur adalah tanah subur untuk produk pertanian bernilai ekspor dan mereka berupaya menguasainya. Situasi politik—persaingan antara Kesultanan Deli dan Aceh—dimanfaatkan Belanda dengan baik. Sepanjang kurun waktu 1820 sampai 1860-an, Deli beberapa kali dianeksasi Aceh. Beberapa kali Deli menyatakan melepaskan diri.
Kehadiran Belanda di Sumatra Timur di penghujung 1850-an dimanfaatkan Kesultanan Deli untuk benarbenar lepas dari Aceh. Politik diplomasi Melayu Deli dimulai. Sultan Deli membujuk Belanda agar menyerahkan tanah Deli. Sharif Ismail, Sultan Siak Indrapura, menyerahkan Tanah Deli ke Belanda pada 1858. Belanda mengembalikannya ke Sultan Deli. Tiga tahun kemudian, Kesultanan Deli—sekali lagi dalam kurun waktu 50 tahun—lepas dari pengaruh Aceh. Bahkan, Kesultanan Deli menjadi negara merdeka.
Sebagai negara merdeka, Kesultanan Deli memiliki hak melakukan apa saja terhadap wilayahnya, termasuk menyewakan kepada pekebun Belanda. Jacobus Nienhuys adalah pekebun yang kali pertama datang.
Ia diberi tanah 4.000 bau dengan sewa 20 tahun. Di atas tanah sewa itu, Nienhuys memperkenalkan budi daya tembakau. Sukses Nienhuys menyita perhatian pengusaha mancanegara. Pengusaha Tionghoa dari Penang berdatangan dan mem buka perkebunan, bukan hanya tembakau, tapi juga kopi serta produk eksport lainnya. Kesultanan Deli menjadi kaya dari sewa tanah dan berbagai pajak.
Tjong A Fie kelak menjadi kapten Tionghoa Medan, membangun impe -rium bisnisnya dengan membuka 21 perkebunan. Ia melampaui pencapaian orang-orang Belanda hanya dalam waktu beberapa tahun dan dikenang sebagai pendiri kota Medan.
Perkebunan adalah usaha padat karya. Pemilik kebun membutuhkan banyak tenaga kerja yang tidak mungkin bisa diperoleh dari Kesultanan Deli. Untuk mengatasi semua ini, pekebun mendatangkan tenaga kerja dari luar Sumatra. Nienhuys mendatangkan tenaga kerja Tionghoa dari Singapura, orang-orang India bagian selatan, atau langsung dari Swatow, daratan Cina. Ia juga mengapalkan tenaga kerja dari kota-kota di Jawa; Surabaya, Semarang, dan Bagelan.
Menurut Anthony Reid, pada 1884 terdapat 21 ribu buruh Tionghoa dan 1.771 orang Jawa. Pada 1900, sehu -bung an pembukaan perkebunan karet dan kopi, jumlah buruk membengkak menjadi 58 ribu Tionghoa dan 25 ribu Jawa. Enam belas tahun kemudian, populasi buruh Jawa dan Tionghoa berubah. Jawa mendominasi dengan jumlah 150 ribu, Tionghoa hanya 43 ribu. Pada tahun-tahun berikutnya, buruh dari Jawa terus bertambah dan Tionghoa menyusut. Sedangkan buruh India relatif tidak mengalami pertumbuhan signifikan sejak 1884. Jumlah terbanyak buruh India hanya terjadi pada 1900, yaitu mencapai 2.400 orang. Pada 1929, orang India di perkebunan tinggal seribu orang saja.
Tidak ada yang tahu berapa populasi Melayu di Kesultanan Deli, Serdang, Langkat, dan Asahan saat itu. Yang pasti, Jawa telah mendominasi secara jumlah dan Tionghoa mendominasi secara ekonomi sejak kedatangan Tjong A Fie dan pembentukan kota Medan. Alih-alih berusaha menjadi tuan di negeri sendiri, Melayu terus terasing. Puncaknya adalah ketika Indonesia merdeka dan Kesultanan Deli tidak punya pilihan selain menjadi bagian Republik Indonesia.
Rivalitas di Kalimantan
Rivalitas antarsultan Melayu juga terjadi di Kalimantan sepanjang abad ke-18 sampai abad akhir abad ke-19. Persaingan dimulai ketika ditemukan cadangan emas. Opu Daeng Manambung, sultan Mempawah saat itu, memutuskan mendatangkan penambang Hakka dari Cina daratan pada 1740. Sultan Mempawah menikmati kekayaan dari pajak konsesi yang dibayarkang kongsi-kongsi pertambangan orang Hakka. Kesultanan Sambas tergiur. Sepuluh tahun kemudian, Sultan Abubakar Kamaluddin ikutan mendatangkan orang-orang Hakka untuk mengelola pertambahan di Saminis, Montrado, dan Lara.
Awalnya tidak terjadi apa-apa. Kesultanan Mempawah dan Sambas menerima bagi hasil pertambangan. Namun, ketika penambang Hakka terus berdatangan dan melebihi populasi penduduk lokal, persoalan terjadi. Kong sikongsi pertambangan yang dibangun menuruh garis asal atau pemujaan saling berperang memperebutkan daerah konsesi.
Perang menghasilkan kongsi terkuat yang membangkang terhadap sultan dengan menolak memberikan hasil pertambangan. Kesultanan Landak relatif tidak menikmati rezeki dari emas dan gagal melihat potensi wilayahnya. Adalah Syarif Abdurrahman al-Qadri, pendatang dari Arab, yang mengetahuinya. Ia mendirikan Pontianak dan mengangkat diri sebagai sultan pertama. Padahal, Pontianak masuk wilayah Kesultanan Landak. Pada saat sama, dua kongsi pertambangan masyarakat Hakka telah berubah menjadi negara dalam negara.
Kongsi Lan Fang diberi otonomi khusus seluas-luasnya. Mereka memiliki sistem pemerintahan sendiri, dengan bendera, pasukan, kepolisian, sistem pemilu, dan sistem peradilan. Kongsi lainnya, Thai Kong, juga menikmati status sama. Tak heran jika seorang peneliti Belanda menyebut Lan Fang da Thai Kong sebagai negara berbentuk republik. Kongsi-kongsi ini berada di tengah persaingan antarsultan. Mereka netral dan—sesuai sifat asli orang Tionghoa— hanya menunggu pemenang persaing -an. Namun, semua ini berubah ketika Belanda datang.
Kesultanan Pontianak meminta bantuan Belanda untuk menganeksasi. Mereka sukses. Tatkala Belanda meminta konsesi yang kelola orang Hakka, Sultan Pontianak tidak bisa berbuat apa-apa. Belanda menyerang kedua kongsi itu dan mengusir orang Hakka. Sampai 1945, Pontianak adalah sekutu Belanda. Sultan Hamid II, penguasa Kesultanan Pontianak sampai 1978, adalah Mayjen KNIL.
Ironisnya, penyatuan tanah-tanah Melayu meski hanya di Semenanjung Malaya, Serawak, dan Sabah dilakukan oleh Inggris, bukan oleh orang Melayu. Itu membuktikan orang Melayu tidak pernah memiliki pemimpin yang melingkupi dan mampu menjadi pemersatu. Sebagian dari mereka melihat sosok itu pada diri Soekarno, tapi sebagian lainnya tidak. Kuasa kolonial tidak menghendaki hal itu. Rivalitas antar-Melayu juga tidak memungkinkan terjadinya penyatuan, meski mungkin hanya bersifat budaya.
Sumber: Republika, Rabu, 02 November 2011
Tuesday, November 01, 2011
Pendidikan Jalan Tengah
-- Intan Indah Prathiwie
SALAH satu fakta memprihatinkan dalam Indonesia saat ini adalah semakin mahalnya biaya pendidikan. Salah satu penyebabnya, liberalisasi pendidikan berjalan kian menggila sehingga dunia pendidikan Indonesia diperlakukan sebagai lahan komersial. Karena itu, "pengusaha" pendidikan berlomba-lomba mendirikan sekolah berlabel kurikulum percontohan, standar internasional, pendidikan yang mengutamakan kebutuhan individual anak didik, dan sebagainya. Pokoknya, atas nama nilai tinggi dan kustomisasi (pemenuhan kebutuhan unik konsumen), sekolah berani pasang tarif tinggi bagi para calon murid.
Ironisnya, kita alpa bahwa model pendidikan liberal itu tidak cocok dengan masyarakat Indonesia, apalagi jika diadopsi mentah-mentah. Padahal, sejatinya kita dapat menggagas satu model pengajaran jalan tengah berbasiskan Pancasila, sebagai landasan kehidupan berbangsa sekaligus pandangan hidup (weltanschauung) bangsa.
Pancasila, yang lahir 1 Juni 1945, disampaikan dalam pidato Bung Karno di depan Badan Penyelidikan Persiapan Kemerdekaan, mempunyai lima sila, sebenarnya dapat diperas menjadi satu sila atau dasar saja, yaitu nilai gotong-royong, menurut Bung Karno lebih dinamis daripada prinsip kekeluargaan meski sama-sama menekankan unsur kolektivitas.
Jika dipetakan nilai gotong royong tersebut ke dalam dunia pendidikan, khususnya dalam model pengajaran, Pancasila berarti menolak model pengajaran kompetisi maupun individual. Dalam model kompetisi, siswa belajar dalam suasana persaingan. Guru, diberi imbalan dan ganjaran (reward and punishment) untuk memotivasi siswa memenangi kompetisi. Tujuan evaluasi model ini menempatkan anak didik dalam urutan, atau disebut sistem ranking.
Model ini diadopsi mayoritas institusi pendidikan Indonesia. Kelemahan mendasarnya, model ini hanya menerapkan mono standar (standar seragam) sehingga bisa menimbulkan rasa minder bagi siswa berperingkat biasa-biasa dan lebih rendah lagi. Celakanya lagi, model kompetisi kerap menyulut permusuhan dan mentalitas menghalalkan segala cara, termasuk menyontek untuk meraih skor tinggi.
Di sisi lain, model individual yang banyak diterapkan di Amerika Serikat mengutamakan setiap anak didik belajar secara mandiri sesuai dengan kemampuan masing-masing. Untuk itu, disiapkan modul khusus yang memungkinkan anak belajar sendiri dengan pengawasan minimal dari pengajar. Murid jarang berinteraksi di ruang kelas, yang ditata sedemikian rupa dengan beberapa learning centers supaya murid bisa belajar sesuai minat dan kebiasaan masing-masing.
Tragisnya, model ini mulai menyusupi pendidikan Indonesia. Misalnya, ada satu kursus matematika dan bahasa Inggris terkenal berkurikulum internasional dari Jepang yang menjalankan model pengajaran individual. Kembali, ini menyimpang dari model pengajaran Pancasilais atau gotong royong.
Jalan Tengah
Penolakan Pancasila terhadap kedua model di atas tak pelak membuat model pengajaran Pancasilais idealnya mampu meretas jalan tengah antara keduanya. Caranya, model pengajaran Pancasila memberikan penekanan pada kerja sama. Asumsi dasarnya tentang manusia adalah sebagai homo socius. Merujuk Adam Smith dalam Theory of Moral Sentiments (1759), manusia sebagai makhluk individual yang hidup berdampingan dengan sesamanya (co-existent beings). Di sini, manusia dibebaskan mengejar kepentingan pribadinya, asalkan dia juga memainkan peran dalam menunjang kelangsungan hidup sesamanya. Pendeknya, model pengajaran Pancasila adalah sekaligus model pembelajaran kooperatif (cooperative learning).
Menurut Anita Lie dalam Cooperative Learning (2002), supaya bisa optimal model pengajaran berbasiskan kerja sama ini harus memiliki lima unsur. Pertama, saling ketergantungan positif. Artinya, guru harus memberikan proyek sekolah atau tugas sedemikian rupa sehingga para siswa dalam satu kelompok tugas harus bahu-membahu menyelesaikannya. Individu yang satu tidak akan optimal tanpa yang lain.
Kedua, tanggung jawab perseorangan. Tidak boleh ada free rider alias anggota kelompok yang berleha-leha tidak bekerja. Karena orang yang demikian akan mengalangi penuntasan tugas yang diberikan. Dengan demikian, aspek penilaian terhadap individu tetap berjalan, persis seperti kelebihan di dalam model pengajaran individual.
Ketiga, tatap muka. Guru mesti memberikan tugas yang mewajibkan semua anggota kelompok bertatap muka dan berdiskusi. Jadinya, meskipun masing-masing individu punya tugas sesuai kemampuan masing-masing (aspek individual), mereka tetap harus membahas bersama bagaimana menyelesaikan proyek itu secara sempurna (aspek sosial).
Keempat, komunikasi antar anggota. Ini, terkait dengan unsur ketiga berupa diskusi. Siswa atau anggota kelompok seyogianya dilatih terlebih dahulu untuk bersikap asertif dalam menyampaikan pendapatnya secara bernas dan efektif. Juga, untuk memiliki kemampuan mendengarkan secara baik. Tanpa kemampuan komunikasi yang baik, proses tugas kelompok dapat menyulut permusuhan sebagaimana risiko yang terjadi dalam model pengajaran kompetisi.
Kelima, evaluasi proses kelompok. Guru atau pengajar dalam model ini mesti melakukan evaluasi terhadap proses kinerja kelompok secara keseluruhan demi menimbang apakah proses belajar telah berjalan secara optimal.
Akhir kata, terbukti Pancasila sebagai world view mampu menjadi landasan sahih bagi pengembangan disiplin ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pendidikan, sumbangsih nyata Pancasila adalah merumuskan satu model pengajaran yang sesuai dengan alam pikir dan corak budaya khas masyarakat Indonesia. Yaitu, konsep cooperative learning yang memberikan penekanan selaras antara aspek kolektivitas (keseragaman) dan aspek individualitas (keunikan).
Sudah saatnya Indonesia kembali menengok model pengajaran Pancasila demi mengukuhkan kembali identitas bangsa serta menghindarkan diri dari bahaya perbudakan harta, pembebekan budaya dan penghambaan terhadap intervensi asing dalam bentuknya yang beraneka rupa. Semoga terwujud!
Intan Indah Prathiwie, pemerhati pendidikan, mahasiswi pascasarjana UNJ.
Sumber: Suara Karya, Selasa, 1 November 2011
SALAH satu fakta memprihatinkan dalam Indonesia saat ini adalah semakin mahalnya biaya pendidikan. Salah satu penyebabnya, liberalisasi pendidikan berjalan kian menggila sehingga dunia pendidikan Indonesia diperlakukan sebagai lahan komersial. Karena itu, "pengusaha" pendidikan berlomba-lomba mendirikan sekolah berlabel kurikulum percontohan, standar internasional, pendidikan yang mengutamakan kebutuhan individual anak didik, dan sebagainya. Pokoknya, atas nama nilai tinggi dan kustomisasi (pemenuhan kebutuhan unik konsumen), sekolah berani pasang tarif tinggi bagi para calon murid.
Ironisnya, kita alpa bahwa model pendidikan liberal itu tidak cocok dengan masyarakat Indonesia, apalagi jika diadopsi mentah-mentah. Padahal, sejatinya kita dapat menggagas satu model pengajaran jalan tengah berbasiskan Pancasila, sebagai landasan kehidupan berbangsa sekaligus pandangan hidup (weltanschauung) bangsa.
Pancasila, yang lahir 1 Juni 1945, disampaikan dalam pidato Bung Karno di depan Badan Penyelidikan Persiapan Kemerdekaan, mempunyai lima sila, sebenarnya dapat diperas menjadi satu sila atau dasar saja, yaitu nilai gotong-royong, menurut Bung Karno lebih dinamis daripada prinsip kekeluargaan meski sama-sama menekankan unsur kolektivitas.
Jika dipetakan nilai gotong royong tersebut ke dalam dunia pendidikan, khususnya dalam model pengajaran, Pancasila berarti menolak model pengajaran kompetisi maupun individual. Dalam model kompetisi, siswa belajar dalam suasana persaingan. Guru, diberi imbalan dan ganjaran (reward and punishment) untuk memotivasi siswa memenangi kompetisi. Tujuan evaluasi model ini menempatkan anak didik dalam urutan, atau disebut sistem ranking.
Model ini diadopsi mayoritas institusi pendidikan Indonesia. Kelemahan mendasarnya, model ini hanya menerapkan mono standar (standar seragam) sehingga bisa menimbulkan rasa minder bagi siswa berperingkat biasa-biasa dan lebih rendah lagi. Celakanya lagi, model kompetisi kerap menyulut permusuhan dan mentalitas menghalalkan segala cara, termasuk menyontek untuk meraih skor tinggi.
Di sisi lain, model individual yang banyak diterapkan di Amerika Serikat mengutamakan setiap anak didik belajar secara mandiri sesuai dengan kemampuan masing-masing. Untuk itu, disiapkan modul khusus yang memungkinkan anak belajar sendiri dengan pengawasan minimal dari pengajar. Murid jarang berinteraksi di ruang kelas, yang ditata sedemikian rupa dengan beberapa learning centers supaya murid bisa belajar sesuai minat dan kebiasaan masing-masing.
Tragisnya, model ini mulai menyusupi pendidikan Indonesia. Misalnya, ada satu kursus matematika dan bahasa Inggris terkenal berkurikulum internasional dari Jepang yang menjalankan model pengajaran individual. Kembali, ini menyimpang dari model pengajaran Pancasilais atau gotong royong.
Jalan Tengah
Penolakan Pancasila terhadap kedua model di atas tak pelak membuat model pengajaran Pancasilais idealnya mampu meretas jalan tengah antara keduanya. Caranya, model pengajaran Pancasila memberikan penekanan pada kerja sama. Asumsi dasarnya tentang manusia adalah sebagai homo socius. Merujuk Adam Smith dalam Theory of Moral Sentiments (1759), manusia sebagai makhluk individual yang hidup berdampingan dengan sesamanya (co-existent beings). Di sini, manusia dibebaskan mengejar kepentingan pribadinya, asalkan dia juga memainkan peran dalam menunjang kelangsungan hidup sesamanya. Pendeknya, model pengajaran Pancasila adalah sekaligus model pembelajaran kooperatif (cooperative learning).
Menurut Anita Lie dalam Cooperative Learning (2002), supaya bisa optimal model pengajaran berbasiskan kerja sama ini harus memiliki lima unsur. Pertama, saling ketergantungan positif. Artinya, guru harus memberikan proyek sekolah atau tugas sedemikian rupa sehingga para siswa dalam satu kelompok tugas harus bahu-membahu menyelesaikannya. Individu yang satu tidak akan optimal tanpa yang lain.
Kedua, tanggung jawab perseorangan. Tidak boleh ada free rider alias anggota kelompok yang berleha-leha tidak bekerja. Karena orang yang demikian akan mengalangi penuntasan tugas yang diberikan. Dengan demikian, aspek penilaian terhadap individu tetap berjalan, persis seperti kelebihan di dalam model pengajaran individual.
Ketiga, tatap muka. Guru mesti memberikan tugas yang mewajibkan semua anggota kelompok bertatap muka dan berdiskusi. Jadinya, meskipun masing-masing individu punya tugas sesuai kemampuan masing-masing (aspek individual), mereka tetap harus membahas bersama bagaimana menyelesaikan proyek itu secara sempurna (aspek sosial).
Keempat, komunikasi antar anggota. Ini, terkait dengan unsur ketiga berupa diskusi. Siswa atau anggota kelompok seyogianya dilatih terlebih dahulu untuk bersikap asertif dalam menyampaikan pendapatnya secara bernas dan efektif. Juga, untuk memiliki kemampuan mendengarkan secara baik. Tanpa kemampuan komunikasi yang baik, proses tugas kelompok dapat menyulut permusuhan sebagaimana risiko yang terjadi dalam model pengajaran kompetisi.
Kelima, evaluasi proses kelompok. Guru atau pengajar dalam model ini mesti melakukan evaluasi terhadap proses kinerja kelompok secara keseluruhan demi menimbang apakah proses belajar telah berjalan secara optimal.
Akhir kata, terbukti Pancasila sebagai world view mampu menjadi landasan sahih bagi pengembangan disiplin ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pendidikan, sumbangsih nyata Pancasila adalah merumuskan satu model pengajaran yang sesuai dengan alam pikir dan corak budaya khas masyarakat Indonesia. Yaitu, konsep cooperative learning yang memberikan penekanan selaras antara aspek kolektivitas (keseragaman) dan aspek individualitas (keunikan).
Sudah saatnya Indonesia kembali menengok model pengajaran Pancasila demi mengukuhkan kembali identitas bangsa serta menghindarkan diri dari bahaya perbudakan harta, pembebekan budaya dan penghambaan terhadap intervensi asing dalam bentuknya yang beraneka rupa. Semoga terwujud!
Intan Indah Prathiwie, pemerhati pendidikan, mahasiswi pascasarjana UNJ.
Sumber: Suara Karya, Selasa, 1 November 2011
Subscribe to:
Posts (Atom)